Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku.
"Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... "Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. "Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang, barulah bilang sama Mas." Dengan santai Mas Yogi menjawab, tangannya terulur mengelus puncak kepalaku. Sungguh, saat itu aku masih merasa jika Mas Yogi benar-benar mencintaiku. "Tau apa kau Pak tua?! Asal kau tahu saja, justru mereka itu perlu menghemat uang agar bisa ditabung untuk masa depan dan anak-anak. Untuk persiapan juga jika suatu saat dibutuhkan dana dadakan." Bukan Mas Yogi yang menjawab melainkan Mba Yessi, seraya menyilangkan tangan di dada dengan angkuh. Suara kerasnya itu mampu membuatku tersadar dari lamunan. "Tapi, meski begitu. Bukan berarti Yogi bebas memperlakukan Devi seperti itu. Kau tahu betapa sulitnya bagi Devi untuk membesarkan dua anak dari gaji yang lebih dari cukup, tapi ia sendiri hanya diberi dua puluh ribu sehari. Kau harus memberinya nafkah yang layak, Yogi!" sahut Pak Benyamin, ayahku, dengan semakin meningkatnya nada suaranya. "Pak, sudah ya. Bapak pasti capek. Mending Bapak istirahat dulu," ucapku menengahi. Aku berusaha membujuk ayahku itu, agar mau turut pergi bersamaku ke kamar anak-anak. Namun, langkah cinta pertamaku itu seolah berat dan justru terpaku disana. "Asal kau tau saja Yogi, ini sama sekali tidak adil bagi Devi dan cucu-cucuku. Jangan pernah lupakan bahwa ia juga mempunyai hak yang sama dengan keluargamu. Surgamu memang ada di kaki ibumu, tapi seorang suami tak akan mencium bau surga, jika ia lalai dan dzalim pada anak istrinya! " Ayah kembali berkata dengan suara dan nada penuh penekanan, lebih dari sebelumnya. "Jika kau masih berlaku seperti itu, lebih baik kau kembalikan saja Devi padaku. Aku, Ayahnya! InsyaAllah masih sanggup menanggung tanggung jawab itu di pundak renta ini!" Dengan tegas ayah bahkan mulai memberikan ancaman pada Mas Yogi. Namun, tiba-tiba suara ibu mertua terdengar. Mengintervensi perbincangan yang semakin memanas itu. "Bawa saja dia! Setidaknya itu bisa mengurangi beban putraku! Istri kok bisanya cuma jadi beban suami!" "Astaghfirullah," ucap ayah sambil mengelus dadanya. Bahkan kepalanya turut menggeleng perlahan, menandakan jika ayah benar-benar terkejut dengan apa yang dihadapinya kini. "Yogi! Jawab aku!" sentak ayah kemudian, yang melihat Mas Yogi masih diam tak bergeming sama sekali. "Aku serius, Yogi! Lebih baik kau kembalikan putriku padaku! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!" Kilatan amarah terlihat jelas di mata ayah. "Silahkan! Bawa saja mereka!" Lagi-lagi, ibu mertua yang menjawab. Padahal aku tau persis, jika ayah hanya mau mendengar dan melihat respon serta jawaban dari Mas Yogi. "Tak perlu repot-repot protes dan ikut campur keputusan Yogi sebagai kepala rumah tangga, Pak Benyamin. Saya sangat setuju dengan Yogi! Devi memang tak bisa dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Belum juga akhir bulan, anakku sudah hanya makan dengan tempe goreng. Istri macam apa itu?!" Bu Jubaedah, mertuaku, kembali bersuara. Wajah ayah menegang, matanya membola. Aku bisa lihat raut wajah keterkejutannya. "Lalu, apa bedanya dengan Bu Jubaedah yang ikut campur urusan rumah tangga Devi dan Yogi? Sekarang jika saja posisinya dibalik, Bu Jubaedah yang saya kasih dua puluh ribu untuk belanja sehari-hari. Apa ibu sanggup?" "Heleh! Tentu saja!" jawab ibu mertua santai. Padahal aku tahu betul, jika ibu mertua bahkan tak pernah sekalipun masak sendiri di rumah mereka. Selalu hanya numpang makan disini, atau pesan makanan melalui delivery order. "Aku tidak boros, Bu. Aku rasa, kau juga tau itu!" Kini aku tak bisa terus diam saja, saat ayahku mati-matian membelaku. Akan ku buktikan, jika anak perempuan ayah, bisa berdiri kokoh seperti batu karang yang melawan ganasnya ombak di lautan. "Bagaimana aku tak boros, jika saja uang jatah Ibu dan Mba Yessi itu-" "Jadi kau mempermasalahkan Yogi yang memberi kewajibannya sebagai seorang anak? Begitu?!" Belum selesai aku berkata ibu mertua sudah lebih dulu menyela. Astaghfirullah, aku harus banyak-banyak mengucap kalimat istighfar dalam hati. "Aku tak pernah keberatan Mas Yogi memberikan sedikit gajinya untuk ibu. Tapi mba Yessi dan anaknya, bukanlah tanggung jawab suamiku!" Dengan nada cukup tinggi ku bantah perkataan ibu mertua. Yaa Allah, maafkan aku yang telah berani meninggikan suara di hadapan orang tua. "Cukup Devi! Jangan berani kamu tinggikan suara di depan ibuku! Bagaimanapun juga, kau harus menghormatinya seperti kau menghormati orang tua mu sendiri!" tekan Mas Yogi dengan nada tertahan. Dengan tatapan mata berkaca, ku tatap lekat manik mata laki-laki yang sudah ku gandeng tangannya selama sebelas tahun ini. "Kau bisa mengatakan seperti itu, Mas. Tapi apa kau sudah mengatakan pada Ibumu? Untuk menerima ku bukan hanya sebagai menantu, tapi selayaknya seorang anak perempuan? Sebagaimana ayah dan ibuku menerima dan