"Arion, kamu baru pulang, Nak? Segera bebersih, Bunda punya tamu spesial buat kamu." Nyonya Harrison menyapa hangat ketika mendapati putra sulungnya datang.
Masih sama seperti biasa ketika dia pulang ke rumah, selalu menerima kasih sayang yang tiada tanding meski usianya sudah kepala tiga.Biasanya Arion tinggal di Penthouse pada salah satu gedung apartemen paling mewah di Ibu Kota atas kepemilikan keluarganya, Harrison Group. Apartemen itu masih satu kawasan dengan kantor, sehingga memudahkan Arion untuk pulang pergi melakukan kewajibannya sebagai Direktur Muda penerus ayahnya kelak."Siapa, Bun?""Rahasia. Ada di ruang baca Mama, nanti kita makan malam bersama. Kamu bersiaplah seganteng dan serapi mungkin.""Andre datang bersama istri dan anaknya?" Arion bisa menebak dengan mudah, sebab tadi sempat dapat kabar jika si sulung akan datang sesuai pinta ayahnya yang sedang sakit."Itu nggak salah, tapi masih ada kejutan lain."Arion tersenyum, mengecup pipi sang bunda dengan penuh kasih. "Kalau begitu aku bebersih dulu, Bun. Nggak sabar pengin lihat di bayi juga. Dia pasti menggemaskan."Nyonya Harrison mengangguk riang. "Dia cantik dan gembul banget, mirip Andre. Lucu, Bunda senang ajakin dia main dari tadi.""Kenapa mirip Andre? Harusnya mirip Litzi saja.""Arion, jangan jahil sama adik kamu. Kebiasaan kalau dia pulang, diajakin gelut terus. Namanya hasil perbuatan Andre, wajar kalau mirip papanya. Yang bahaya itu kalau mirip kamu, nanti Litzi dikira selingkuh.""Nggak kelihatan kalau Litzi bakal selingkuh dari Andre, Bun. Memangnya dia berani dikunyah Andre?"Nyonya Harrison menggertakkan gigi. "Mereka saling mencintai, syukurlah. Gih sana, mandi yang wangi. Bunda tunggu di rumah makan.""Iya, Bun. Jangan kelelahan, kantong mata Bunda kelihatan banget, pasti habis begadang. Nanti biar gantian sama aku jagain Ayah.""Ayah sudah baikan, apalagi lihat kamu, Andre, mantu, dan cucu kesayangannya kumpul di sini. Obat Ayah itu nggak susah, tinggal kalian yang lebih banyak ngerti buat pulang lebih sering.""Arion setiap hari ketemu ayah di kantor, Bun. Andre dan Litzi tuh, sibuk di Surabaya terus, lupa kalau punya orang tua di sini.""Hutsss, Arion. Litzi 'kan habis lahiran dan jaga bayi sekecil Aurora, wajar kalau nggak sempat ke mana-mana."Arion hanya tertawa kecil. "Aku ke kamar dulu, Bun, capek banget." Memeluk Nyonya Harrison sebentar selalu bisa mengurangi rasa lelah dan pusing. Obat paling ampun ada pada wanita kesayangannya ini.Sepanjang langkahannya menuju lantai dua, Arion menghela napas panjang. Setiap melihat keluarga kecil Andre, hati kecilnya selalu bergerimis.Takdir memang tidak sejalan dengan rencana. Arion niatnya tidak ingin dilangkahi oleh sang adik menuju pernikahan. Namun apalah daya, ternyata Tuhan memiliki garis hidup penuh rahasia. Terbukti sekarang Andre sudah jauh meninggalkannya yang masih jalan di tempat. Andre lebih muda lima tahun dari Arion, tapi pria itu sudah memiliki istri dan anak yang baru lahir tiga bulan lalu.Ah, Arion sedih jika terus memikirkan keadaan di antara mereka. Tidak dipungkiri, dia sangat iri melihat kehidupan sang adik yang kelihatannya sangat membahagiakan.Niat Arion sama seperti Andre, menikah muda. Hanya saja sudah