Bara menatapnya dengan teduh. Tak ada suara yang datang dari dalam mulutnya. Bibirnya masih rapat bungkam. Remaja itu memutuskan untuk diam dalam sejenak. Tatapan mata itu seakan berbicara pada Xena bahwa ia tak bisa menjelaskan banyak hal. Bara belum menyiapkan banyak alasan untuk pembicaraan ini, meskipun ia tahu Xena pasti akan menanyakan hal ini padanya suatu saat nanti.
"Apa yang harus gue jelaskan?" tanya Bara pada akhirnya. Ia bingung harus memulai dari mana. Tak mungkin dirinya secara gamblang mengatakan bahwa ia sudah menusuk seorang gadis malang yang sedang mengandung dan mendorongnya dari atap gedung sekolah. Tak mungkin juga kalau Bara mengatakan bahwa semua yang ia lakukan atas dasar sebuah kesadaran. Ia tak terpaksa, juga tak merasa bersalah karena itu. Entah mengapa, sampai sekarang pun Bara tak bisa merasakan dosa dan rasa bersalah itu. Kiranya, ia berpikir bahwa membunuh Tara adalah sebuah keputusan yang tepat.
"Gue akan tanya satu persatu." Xena menya
Senja menutup siang yang panas. Bel panjang berbunyi tanda jam sekolah sudah usia. Kini semua boleh pulang dan beristirahat di rumahnya. Berjumpa dengan keluarga tercinta sembari melepas lelah dengan bercerita dan bersenda gurau. Nara, mengabaikan semua itu. Tatapan matanya tertuju tepat mengarah pada dua orang yang sedang beradu di atas ring tinju. Sesekali di pria berbadan kekar menghantam sisi tubuh milik teman sebayanya. Sesekali sorak sorai mengiringi selepas Abian Malik Guinandra berhasil memberi bogem mentah untuk membalas lawan mainnya kali ini. Pertandingan dengan uang taruhan sudah lama tak dilihat olehnya. Ia datang selepas seseorang mengabarkan kalau Malik sedang bertanding. Nara tak sendirian, sedikit terkejut kala tahu Aksa sudah duduk di ujung kursi sana. Remaja jangkung itu terus saja menatap apapun yang ada di depannya dalam diam tanpa mampu berucap sepatah katapun. Remaja jangkung itu benar-benar menikmati apa yang disuguhkan oleh dua petarung ilegal di depannya it
"Lo harus dirawat terlebih dulu. Setidaknya satu hari menginap di rumah sakit." Nara menyela langkah keduanya. Selepas remaja jangkung itu memaksa untuk pergi dari dalam bangunan rumah sakit dan pulang ke rumahnya, kini keduanya hanya bisa berjalan dengan langkah ringan menembus hawa dingin sang bayu yang bergerak seiring dengan gumpalan awan hitam di atas sana. Mendung kembali datang dengan gemuruh petir yang menyambar dengan ringan. Membawa sebuah kesan bahwa hujan benar-benar akan turun sebentar lagi. Itu sebabnya Malik ingin Nara segera kembali ke rumahnya. Melupakan semua kejadian buruk yang terjadi sore ini. Melupakan apa yang dilihatnya dan melupakan semua masalah yang datang selepas Malik dinyatakan masuk ke dalam rumah sakit dengan kondisi yang lemah."Lo gak papa pulang sendirian dengan keadaan begitu?" tanya Nara menunjuk sisi mata remaja itu yang sedang lebam. Malik menoleh padanya. Anggukan ringan kembali datang menjawab kalimat tanya uang dilontarkan Nara untuk
"Lo bisa pulang ke rumah, kenapa harus ke sini?" Xena menarik handuk kecil yang menggantung di sudut ruang kamarnya. Remaja jangkung itu terus saja mengikuti arah ke mana dirinya pergi. Alasannya, ingin Menghantar Xena pulang ke rumahnya, tetapi mampir adalah keputusan akhir dari Malik malam ini. Ia tak berucap apapun. Kiranya, Malik masih benar-benar hapal bagian rumah Xena. Ia juga baru pergi tiga hari yang lalu. Semua ingatan dan memori yang ada di dalam kepalanya masih utuh. Belum ada yang hilang sebab terkikis oleh waktu. Semua masih jelas dan tergambar dengan baik."Gue udah pamit sama papa kalau tidur di rumah teman," ucapnya dengan nada ringan. Malik duduk di sisi ranjang empuk milik Xena. Matanya mulai menatap ke arah gadis yang berdiri di sisi pintu kamar mandi pribadinya dengan sesekali menggosok-gosok setiap helai rambut panjangnya dengan menggunakan handuk kecil yang ia pegang. Xena bukannya tak acuh dengan keadaan Malik, remaja jangkung itu sudah mendapat handuk
Xena mengetuk pintu yang ada di depannya. Kala tak ada jawaban, ia memilih untuk masuk dengan mendorongnya perlahan-lahan. Matanya mengintip di balik celah ambang pintu yang sedikit terbuka. Xena menyapu setiap bagian ruangan kamar pribadi milik Malik. Bukan miliknya lagi! Malik hanya singgah untuk sementara waktu saja. Selepas hari berlalu, remaja jangkung itu akan pergi meninggalkan dirinya. Sendiri seorang diri bersama dengan fakta yang terus saja memberi tamparan untuk dirinya. Malik bukan lagi saudara yang bisa tinggal satu rumah dengannya!"Lo tidur?" tanya Xena melirih. Ia benar-benar membuka pintu yang ada di depannya. Melangkah masuk ke dalam lalu kembali menutupnya dengan rapat. Remaja jangkung itu berada di balkon kamar dengan jendela besar yang terbuka. Membiarkan dinginnya hawa malam menerpa permukaan kulit wajahnya. Luka itu ia biarkan untuk membeku dengan embusan bayu malam ini. Malik nekat, meksipun tubuhnya masih sedikit basah sebab handuk yang
Xena bungkam. Ia terus menatap lawan bicaranya itu dengan tatapan yang mantap. Mencoba menelisik masuk ke dalam pandangan remaja jangkung yang ada di depannya saat ini. Memastikan bahwa Malik tak akan tertawa terbahak-bahak setelah ini semua. Ia ingin memastikan bahwa Malik mengatakan semuanya dengan hati yang tulus. Remaja jangkung itu tak sedang bergurau sekarang ini."Kenapa menatap gue seperti itu?" tanyanya dengan nada ringan. Ia tersenyum tipis untuk Xena yang mulai mengerjapkan matanya lalu memalingkan pandangannya. Gadis cantik itu diam membisu tak memberi jawaban untuk dirinya."Xena ...." Malik memanggilnya. Berusaha untuk membuat Xena untuk kembali menatanya dengan benar. Tak ingin melewatkan apapun, remaja jangkung itu kembali menarik dagu lancip miliknya. Membawa lagi pandangan Xena untuk datang padanya. Malam ini, Malik ingin berbicara pasal hati dan perasaan dengan gadis ini. Bukan sebagai saudara tiri, tetapi seba
Hari kembali berganti. Aktivitas seperti biasanya mulai dilakukan oleh Xena Ayudi Bridella. Gadis itu mau tak mau harus kembali ke sekolahnya lagi. Memulai aktivitas ringan sebagai seorang pelajar yang baik dan berbudi. Ia harus mengikuti banyak pembelajaran untuk mengasah otak, membentuk minat dan bakat, serta membangun masa depan. Katanya, pelajar adalah kalangan yang paling dihormati di tengah-tengah masyarakat. Siapa yang berprestasi, maka ialah orang yang pantas mendapatkan puja dan puji dari semuanya. Masyarakat umum akan memandang dirimu sebagai seseorang yang berstatus tinggi kalau gelar namamu panjang dan susah untuk dieja. Itulah mengapa pendidikan adalah hal yang paling penting untuk sekarang ini.Xena menatap papan besar yang ada di depannya. Tak ada suara yang muncul dari celah bibir gadis itu. Ia terus-menerus diam membisu sembari memainkan ujung pena yang ada di dalam genggamannya.Bara memerhatikan itu. Semua yang