memperlakukan mu?" "Setidaknya jika ingin dihormati layaknya orang tua. Maka terlebih dulu, posisikan dirimu seperti orang tua pada umumnya. Karena, harimau yang ganas saja tak akan sanggup untuk menerkam anaknya sendiri! Tapi ini.." sindirku. Mata ibu mertua, kakak ipar dan suamiku melotot sempurna. Namun, aku bahkan tak peduli lagi. Aku lebih memilih mengajak ayah untuk beristirahat di kamar anak-anak. "Ayok, Pak. Anak-anak pasti senang liat Kakeknya dateng!" Sedikit ku tarik lengan ayah, seraya memberi kode anggukan kepala. Terlalu lama berada dalam atsmosfer yang sama dengan keluarga suamiku. Hanya akan membuat habis tenaga dan juga meracuni pikiran. Lebih baik, menyingkir demi kewarasan diri sendiri. Kini, aku merasa tidak lagi sendirian dalam masalah ini, aku tahu jika Mas Yogi akan tetap berat pada keluarganya. Tapi, akupun bukan seorang yatim piatu. "Pulanglah, jika kau sudah tak sanggup lagi, Devi!""Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. "Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. "Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi
"Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. "Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. "Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. "Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu buk
"Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang-"Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!"Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi su
Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian."Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku. Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya.
"Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila
"Apa maksudmu, hah?"Suara lantang disertai gerakan kasar tangan wanita yang kini berdiri di sisi kiriku, membuat dua wanita lainnya menjadi terdiam. "Bukan maksudku, tapi maksudmu!" jawabku dengan nada tak kalah tegas. Sudah cukup, Devi yang dulu telah mati."Kau melayangkan tuduhan tak berdasar, seolah sengaja membuat aku malu, atau lebih tepatnya sengaja mempermalukan aku, begitu bukan?" "Aku tak mempermalukanmu, tapi kau sendiri yang berbuat seperti itu. Apalagi sebutannya bagi wanita bersuami yang pergi berduaan bersama laki-laki lain?" Pertanyaan bernada sarkas dilayangkan dengan sengaja, yang aku tahu jika itu memang dilakukan untuk membuatku tersudut. "Bener juga sih.. Gak baik lho Mbak Devi, kamu ini 'kan bukan wanita lajang. Gak enak juga diliatnya-""Apa hak kalian mengomentari urusanku?" Dengan cepat aku menyergah ucapan wanita salah satu tetanggaku. "Apa kalian tak punya urusan yang lebih penting selain mengurusi
Dengan masih berdiri tegak, jari telunjukku mengacung dengan tegas ke arah kakak iparku, Mbak Yessi, yang berdiri di sisi kananku.“Kamu lihat itu, Mas!” ucapku dengan nada datar pada suamiku yang terdiam di tengah pertengkaran kami. “Coba bandingkan, cara berpakaian mana yang lebih cocok disebut wanita murahan. Aku atau Kakakmu?”Wajah Mbak Yessi berubah merah padam, matanya mendelik tajam menatapku. Rambut panjangnya tergerai di bahu, pakaian serba mini yang dikenakannya justru menegaskan pernyataanku. Dia bukan mau ke kondangan ataupun manggung, tapi melihat cara berpakaiannya sungguh membuatku muak.“Apa kau sedang menghina aku, begitu?” tanyanya dengan nada emosi yang terasa memanas.Aku tersenyum sinis, menatap kakak iparku dengan pandangan yang tajam.“Jika mau marah, itu berarti Mbak Yessi mengakui bahwa benar cara berpakaiannya lebih cocok disebut murahan. Aku hanya mencari sebuah perbandingan,” jawabku d
Aku merasakan suara degup jantung ini berdetak lebih kencang saat melihat Mas Yogi dengan kasar memukul Arya yang baru saja datang. Padahal, pria itu hanya mengantarkan ponselku yang tertinggal. Ini murni kesalahanku sendiri karena teledor dan tanpa sengaja menjatuhkankan ponsel di dalam mobil Arya.“Apa yang kau lakukan di sini, hah?!” bentak Mas Yogi. “Berani-beraninya menampakkan diri setelah berani pergi bersama istri orang!”“Aku hanya…”“Karena kau sudah berani muncul di hadapanku! Sekarang katakan, sudah berapa lama kalian menjalin hubungan, hah?!”Keningku mulai berkeringat sebab merasa takut, aku takut akan apa yang terjadi sekarang. Terlebih, mataku menangkap raut wajah Mas Yogi yang begitu memerah. Astaga, masalah apalagi ini. “Sudahlah, Mas. Jangan bertindak kasar dan anarkis seperti ini, malu!” ucapku sambil mencoba menarik tangan Mas Yogi yang masih mencengkram erat kerah baju Arya. “Katakan padaku Devi, dibayar berapa kau olehnya dan dapat apa kau darinya?” tanya Mas
“Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b
"Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di
“Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip
"Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.
Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya
“Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis
Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera