"Devi!" Kali ini suara Mas Yogi makin keras. Bahkan ia sampai menyudahi sarapan paginya dan berlalu bangkit mendekat ke arahku.
Sret! Lengan kanan ku dicekal kuat oleh Mas Yogi, membuat ku meringis ngilu dibuatnya. "Kalo suami lagi ngomong itu didengerin! Bukan malah ditinggal pergi!" "Sshh, sakit Mas!" keluhku merintih seraya meronta. Ku genggam tangan Mas Yogi yang masih mencekal lengan kananku. Mataku menatap nanar laki-laki yang selama ini bahkan tak pernah sama sekali berlaku kasar padaku. Meski tingkahnya sungguh sangat menyebalkan. "Ma-maaf, Dev. Mas gak sengaja.." lirihnya menyesal. Terlihat jelas tatapan matanya yang berkaca. Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengurai sesak atas perlakuan suamiku pagi ini. "Ini sudah siang, Mas! Aku harus mengantar anak-anak ke sekolah!" Aku mencoba menjelaskan mengapa terlihat ingin menghindar. Berharap jika Mas Yogi mengerti. "Kamu cukup jawab aja Devi. Kamu beneran masak cuma segitu?" Kini Mas Yogi mulai menurunkan nada bicaranya. Tanpa kami sadari, ada sepasang mata yang mengintip apa yang terjadi di dapur, yang hanya dibatasi lemari bufet setengah badan. "Bukankah sudah ku katakan sejak tadi, Mas. Aku hanya memasak untuk empat porsi." Kembali ku jelaskan apa yang sudah ku katakan sejak tadi. "Tapi kan, biasanya-" "Biasanya apa, Mas? Biasanya Ibu dan Kakakmu serta Ponakan tersayangmu mu itu ikut numpang sarapan disini, begitu?" Sengaja ku potong kalimat Mas Yogi. Mata Mas Yogi mendelik sempurna, aku tahu jika ia tak akan suka dengan apa yang ku katakan. Sebab ia bahkan lebih memilih aku dan anakku kelaparan hanya demi menuruti permintaan Mba Yesi yang mengidam martabak. "Ibu dan Kakakmu itu orang dewasa, mereka juga bisa masak. Lalu kenapa mereka gak masak sendiri?" protesku. Memang benar, setiap pagi selama sebelas tahun, keluarga benalu itu selalu menumpang sarapan di rumahku. Tentu saja itu memangkas uang jatah belanja yang diberikan Mas Yogi setiap harinya. "Mana sempet Devi! Yesi ngurus si Bella tiap pagi!" Bukan suara Mas Yogi yang ku dengar melainkan ibu mertuaku. Namun kemudian dengan cepat ku jawab, "Lalu apa bedanya dengan ku, Bu? Anakku bahkan dua. Belum lagi mengurus Mas Yogi, yang hanya perkara mandi lupa bawa handuk atau sabun saja, teriak-teriak sampai satu RT aja denger!" "Devi!" Mas Yogi rupanya tak terima dengan apa yang ku katakan. "Apa Mas? Aku hanya mengatakan kebenaran sesuai dengan kenyataan!" "Lagi pula, jika aku hanya memasak untuk keluarga kecil kita. Aku rasa uang jatah harian darimu yang minimalis itu pasti bakal cukup," ucapku kemudian. Bu Jubaidah segera bangkit dan mendekat ke arah kami. "Apa kau ingin itung-itungan, hah?! Kau tau biaya untuk membesarkan dan menyekolahkan Yogi itu lebih dari apa yang kamu sebutkan itu! Kamu itu harusnya merasa beruntung, terlahir sebagai gadis kampung yang naik pangkat karena diperistri oleh Yogi! Ini bukannya bersyukur malah durhaka sama suami dan mertua. Kau menikmati hasil jerih payah anakku, dan aku tak mempersoalkan. Padahal seharusnya akulah yang-" "Bersyukur kata Ibu? Aku beruntung begitu? Heh! Kalo saja bulan bisa ngomong, dia pasti bakal bersaksi. Jika disini, aku itu lebih mirip pembantu dibandingkan seorang istri!" Ku langkahkan kaki dengan kesal, meninggalkan ibu dan anak itu. Huh, bersyukur konon! *** "Aku berangkat dulu ya, Dev!" ucap Mas Yogi usai mengelap motor sport kebanggaannya. Motor yang dibeli hasil dari menjual kebun milik orang tuaku di kampung. "Iya, Mas.." Aku yang tengah menyiram beberapa tanaman cabai di kebun mini depan rumah segera beranjak. Ku cium punggung tangan lelaki halalku, kemudian aku menyadongkan tangan tepat di depannya. Membuat alisnya seketika bertaut. "Apa?" "Beras, sabun, dan minyak di rumah habis!" ujarku tanpa jeda. "Ck! Giliran begini, gercep banget kamu!" keluhnya