Share

Bab 7

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-20 16:33:39

"Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. 

Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. 

Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. 

"Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. 

"Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. 

Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi. "Tunggu sebentar, Mas. Jika lelah, tidurlah lebih dahulu," ucapku seraya berlalu. 

Beberapa saat kemudian,

Aku fikir Mas Yogi sudah terlelap, seperti biasanya. Namun, kala aku keluar kamar mandi, rupanya laki-laki itu masih setia duduk dengan tatapan kosong. 

"Ada apa, Mas?" tanyaku seraya naik ke tempat tidur kami. Mataku memicing, menelisik pada suamiku itu. 

Mas Yogi menoleh menatap padaku, tatapan matanya sayu bahkan cenderung kosong. Aku tau, jika ia masih memikirkan perdebatan beberapa saat lalu. "Apa kau tak bisa berdamai dengan Ibu, Sayang?" 

"Damai?" Alisku bertaut kala mendengar kata yang seolah menyudutkan ku, "apa selama ini yang ku lakukan bukanlah sebuah upaya perdamaian, Mas?"

"Coba kau ingat-ingat. Sejak awal pernikahan kita, Ibu dan Mba Yessi sangat tak menyukaiku. Kamu sendiri kan yang bilang sama aku, sabar Sayang nanti ada masanya mereka tau kebaikan dan ketulusan mu. Bersabarlah sebentar lagi."

"Karna aku percaya padamu, makanya aku memilih diam. Apapun yang terjadi, selama kau ada dipihakku, maka aku akan terus berjuang dan bertahan."

"Tapi, sekarang setelah sebelas tahun berlalu. Mana Mas, mana? Tak ada yang berubah, sebelas tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Bahkan setelah ada Rayyan dan Reno, sikap mereka masih sama dan justru semakin berani menunjukkan ketidaksukaannya terhadap ku. Lalu aku harus bagaimana lagi, Mas?"

"Awalnya, aku masih diam, karena ada kamu yang selalu bersikap baik serta memihak pada kami. Sampai akhirnya satu masa itu datang, hal yang sama itu semakin membuatmu terasa jauh dari aku dan kedua anak kita."

Rentetan kalimat, ku layangkan pada Mas Yogi. Aku bukanlah tipe orang yang suka mengadu dan berkeluh kesah. Memendam segalanya seorang diri adalah jurus ninjaku. Prinsipku, aku ingin orang-orang cukup melihat kebahagiaan dan kesenangan ku. Tidak untuk kesedihan dan kesusahan ku. Sebab, tak semua orang itu benar-benar peduli. Terkadang beberapa dari mereka bertanya tentang kabar dan kondisi kita, bukan karna mereka peduli, tapi murni karna mereka hanya sekedar kepo dan ingin tahu saja.

"Kenapa diem, Mas?" tanyaku saat melihat mas Yogi malah masih asik dalam diamnya. 

"Apa yang harus ku katakan, Sayang? Aku baru mengatakan satu kalimat dan kamu sudah menjawab dengan tiga paragraf sekaligus," tukas Mas Yogi mencibir. 

Aku menghela nafas sejenak, mengurai sesak akan kelakuan suamiku yang terkadang membuatku gemas sendiri, "Lalu? Apa yang kamu mau, dengan menungguku hingga selarut ini?" 

"Aku hanya ingin rumah tangga kita damai seperti sebelumnya, Devi. Akhir-akhir ini, banyak percekcokan yang bikin kepalaku pusing. Belum lagi, entah setan mana yang merasuki mu, sampai istriku yang penurut dan pendiam jadi istri yang-"

"Pembangkang! Begitu maksudmu, Mas? Atau lebih tepatnya maksud Ibumu?" Aku dengan cepat menyela perkataan Mas Yogi. 

Ya! Aku dengar sendiri apa yang dikatakan ibu mertua beberapa saat lalu, kala mereka masih asik mengobrol di teras rumah. Niatku yang ingin ke dapur dan membuat susu untuk Roni, malah dibuat penasaran atas apa yang dilakukan oleh mas Yogi dan keluarganya di teras depan. Dengan langkah berjingkat, aku mencoba menguping dari balik pintu yang memang hanya ditutup separuhnya. Dari sanalah aku akhirnya mengetahui jika selama ini, bahkan mas Yogilah yang membiayai sekolah keponakannya, anak dari mba Yessi. 