kepala tiga dia belum pernah memiliki kekasih. Arion sangat sulit tertarik dengan wanita, bahkan beberapa keluarganya meragukan kernomalan dirinya.Meletakkan ponselnya untuk mengisi daya, satu pesan muncul pada layar ponselnya.Nomor Tidak Dikenal: Permisi, dengan Pak Arion? Ini Airyn Gershon, salah seorang mahasiswi semester lima yang akan magang di kantor Bapak. Apakah ada persyaratan khusus yang harus saya penuhi selain proposal magang, surat izin dari fakultas, dan transkip nilai? Saya mendapatkan nomor Bapak dari Ibu Laila, maaf jika lancang mengirimkan pesan ini. Terima kasih.Senyum Arion tercetak seketika.Bagi sebagian orang mungkin ini terbilang tidak sopan kerena langsung menghubungi ke orang yang bersangkutan, tapi kali ini justru Arion-lah yang meminta agar Ibu Laila bisa memberikan nomornya kepada Airyn untuk menghubunginya secara pribadi.Arion Harrison: Selamat sore. Sertakan daftar riwayat hidup, pas foto, dan sertifikat pelatihan jika kamu memilikinya (akan lebih baik).Airyn Gershon: Maaf bertanya lagi. Pas fotonya latar merah atau biru, Pak Arion? Kalau tidak punya sertifikat pelatihan bagaimana, Pak? Terima kasih sebelumnya.Arion Harrison: Latar merah. Tidak apa.Melihat pesannya hanya dibaca dan Airyn tidak lagi terlihat aktif, Arion menaikkan alis, lalu tersenyum singkat.***Airyn masih terjaga untuk menunggu Guntur pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Bayangan sang papa tidak terlihat sama sekali bahkan suara motornya pun belum menggelitik pendengaran. Airyn harus izin dulu sebelum memutuskan benar-benar mengikuti magang. Dia takut papanya tidak mengerti, nanti dikira Airyn bekerja.Alasan utama untuk menghindari rasa malu jika papanya marah-marah di tempat umum tanpa aturan. Apalagi tempat magang yang akan Airyn tuju ini salah satu perusahaan besar. Selain malu dan takut papanya dipandang buruk oleh banyak pihak lainnya, Airyn juga tidak ingin mencemarkan nama baik kampus. Terlebih ibu Laila selaku dekan sudah mempercayai dirinya."Ai, kok belum tidur? Jarang banget Papa lihat kamu nggak tidur jam segini." Guntur terkejut mendapati Airyn berada di sofa ruang tengah. Sejak jaman sekolah, Airyn jarang sekali begadang, kecuali jika ada tugas atau ujian yang mengharuskannya belajar lebih banyak.Airyn tersenyum, senang melihat Guntur pulang tanpa mabuk dan keadaannya baik-baik saja seperti orang normal pada umumnya. "Papa udah makan?"Guntur menaikkan alis. "Kenapa? Uang kamu dirampas mama lagi?""Enggak kok, Pa. Aku mau ngomong sesuatu, tapi kalau Papa belum makan, biar aku masakin sebentar. Papa mau?""Kenapa nggak tidur aja, kamu capek kuliah dan beberes rumah. Besok bukan weekend, pasti ke kampus lagi."Airyn tersenyum, menyuruh Guntur duduk di sampingnya. "Papa mau dengerin kalau aku ngomong bentar?""Bikinin Papa kopi dulu, Papa sudah makan tadi. Kamu gimana? Andai tahu kamu belum tidur jam segini, Papa belikan makanan.""Udah, Pa. Aku kenyang. Sebentar, Papa bebersih aja dulu, ganti baju. Aku tungguin.""Ngomong apa? Kenapa buat Papa cemas? Papa nanti ganti baju, kamu buatin aja dulu kopinya."Sepeningga Airyn ke dapur, Guntur menyalakan televisi sambil merokok. Hal yang tidak biasa seperti ini membuatnya tidak enak hati, takut terjadi sesuatu pada putrinya.Airyn kembali dengan senyuman dan secangkir kopi, Guntur menatapnya keheranan."Pa, jangan marah dulu. Janji?""Nggak bisa janji. Papa tetap marah kalau terjadi aneh-aneh.""Aku 'kan udah semester lima, udah boleh buat praktik kerja lapangan atau magang mandiri gitu. Sebenarnya tipe magang tuh ada dua—dari kampus ada, magang mandiri ada juga. Aku pengin ikutan itu biar ada persiapan buat masuk kerja nanti. Apa boleh, Pa?""Lalu gimana kuliah kamu?""Magangnya pas libur kuliah kok. Ibu Laila yang saranin buat magang, tanya aja kalau Papa nggak percaya. Ini bukan kerja buat cari uang, tapi aku bakal belajar. Nanti dapat sertifikat resmi dari perusahaannya pertanda aku pernah magang di sana. Kata ibu Laila, ini bisa jadi jembatan buat aku keterima kerja di sana kalau udah lulus nanti, apalagi kalau hasil belajar aku bagus.""Kamu nggak berusaha bodohin Papa, 'kan? Papa udah berkali-kali larang kamu buat kerja.""Enggak, Pa. Nanti ada surat izin magang dari kampus kok, aku bisa liatin ke Papa juga.""Di mana magangnya?""Kantor Harrison Group yang ada di tengah kota, yang besar itu lho, Pa. Aku ditawarin langsung, mungkin karena melihat nilai aku juga bagus dan mereka tertarik.""Ya sudah, nanti Papa anterin dulu. Papa mau liat kamu beneran ke sana atau bohong. Itu perusahaan besar yang punya banyak bisnis terkemuka, takutnya kamu ditipu sama orang nggak bertanggung jawab.""Enggak, Pa, ibu Laila yang bantu ngurusin berkas aku.""Tidurlah, sudah malam.""Jadi boleh, Pa? Aku nggak bakal tidur nyenyak sebelum dapat jawaban dari Papa.""Iya, asal nggak mengganggu waktu kuliah kamu."Airyn tersenyum lebar, mengangguk haru. Dia menggenggam tangan Guntur, mengecup punggung tangan pria itu penuh syukur. "Makasih, Pa. Aku senang. Nanti aku bakal belajar sungguh-sungguh, biar mereka tertarik buat panggil aku kerja di sana." Memeluk Guntur, bibirnya tak berhenti melengkung.Guntur mengiyakan, mengusap punggung Airyn. "Jangan begadang, habis ini langsung tidur. Besok pagi Papa bisa antar kamu ke kampus, tapi jangan terlalu siang.""Iya. Terima kasih, Pa. Papa juga jangan begadang, tidur cepat biar nggak sakit. Kurang-kurangin minum, Pa, takut Papa masuk rumah sakit lagi."Bagaimana pun kelakuan papanya, Airyn tetap menyayangi pria itu melebihi apa pun. Airyn takut jika papanya kenapa-kenapa, sedih kalau papanya dihina, dan merasa sakit hati melihat papanya dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Airyn berharap Tuhan bisa menyentuh hati kecil papanya agar cepat berubah dan meninggalkan segala hal yang tidak baik.Guntur sangat baik, Airyn merasakan banyak kasih sayang dan ketulusan dari sang papa meski tidak pernah mendengarnya secara langsung.Dia berada dalam keluarga yang sangat sulit mengungkapkan kasih sayang.Nyonya Harrison membuka gorden yang langsung menghadap pada tempat tidur Arion, membuat sang empunya silau. "Bangun, Nak, sudah jam sembilan."Arion menggeliat di bawah selimut tebal berwarna hitam, mengubah posisi kepalanya membelakangi gorden. Dia belum berniat bangun, masih mengantuk akibat semalam begadang hingga hampir subuh bermain poker bersama Andre.Tidak sia-sia, Arion yang menang hingga meraup puluhan juta rupiah."Ajak