namun tetap saja tangannya bergerak mengambil dompet di saku belakangnya. "Nih!" Mataku mendelik saat tau lembaran hijau yang disodorkan oleh suamiku. "Duit segini dapet apaan mas?" "Dapet lah itu, jangan boros-boros Devi. Kita harus nabung untuk masa depan!" kelit Mas Yogi. Sret! Plak! Ku tarik tangan kanan suami ku dan meletakkan kembali lembaran uang dua puluh ribu itu ke atas telapak tangannya. "Kalo memang cukup, maka buktikan!" Dengan wajah bingung, Mas Yogi kembali melayangkan pertanyaan, "Hah? Gimana maksudnya?" "Saat istirahat siang nanti, Mas mampir belanja ke warung dan beli tiga barang yang aku sebutkan tadi!" titah ku dengan tegas. "Kamu itu gimana sih, Dev? Biasanya juga cukup kok. Kenapa sekarang kamu protes?" "Itu kan biasa, tapi kali ini luar biasa. Kamu beli itu, atau besok, kamu gak akan makan! Karna beras di rumah bener-bener habis!" Tanpa menunggu jawaban Mas Yogi, aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih termangu kebingungan. Jika dulu uang dua puluh ribu, ku cukupkan untuk sehari, bahkan aku dan anak-anak rela makan hanya dengan sayur bening berlaukkan kerupuk. Itu semua demi agar Mas Yogi bisa makan ayam. Tapi tidak untuk sekarang, aku tak mau lagi kau bodohi, Mas! "Hallo. Oh tentu saja boleh, kenapa tidak? Baiklah saya tunggu ya.." Ku akhiri panggilan telpon masuk di ponselku. Tak ku dengar suara deru motor Mas Yogi, itu artinya laki-laki itu sudah pergi. Ahh, ingin sekali aku melihat ekspresi wajahnya saat pergi membeli barang yang ku mau dengan uang dua puluh ribu itu. Rasakan kau, Mas! Dengan senyum tipis aku memasukan ponsel itu kedalam saku daster. "Bersiaplah menemui Devi versi baru, Mas!" "Devi.. Devi.. Keluar kau!""Ibu?" gumamku, kala terlebih dahulu mengintip dari jendela, siapa yang datang. Ku putar handle kunci dua kali dan membuka pintu. Ibu mertua menatap tajam padaku yang baru saja membuka pintu, "Kenapa pintunya dikunci?"Aku mengela nafas perlahan. Jika dulu aku akan gemetar saat mendapat tatapan tajam dan pertanyaan sinis ibu mertua. Namun sekarang tidak lagi, "Gak apa-apa kok,Bu! Aku cuma gak mau ada orang main nyelonong ke dalam rumah. Aku juga butuh privasi.""Heleh! Privasi.. Privasi.. Tai kucing!" sentak Bu Jubaedah, mertuaku."Katakan! Apa yang kau lalukan di dalam, huh?!" tanya wanita itu, lagi."Aku" Telunjukku mengacung, menunjuk diriku sendiri."Aku gak ngapain kok. Cuma lagi duduk santai aja!" jawabku santai. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh ibu mertua setelah ini. Benar saja, mu lihat mata ibu mertua melotot sempurna. Menandakan jika setelah ini akan ada rentetan kalimat yang meledak. "Apa kau bilang? Lagi santai? Gak punya otak kamu, hah?!" Telunjuk
Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. "Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. "Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. "Bapak, kok-""Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. "Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di ma
Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. "Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... "Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. "Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang,
"Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. "Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. "Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi
"Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. "Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. "Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. "Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu buk