"Kamu! Kamu sudah menikah denganku sebelas tahun, Mas! 24/7 aku berada di rumah. Seharusnya, kamulah yang paling tau seperti apa aku. Bagaimana aku. Perubahan sikapku pun, seharusnya kau sendiri menyadarinya. Ahh.. Tidak-tidak, kau bukan tak menyadarinya tapi lebih tepatnya tak memperdulikannya. Aku benar kan, Mas?" Setelah cukup lama terdiam, kini aku mulai bicara. 

"Kita ini suami istri, Mas! Jika tak ada asas keterbukaan diantara kita. Maka tak akan ada juga rasa damai dalam rumah tangga kita!" 

"Aku sudah cukup mengalah dan bersabar selama ini, Mas. Dan aku masihlah manusia biasa yang kesabarannya bisa habis jika terus digempur sikap dan perkataan yang cukup menyakitkan hati."

"Sekarang, aku tanya sama, Mas. Kapan kali terakhir kamu melihat aku menangis?" Ku lirik wajah mas Yogi yang tampak berfikir. Namun aku tahu, jika ia tak akan mungkin menemukan jawaban. 

Benar saja, endikkan bahu mas Yogi membenarkan dugaanku. "Kau tak tau kan, Mas?!"

"Jangan main teka-teki, Devi," sinis mas Yogi lirih. 

"Baiklah-baiklah.. Akan aku jawab!" Helaan nafasku terasa berat, banyak beban yang menghimpit di dalam sana. Meninggalkan rasa sesak berkepanjangan. "Kamu bahkan sampai lupa kapan aku menangis, karna air mataku itu sudah kering, Mas. Aku sudah lelah mengeluh dan menangis karna sikap Ibu dan Mba Yessi yang tak pernah memperlakukan aku dan anak-anak dengan baik."

"Ketahuilah, Mas. Jika tak ada lagi air mata yang keluar dari mata seorang wanita. Percayalah, itu bukan hal yang baik. Itu justru awal dari sebuah bencana!"

"Air mata yang keluar dari mata seorang wanita, bukan karna dia itu cengeng dan manja. Tapi karna ia masih punya hati. Tapi saat air mata itu sudah enggan keluar. Itu berarti, hatinya sudah mati! Mati, Mas!"

Sreettt... 

Ku tarik selimut hingga menutupi separuh tubuhku. Sambil mencoba menumpuk bantal agar nyaman, aku menoleh pada mas Yogi. "Tidurlah, Mas! Agar besok tak terlambat. Kan sayang kalo besok terlambat, maka bonus yang harusnya kamu terima besok jadi hangus!"

"Devi.. Ka-kamu.."

"Selamat malam, Mas!" ucapku menyela kalimat mas Yogi yang terbata. Namun, dalam hati ini ada rasa tercubit dan menggelitik. 

Ku rebahkan tubuh ini membelakangi mas Yogi. Tak lagi ku perdulikan suamiku yang terlihat masih ingin bersuara. Jika keluarga mu saja tak peduli denganku yang masih berstatus istrimu. Tapi, kau ingin memintaku peduli dengan keluargamu itu? Maaf, mas. Itu hanya akan menjadi harapan mu saja! 

Ceklek! Ceklek! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 8

    "Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. "Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. "Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. "Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu buk

    Last Updated : 2024-05-21
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 9

    "Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang-"Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!"Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi su

    Last Updated : 2024-05-22
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 10

    Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian."Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku. Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti  sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya.

    Last Updated : 2024-05-23
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 11

    "Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila

    Last Updated : 2024-05-24
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 12

    "Apa maksudmu, hah?"Suara lantang disertai gerakan kasar tangan wanita yang kini berdiri di sisi kiriku, membuat dua wanita lainnya menjadi terdiam. "Bukan maksudku, tapi maksudmu!" jawabku dengan nada tak kalah tegas. Sudah cukup, Devi yang dulu telah mati."Kau melayangkan tuduhan tak berdasar, seolah sengaja membuat aku malu, atau lebih tepatnya sengaja mempermalukan aku, begitu bukan?" "Aku tak mempermalukanmu, tapi kau sendiri yang berbuat seperti itu. Apalagi sebutannya bagi wanita bersuami yang pergi berduaan bersama laki-laki lain?" Pertanyaan bernada sarkas dilayangkan dengan sengaja, yang aku tahu jika itu memang dilakukan untuk membuatku tersudut. "Bener juga sih.. Gak baik lho Mbak Devi, kamu ini 'kan bukan wanita lajang. Gak enak juga diliatnya-""Apa hak kalian mengomentari urusanku?" Dengan cepat aku menyergah ucapan wanita salah satu tetanggaku. "Apa kalian tak punya urusan yang lebih penting selain mengurusi