Fevita jalan-jalan sambil mengobrol lebih banyak, Arion, nikmati waktu libur kamu berkenalan dengan wanita."Fevita Adiyaksa, wanita cerdas dan mandiri berusia dua puluh lima tahun yang saat ini menduduki jabatan sebagai Co-Founder di perusahaan keluarganya, PT. Adiyaksa Utama."Berhenti jodohin aku, Bun, nggak bakal berhasil.""Belum kamu coba, jangan menyerah dulu. Umur kamu sudah berapa, Arion, nggak berniat menikah?" dumel Nyonya Harrison sambil merapikan buku-buku Arion di meja. Sejak semalam Nyonya Harrison gemas pada Arion, putranya itu tampak mendia
"Pa, kenapa malah mintain Pak Arion uang?" Airyn memejam jengah dengan sikap Guntur, tidak habis pikir jika berdebatan mereka malah berujung pemerasan.Guntur berhasil memeras Arion sebesar dua juta akibat perlakuan tidak baik dan pukulan yang diterimanya. Jika tidak, Guntur mengancam akan membawa masalah ini ke pihak berwajib."Sudah sepantasnya dia ganti rugi. Kamu pikir hidung dan bibir Papa nggak berdarah akibat pukul satpamnya yang gendut itu?" Guntur balas mengomeli Airyn yang sejak tadi juga lumayan menyulut emosi di hadapan Arion. Anaknya itu terlalu lemah, padahal Guntur memang sengaja memanfaatkan keadaan.Kapan lagi memeras orang kaya secara cuma-cuma? Uangnya bisa Guntur pakai untuk membeli minuman dan modal berjudi nanti malam.Sementra Airyn, dia hanya tidak ingin papanya semakin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Namun, sikap Guntur sendirilah yang membuat dirinya tercela."Apa kata Pak Arion nanti, Pa? Aku nggak enak." Terlebih dia akan bersama Arion selama dua b
Airyn menganga, melihat sekitar mereka untuk mencari keberadaan seseorang yang lain. “Bapak ngapain ke sini?”“Ma, aku mau bicara sebentar. Tunggu dulu.” Dia cepat-cepat menarik tangan pria itu, membawanya agak menjauh dari Sera.“Bapak, jangan bilang aku orang sini sama siapa-siapa, ya?” Airyn berbisik cemas. “Aku juga nggak bakal bilang kok kalau Bapak main-main sama pelacur di sini. Aku janji.”“Kamu menuduh saya yang tidak-tidak,” balas Bagas tidak terima. “Saya hanya tidak sengaja lewat sini, lalu nyasar.” Jika kalian tanya siapa yang pintar membuat alibi, maka Bagas jagonya. Sekarang dia tiba-tiba menjadi detektif handal yang diutus Arion. Bagas mengakui dirinya serba bisa, asal jangan mencari berlian di lubang semut saja.Airyn menatap Bagas tidak percaya. “Ah, gitu, ya? Ya sudah, Bapak aja yang jaga rahasia aku.” Menangkup kedua tangan, meminta sangat serius.“Ai, ayo! Jangan bikin Mama makin murka.” Sera bersungut jengah menunggu Airyn.“Pak, aku harus pergi. Bapak sebaikny
Sekitar jam tujuh, Airyn terbangun dari tidurnya. Dia terlonjak ketika menyadari ruangan yang begitu asing. Buru-buru Airyn mengecek keadaannya, untunglah masih aman seperti semalam. Sementara itu, di nakas tersedia sepotong roti bakar cokelat, obat, air, dan kertas kecil yang menempel pada gelas. "Makan dan minum. Habiskan!”Airyn meminum obatnya untuk meredakan pusing, lalu memakan roti sambil berusaha mengingat kembali kejadian semalam. Dia ingat jika Arion datang mencoba menghentikan, namun bukannya melepaskan, pria tua itu justru semakin kasar mendorong Airyn ke kamar hingga harus bertengkar dulu dengan Arion yang tampak tak terima melihat perlakuannya.Tanpa sengaja di tengah keributan, Pak Sagara mendorong Airyn sampai terbentur pintu. Setelah itu semua gelap, Airyn pingsan.“Dasar om-om tua itu. Untung kepalaku nggak bocor.” Airyn bersungut sebal, lalu salah fokus pada jam kecil yang ada di nakas “Ya Tuhan, telat!” Dia melompat dari kasur, tetapi malah terjungkal karena terl
