Pagi yang basah telah berlalu dengan cepat. Siang yang datang pun tak sepanas biasanya. Awan mendung masih kokoh di atas sana. Menghalangi sang surya untuk datang menampakkan wajah dan menjatuhkan sinar hangatnya untuk seluruh penduduk bumi yang ada di bawahnya saat ini. Tatapan gadis itu kini mulai mengudara. Ia menatap awan mendung di atas sana dengan sesekali menghela napasnya kasar. Sudah beberapa hari terakhir ini Xena tak duduk di sisi sang sahabat. Ia dan Nea saling mendiamkan satu sama lain. Bahkan Xena menghabiskan masa istirahatnya untuk duduk sembari menikmati sekaleng soda dan dan beberapa camilan seorang diri. Gadis itu enggan berbicara selepas dirinya memutuskan untuk datang ke dalam lingkungan sekolah beberapa waktu yang lalu.
Helaan napas kasar mengundang seseorang untuk datang mendekati dirinya. Sang kekasih hati, Haidar Bara Ivander. Remaja tampan itu tiba-tiba saja dan duduk tepat di sisinya. Kehadiran Bara sukses mencuri perhatian Xena untuk datang dan men
Bara menatapnya dengan teduh. Tak ada suara yang datang dari dalam mulutnya. Bibirnya masih rapat bungkam. Remaja itu memutuskan untuk diam dalam sejenak. Tatapan mata itu seakan berbicara pada Xena bahwa ia tak bisa menjelaskan banyak hal. Bara belum menyiapkan banyak alasan untuk pembicaraan ini, meskipun ia tahu Xena pasti akan menanyakan hal ini padanya suatu saat nanti."Apa yang harus gue jelaskan?" tanya Bara pada akhirnya. Ia bingung harus memulai dari mana. Tak mungkin dirinya secara gamblang mengatakan bahwa ia sudah menusuk seorang gadis malang yang sedang mengandung dan mendorongnya dari atap gedung sekolah. Tak mungkin juga kalau Bara mengatakan bahwa semua yang ia lakukan atas dasar sebuah kesadaran. Ia tak terpaksa, juga tak merasa bersalah karena itu. Entah mengapa, sampai sekarang pun Bara tak bisa merasakan dosa dan rasa bersalah itu. Kiranya, ia berpikir bahwa membunuh Tara adalah sebuah keputusan yang tepat."Gue akan tanya satu persatu." Xena menya
Senja menutup siang yang panas. Bel panjang berbunyi tanda jam sekolah sudah usia. Kini semua boleh pulang dan beristirahat di rumahnya. Berjumpa dengan keluarga tercinta sembari melepas lelah dengan bercerita dan bersenda gurau. Nara, mengabaikan semua itu. Tatapan matanya tertuju tepat mengarah pada dua orang yang sedang beradu di atas ring tinju. Sesekali di pria berbadan kekar menghantam sisi tubuh milik teman sebayanya. Sesekali sorak sorai mengiringi selepas Abian Malik Guinandra berhasil memberi bogem mentah untuk membalas lawan mainnya kali ini. Pertandingan dengan uang taruhan sudah lama tak dilihat olehnya. Ia datang selepas seseorang mengabarkan kalau Malik sedang bertanding. Nara tak sendirian, sedikit terkejut kala tahu Aksa sudah duduk di ujung kursi sana. Remaja jangkung itu terus saja menatap apapun yang ada di depannya dalam diam tanpa mampu berucap sepatah katapun. Remaja jangkung itu benar-benar menikmati apa yang disuguhkan oleh dua petarung ilegal di depannya it
"Lo harus dirawat terlebih dulu. Setidaknya satu hari menginap di rumah sakit." Nara menyela langkah keduanya. Selepas remaja jangkung itu memaksa untuk pergi dari dalam bangunan rumah sakit dan pulang ke rumahnya, kini keduanya hanya bisa berjalan dengan langkah ringan menembus hawa dingin sang bayu yang bergerak seiring dengan gumpalan awan hitam di atas sana. Mendung kembali datang dengan gemuruh petir yang menyambar dengan ringan. Membawa sebuah kesan bahwa hujan benar-benar akan turun sebentar lagi. Itu sebabnya Malik ingin Nara segera kembali ke rumahnya. Melupakan semua kejadian buruk yang terjadi sore ini. Melupakan apa yang dilihatnya dan melupakan semua masalah yang datang selepas Malik dinyatakan masuk ke dalam rumah sakit dengan kondisi yang lemah."Lo gak papa pulang sendirian dengan keadaan begitu?" tanya Nara menunjuk sisi mata remaja itu yang sedang lebam. Malik menoleh padanya. Anggukan ringan kembali datang menjawab kalimat tanya uang dilontarkan Nara untuk