    Last Updated : 2024-05-25
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 13

    Dengan masih berdiri tegak, jari telunjukku mengacung dengan tegas ke arah kakak iparku, Mbak Yessi, yang berdiri di sisi kananku.“Kamu lihat itu, Mas!” ucapku dengan nada datar pada suamiku yang terdiam di tengah pertengkaran kami. “Coba bandingkan, cara berpakaian mana yang lebih cocok disebut wanita murahan. Aku atau Kakakmu?”Wajah Mbak Yessi berubah merah padam, matanya mendelik tajam menatapku. Rambut panjangnya tergerai di bahu, pakaian serba mini yang dikenakannya justru menegaskan pernyataanku. Dia bukan mau ke kondangan ataupun manggung, tapi melihat cara berpakaiannya sungguh membuatku muak.“Apa kau sedang menghina aku, begitu?” tanyanya dengan nada emosi yang terasa memanas.Aku tersenyum sinis, menatap kakak iparku dengan pandangan yang tajam.“Jika mau marah, itu berarti Mbak Yessi mengakui bahwa benar cara berpakaiannya lebih cocok disebut murahan. Aku hanya mencari sebuah perbandingan,” jawabku d

    Last Updated : 2024-05-26
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 14

    Aku merasakan suara degup jantung ini berdetak lebih kencang saat melihat Mas Yogi dengan kasar memukul Arya yang baru saja datang. Padahal, pria itu hanya mengantarkan ponselku yang tertinggal. Ini murni kesalahanku sendiri karena teledor dan tanpa sengaja menjatuhkankan ponsel di dalam mobil Arya.“Apa yang kau lakukan di sini, hah?!” bentak Mas Yogi. “Berani-beraninya menampakkan diri setelah berani pergi bersama istri orang!”“Aku hanya…”“Karena kau sudah berani muncul di hadapanku! Sekarang katakan, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan, hah?!”Keningku mulai berkeringat sebab merasa takut, aku takut akan apa yang terjadi sekarang. Terlebih, mataku menangkap raut wajah Mas Yogi yang begitu memerah. Astaga, masalah apalagi ini. “Sudahlah, Mas. Jangan bertindak kasar dan anarkis seperti ini, malu!” ucapku sambil mencoba menarik tangan Mas Yogi yang masih mencengkram erat kerah baju Arya. “Katakan padaku Devi, dibayar berapa kau olehnya dan dapat apa kau darinya?” tanya Mas

    Last Updated : 2024-05-27
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 15

    “Kurang apa anakku padamu, Devi? Sungguh, aku tak pernah menyangka, akan mendapat menantu sepertimu!” Sebuah kalimat kembali dilontarkan oleh ibu mertua tak lama setelah Arya meninggalkan tempat ini. “Terserah! Aku tak peduli dengan penilaian manusia seperti kalian!” Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Namun, saat baru saja sampai di ruang tamu. Sreett! Brak! Kurasakan perih dan berdenyut di bagian pelipisku. Hingga hal itu sukses membuatku didera rasa pusing dan berkunang. Perlahan aku bangkit meski dengan tangan yang terus mencoba merambat, memegang apapun yang bisa membuatku berdiri sempurna. “Darah …,” lirihku, saat dengan sengaja kuusap bagian yang sakit itu dengan ibu jari. Rasanya perih, namun tak seperih rasa yang ada dalam hati ini. “Apa seperti ini kelakuanmu setiap hari, hah?” Sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya bentakan kembali terdengar, membuat telingaku berdenging dan semakin terasa pusing. “Menjadi ja-lang demi untuk memenuhi kepentinganmu s

    Last Updated : 2024-05-29

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 91

    Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 90

    “Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 89

    “Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status