"Mengapa lo harus membunuhnya?" Aksa menarik kerah baju milik Bara. Membawa tubuh remaja jangkung yang ada di depannya itu untuk datang mendekat padanya. Tatapan itu tak mau lagi di ajak bersahabat, Aksa menatap rajam paras tampan milik Bara. Bahkan sampai sekarang ini, setelah bertahun-tahun berlalu, remaja jangkung ini tak pernah sadar sedikit pun. Dirinya membuat pengakuan dengan ekspresi wajahnya yang menyebalkan. Bahkan sesekali, senyum itu datang mengiringi tatapan matanya yang penuh kedamaian. Ia sudah membunuh seorang gadis tak bersalah, lantas hatinya itu tak pernah merasa aneh juga bersalah! Sekarang Aksa tahu, Bara bukan manusia. Remaja bodoh ini bahkan sudah punya gen psikopat yang mengalir di dalam dirinya.
"Karena dia gadis yang menyebalkan. Tara selalu saja merengek dan mengeluh pasal kehamilannya. Saat gue bertanya siapa yang sudah melakukan itu padanya ... gadis itu menyebutkan nama kakak angkat gue. Lo tau, Aksa? Gue mencintai gadis itu,
Embusan bayu membelai lembut setiap inci bagian tubuh dua remaja yang memutuskan untuk tidak kembali ke dalam kelas siang ini. Bel sekolah nyaring dibunyikan menandakan bahwa semua harus kembali ke dalam kelasnya selepas menjalani waktu jeda dalam beberapa menit berjalan. Aksa menyelesaikan hukumannya, tidak semua. Ia 'membayar uang' muka untuk membebaskan dirinya siang ini. Katanya, Aksa berjanji akan menyelesaikan hukumannya besok pagi. Ia sudah menyelesaikan 500 kalimat untuk menulis permohonan maaf atas apa yang dilakukan dirinya pada Bara sebelumnya. Tak hanya memukul, Aksa juga memaki habis-habisan remaja jangkung itu di depan semua yang menonton pertengkaran mereka. Ia bahkan mengabaikan lerai dari guru yang datang sebab emosi yang ada di dalam dirinya sudah menggebu-gebu. Jika saja tak ada orang yang datang padanya tadi, mungkin saja Aksa sudah mematahkan tulang hidung milik Bara."Lo menyesali semuanya sekarang?" Nara menyahut. Gadis itu menyodorkan sekaleng soda yan
Langkah kakinya tegas berjalan. Tatapan matanya sesekali naik menatap jalanan yang ada di depannya, lalu turun menatap kedua ujung sepatunya yang berjalan menyusuri jalanan sepi untuk sampai ke rumahnya. Xena dan Malik harus berpisah di halte pertama setelah pergi dari area pemakaman sang ayah kandung. Gadis itu membenci fakta bahwa ia tak bisa lagi pulang bersama Malik. Jalur yang mereka tempuh, sudah berbeda. Malik tak akan lagi ada untuk menyambut sorenya dan tersenyum indah di pagi hari untuk dirinya. Hari ini akan berbeda. Mamanya mengatakan bahwa selepas sidang perceraian dilaksanakan dan diputuskan, ia tak akan langsung pulang ke rumah. Ada yang harus diurus olehnya. Katanya, urusan kantor akan sedikit kacau sebab ia absen pagi ini. Jadi, jangan menunggu wanita tua itu untuk pulang selepas senja menutup hari nanti. Xena harus pandai menyesuaikan dirinya mulai sekarang. Ia akan sendiri setiap malam, menunggu mamanya pulang membawa buah tangan untuk dirinya. Ia berharap sesekal
Xena mempersiapkan remaja jangkung yang ada di belakangnya untuk masuk ke dalam rumahnya. Tak ada siapapun di dalam sini. Bahkan, gadis itu baru saja menyalakan lampu ruangan selepas dirinya membuka pintu dan masuk ke dalam rumahnya sendiri. Xena meletakkan tas punggung miliknya di atas meja tamu. Ia melirik Bara yang masih ragu berjalan untuk datang masuk ke dalam rumahnya saat ini. Remaja jangkung itu sesekali melirik ke arah Xena yang menatapnya dengan aneh, lalu mulai menyapu setiap bagian ruangan yang kini mulai menyembunyikan tubuhnya dari hawa dingin di luar sana. Hujan gerimis datang itu sebabnya bayu berembus dengan sedikit kencang. Angin yang tadinya semilir, kini mulai terasa dingin menusuk masuk ke dalam tulang belulangnya."Masuklah. Rumah ini bak berbahaya," tutur Xena tertawa geli. Tangisnya sudah hilang selepas Bara menenangkan dirinya tadi. Meskipun demikian, pikiran dan hatinya masih enggan menerima fakta bahwa sang kekasih adalah remaja berengsek yang sudah
Pagi yang basah telah berlalu dengan cepat. Siang yang datang pun tak sepanas biasanya. Awan mendung masih kokoh di atas sana. Menghalangi sang surya untuk datang menampakkan wajah dan menjatuhkan sinar hangatnya untuk seluruh penduduk bumi yang ada di bawahnya saat ini. Tatapan gadis itu kini mulai mengudara. Ia menatap awan mendung di atas sana dengan sesekali menghela napasnya kasar. Sudah beberapa hari terakhir ini Xena tak duduk di sisi sang sahabat. Ia dan Nea saling mendiamkan satu sama lain. Bahkan Xena menghabiskan masa istirahatnya untuk duduk sembari menikmati sekaleng soda dan dan beberapa camilan seorang diri. Gadis itu enggan berbicara selepas dirinya memutuskan untuk datang ke dalam lingkungan sekolah beberapa waktu yang lalu.Helaan napas kasar mengundang seseorang untuk datang mendekati dirinya. Sang kekasih hati, Haidar Bara Ivander. Remaja tampan itu tiba-tiba saja dan duduk tepat di sisinya. Kehadiran Bara sukses mencuri perhatian Xena untuk datang dan men