Langkah keduanya tegas membelah padatnya lorong sekolah. Bel panjang berbunyi tanda waktu istirahat datang dan mengijinkan setiap siswa dan siswi untuk datang menyambangi kantin sekolah, taman belakang, atau tempat-tempat lainnya yang bisa membuat otak menjadi fresh dan rileks selepas berlelah-lelah untuk menjemput ilmu dan menjadi seorang siswa juga siswi yang baik. Kiranya, ini adalah masa paling menyenangkan untuk mengukir kenangan bersama teman sebaya.Gadis itu melangkah dengan tegas beriringan dengan seorang remaja jangkung yang ada di sisinya. Kini Xena terlihat lebih sering bersama Bara ketimbang sahabatnya, Nea Oktaviana. Gadis itu masih belum bisa akur dengan si cantik dan si baik, Nea. Bukan Xena yang masih enggan, tetapi Nea yang masih terlihat lain dengannya. Meskipun di dalam lubuk hati yang paling dalam Nea paham benar, kalau semuanya bukan salah Xena. Berakhirnya hubungan Nea dan Daffa Kailin Lim juga bukan sebab Xena. Si berengsek tak tahu diri itulah yang me
Nea melirik ke arahnya. Xena masih diam selepas pergi dari tempat yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. Gadis itu memilih menyingkir dari pandangan semua teman-temannya. Xena masih menatap jauh ke depan dengan sesekali melepaskan napas berat lalu menundukkan kepalanya. Memindah fokus untuk menatap permainan ujung jari jemarinya. Tak fokus pada Nea, Xena masih sibuk dengan aktivitasnya untuk mengusir bosan yang mulai memeluknya dengan erat. Juga, rasa canggung benar-benar ada di dalam dirinya saat ini. Gadis itu tak menyangka.kalau Nea akan mengikutinya sampai di sini. Ia juga tak mengira kalau Nea akan duduk di sisinya seperti sekarang ini."Gue gak menyangka kalian adalah saudara tiri," ucapnya dengan lirih. Kalimat itu sukses membuat Xena menghentikan aktivitas kecilnya, lalu melirik ke arah Nea.Xena hanya mengangguk. Entah untuk apa, ia berdeham ringan menyetujui kalimat Nea saat ini. T
Ini bukan pertemuan mereka yang terakhir, itulah yang ingin Xena katakan lewat kehadiran dan tatapan matanya untuk Bara. Ia meminta polisi untuk menemui teman juga mantan kekasihnya itu. Perpisahan dan akhir sidang harus dirasakan dengan perasaan yang ikhlas dan lapang dada, Xena ingin memberikan kesan itu pada remaja yang baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi. Bara tak berucap apapun. Ia terus memandang Xena. Wajahnya tak sesayu dan tatapannya tak senanar sebelumnya. Gadis itu lebih terlihat 'hidup' dengan polesan make up yang khas seorang Xena Ayudi Bridella. Suasana yang ia dapatkan dari Xena mulai kembali lagi."Kenapa lo menemui gue lagi?"Xena tersenyum manis. Ia meraih ujung jari Bara dengan perlahan-lahan. Remaja yang ada di depannya mulai menatap dengan aneh. Ia tak bergerak, terus mengikuti apa yang dilakukan Xena padanya sekarang. Gadis itu mulai menggenggam ujung jari-jari miliknya lalu menatap Bara dengan penuh kehangatan
"Pengadilan menyatakan terdakwa atas nama Haidar Bara Ivander terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, penculikan dan penyekapan kelas ringan, serta penganiayaan kelas ringan. Untuk itu pengadilan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 10 tahun ditambah dengan pidana penjara 2 tahun dan ditambah dengan pidana penjara 6 bulan. Menetapkan lamanya terdakwa di tahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan selama 2 tahun mengingat usia terdakwa yang masih remaja. Pengadilan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan dengan denda sekurang-kurangnya adalah 20 juta rupiah. Demikian putusan pengadilan ditetapkan."Ketokan palu terdengar begitu tegas menggema di ruangan. Remaja jangkung dengan pakaian khas seorang tahanan kota itu hanya bisa mengangguk. Tak ada yang disanggah. Pengacaranya pun nampak diam dan mulai pasrah. Tak perlu waktu yang lama, tak perlu drama ini itu untuk mengurung si iblis