“Tolong, putus semua kerja sama kita bersama Pak Sagara dan istrinya. Saya tidak ingin mendengar nama maupun melihat wajahnya lagi. Pria itu di depan istrinya saja seperti kambing congek, di belakang berbisa daripada ular.” Arion memutuskan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Pak Sagara hanya debu kecil yang sangat mudah Arion singkirkan. Bahkan jika masih saja mengganggu Airyn, Arion tak segan membuatnya gulung tikar.“Anda serius, Pak? Padahal lusa Anda ada pertemuan dengan mereka di hotel Dexonc untuk membahas lebih lanjut mengenai logo kopi dalam kemasan terbaru, bukan?”“Saya tidak peduli. Pria itu mengacaukan gadis saya.” Arion menaikkan bahu, menyeruput kopinya sambil membubuhkan tanda tangan pada beberapa dokumen penting.Bagas memutar bola mata malas. “Arion, dengarkan saya. Airyn juga pelacur kecil, sebenarnya mereka sama-sama cari untung. Mungkin ada beberapa faktor yang bikin Airyn takut, akhirnya semalam dia merasa terancam. Ayolah, jangan bodoh karena baru mengenal cinta.
Arion melangkah lebar meninggalkan lobi, menuju ruangannya untuk menetralkan amarah yang memuncak. Tidak disangka pada hari yang cerah siang ini, istrinya Pak Sagara mendatangi Arion dan berakhir membuat keributan. Wanita itu tidak terima karena Arion memutus kerja sama mereka sepihak tanpa ada konfirmasi apa pun. Dia merasa dirugikan dan meminta tanggung jawab.Arion awalnya tidak terlalu menanggapi serius, hanya saja ketika Pak Sagara muncul dan mulai menyulut, barulah Arion turun tangan untuk menghajarnya. Sudah sejak malam itu dia tahan, baru sekarang terlaksana. Rasanya benar-benar puas.Pak Sagara tidak terima kena pukul, ingin membalas, hanya saja Bagas dan satpam berhasil memisahkan mereka.Dengan perasaan kelewat murka, Arion memperingati istri Pak Sagara agar berhati-hati terhadap suaminya. Pria itu tidak bisa dipercaya dan sangat berbahaya.Arion juga menyuruh Bagas memperingati Pak Sagara. Jika pria itu masih ingin berurusan dengannya, Arion tak segan mempermalukan sekal
Sekitar jam sebelas malam, Veroni mengabari Airyn jika saat ini Guntur sedang dilarikan ke rumah sakit. Pria itu batuk berdarah, kemudian tidak sadarkan diri setelah mengeluh pusing dan sesak napas. Guntur ditemukan di kamar mandi dalam keadaan sangat lemah dan wajahnya pucat pasi. Sepanjang perjalanan Airyn tidak berhenti menangis. Bagaimana pun sikap Guntur, Airyn sangat menyayangi pria itu, tidak siap kehilangannya. Hanya sang papa yang menyayangi Airyn, menjaga dan selalu berusaha melakukan yang terbaik. Airyn juga belum sukses dan membuat Guntur bangga dengan segala pencapaiannya hasil kerja keras pria itu.Air mata kian deras ketika Airyn mendengar penuturan dokter tentang keadaan Guntur. Gaya hidup yang tidak sehat membuat Guntur mengidap penyakit berbahaya yang hampir menyerang seluruh organ dalam tubuhnya. Penyakit itu menyebar dan menyebabkan komplikasi. Tak heran jika setiap hari Guntur merasakan sakit yang sangat menyiksa.Belum lagi biaya pengobatan yang sangat mahal, b