Bara menatapnya dengan teduh. Tak ada suara yang datang dari dalam mulutnya. Bibirnya masih rapat bungkam. Remaja itu memutuskan untuk diam dalam sejenak. Tatapan mata itu seakan berbicara pada Xena bahwa ia tak bisa menjelaskan banyak hal. Bara belum menyiapkan banyak alasan untuk pembicaraan ini, meskipun ia tahu Xena pasti akan menanyakan hal ini padanya suatu saat nanti."Apa yang harus gue jelaskan?" tanya Bara pada akhirnya. Ia bingung harus memulai dari mana. Tak mungkin dirinya secara gamblang mengatakan bahwa ia sudah menusuk seorang gadis malang yang sedang mengandung dan mendorongnya dari atap gedung sekolah. Tak mungkin juga kalau Bara mengatakan bahwa semua yang ia lakukan atas dasar sebuah kesadaran. Ia tak terpaksa, juga tak merasa bersalah karena itu. Entah mengapa, sampai sekarang pun Bara tak bisa merasakan dosa dan rasa bersalah itu. Kiranya, ia berpikir bahwa membunuh Tara adalah sebuah keputusan yang tepat."Gue akan tanya satu persatu." Xena menya
Senja menutup siang yang panas. Bel panjang berbunyi tanda jam sekolah sudah usia. Kini semua boleh pulang dan beristirahat di rumahnya. Berjumpa dengan keluarga tercinta sembari melepas lelah dengan bercerita dan bersenda gurau. Nara, mengabaikan semua itu. Tatapan matanya tertuju tepat mengarah pada dua orang yang sedang beradu di atas ring tinju. Sesekali di pria berbadan kekar menghantam sisi tubuh milik teman sebayanya. Sesekali sorak sorai mengiringi selepas Abian Malik Guinandra berhasil memberi bogem mentah untuk membalas lawan mainnya kali ini. Pertandingan dengan uang taruhan sudah lama tak dilihat olehnya. Ia datang selepas seseorang mengabarkan kalau Malik sedang bertanding. Nara tak sendirian, sedikit terkejut kala tahu Aksa sudah duduk di ujung kursi sana. Remaja jangkung itu terus saja menatap apapun yang ada di depannya dalam diam tanpa mampu berucap sepatah katapun. Remaja jangkung itu benar-benar menikmati apa yang disuguhkan oleh dua petarung ilegal di depannya it
"Lo harus dirawat terlebih dulu. Setidaknya satu hari menginap di rumah sakit." Nara menyela langkah keduanya. Selepas remaja jangkung itu memaksa untuk pergi dari dalam bangunan rumah sakit dan pulang ke rumahnya, kini keduanya hanya bisa berjalan dengan langkah ringan menembus hawa dingin sang bayu yang bergerak seiring dengan gumpalan awan hitam di atas sana. Mendung kembali datang dengan gemuruh petir yang menyambar dengan ringan. Membawa sebuah kesan bahwa hujan benar-benar akan turun sebentar lagi. Itu sebabnya Malik ingin Nara segera kembali ke rumahnya. Melupakan semua kejadian buruk yang terjadi sore ini. Melupakan apa yang dilihatnya dan melupakan semua masalah yang datang selepas Malik dinyatakan masuk ke dalam rumah sakit dengan kondisi yang lemah."Lo gak papa pulang sendirian dengan keadaan begitu?" tanya Nara menunjuk sisi mata remaja itu yang sedang lebam. Malik menoleh padanya. Anggukan ringan kembali datang menjawab kalimat tanya uang dilontarkan Nara untuk
"Lo bisa pulang ke rumah, kenapa harus ke sini?" Xena menarik handuk kecil yang menggantung di sudut ruang kamarnya. Remaja jangkung itu terus saja mengikuti arah ke mana dirinya pergi. Alasannya, ingin Menghantar Xena pulang ke rumahnya, tetapi mampir adalah keputusan akhir dari Malik malam ini. Ia tak berucap apapun. Kiranya, Malik masih benar-benar hapal bagian rumah Xena. Ia juga baru pergi tiga hari yang lalu. Semua ingatan dan memori yang ada di dalam kepalanya masih utuh. Belum ada yang hilang sebab terkikis oleh waktu. Semua masih jelas dan tergambar dengan baik."Gue udah pamit sama papa kalau tidur di rumah teman," ucapnya dengan nada ringan. Malik duduk di sisi ranjang empuk milik Xena. Matanya mulai menatap ke arah gadis yang berdiri di sisi pintu kamar mandi pribadinya dengan sesekali menggosok-gosok setiap helai rambut panjangnya dengan menggunakan handuk kecil yang ia pegang. Xena bukannya tak acuh dengan keadaan Malik, remaja jangkung itu sudah mendapat handuk
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj