Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian.
"Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku.Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban."Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan.Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya."Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila
"Apa maksudmu, hah?"Suara lantang disertai gerakan kasar tangan wanita yang kini berdiri di sisi kiriku, membuat dua wanita lainnya menjadi terdiam. "Bukan maksudku, tapi maksudmu!" jawabku dengan nada tak kalah tegas. Sudah cukup, Devi yang dulu telah mati."Kau melayangkan tuduhan tak berdasar, seolah sengaja membuat aku malu, atau lebih tepatnya sengaja mempermalukan aku, begitu bukan?" "Aku tak mempermalukanmu, tapi kau sendiri yang berbuat seperti itu. Apalagi sebutannya bagi wanita bersuami yang pergi berduaan bersama laki-laki lain?" Pertanyaan bernada sarkas dilayangkan dengan sengaja, yang aku tahu jika itu memang dilakukan untuk membuatku tersudut. "Bener juga sih.. Gak baik lho Mbak Devi, kamu ini 'kan bukan wanita lajang. Gak enak juga diliatnya-""Apa hak kalian mengomentari urusanku?" Dengan cepat aku menyergah ucapan wanita salah satu tetanggaku. "Apa kalian tak punya urusan yang lebih penting selain mengurusi
Dengan masih berdiri tegak, jari telunjukku mengacung dengan tegas ke arah kakak iparku, Mbak Yessi, yang berdiri di sisi kananku.“Kamu lihat itu, Mas!” ucapku dengan nada datar pada suamiku yang terdiam di tengah pertengkaran kami. “Coba bandingkan, cara berpakaian mana yang lebih cocok disebut wanita murahan. Aku atau Kakakmu?”Wajah Mbak Yessi berubah merah padam, matanya mendelik tajam menatapku. Rambut panjangnya tergerai di bahu, pakaian serba mini yang dikenakannya justru menegaskan pernyataanku. Dia bukan mau ke kondangan ataupun manggung, tapi melihat cara berpakaiannya sungguh membuatku muak.“Apa kau sedang menghina aku, begitu?” tanyanya dengan nada emosi yang terasa memanas.Aku tersenyum sinis, menatap kakak iparku dengan pandangan yang tajam.“Jika mau marah, itu berarti Mbak Yessi mengakui bahwa benar cara berpakaiannya lebih cocok disebut murahan. Aku hanya mencari sebuah perbandingan,” jawabku d
Aku merasakan suara degup jantung ini berdetak lebih kencang saat melihat Mas Yogi dengan kasar memukul Arya yang baru saja datang. Padahal, pria itu hanya mengantarkan ponselku yang tertinggal. Ini murni kesalahanku sendiri karena teledor dan tanpa sengaja menjatuhkankan ponsel di dalam mobil Arya.“Apa yang kau lakukan di sini, hah?!” bentak Mas Yogi. “Berani-beraninya menampakkan diri setelah berani pergi bersama istri orang!”“Aku hanya…”“Karena kau sudah berani muncul di hadapanku! Sekarang katakan, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan, hah?!”Keningku mulai berkeringat sebab merasa takut, aku takut akan apa yang terjadi sekarang. Terlebih, mataku menangkap raut wajah Mas Yogi yang begitu memerah. Astaga, masalah apalagi ini. “Sudahlah, Mas. Jangan bertindak kasar dan anarkis seperti ini, malu!” ucapku sambil mencoba menarik tangan Mas Yogi yang masih mencengkram erat kerah baju Arya. “Katakan padaku Devi, dibayar berapa kau olehnya dan dapat apa kau darinya?” tanya Mas