Rumput hijau yang menyejukkan mata dan hati. Mendamaikan perasaan yang sedang riuh bergemuruh di dalam jiwa saat ini. Malik memutuskan untuk mengikuti setiap langkah yang diambil oleh Zain pagi ini. Ia ingin berbicara banyak dengan laki-laki yang sudah menjadi temannya itu. Ia tak benar-benar membenci Zain. Hanya saja, siapa dingin Zain padanya membuat Malik menjadi sedikit jauh dari temannya itu. Sebenarnya di dalam lubuk hati yang dalam, ia tak pernah menyimpan dendam untuk remaja berponi naik ini. Hanya saja, ia iba. Zain terlalu lama menyimpan rasa sakitnya sendirian. Selepas kematian Tara, remaja itu menjauhi Malik dan memutuskan untuk menghilang dari peredaran. Baru beberapa bulan yang lalu ia kembali datang dengan Aksa yang membawanya penuh luka dan darah segar yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.Memang, permusuhan keduanya sedikit unik. Tak ada pertengkaran juga perkelahian. Malik selalu memaafkan bagaimana perilaku Zain padanya. Toh juga, ada a
Semilir hawa bayu mengiringi langkah keduanya membelah trotoar jalanan yang menjadi jalur utama untuk mereka saat ini. Jalanan Kota Jakarta yang ramai, padat, dan tak pernah sepi juga sela. Selepas keluar dari bangunan kantor polisi, keduanya kini memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak dan mampir ke sebuah tempat untuk menikmati liburnya hari ini. Tanggal merah, hari penting untuk negara. Namun, surganya bagi para pelajar. Mereka diberi jeda satu untuk merilekskan otak dan hati mereka. Menikmati suasana kota di pagi hari sampai senja datang menutup kisah nanti sore. Malik dan Xena merasakan semua itu. Sedikit demi sedikit perasaan yang mengganggu di dalam hati mereka mulai hilang begitu saja. Semua masalah yang datang mulai surut bak gelombang air laut di malam hati. Rasanya sedikit tenang, mereka bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang mereka inginkan saat ini. Menjalin hubungan sederhana dan mulai merajut kasih juga cinta untuk melalui masa muda. Malik
Malik menatap wajah wanita tua yang ada di depannya saat ini. Pandangan matanya terus saja tertuju pada Sarah yang baru saja datang menghadang langkahnya. Sepasang mata dengan lensa pekat itu mulai menatap sayu dan nanar wajah mantan anak tirinya itu. Penuh luka, identik dengan apa yang terjadi pada sang putri kemarin malam. Kata Xena selepas ia sukses membuat mamanya menangis dengan keadaan wajah dan tubuhnya yang kacau, ia melegakan hati wanita tua itu dengan mengatakan bahwa untung saja Malik datang menyelematkan Xena dari Bara. Katanya, juga. Malik terluka sama dengan apa yang dialami oleh Xena. Gadis itu juga mengimbuhkan kalau yang menghantar dirinya sampai gerbang depan malam-malam begini adalah Abian Malik Guinandra, tetapi kala disuruh mampir untuk mengobati lukanya, Malik menolak. Alasannya hanya satu, ia tak mau membuat Sarah kembali kacau dengan dua luka di dalam hatinya selepas mendapatkan dua putra dan putrinya pulang dalam keadaan seperti itu. Toh juga ada papanya di
Bara mengetukkan ujung jari jemarinya di atas meja kayu yang ada di sisinya. Ia bersandar tepat di atas kursi sembari menyilangkan kaki dan menatap ke arah gadis yang masih tak sadarkan diri selepas ia menyiksanya habis-habisan. Bara memukul wajah Xena. Sisi bibir gadis itu tergores dengan darah yang mulai mengering. Ujung matanya lebam selepas Bara melayangkan tinju ringan kala sang gadis terus saja mengumpat padanya. Xena mengejutkan. Jujur saja, Bara tak tahu kalau gadis itu bisa setangguh ini dengan penampilan dan tatapan wajah dan polos. Kala dirinya mendorong Xena masuk ke dalam gudang sekolah dan menutup pintunya dengan rapat. Xena bahkan mulai bergeming di tempatnya dengan terus menatapnya menggunakan tatapan tajam penuh amarah. Bara menampar wajahnya lalu mendorong tubuh Xena hingga jatuh terantuk sisi meja rusak di belakang tubuh gadis itu. Darah mengalir dari sisi sikunya dan luka lecet datang selepas paku berkarat tak sengaja menyentuh permukaan lengannya.