"Berikan aku bukti yang Ibu punya, atas tuduhan perselingkuhan yang sama sekali tak ku lakukan!"Aku menatap ibu mertua dengan tatapan nanar. Makhluk yang sehari-hari selalu merecoki apapun yang ku lakukan. Selama ini, aku berusaha tetap sabar untuk mencari tahu mengapa ibu mertua bisa betah membenci diriku. Hingga semua yang ku lakukan akan terlihat salah di matanya. Sebuah pertanyaan yang kuajukan karena aku merasa heran setelah 11 tahun, rasa benci ibu mertua terasa masih tetap sama, seolah memang sengaja dipupuk. Kenapa harus memberkan restu, jika memang-"Kamu pengen tau, Devi? Boleh saja!" jawab Bu Jubaedah dengan suara tinggi dan berisik. "Aku merestui pernikahanmu karena waktu itu aku dipaksa oleh Yogi. Dan tau apa alasannya? Karena dia bilang kamu hamil!"Kupalingkan wajahku ke arah ibu mertua dengan ekspresi yang terkejut. Sejak kapan aku hamil? Aku benar-benar bingung dengan alasannya. Ketika itu aku dan Mas Yogi su
Ku remas pipi kiriku, dimana tangan ibu mertua baru saja mendarat dengan keras disana. Merasakan rasa sakit yang tak bisa dipungkiri. Mataku menatap tajam ibu dari Mas Yogi, Bu Jubaedah, yang masih memandang dengan penuh kebencian."Apakah semua ini hanya untuk memuaskan rasa benci Ibu padaku?" tanyaku dengan suara yang terdengar parau. Rasa sakit di hati ini tak sebanding saat sebelum aku mengetahui fakta tentang kebencian ibu mertua pada kedua anakku, berimbas karena kebencian ibu mertua padaku. Ibu mertua hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Wanita udik sepertimu, berani merendahkan putri kesayanganku? Tentu aku takkan pernah membiarkan itu terjadi!" ucap Bu Jubaedah dengan suara lirih, namun penuh bada penekanan. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Aku tahu, ibu mertua pasti akan merasa menang dan tak akan berhenti sebelum aku sampai lada titik terpuruk dalam penderitaan yang dibuat olehnya.
"Hotel ini sangat indah!"Mataku tak henti-hentinya menyisir setiap sudut bangunan berlantai tujuh tersebut, menikmati pemandangan yang sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku terus berdecak kagum saat kami melangkah memasuki lobi hotel yang megah. Langit-langit yang tinggi, lukisan dinding yang artistik, dan lantai marmer yang mengkilap mencerminkan kemewahan hotel ini."Kau akan melihat sesuatu yang akan menambah suasana hatimu itu, Devi," ucap Pak Arya sembari tersenyum padaku.Aku merasa beruntung bisa pergi bersama Pak Arya menuju ke seminar yang ada di hotel ini, di mana akan dibahas mengenai segala hal yang kini tengah ku tekuni.Kami berjalan menyusuri koridor hotel yang dipenuhi dengan hiasan bunga dan lukisan indah di dinding. Cahaya yang temaram dari lampu gantung menambah suasana yang tenang dan damai. Aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kehidupan sehari-hari yang penuh kesibukan dan kebisingan."Sila
“Li-lisa?”Handoko tergagap, tubuhnya kaku. Berita yang baru saja dikatakan oleh Devi membuat dirinya tak bisa berfikir jernih. Hingga beberapa saat kemudian… “Kapan, Devi? Dan.. darimana kamu tau kabar itu?” ucap Handoko lagi. “Mas Handoko… beneran gak tau kabar terakhir Lisa?”Suara Devi lirih namun tegas, menusuk di antara deru langkah mereka di koridor rumah sakit.“Aku bahkan tak tau apa-apa, Devi.”Jawaban Handoko terdengar datar, hampir tak terdengar, namun ia menatap Devi dengan tatapan tajam. “Aku memang meninggalkan dia tadi pagi, tapi.. Saat itu dia masih…”“Soal itu…”Devi berhenti sejenak, menarik napas, seolah-olah menunggu kata-katanya diserap penuh oleh Handoko. “Dia baru saja ditemukan tidak bernyawa, sekitar satu jam lalu.”Handoko membeku. Sorot matanya berubah, seolah kata-kata Devi baru saja menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini ia hindari. “Kamu serius?”Devi mengangguk pelan. “Aku