“Kurang apa anakku padamu, Devi? Sungguh, aku tak pernah menyangka, akan mendapat menantu sepertimu!” Sebuah kalimat kembali dilontarkan oleh ibu mertua tak lama setelah Arya meninggalkan tempat ini. “Terserah! Aku tak peduli dengan penilaian manusia seperti kalian!” Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Namun, saat baru saja sampai di ruang tamu. Sreett! Brak! Kurasakan perih dan berdenyut di bagian pelipisku. Hingga hal itu sukses membuatku didera rasa pusing dan berkunang. Perlahan aku bangkit meski dengan tangan yang terus mencoba merambat, memegang apapun yang bisa membuatku berdiri sempurna. “Darah …,” lirihku, saat dengan sengaja kuusap bagian yang sakit itu dengan ibu jari. Rasanya perih, namun tak seperih rasa yang ada dalam hati ini. “Apa seperti ini kelakuanmu setiap hari, hah?” Sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya bentakan kembali terdengar, membuat telingaku berdenging dan semakin terasa pusing. “Menjadi ja-lang demi untuk memenuhi kepentinganmu s
“Aku,” jawabku tegas. “Aku ingin bercerai denganmu, Mas. Sudahi semua ini, baik aku ataupun anakku udah gak bisa lagi tinggal bersamamu.” Mas Yogi terdiam sejenak, seperti mencerna kata-kataku. Dia tampak terkejut dan sedikit kebingungan, laki-laki itu kemudian tampak memejamkan matanya sejenak. Namun, setelah membuka matanya, dia kembali menatapku dengan tatapan yang tajam. “Gak! Kamu gak bisa cerai dariku,” katanya. “Kita sudah menikah selama sebelas tahun dan ada anak-anak diantara kita. Kamu gak bisa meninggalkan tanggung jawabmu begitu saja.” Aku menggigit bibirku, merahasiakan rasa takut yang melonjak dalam dadaku. Aku takut dengan apa yang bisa dia lakukan kepadaku dan anak-anak kami. Namun, aku juga tak mau menyerah dan terus tinggal bersamanya dalam kekerasan dan ketidakbahagiaan. “Siapa bilang aku akan lepas tanggung jawab?” tanyaku kemudian. Rasa sakit yang
(POV Yogi, suami Devi) “Jangan!” “Hah? Tapi kenapa?” “Jangan kasih istrimu itu terlalu banyak, atau kau akan menyesal nanti!” ______ Ucapan dari ibu terus terngiang di telingaku. Aku sudah menikah dengan Devi selama 11 tahun. Bukan aku tak tahu, jika ibu dan Devi tak pernah akur. Justru Devilah yang selalu mengeluhkan hal ini kepadaku. “Aku capek, Mas. Masa sehari harus masak sampe tiga kali,” keluhnya saat itu. Aku yang baru saja pulang kerja seketika merasa jenuh dengan segala keluhan Devi. Tapi, aku tak pernah bisa berkata kasar pada wanita yang saat itu tengah mengandung buah hati kedua kami. Demi menjaga perasaannya, aku tak terlalu menanggapi semua kkeluhan tersebut dan hanya menjawab sekenanya. Hingga sampailah saat anak keduaku berumur tiga tahun. Ibu dan istriku masih belum bisa berdamai. Bahkan pengeluaran keluarga kami semakin besar. Gajiku yang awalnya hanya 4,5 juta bisa untuk dua rumah. Kini bahkan hanya cukup untuk Devi dan kedua anakku saja. “Kan Ib
“Kamu nanya, Mas?”“Iya, apa salahnya?”“Perlukah aku buatkan nota catatan untuk semua pengeluaran rumah ini?”_______Beragam alasan selalu dilayangkan Devi saat aku mencoba bertanya, apa uang bulanan yang kuberikan sudah habis? Dan habis untuk apa? Itu pertanyaan normal, bukan?”Cetak! Sebuah buku nota kecil digeletakkandi atas meja makan, dengan kasar oleh Devi. Aku yang sedang menikmati kopi buatannya seketika membeku. “Itu semua pengeluaran kita sebulan ini! Silahkan dicek!” ucapnya kemudian berlalu pergi begitu saja. Biasanya, wanita yang masih sah menjadi istriku itu selalu menemani aku makan. Tapi, akhir-akhir ini ia seringkali sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia kerjakan. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas kasar dan makan malam seorang diri. Ditemani nyamuk dan suara denting sendok. Hingga beberapa saat berlalu, malam yang dingin membangunkan sesuatu yang terlihat. Membuatku bangkit dan mencari keberadaan istriku tersebut. “Dev,” panggilku lirih, sebab Devi ru
“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis
Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera