Share

Bab 4

Author: Mami ice bear
last update Last Updated: 2024-05-12 15:09:05

"Ibu?" gumamku, kala terlebih dahulu mengintip dari jendela, siapa yang datang. 

Ku putar handle kunci dua kali dan membuka pintu. 

Ibu mertua menatap tajam padaku yang baru saja membuka pintu, "Kenapa pintunya dikunci?"

Aku mengela nafas perlahan. Jika dulu aku akan gemetar saat mendapat tatapan tajam dan pertanyaan sinis ibu mertua. Namun sekarang tidak lagi, "Gak apa-apa kok,Bu! Aku cuma gak mau ada orang main nyelonong ke dalam rumah. Aku juga butuh privasi."

"Heleh! Privasi.. Privasi.. Tai kucing!" sentak Bu Jubaedah, mertuaku.

"Katakan! Apa yang kau lalukan di dalam, huh?!" tanya wanita itu, lagi.

"Aku" Telunjukku mengacung, menunjuk diriku sendiri.

"Aku gak ngapain kok. Cuma lagi duduk santai aja!" jawabku santai. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh ibu mertua setelah ini. 

Benar saja, mu lihat mata ibu mertua melotot sempurna. Menandakan jika setelah ini akan ada  rentetan kalimat yang meledak. 

"Apa kau bilang? Lagi santai? Gak punya otak kamu, hah?!" Telunjuk ibu mertua terulur dan menunjuk tepat di dahi samping ku. 

Dengan cepat ku genggam jari telunjuk itu dan ku turunkan. "Jangan pernah berani melakukan hal bodoh itu lagi, Bu! Atau kau akan menyesal!"

Ibu mertua terdiam, namun terlihat dari ekspresi wajahnya, menyiratkan jika wanita paruh baya itu terkejut dengan aksi yang ku lakukan. 

Sedetik kemudian, tiba-tiba ekspresinya berubah dan terlihat tenang. "Apa yang kau katakan pada Yogi?"

Alisku bertaut, memikirkan apa yang dimaksudkan oleh ibu mertua. "Apa yang ku katakan?"

Sret! 

Ibu mertua mencengkram lenganku dan membawa ku masuk ke dalam rumah lalu menghempaskannya begitu saja. 

"Kamu itu dijadiiin istri sama Yogi, ya buat ngurusin Yogi. Bukan malah nyuruh-nyuruh si Yogi!" tekan ibu mertua. 

Aku sedikit tersentak kaget, namun kemudian aku mencoba terlihat santai. "Oh jadi Mas Yogi ngadu ceritanya?"

"Mau sampai kapan anak Ibu itu bersembunyi di ketek anda, ibu mertua?" cibirku dengan nada mengejek. 

Deru nafas ibu mertua terdengar berat, rongga dadanya naik turun. "Dasar Mantu kurang ajar!"

Grep! 

"Jangan pernah berani menampar ku, Bu! Atau kau akan tau akibatnya!" Dengan cepat ku cekal tangan Bu Jubaedah yang beberapa inchi lagi mendarat di pipiku. 

"Aww!" pekikku kemudian. 

Ku letakkan tangan ibu mertua di rambutku, dan sengaja membuatnya seperti beliau tengah menarik rambutku. "Lepaskan Devi, Bu. Devi mohon.."

"Heh! Lepaskan tanganmu itu!" teriak ibu mertua. 

Brak! 

"Aw.."

"Yaa Allah Devi.."

Suara pekikan suamiku terdengar, tepat saat aku menjatuhkan diri di lantai. 

Dengan mata berkaca ku tatap wajah Mas Yogi dengan raut wajah sendu. "Mas.."

"Ibu ini apa-apaan sih?!" cecar Mas Yogi yang kini sudah duduk jongkok di sampingku. 

Dengan telaten Mas Yogi menolong ku untuk bangkit dan duduk di sofa ruang tengah. Usai memastikan aku baik-baik saja. Kini Mas Yogi berdiri menghadap ibunya. "Apa salah Devi, Bu? Kenapa ibu sampai tega-"

"Ini tak seperti kamu liat Yogi," sela ibu mertua cepat. Tangannya bergerak menyentuh lengan Mas Yogi namun berkali-kali ditepis dengan keras. 

"Lalu, seperti apa?" tanya Mas Yogi dingin. 

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudah jangan seperti itu. Mungkin Ibu-" ucapku lembut, sengaja seolah menerima perlakuan Bu Jubaedah. Padahal.. 

"Nggak! Ibu sudah keterlalun, Devi! Dia sampai main tangan sama kamu. Dan aku sebagai suamimu tak akan pernah terima." Dengan cepat Mas Yogi membantah. 

Aku sudah bisa menebak itu. Sebenarnya Mas Yogi sangat menyayangi aku, begitu juga sebaliknya. Namun, entah sejak kapan suamiku itu menjadi sangat menyebalkan. 

Mas Yogi langsung menarik nafas panjang, "Ibu, aku tau kalo Ibu tak menyukai Devi. Tapi apa tak bisa, jika Ibu jangan sampai menyakiti Istriku? Bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawabku."

Bu Jubaedah tampak marah, "Maksudmu, kau lebih percaya sama Devi  daripada Ibu begitu? Durhaka kamu Yogi!"

Mas Yogi tampak menggeleng lembut, "Bagaimana aku tak percaya dan memihak pada Devi, Bu? Sedangkan itu semua sudah jelas dan terjadi tepat di depan mataku!"

Melihat wajah lembut anaknya, Bu Jubaedah tidak bisa marah lagi. Aku tahu pasti jika ini adalah akal-akalan ibu mertua. Ia akan menggunakan cara agar Mas Yogi berat kepadanya, dengan bertumpu pada kasih sayang Mas Yogi pada beliau. Dasar nenek lampir! 

"Terserah kamu saja, Yogi. Kamu gak percaya sama Ibu, Ibu terima kok. Sepertinya akan lebih baik kalo Ibu pulang."

Aku hanya bisa mengamati ibu mertua yang pergi dengan wajah sendu. Sedangkan Mas Yogi menatap ibunya dengan perasaan sedikit merasa bersalah. Namun, aku tahu jika Mas Yogi hanya akan percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. 

Malam ini, ketika aku bersama suami dan kedua jagoan kecilku, tengah menikmati makan malam bersama, tiba-tiba pintu rumah terbuka tanpa permisi. Aku memutuskan menyudahi makanku dan beranjak, untuk melihat siapa yang masuk. Hingga tampak Mba Yessi masuk dari arah ruang tamu. Ia datang dengan mata merah.

"Kalian pikir kalian bisa berbuat semena-nena pada Ibu dirumah ini, huh?!" teriak mba Yessi dengan wajah merah karena marah. 

Aku dan Mas Yogi hanya saling pandang. Kami tak bisa berkata banyak, sebab ada Rayyan dan Roni, tak baik bagi mereka jika sampai menonton adegan kekerasan. 

"Rayyan, bisa tolong bawa adek ke kamar? Ajak adek dengerin musik ya," ucapku lembut. Rayyan yang sudah berusia 10 tahun, tentu sudah paham dengan apa yang terjadi. Anak sulungku itu mengangguk dan menggandeng adiknya, kemudian berjalan masuk ke kamar mereka. 

"Ada apa mba?" Kini Mas Yogi sudah bisa dengan bebas berbicara, setelah anak kami masuk ke kamar. Aku dan Mas Yogi sudah berdiri berhadapan dengan mba Yessi, anak sulung Bu Jubaedah, mertuaku. 

"Ada apa kau bilang? Harusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu, Yogi?" cecarnya tak sabaran. 

Alis Mas Yogi mengernyit, ia masih belum paham dengan apa yang terjadi. 