Airyn diantarkan oleh Bagas menuju Penthouse Arion, dia dijemput pagi-pagi buta entah untuk melakukan apa. Sebenarnya Guntur akan marah jika tahu Airyn ikut dengan pria sembarangan, tapi karena Airyn punya hutang nyawa dan uang dengan Arion, alhasil tidak bisa menolak. Nanti jika keadaan Guntur sudah membaik, Airyn akan menceritakan semuanya.Tidak peduli Airyn akan menjadi pesuruh orang, dia melakukannya demi keselamatan Guntur. Airyn takut hidup sendirian.Kesepian dan kesedihan adalah musuh Airyn."Bagaimana keadaan papa kamu?" Arion melangkah dari dapur, membawa secangkir kopi. Dia duduk di salah satu sofa. "Duduk, lelah berdiri di sana."Airyn mengangguk, mengambil posisi berhadapan dengan Arion. "Operasinya lancar, tapi papa belum siuman. Kata dokter perlu beberapa waktu. Terima kasih, Pak, udah selamatin papa.""Bisa masak, 'kan?"Airyn mengangkat wajah, menatap Arion sedikit kaget. "B—bisa, Pak, tapi menu yang sederhana aja, mungkin beberapa menu yang sering aku makan di ruma
Airyn mondar-mandir di ruang tengah, sebab hingga jam delapan Arion belum juga pulang. Makan malam sudah siap, seketika rasanya tidak tenang, terlebih nomor pria itu tidak bisa dihubungi. Sebal, karena Arion tidak mengabari apa pun sebelumnya."Aneh. Kenapa rasanya nggak enak gini? Apa karena udah jadi suami istri?" Airyn menggigit kuku, memegangi dadanya yang berdebar lebih kencang. "Atau ini perasaan gugup karena kepikiran ancaman Mama tadi?""Aish! Sejak kapan khawatir banget gini sama Pak Arion? Padahal sebelumnya kamu sendiri yang nggak rela nikah sama dia, Ai."Airyn bermonolog sendiri. Tatapan dan gerak-geriknya memang menunjukkan kecemasan, tidak tenang sebelum memastikan Arion baik-baik saja. "Setidaknya kalau pulang telat, bilang!" gerutunya sebal. "Aku bisa makan dan tidur dengan tenang tanpa harus khawatir gini. Senang banget bikin merasa bersalah."Airyn mengambil ponselnya di meja, mencoba menghubungi Bagas sekali lagi. Nomor pria itu aktif, hanya saja tidak diangkat. K
Ketika jam makan siang, tiba-tiba Airyn kedatangan tamu. Sebelumnya dia tidak mengira jika yang datang adalah ibu mertua. Airyn baru saja bangun tidur, belum sempat menyiapkan apa pun karena Arion juga membebaskan Airyn untuk istirahat sepanjang hari ini. Airyn ingin menyapa sebagai basa-basi agar kelihatan tetap sopan, namun urung karena merasa sungkan. Terlebih Megan juga langsung masuk dan meninggalkannya. Wanita itu terlihat membawa sekotak kue."Kamu baru bangun jam segini?"Megan melihat sekitar ruangan tersebut. Kebetulan di wastafel masih ada piring kotor, bekas Airyn menyiapkan sandwich untuk bekal Arion tadi. Keranjang pakaian kotor mereka juga terlihat penuh karena belum dijemput jasa laundry. Niatnya memang setelah ini baru akan Airyn bereskan semuanya."M—maaf, Bun, tadi aku ketiduran. Setelah ini baru beres-beres. Bunda mau aku bikinkan minum apa?" Airyn memainkan ujung tali bathrobe-nya, gugup. Mimik Megan tidak seramah biasanya, Airyn tahu wanita itu sudah terlanjur t