“Kapan kejadiannya?” tanya Devi dengan nada khawatir. “Baru tadi sore, Mbak. Kemungkinan kami akan mengurusnya besok…” ucap seseorang dari seberang sana. Devi menganggukkan kepala, meski lawan bicaranya tak akan melihat apa yang ia lakukan. Sebuah ponsel masih menempel di telinga kanan Devi. Mantan istri dari Yogi tersebut tampak serius mendengarkan apa yang diucapkan oleh sosok nan jauh disana. “Kami bingung harus mengabari siapa dan kemana. Jadi, aku memutuskan mengabari Mbak Devi. Meski aku tau, mereka nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak…”“Ya sudah tak apa,” ucap Devi, merespon lawan bicaranya. Namun, manik mata wanita itu tampak melirik sekilas ke arah mantan kakak iparnya. “Aku tak bisa menjanjikan apapun, tapi aku akan mengusahakannya. Aku tau apa yang bisa kulakukan.”“Makasih ya, sudah mengabariku,” imbuh Devi yang kemudian langsung dijawab oleh sosok di seberang sana. Berikutnya, wanita berambut panjang itu segera
“A-apa? Siapa tadi namanya?”Devi tergagap, dan langsung menoleh ke arah Handoko. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar. Akan tetapi.. “Dok, tolong katakan sekali lagi. Apakah tadi Anda mengatakan jika pasien di kamar ujung itu bernama Yessi?”Dokter tersebut menoleh seketika, wajahnya menunjukkan keengganan yang samar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Benar. Beliau memang Yessi.”Devi nyaris limbung, sementara Handoko tak bisa mengalihkan pandangan dari dokter itu.“Kami ingin bertemu dokter yang merawatnya, apakah bisa?” kata Handoko, suaranya nyaris berbisik namun berisi kepastian yang tidak terbantahkan.Dokter tersebut menatap keduanya, lalu menghela nafas pendek. “Baiklah, saya akan mengatur agar kalian bisa berbicara dengannya. Semoga saja jadwal tidak terlalu padat.”“Tapi, apa kalian mengenal pasien itu?” Baru saja selesai mengatupkan mulutnya. Pria berjas putih tersebut kembali bersuara. Dan langsung dibalas anggukan kepala oleh Devi dan Handoko. Kemudian, Devi
“Semoga Rossi baik-baik saja…”Gumaman Handoko terdengar lirih.Devi dan Handoko masih terdiam, duduk di bangku panjang ruang tunggu rumah sakit dengan pikiran berkecamuk. Mereka belum mendapat kabar dari dokter tentang kondisi Rossi, dan ketegangan di antara mereka semakin terasa. Suara bising dari pasien yang melintas, serta langkah-langkah terburu-buru para perawat yang sibuk, membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Devi menatap lurus ke lantai, sementara Handoko memegang tangan Aurora dengan erat, berusaha mencari ketenangan.Seketika, sebuah suara dari ujung lorong menarik, lagi-lagi berhasil perhatian mereka. Suara erangan seorang wanita, kembali sangat jelas meski teredam dari balik pintu. Devi dan Handoko saling berpandangan, ekspresi bingung terlukis di wajah mereka.“Mas Handoko dengar suara itu?” bisik Devi, suaranya hampir tenggelam di antara suara lain di sekitarnya.Handoko mengangguk pelan. “Iya. Suaranya sangat k
Devi merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tetesan keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat Siska mendekat dengan wajah yang tak kalah tegang. Rossi, yang berada di ujung jembatan, tampak semakin tersudut, seperti seekor binatang yang siap menerkam siapa pun yang mendekat. Nafas Devi semakin berat, tetapi dia tetap berusaha menjaga suaranya tetap tenang, penuh tekad meski di dalam hatinya, dia dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.“Siska, aku tak tahu lagi harus gimana,” ucap Devi dengan suara bergetar, berusaha keras untuk tidak memicu kepanikan di dalam dirinya. “Rossi makin sulit dikendalikan.”Siska mengangguk cepat, pandangannya tajam, meski jelas ada ketakutan di balik matanya. Dia lalu berjongkok beberapa meter dari tempat Rossi berdiri. Gerakannya sangat hati-hati, seperti sedang mendekati kaca yang siap pecah kapan saja.“Rossi, dengerin Tante. Kita semua di sini buat kamu,” kata Siska pelan, berusaha menenangkan. “Kami n
Rossi berlari secepat mungkin, kakinya menjejak tanah keras di halaman yang sempit. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi yang jelas gadis itu benar-benar tidak ingin berada di sana. Pikirannya kacau, marah, kecewa, dan benci semuanya melebur, kemudian berbaur menjadi satu.“Rossi!” teriak Handoko sekali lagi, kali ini dengan nada putus asa. Pria itu mencoba mengejar, tapi sosok bocah mungil yang masih ada dalam gendongan, membuatnya tak bisa bergerak lebih cepat. Sementara disisi lain, Devi dan Siska segera melangkah keluar rumah. Wajah dua wanita cantik itu penuh kecemasan.“Biar aku yang kejar,” ujar Devi cepat, melepaskan diri dari genggaman Siska yang hendak menahannya.“Devi, tunggu!” Siska memanggil sang sahabat, tapi Devi sudah berlari mengikuti Rossi, keponakannya. “Aku tak boleh membiarkan gadis itu sampai kenapa-napa,” ucap Devi bergumam. Kakinya masih terus terayun, diiringi suara deru nafasnya yang kian memberat. Sepatu heels 5cm yang ia kenakan, semakin membuat wani
“Bu-”Devi terus berusaha menenangkan mantan ibu mertuanya. Bersama dengan Siska ia terus melakukan negosiasi, namun nyatanya itu sama sekali tak berhasil. Hingga tak lama setelah itu, suasana semakin tegang, dan Handoko yang dari tadi hanya diam akhirnya angkat suara. “Bu Jubaedah, saya hanya ingin bertemu dengan Rossi. Sebagai ayahnya, saya punya hak untuk tahu di mana dia berada.”Jubaedah mendengus marah, matanya menyipit saat menatap mantan menantunya. “Ayahnya? Setelah semua yang kau lakukan, kau masih berani menyebut dirimu ‘ayah’? Kau baru datang sekarang, tapi di mana kau selama ini ketika anakmu butuh dukungan?”Handoko terdiam, tak bisa membalas. Rasa bersalah menyelimuti dirinya.Devi, yang melihat keadaan semakin memanas, melangkah maju. “Bu, tolong. Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Rossi kabur, dan Ibu tentu tahu jika dia sedang tidak dalam kondisi baik. Kalau dia memang ada di sini, biarkan kami menemuinya. Kami h
“Kabur? Siapa yang kabur, Dev?” Pertanyaan pertama meluncur dari mulut Handoko. Devi tak menjawab, namun gerakan tubuhnya mengisyaratkan, jika wanita itu akan beranjak dari tempatnya kini. “Mas Handoko, setelah ini mau kemana?” Setelah meraih tasnya, Devi menoleh pada mantan kakak iparnya dan bertanya arah serta tujuan pria itu. Namun, gelengan kepala dari Handoko menjawab pertanyaan Devi dengan segera. Hingga detik berikutnya, wanita berambut panjang itu kembali bersuara, “Kalau begitu, akan lebih baik jika Mas Handoko pergi bersama kami.”Usai mengatakan hal tersebut, Devi mengayunkan kakinya menuju ke arah pintu keluar cafe tersebut. Tak hanya itu, dua orang lainnya tampak berjalan mengekor di belakang mantan istri dari Yogi itu. “Kok bisa dia kabur, sih?” tanya Devi yang kini sudah duduk di kursi belakang sebuah mobil. Sementara di sisi kanannya ada seorang wanita cantik yang amat dikenal oleh Devi. Sambil mengangkat kedua bahunya, wanita itu pun menjawab, “Mana aku tau Dev
“Aku tak pernah ingin menjauhkanmu dari ibumu. Tapi-”“Arrghh …,” pekik seseorang yang tanpa sengaja bertabrakan dengan sosok laki-laki yang kini tengah menggendong seorang balita. “Maaf, maaf. Maaf karna saya kurang memperhatikan jalan,” ucap sosok tersebut sambil menundukkan kepalanya berkali-kali. “Devi?”Mendengar suara sosok yang ia tabrak, sontak membuat wanita yang ternyata adalah Devi itu menegakkan kepalanya. “Mas Handoko?” jawabnya. “Beneran Devi tho? Aku pikir salah orang, soalnya suara kamu familiar banget, tapi-”“Tapi apa, Mas?” tanya Devi saat Handoko, mantan kakak iparnya, tampak menggantungkan kalimatnya. Handoko yang masih membawa Aurora yang tampak terlelap dalam gendongannya itu, segera memindai mantan adik iparnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Kamu, agak beda dari terakhir kali aku liat,” jawab Handoko sedikit memelankan nada suaranyaDevi tersenyum, tentu wanita itu mengerti apa maksud dari ucapan mantan kakak iparnya tersebut. “Disini panas, Mas. K