"Bisa-bisanya kamu malah lebih belain Devi dibanding Ibu. Apa hati mu buta? Tak bisa melihat siapa yang benar dan siapa yang penipu? Atau kau ingin menjadi anak durhaka, iya?!" Dengan tangan bertengger di pinggang, kakak dari suamiku itu tampak menatap adik kandungnya dengan amarah yang menggebu. 

"Anak laki-laki sampai kapanpun akan menjadi anak ibunya! Sedangkan istri adalah orang lain yang lain yang kau pungut! Asal kau tahu itu!" teriak mba Yessi kemudian. Jari telunjuknya mengacung tegak, tepat di depan wajahku. 

"Dan kamu Devi!" ucapnya kemudian, "Bisa-bisanya kamu hasut adikku agar membelamu. Dasar Adik Ipar tak tau diri!"

"Aku? Hasut Mas Yogi? Apa gak salah Mba?" Aku tak terima begitu saja akan tuduhan yang dilayangkan Mba Yessi. Hingga aku pun membantah tuduhan tersebut, dengan cara cantik. Dengan nada tegas dan penuh penekanan, aku kembali melanjutkan, "Bukankah kalian yang menghasut Mas Yogi, agar dia hanya memberiku nafkah dua puluh ribu sehari?"

"Hei! Jangan fitnah kamu, ya!" Jari telunjuk mba Yessi kini semakin mengacung tepat menempel di wajahku. 

Dengan kasar ku tepis jari kakak ipar. "Aku tak pernah memfitnah siapapun! Asal Mba tau itu!"

"Buktinya, Ibu sampai nangis-nangis karena ulah kalian!" mba Yessi sepertinya sama sekali tak berniat menurunkan nada bicaranya. 

"Heleh! Ngadunya cuma omong kosong, doang!" cibirku dengan wajah mengejek. 

"Heh! Terserah kau saja Wanita Udik! Lagipula, aku dan Ibuku lebih berhak atas uang Yogi, bukan kau! Karna kami adalah keluarga Yogi, bukan kau, Wanita Udik yang Yogi pungut dan dijadikan istri oleh adikku!"

"Jadi seperti ini, kelakuan kalian?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 5

    Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. "Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. "Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. "Bapak, kok-""Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. "Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di ma

    Last Updated : 2024-05-12
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 6

    Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. "Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... "Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. "Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang,

    Last Updated : 2024-05-12
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 7

    "Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. "Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. "Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi

    Last Updated : 2024-05-20
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 8

    "Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. "Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. "Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. "Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu buk

    Last Updated : 2024-05-21
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 9

    "Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang-"Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!"Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi su

    Last Updated : 2024-05-22
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 10

    Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian."Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku. Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti  sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya.

    Last Updated : 2024-05-23
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 11

    "Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila

    Last Updated : 2024-05-24
  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 12

    "Apa maksudmu, hah?"Suara lantang disertai gerakan kasar tangan wanita yang kini berdiri di sisi kiriku, membuat dua wanita lainnya menjadi terdiam. "Bukan maksudku, tapi maksudmu!" jawabku dengan nada tak kalah tegas. Sudah cukup, Devi yang dulu telah mati."Kau melayangkan tuduhan tak berdasar, seolah sengaja membuat aku malu, atau lebih tepatnya sengaja mempermalukan aku, begitu bukan?" "Aku tak mempermalukanmu, tapi kau sendiri yang berbuat seperti itu. Apalagi sebutannya bagi wanita bersuami yang pergi berduaan bersama laki-laki lain?" Pertanyaan bernada sarkas dilayangkan dengan sengaja, yang aku tahu jika itu memang dilakukan untuk membuatku tersudut. "Bener juga sih.. Gak baik lho Mbak Devi, kamu ini 'kan bukan wanita lajang. Gak enak juga diliatnya-""Apa hak kalian mengomentari urusanku?" Dengan cepat aku menyergah ucapan wanita salah satu tetanggaku. "Apa kalian tak punya urusan yang lebih penting selain mengurusi