Katanya Arion punya hadiah spesial untuk Airyn. Ternyata benar. Usai Airyn berendam dan menghabiskan banyak waktu untuk merawat diri, dia dikejutkan dengan sebuket mawar di kasur. Tidak lupa, ada kertas kecil yang terselip di sana juga membuat Airyn terkekeh kecil.—Untuk cintaku yang baik hati—Airyn suka aroma mawar segar, menciptakan senyum kecil yang mewakili isi hatinya. Masih menggunakan jubah mandi, Airyn turun ke bawah sambil memanggil Arion beberapa kali. Terdengar suara kecil dari ruang makan, lagi-lagi senyum Airyn merekah."Wow!" pujinya menutup mulut sambil menatap dengan binar takjub. Di meja makan tersedia menu makan malam mereka, Arion yang memasak. "Wangi, pasti enak. Aku laper banget, dari luluran tadi perut aku bunyi."Arion selesai memotong buah, kemudian menghampiri Airyn dan mencium pipinya. "Duduk, Sayang, waktunya isi tenaga."Dengan riang, Airyn duduk ketika Arion menarik kursi untuknya. Kenapa tiba-tiba Arion semanis ini? Airyn sampai keheranan."Kamu juga wa
"Pak Arion, ngapain?" Airyn terkesiap ketika melihat sang suami itu berdiri tak jauh dari posisinya dan Aldo. Bahkan mereka baru saja ingin memulai obrolan, seketika sungkan. "B—boleh tinggalin kami dulu, ada yang mau dibicara sebantar?""Bicara saja, anggap saya tidak ada." Arion memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menatap dengan sorot setajam belati—seolah sedang memperingati Aldo agar tidak macam-macam pada miliknya. "Lima menit, setelah ini kamu harus mengantarkan surat ke atas. Pak Abimayu sudah menunggu."Airyn menganga, lantas terpaksa senyum karena tahu mimik Arion tengah kesal. Jangan sampai dia mendebat, nanti malah muncul masalah baru."Ada apa, Aldo? Kamu repot-repot ke sini. Lain kali bilang ya kalau mau ketemu, jangan di sini. Aku posisinya lagi magang, nggak boleh seenaknya terima tamu sembarangan di luar kepentingan dengan Pak Arion." Aldo menatap Arion sekali lagi, dia juga melempar tatap permusuhan. "Lo serius menikah dengan pria aneh ini, Ai?" tanyanya senga
Arion mengusap puncak kepala Airyn ketika wanita itu diam lagi saat dia meminta bantuan memasang dasi. Sejak mereka mandi bersama, Airyn tampak malu dan pendiam, Arion sangat memahami situasi ini untuk mereka yang baru saja menjalani kehangatan sebagai pengantin baru. Bagi Arion, Airyn justru semakin lucu dan menggemaskan.“Ini dasinya, Ai. Apa kamu masih merasa nggak nyaman? Kalau pegal, nanti aku panggil jasa pijat ke sini, kamu nggak usah ke kantor.”Airyn menggeleng cepat, menegak saliva cukup sulit. Dia juga kesusahan mengumpulkan kata yang tercekat di kerongkongan. Wajah Airyn tidak berhenti memanas, rasanya masih tidak sanggup memandangi pria di hadapannya ini.“E—enggak usah. Aku baik kok, aku nggak pa-pa. K—kamu agak nunduk dikit, badan aku nggak sampe.” Dengan pipi kemerahan paham, Airyn berusaha tetap waras. Dia tahu Arion terus saja memandanginya, sesekali berusaha memberi perhatian dengan kecupan hangat dan kalimat manis penuh kekhawatiran. Padahal Airyn baik, dia tidak k
