Share

Bab 5

Penulis: Mami ice bear
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-12 15:09:37

Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. 

"Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. 

"Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. 

Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. 

"Bapak, kok-"

"Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. 

"Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di mata mereka," tutur bapak menatap Mas Yogi dengan tatapan berkaca. 

"Mana janjimu padaku, Yogi? Kau melamar Devi padaku, dan berkata akan membahagiakan dia. Hingga aku percaya, dan tak menjenguknya sebab sudah yakin jika dia baik-baik saja. Tapi, apa yang ku lihat dan dengar sekarang?" Bapak terus mencecar Mas Yogi, membuat suamiku itu tersudut. 

Mba Yessi tampak mendelik, saat adiknya itu tersudutkan oleh kata-kata bapak. Tubuhnya yang sejak tadi menghadap ke arah ku dan Mas Yogi, kini beralih menghadap bapak. "Ngomong apa tadi kau, Bapak Tua? Apa sekarang kau sedang menyalahkan Adikku, begitu?"

"Apa ada yang salah dengan perkataanku, Mba Yessi? Apa yang aku katakan benar adanya, karna saat Yogi mengikrarkan ijab qobul atas nama putriku. Tanggung jawabku sudah beralih ke pundaknya. Aku rasa Mba Yessi juga mengerti, karna Mba Yessi sendiri adalah seorang istri!" Bapak terdengar melawan perkataan kakak ipar. 

"Ho ho.. Tentu saja beda! Aku istri berpendidikan, tentu berbeda dengan Devi. Jangan samakan aku sama anak bapak yang hanya bisa menjadi beban dan benalu buat Yogi, ya!" Mba Yessi tak mau kalah, ia terus melayangkan kata-kata yang berhasil membuat ku tak lagi tinggal diam. 

"Benalu? Beban? Siapa yang Mba maksud? Aku? Anakku?" Bertubi-tubi aku layangkan pertanyaan pada kakak ipar dan hanya dibalas dengan ekspresi bibir yang mencebik. "Apa kau tidak salah? Kau bilang istri berpendidikan, tapi masih jadi benalu untuk rumah tangga adiknya? Situ waras?"

"Jika soal Ibu, aku paham. Karena Mas Yogi masih memiliki kewajiban untuk mensejahterakan Ibunya. Tapi tidak untuk kamu dan anakmu. Ya, kecuali kau itu janda!" imbuhku yang dengan sengaja menekan kata-kata terakhir. 

Benar saja, mba Yessi seketika mendelik saat aku menekan kata janda. "Apa kau sedang menyumpahi ku?"

Tak ku respon perkataan kakak ipar. Aku hanya melengos sembari memutar mata malas. Namun, suara kakak dari suamiku itu seketika membuat ku kembali fokus padanya, "Ibu, aku dan anakku adalah keluarga Yogi. Berbeda dengan mu yang orang lain. Yang hanya bisa mengadahkan tangan pada adikku!"

"Oh ya? Begitukah?" Aku memasang wajah terkejut kemudian menoleh kearah Mas Yogi. "Mas, apa aku jadi beban untuk mu?"

Mendapat pertanyaan dariku, membuat Mas Yogi gelagapan dan tampak ragu untuk menjawab. "A.. Aku.."

"Katakan saja Yogi, ada Mba disini! Jangan takut!" Mba Yessi terdengar memberikan dorongan pada Mas Yogi. 

Sementara aku dan bapak hanya saling lirik. Hingga beberapa saat kemudian, suara Mas Yogi kembali terdengar. "Bukan beban, Dev. Hanya saja, kamu terlalu boros. Belum akhir bulan, uang dariku sudah habis. Itu yang membuat ku-"

"Jadi itu yang ada di pikiranmu selama ini, Mas?" tanyaku sengaja memotong kalimat Mas Yogi. 

"Apa Mas tau, kenapa aku selalu mengeluh uang menipis saat akhir bulan?" Aku menatap intens pada manik mata suamiku itu. "Sekarang, coba sebutkan. Berapa uang yang kau berikan setiap bulannya. 

"Empat juta," jawab Mas Yogi. 

"Baiklah, empat juta ya!" sahutku kemudian berlalu mengambil ponsel milik Mas Yogi yang tergeletak di nakas samping tivi. "Pegang ini! Dan buka kalkulator!"

"Satu juta untuk Ibumu! Satu juta untuk Mba Yessi! Lima ratus untuk bayar listrik! Lima ratus untuk bayar air!" Sejenak aku menjeda kalimat, guna mengambil oksigen demi melonggarkan rongga dada yang terasa tercekat. "Sekarang coba kau hitung, berapa total?"

"Tiga juta.." lirih Mas Yogi. Dan ku balas dengan anggukan kepala. "Sekarang, masih sisa satu juta, bukan?"

"Apa kau tau berapa harga beras, minyak, ayam, telor? Enggak 'kan? Atau perlu aku beberkan semua harganya di depanmu, Mas?" 