    Last Updated : 2024-05-25

Latest chapter

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 97

    “Jadi, Tante Yessi sakit apa?”Roni, bocah delapan tahun itu, akhirnya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Sejak tadi, ia mendengar percakapan yang tak sepenuhnya ia pahami, namun bocah polos tersebut menangkap ada sesuatu yang besar sedang dibahas oleh orang-orang dewasa di ruangan itu.“Ibu... Tante Yessi sakit?” Roni mengulang pertanyaannya, kali ini menatap ibunya, Devi, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.Devi menelan ludah, rasanya kering, seperti ada duri menyangkut di tenggorokannya. Sejujurnya, ia sendiri belum melihat Yessi sejak terakhir kali mereka menemukan wanita itu dalam kondisi memprihatinkan di rumah sakit. Sejak itu, ia lebih memilih menjaga jarak, takut jika keterlibatan emosionalnya kembali menguak luka lama.“Roni, mau nggak nengokin ibuku?” Suara Rossi memotong keheningan, membuat semua perhatian tertuju padanya. Wajah gadis itu terlihat lebih segar, meski tubuhnya masih kurus, membawa sisa-sisa dari beban b

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 96

    "Kenapa kamu takut? Nenek nggak gigit, kok!"Selorohan Jubaedah terdengar canggung di telinga kedua anak Devi. Kata-kata yang seharusnya ringan justru menciptakan suasana yang makin tegang. Ruang tamu kafe yang mereka tempati mendadak sunyi, seolah udara terasa lebih berat.Rayyan meringis, melirik adiknya, Roni, yang mulai beringsut mundur, ekspresi wajahnya menyiratkan rasa cemas yang berusaha ia sembunyikan. Yogi, yang duduk di samping Jubaedah, ikut merasa kikuk. Tatapannya bergantian tertuju pada Jubaedah dan kedua anak laki-lakinya, mencoba mencari celah untuk mencairkan suasana.“Roni, santai aja, Ayah sama Nenek nggak jahat, kok,” Yogi mencoba tersenyum, berusaha meyakinkan.Roni hanya mengerjap, tetap diam, ekspresinya sulit diterjemahkan. Bayang-bayang masa lalu seakan menekan hatinya, menahan mulutnya untuk sekedar menyapa. Dibenaknya masih terlintas kenangan pahit—perkataan kasar, tatapan dingin, dan perlakuan tidak adil yang pernah di

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 95

    “Tapi, Bu…” Roni mengeluh pelan, wajahnya tampak enggan. Kedua matanya menghindari tatapan ibunya, Devi, yang baru saja menyampaikan pesan dari ayah mereka. Devi mendesah panjang, memandang kedua putranya yang masih duduk di hadapannya dengan ekspresi serba salah. Beberapa hari yang lalu, mantan suaminya, Yogi, meminta waktu untuk bertemu dengan anak-anak mereka, yakni Roni dan Rayyan. Namun, ia tahu bahwa membujuk anak-anak, khususnya Roni, bukanlah perkara mudah. “Nak, bagaimanapun juga, dia tetap ayah kandung kalian,” ucap Devi berusaha lembut, meski nada suaranya mulai terasa putus asa. Ada perasaan bersalah yang selalu muncul setiap kali dia mengangkat topik ini. Hatinya teriris melihat bagaimana Roni, putra bungsunya, menunjukkan ekspresi menolak yang begitu kuat. Rayyan, putra sulungnya yang kini berusia sebelas tahun, menghela nafas panjang dan mengangguk pelan. Dia mengerti perasaan ibunya dan tampak lebih tenang darip

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 94

    "Entah kenapa aku malah curiga sama keluarga mantan suamimu itu, Dev..."Suara Siska yang tegas memecah keheningan di ruangan toko bakery yang baru saja dibuka. Devi, yang sejak tadi terlihat melamun, tersentak mendengar kalimat itu. Ia menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya yang seolah melayang-layang entah ke mana. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Yogi, mantan suaminya, namun kata-katanya masih terngiang di kepala. Seperti duri yang tertinggal di luka lama, pertemuan itu membuka kembali ingatan tentang masa lalu yang tak ingin ia ingat.Devi menatap jalanan dari balik kaca toko bakery-nya, memandang kosong pada lalu lalang orang yang tak dikenalnya. Ia tampak letih, seolah banyak beban yang ia pendam sendiri. Pembukaan cabang baru toko roti miliknya dan tanggung jawab mengurus dua anak seorang diri. Hari ini adalah hari besar bagi Devi, namun bayangan masalah keluarga mantan suaminya seolah membayangi setiap langkahnya.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 93

