“Aku Lilis, ibumu!”“Tunggu! Budhe jangan ngaku-ngaku, ya! Ibuku ya Ibu Mira!” sanggah Lisa dengan tak percaya.Bagaimana mungkin sosok wanita yang biasa ia panggil Budhe, kini justru mengakui jika dirinya adalah ibu kandung dari Lisa.“Apa kau tak percaya padaku?” Tanya wanita bernama Lilis tersebut.Di tangannya sudah ada sebuah tas besar yang tampak usang. Terlihat dari warnanya yang sudah pudar dan beberapa sobekan di bagian sisi kanan dan kirinya.Lisa yang saat itu tengah berjemur bersama Aurora kecil, sontak merasa bingung. Bukan ia tak mengenali wanita itu. Namun, ia tak bisa mempercayai begitu saja, apa yang dikatakan oleh Lilis. “Maaf, Budhe. Gimana Lisa bisa percaya. Sementara yang Lisa tau, Ibu Mira dan Ayah Joko adalah orang tua Lisa. Lagipula sejak kecil, Lisa mengenal Budhe sebagai kakak perempuan Ibu.” Bruk!Lilis meletakkan begitu saja tas usang miliknya di atas ubin cor di depan gerbang rumah Yogi. Kemudian, dengan menggunakan kedua tangannya, Lilis menggenggam erat
“Cepat ambilkan segelas air!” “Ogah! Ambil aja sendiri!” jawab Yessi acuh. Wanita itu terlihat tak peduli akan kondisi Lilis yang masih tampak kesakitan.Lisa bangkit dari posisinya dan langsung melangkah ke arah sang kakak ipar yang masih duduk santai menikmati roti. “Jika kau tak ingin membantu, lalu apa fungsimu di rumah ini? Dasar manusia sam-pah!” Wanita berambut pirang itu sudah benar-benar jengah pada istri pertama Handoko tersebut. Tak ada satupun kebaikan yang bisa membuatnya harus mempertahankan kehadiran Yessi di rumah itu, akan tetapi …“Jika bukan karena permintaan Ibu, maka aku sudah pasti akan mendepakmu dari sini!” desis Lisa geram. Namun, gertakan itu seolah tak berarti apa-apa di mata Yessi. Hingga masih dengan ekspresi santai, wanita itu kembali menimpali, “Silahkan saja kau lakukan jika bisa!”“Aku tak takut. Baik padamu, wanita ib-lis itu maupun pada laki-laki breng-sek bernama Handoko itu!” imbuh Yessi.Lisa semakin mengayunkan kaki, mendekat ke arah Yessi dan
“Hei! Mau kau bawa kemana itu semua?! Lepas!”Suara pekikan menggema di rumah bercat putih tersebut.“Pergi kalian dari sini, dan jangan kembali lagi! Ingat ini, jangan pernah injakan kaki kalian di rumah ini lagi!” usir Lisa pada Yessi. Bukan hanya Yessi, ia bahkan turut mengusir Jubaedah dan Yogi.Bruk!Tanpa diduga, bukannya pergi, Jubaedah justru malah bersimpuh dan memohon tepat di kaki Lisa. “Ibu mohon Lisa, jangan usir kami.”“Apa kamu lupa, kalo Yogi masih suami sah kamu?” bujuk Jubaedah pada menantunya tersebut.Lisa tak langsung menanggapi apa yang dikatakan ibu mertuanya. Namun, senyum miring tersungging di bibir merah wanita itu. Bahkan, raut wajah wanita itu terlihat jelas, tengah meremehkan ibu dari Yogi dan Yessi. “Suami sah?” Tanyanya sinis.“Suami yang tercatat secara hukum, begitu bukan maksudnya?” Lisa tampak menggantungkan kalimatnya. Dengan tangan bersilang di dada, wanita itu akhirnya kembali bersuara. “Tapi, seorang laki-laki yang tidak memberikan nafkah selama
“Jaga ucapanmu itu!”“Kenapa? Marah? He he he … Bukankah tadi, yang mengatakan tentang karma adalah kau, suamiku?!” Yessi melingkarkan tangannya di depan dada. Ia tahu, jika sebenarnya dirinya telah kalah oleh keadaan. Akan tetapi, wanita itu memilih untuk tidak mau mengakui kekalahannya tersebut. “Apa kau pikir, laki-laki di dunia ini hanya kau seorang Mas Handoko ku tersayang?” sinis Yessi yang kini menatap tajam ke arah sang suami. “Dan kau! Gun-dik si-alan!” Jari telunjuk anak sulung Jubaedah itu mengacung sempurna ke arah wanita yang kini berdiri santai di samping kiri suaminya. Cemburu? Tentu saja. Yessi sebenarnya masih amat mencintai Handoko. Meski Handoko mulai lalai dengan tanggung jawabnya memberikan nafkah pada dirinya dan Rossi. Namun bagi Yessi. Handoko tetaplah ayah dan suami yang selalu mereka rindukan kehadirannya. “Akan ku pastikan, jika kehidupanmu setelah ini, tidak akan pernah damai. Itu sumpah ku, seorang istri yang suaminya kau rebut!” ucap Yessi dengan l
“Lho, ternyata si Yogi gi-la?”“Oalah… pantesan gak pernah keliatan, ternyata oh ternyata ….”Bisik-bisik tetangga Yogi tentu terdengar sampai ke telinga Yessi. Memang jarak antara mereka hanya dua meter saja. Hingga ucapan tetangga Yogi itu masih bisa memungkinkan putri sulung Jubaedah tersebut mendengar semua yang dikatakan. Sebab, mereka sebenarnya bukan berbisik, melainkan hanya sedikit menurunkan nada suara. “Diam kalian! Siapa yang kalian sebut gi-la, hah?!” bentak Yessi diiringi tatapan tajam dan mematikan. Mereka sontak menyunggingkan senyum remeh pada wanita berpakaian se-xy tersebut. Namun, hal yang sama tak ditampilkan oleh Rani, menantu simbok pemilik warung di ujung jalan. “Halah! Gak usah coba mengelak deh, Yess! Kita denger kok apa yang dikatakan Ibu tua itu. Kalo Yogi itu gi-la!” bela salah satu dari mereka yang memang tak merasa bersalah. Terlebih, sosok tersebut tampak sedikit menekan nada bicaranya, kala menyebutkan kata ‘gi-la’ itu. “Pppffttt ….”Bukan menangga
“Baiklah, nanti Ibu kirimkan. Kalian baik-baik disana, ya ….”“Permisi, Mbak. Apa saya bisa … lho Mbak? Kamu-”Devi menoleh, kala mendengar sebuah suara yang berasal dari sisi kanannya. Dengan telepon genggam yang masih menempel di telinga. Ibu dua anak itu memutar badan, menghadap pada sosok wanita berhijab di sampingnya. Namun saat menoleh, sosok tersebut sepertinya mengenal Devi, akan tetapi …“Kamu ….”Devi memutar otak. Mencoba mengingat sesuatu. Sebab, sosok wanita cantik dengan hijab hitam itu tampak familiar baginya. Hingga suara dari sosok di hadapannya kembali terdengar. “Mbak Devi, kan?”Dengan alis bertaut, Devi menganggukkan kepalanya perlahan. Tangan kanannya yang masih memegang sebungkus roti, kemudian terulur, meletakkan roti tersebut pada tempatnya. Sedangkan tangan kiri yang masih memegang ponsel, dengan sigap memasukan ponsel itu di saku celananya. Devi tampak ragu, terlihat jelas dari sorot matanya yang tampak teduh dengan raut wajah penuh tanda tanya. Namun, den
“Aku bawa kabar terpanas dan teraktual buat kamu!”“Ck! Udah kaya host acara gosip aja nih Bu Bos!” seloroh Devi diiringi suara cekikikan. Hal itu sukses membuat wanita yang dipanggil ‘Bu Bos’ tersebut merungut dengan bibir yang dimajukan seperti bebek. “Ish! Kamu itu bener-bener! Sendirinya juga bos. Tapi ngatain orang lain!”Devi hanya tersenyum geli kala mendengar rutukan yang keluar dari bibir berpoles lipstik berwarna nude tersebut. “Ini adalah definisi bos yang bekerja pada bosnya. Ha ha ha ….”Tawa renyah mantan istri Yogi itu mampu membius siapapun yang mendengar. Termasuk Rani yang kini masih duduk anteng sambil memperhatikan interaksi dua wanita cantik di hadapannya. “Halah! Kamunya aja, udah jadi bos tapi masih gak mau resign,” ucap wanita berambut panjang pendek yang ternyata adalah Siska, sahabat karib Devi sejak zaman kuliah.Devi melayangkan senyum manis, kala mendengar cibiran yang dilayangkan sang sahabat. Dengan enteng, wanita berambut panjang itu pun kembali menim
“Jangan asal ngomong kamu, Sis! Pamali!” “Pamali udah ma-ti adanya bumali! Noh yang rumahnya di gang sebelah!” sarkas Siska, menjawab ucapan sang sahabat. Degh! Jantung Devi terasa berhenti seketika. Kalimat yang dilontarkan oleh sahabatnya, Siska. Terngiang jelas di telinga. Mencoba menampik dan tak percaya akan hal itu, tapi ia sendiri tahu persis. Jika Siska tak mungkin asal bicara. ‘Mungkin yang gi-la kamu, bukan Yogi. Apa maksudnya?’ batin Devi bertanya-tanya. “Tanyakan pada dia! Bukankah Rani ini satu RT sama keluarga mantan suamimu. Dia pasti tau sesuatu.” Kini Siska menoleh ke arah wanita berhijab yang masih diam tak bersuara. ‘Benar juga, bukankah-’ Devi tak banyak bicara, sebab batin dan pikirannya sibuk sendiri. Namun, gerakan kepalanya mengikuti ke arah dimana fokus Siska masih tertuju. “Ran?” Hanya satu kata itulah yang bisa Devi ucapkan. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian dua sahabat tersebut, kini perlahan mendongak kemudian menatap manik mat