"Jangan belagu dengan mengatakan jika aku terlalu boros. Sedangkan kau hanya memberiku empat juta! Sungguh dramamu itu, membuat ku ingin menghadiahkan piala nominasi best drama pada keluarga kalian!"

"Jika kamu memberi ku dua puluh juta sebulan, dan saat belum masuk tanggal gajian sudah habis. Itu berarti aku boros!"

"Lha ini! Duit cuma empat juta, tapi permintaan mu udah kayak raja fira'un!"

Mas Yogi melongo, kala aku melayangkan banyak cecaran padanya. Karna yang ia tahu, aku adalah istri pendiam. Padahal yang orang tak tahu, pendiam nya seorang istri, adalah bukti jika hatinya sudah mati. Dan tak lagi bisa kau selamatkan. 

"Kamu kok ngomongnya gitu, Dev?" lirih Mas Yogi. 

Aku menghela nafas perlahan, mencoba mengurai sesak yang sejak lama menghimpit dalam rongga dadaku. Bukan aku terlalu cinta hingga bucin goblok pada Mas Yogi. Namun aku masih mencoba memberi kesempatan pada Mas Yogi agar ia lebih peka dan memperhatikan tiga nyawa yang bergantung dan menjadi tanggung jawabnya. 

"Lalu apa, Mas?" Aku berusaha menimpali perkataan Mas Yogi tanpa emosi, sebab aku sadar jika itu tak akan mengubah apapun. "Saat aku memilih bekerja, kau melarangku. Kau bilang, jika istri punya penghasilan sendiri, ia tak akan lagi bisa menghormati dan menghargai suaminya sebagaimana mestinya. Tapi, saat ku turuti apa kemauanmu. Kau malah justru semakin dzalim pada anak dan istrimu. Lalu? Kau mau aku berbuat apa dan bagaimana?"

"Lebih baik mau kembalikan putriku padaku, Yogi! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!"

"Silahkan! Bawa saja mereka!"

Bab terkait

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 6

    Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. "Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... "Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. "Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang,

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-12
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 7

    "Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. "Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. "Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-20
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 8

    "Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. "Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. "Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. "Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu buk

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-21
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 9

    "Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang-"Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!"Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi su

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-22
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 10

    Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian."Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku. Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti  sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-23
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 11

    "Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-24
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 12

    "Apa maksudmu, hah?"Suara lantang disertai gerakan kasar tangan wanita yang kini berdiri di sisi kiriku, membuat dua wanita lainnya menjadi terdiam. "Bukan maksudku, tapi maksudmu!" jawabku dengan nada tak kalah tegas. Sudah cukup, Devi yang dulu telah mati."Kau melayangkan tuduhan tak berdasar, seolah sengaja membuat aku malu, atau lebih tepatnya sengaja mempermalukan aku, begitu bukan?" "Aku tak mempermalukanmu, tapi kau sendiri yang berbuat seperti itu. Apalagi sebutannya bagi wanita bersuami yang pergi berduaan bersama laki-laki lain?" Pertanyaan bernada sarkas dilayangkan dengan sengaja, yang aku tahu jika itu memang dilakukan untuk membuatku tersudut. "Bener juga sih.. Gak baik lho Mbak Devi, kamu ini 'kan bukan wanita lajang. Gak enak juga diliatnya-""Apa hak kalian mengomentari urusanku?" Dengan cepat aku menyergah ucapan wanita salah satu tetanggaku. "Apa kalian tak punya urusan yang lebih penting selain mengurusi

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-25
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 13

    Dengan masih berdiri tegak, jari telunjukku mengacung dengan tegas ke arah kakak iparku, Mbak Yessi, yang berdiri di sisi kananku.“Kamu lihat itu, Mas!” ucapku dengan nada datar pada suamiku yang terdiam di tengah pertengkaran kami. “Coba bandingkan, cara berpakaian mana yang lebih cocok disebut wanita murahan. Aku atau Kakakmu?”Wajah Mbak Yessi berubah merah padam, matanya mendelik tajam menatapku. Rambut panjangnya tergerai di bahu, pakaian serba mini yang dikenakannya justru menegaskan pernyataanku. Dia bukan mau ke kondangan ataupun manggung, tapi melihat cara berpakaiannya sungguh membuatku muak.“Apa kau sedang menghina aku, begitu?” tanyanya dengan nada emosi yang terasa memanas.Aku tersenyum sinis, menatap kakak iparku dengan pandangan yang tajam.“Jika mau marah, itu berarti Mbak Yessi mengakui bahwa benar cara berpakaiannya lebih cocok disebut murahan. Aku hanya mencari sebuah perbandingan,” jawabku d

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-26

Bab terbaru

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 90

    “Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 89

    “Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 88

    “A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 87

    “Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 86

    Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 85

    Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 84

    “Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 83

    “Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 82

    “Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status