    Suasana yang masih tenang di toko roti milik Devi seketika berubah menjadi penuh kecanggungan. Ruangan itu terasa lebih sesak meskipun hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk memilih kue di sudut ruangan. Devi sedang membantu Siska, sahabatnya, menyusun kue ke dalam etalase. Seolah Siska adalah pemilik toko tersebut, padahal justru sebaliknya. Mereka berbagi percakapan ringan tentang jenis kue yang baru tiba pagi itu.“Aku lebih baik membicarakan roti yang wangi ini, daripada membicarakan orang-orang yang masih ada hubungannya dengan keluarga mantan suamimu itu,” ucap Siska ditengah perbincangan. Namun, ketenangan itu mendadak pudar ketika pintu toko bakery berderit pelan, diikuti oleh langkah kaki seseorang yang masuk ke dalam. Devi berhenti bergerak, menatap sosok yang tidak asing itu. Berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu namun mantap, dia adalah Yogi, mantan suaminya. Untuk sesaat, Devi tertegun, seperti sedang berusaha memastikan apakah dirinya

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 92

    “Bu Lilis, tolong, saya butuh penjelasan!” Devi menatap Lilis dengan pandangan memohon, sementara jemarinya tetap menggenggam lengan wanita itu erat.Lilis mengalihkan pandangan, wajahnya tampak resah. “Aku… aku sudah katakan, bukan. Kukatakan sekali lagi, Lisa meninggal karena overdosis!”“Jika hanya karena alasan kematian Lisa. Itu bukan alasan cukup untuk lari seperti pecundang, Bu!” Devi membalas, nada suaranya mulai meninggi. “Kalau memang Ibu tidak bersalah, kenapa harus takut? Apa ada hal lain yang Ibu sembunyikan?”“Devi, tolong jangan paksa aku…” Lilis mencoba menarik diri, tapi tangan Devi lebih kuat.“Tidak, Bu Lilis! Ibu tidak boleh lari dari semua ini. Lisa meninggal dengan kondisi yang… aneh. Semua orang membicarakan dia, dan jangan sampai mereka justru menuduh Ibu kalau Ibu lari seperti ini. Jika Ibu benar-benar peduli pada mendiang Lisa, jelaskan semuanya!” Devi menatap tajam, mencoba menahan rasa frustasi.Lilis

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 91

    Devi tertegun, matanya membulat tak percaya ketika mendengar penuturan wanita paruh baya yang bertugas memandikan jenazah Lisa.“A-apa? Kenapa bisa sampai separah itu?” tanyanya dengan suara bergetar, mencoba mencerna kenyataan tragis yang disampaikan kepadanya.Wanita paruh baya di depannya, yang mengenakan kerudung lusuh, hanya bisa menggeleng pelan. “Saya juga kurang paham, Mbak Devi. Tapi, saat kami memandikan almarhumah… ya, memang kondisinya sudah begitu.” Suaranya bergetar, seakan-akan kata-kata itu membuatnya ngeri mengingat kembali apa yang ia lihat.Devi menutup mulutnya dengan tangan gemetar, seolah-olah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba menghantam dadanya. Matanya berair, dan ia mencoba membayangkan kondisi Lisa di akhir hidupnya. Bagaimana mungkin mantan adik madunya mengalami akhir yang begitu menyedihkan?“Sa-saya… saya tak bisa berkata-kata…” ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Di sisi Devi, Bu RT yang ikut mendengar penuturan tersebut terlihat terkejut.

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 90

    “Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku

  • Maaf, Aku Memilih Mundur   Bab 89

    “Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status