"Lo bisa pulang ke rumah, kenapa harus ke sini?" Xena menarik handuk kecil yang menggantung di sudut ruang kamarnya. Remaja jangkung itu terus saja mengikuti arah ke mana dirinya pergi. Alasannya, ingin Menghantar Xena pulang ke rumahnya, tetapi mampir adalah keputusan akhir dari Malik malam ini. Ia tak berucap apapun. Kiranya, Malik masih benar-benar hapal bagian rumah Xena. Ia juga baru pergi tiga hari yang lalu. Semua ingatan dan memori yang ada di dalam kepalanya masih utuh. Belum ada yang hilang sebab terkikis oleh waktu. Semua masih jelas dan tergambar dengan baik."Gue udah pamit sama papa kalau tidur di rumah teman," ucapnya dengan nada ringan. Malik duduk di sisi ranjang empuk milik Xena. Matanya mulai menatap ke arah gadis yang berdiri di sisi pintu kamar mandi pribadinya dengan sesekali menggosok-gosok setiap helai rambut panjangnya dengan menggunakan handuk kecil yang ia pegang. Xena bukannya tak acuh dengan keadaan Malik, remaja jangkung itu sudah mendapat handuk
Xena mengetuk pintu yang ada di depannya. Kala tak ada jawaban, ia memilih untuk masuk dengan mendorongnya perlahan-lahan. Matanya mengintip di balik celah ambang pintu yang sedikit terbuka. Xena menyapu setiap bagian ruangan kamar pribadi milik Malik. Bukan miliknya lagi! Malik hanya singgah untuk sementara waktu saja. Selepas hari berlalu, remaja jangkung itu akan pergi meninggalkan dirinya. Sendiri seorang diri bersama dengan fakta yang terus saja memberi tamparan untuk dirinya. Malik bukan lagi saudara yang bisa tinggal satu rumah dengannya!"Lo tidur?" tanya Xena melirih. Ia benar-benar membuka pintu yang ada di depannya. Melangkah masuk ke dalam lalu kembali menutupnya dengan rapat. Remaja jangkung itu berada di balkon kamar dengan jendela besar yang terbuka. Membiarkan dinginnya hawa malam menerpa permukaan kulit wajahnya. Luka itu ia biarkan untuk membeku dengan embusan bayu malam ini. Malik nekat, meksipun tubuhnya masih sedikit basah sebab handuk yang
Xena bungkam. Ia terus menatap lawan bicaranya itu dengan tatapan yang mantap. Mencoba menelisik masuk ke dalam pandangan remaja jangkung yang ada di depannya saat ini. Memastikan bahwa Malik tak akan tertawa terbahak-bahak setelah ini semua. Ia ingin memastikan bahwa Malik mengatakan semuanya dengan hati yang tulus. Remaja jangkung itu tak sedang bergurau sekarang ini."Kenapa menatap gue seperti itu?" tanyanya dengan nada ringan. Ia tersenyum tipis untuk Xena yang mulai mengerjapkan matanya lalu memalingkan pandangannya. Gadis cantik itu diam membisu tak memberi jawaban untuk dirinya."Xena ...." Malik memanggilnya. Berusaha untuk membuat Xena untuk kembali menatanya dengan benar. Tak ingin melewatkan apapun, remaja jangkung itu kembali menarik dagu lancip miliknya. Membawa lagi pandangan Xena untuk datang padanya. Malam ini, Malik ingin berbicara pasal hati dan perasaan dengan gadis ini. Bukan sebagai saudara tiri, tetapi seba
Hari kembali berganti. Aktivitas seperti biasanya mulai dilakukan oleh Xena Ayudi Bridella. Gadis itu mau tak mau harus kembali ke sekolahnya lagi. Memulai aktivitas ringan sebagai seorang pelajar yang baik dan berbudi. Ia harus mengikuti banyak pembelajaran untuk mengasah otak, membentuk minat dan bakat, serta membangun masa depan. Katanya, pelajar adalah kalangan yang paling dihormati di tengah-tengah masyarakat. Siapa yang berprestasi, maka ialah orang yang pantas mendapatkan puja dan puji dari semuanya. Masyarakat umum akan memandang dirimu sebagai seseorang yang berstatus tinggi kalau gelar namamu panjang dan susah untuk dieja. Itulah mengapa pendidikan adalah hal yang paling penting untuk sekarang ini.Xena menatap papan besar yang ada di depannya. Tak ada suara yang muncul dari celah bibir gadis itu. Ia terus-menerus diam membisu sembari memainkan ujung pena yang ada di dalam genggamannya.Bara memerhatikan itu. Semua yang
Langkah keduanya tegas membelah padatnya lorong sekolah. Bel panjang berbunyi tanda waktu istirahat datang dan mengijinkan setiap siswa dan siswi untuk datang menyambangi kantin sekolah, taman belakang, atau tempat-tempat lainnya yang bisa membuat otak menjadi fresh dan rileks selepas berlelah-lelah untuk menjemput ilmu dan menjadi seorang siswa juga siswi yang baik. Kiranya, ini adalah masa paling menyenangkan untuk mengukir kenangan bersama teman sebaya.Gadis itu melangkah dengan tegas beriringan dengan seorang remaja jangkung yang ada di sisinya. Kini Xena terlihat lebih sering bersama Bara ketimbang sahabatnya, Nea Oktaviana. Gadis itu masih belum bisa akur dengan si cantik dan si baik, Nea. Bukan Xena yang masih enggan, tetapi Nea yang masih terlihat lain dengannya. Meskipun di dalam lubuk hati yang paling dalam Nea paham benar, kalau semuanya bukan salah Xena. Berakhirnya hubungan Nea dan Daffa Kailin Lim juga bukan sebab Xena. Si berengsek tak tahu diri itulah yang me