Fajar menyingsing dari ufuk timur. Sinarnya tegas menghantam permukaan bumi dan mencoba menghangatkan komponen yang ada di bawahnya saat ini. Gadis yang sudah berdiri di depan papan pengumuman besar di sekolahnya itu tak pernah menyangka dan mengira-ngira sebelumnya. Ia mendapatkan sebuah undangan kematian yang datang dari teman dekatnya. Seisi sekolah mulai membicarakan kematian Nara yang terkesan mendadak. Bukan hanya Xena yang terkejut. Akan tetapi, hampir seluruh penghuni sekolah. Bahkan guru-guru juga mulai memberitakan kabar ini dengan bumbu yang membuat suasana sedikit tegang. Kisahnya hari ini mungkin tak akan berakhir baik. Setiap sudut sekolah yang punya Mading besar seperti ini, akan menampilkan wajah Nara dengan pita kuning di atasnya. Ucapan bela sungkawa datang kemudian. Mereka meninggal 'note' yang mereka tempelkan di sisi undangan untuk mengirim doa pada teman mereka yang sudah berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. "Bagaimana ini ... gue bahkan berbicara den
Sirine mobil polisi meraung-raung di udara. Membawa sebuah duka di setiap lajunya beberapa saat yang lalu. Ambulan mengikuti, mayat gadis malang turun dari sana dengan keadaan sudah terbungkus oleh kain putih. Seorang remaja jangkung mengiringi masuk ke dalam bangunan kepolisian. Mayat itu akan disimpan di dalam ruangan mayat tempat beberapa korban pembunuhan lainnya berada hingga polisi menyelesaikan penyelidikannya besok pagi. Suasana sudah kacau dengan Aksa yang tak lagi kuasa untuk mengiringi kepergian gadis yang ia cintai. Nara adalah cinta pertama yang ada di dalam hatinya. Gadis itu adalah satu-satunya gadis yang bisa menyentuh lubuk hatinya paling dalam. Belum juga menyatakan perasaannya dengan resmi, ajal sudah menjemputnya dengan tragis. Aksa tak bisa berkata apapun lagi. Semua yang ada di depan matanya bak sebuah mimpi buruk yang harus ia lalui seorang diri.--ia membenci kisah malam ini!"Aksa ... kita cari tempat duduk
Langkah kakinya tegas membelah rerumputan hijau yang ada di bawah pijakan kaki remaja jangkung itu sekarang ini. Gelap terasa, sedikit sunyi sebab tak ada yang datang untuk bertamu dan menyambangi rumah tua itu sekarang. Semua benar-benar terasa sepi bak rumah hantu yang sengaja dijauhi oleh para masyarakat dan warga setempat. Bukan, bukannya di sisihkan dari kota. Bukan juga dijauhi orang-orang, beginilah suasana rumah Nara kalau malam tiba dengan kerikan jangkrik yang khas menghiasi suasana malam. Tak ada hujan, tak mendung dengan langit berbintang di atas sana. Kiranya, sambutan yang baik selepas Aksa memutuskan untuk memungkaskan perkejaan paruh waktu yang ia lakukan dan mulai menatap langit di atasnya.Ada satu alasan yang membuat dirinya datang ke tempat ini lagi. Tak penting jika ia menceritakan alasannya datang kemari pada orang-orang yang tak mengenal Nara dengan baik. Namun, baginya ini sangat penting. Kala keluar dari minimarket tempatnya bekerj