"Ayah tidak percaya akhirnya kamu akan jatuh cinta." Abimayu tersenyum singkat. "Hanya saja, Ayah tidak bisa bohong, kami terkejut mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Kamu dan Bagas sejak awal yang membuat kebohongan ini, Arion. Kamu kasih data diri Airyn yang berbeda ke Bunda, tidak salah jika Bunda juga kecewa dengan perbuatan kamu."Arion mengangguk, menyadari dosanya. Memang benar, selama-lamanya menyimpan dusta pasti akan ketahuan juga."Aku tahu aku salah, Yah. Aku juga awalnya terlalu takut memberi tahu siapa Airyn. Takut Ayah dan Bunda nggak setuju. Maaf kalau sikap aku masih kekanak-kanakan sekali.""Tunggu Bunda kamu lebih tenang dulu, lalu datanglah ke sini lagi untuk bicara padanya. Jangan sekarang, Ayah juga tidak bisa memaksakannya saat ini. Biarkan Bunda sendiri dulu, sambil belajar menerima.""Iya, Yah. Aku berharap Bunda bisa memahami pilihan aku. Percaya, aku tahu siapa yang terbaik untuk hidupku."Abimayu menghela panjang, memijat pangkal hidungnya. "Untuk saat ini,
Dengan segala ketidaksiapan, serba buru-buru, dan perasaan campur aduk—kini Airyn sudah resmi menikah dengan Arion. Mereka melakukan pemberkatan nikah tanpa gaun pengantin, tanpa tamu undangan, dan tanpa pesta. Bahkan Airyn hanya mengenakan dress yang Bagas belikan secara dadakan, untung Arion peka untuk memanggil penata rias, meski riasan wajah Airyn pun tetap natural.Orang tua Arion tahu, sebab sebelum mengucapkan janji suci, mereka sempat bicara dulu melalui telepon. Abimayu marah dan kecewa mengetahui pemberitaan yang beredar luas menjadi konsumsi massa, kemudian semakin dibuat jantungan dengan keputusan sepihak Arion untuk menikahi Airyn.Abimayu ingin bantu menyelesaikan masalah, mencari jalan keluar bersama tanpa pernikahan secara buru-buru ini, tetapi Arion tetap keras dengan pendiriannya. Megan menangis tersedu-sedu, tidak ingin bicara sepatah kata pun karena terlampau kecewa. Belum lagi ketika Megan mengetahui siapa sebenarnya Airyn. Tidak pernah terbayang olehnya akan memi
Arion melipat kedua tangannya di dada, menatap Airyn yang tampak ngos-ngosan. “Habis lari maraton kamu?” tanyanya setengah mencibir. Belum ada satu jam setelah Arion antarkan tadi, gadis itu kembali muncul di hadapannya. “Luka kamu sembuh?”“Bukan waktunya bertanya, Pak.” Arion menaikkan sebelah alis. Tidak sempat mencecar lebih lanjut, Airyn menerobos masuk. “Gawat, Pak Arion. Kita dapat masalah besar!” paniknya masih berusaha mengatur napas. Pusat kota sedang macet, dia rela lari-larian dari perempatan jalan menuju ke gedung apartemen ini. Kira-kira jaraknya sekitar lima ratus meter, dengan posisi matahari berada di atas kepala.“Minum dulu. Pelan-pelan saja, saya santai orangnya.” Arion mengambilkan air, membukakan tutupnya juga. Kurang perhatian apa lagi dia? Modelan begini saja masih ditolak puluhan kali oleh Airyn.“Pak, Mama laporin Bapak ke polisi.”Tidak kaget, Arion justru tertawa. “Bapak jangan ketawa, aku serius. Mama udah pergi dari tadi buat bikin laporan. Gimana ini?”
“Pak, udah!” Airyn berusaha menjauhkan wajah, tetapi Arion masih sibuk mengecupi pipinya sambil memeluk. Entah kenapa, setiap dipangku dengan posessif, jantung Airyn berdebar tidak keruan. Dia bahkan tidak bisa berpikir jernih, semacam hilang kendali diri.“Diam, saya lagi isi daya. Meski hari libur, kerjaan saya menumpuk. Saya perlu energi.”“Kayak hp aja perlu isi daya segala. Manusia cuman perlu istirahat, Pak.”“Saya bukan manusia, mungkin saya semacam malaikat.” Arion terkekeh, menaikkan bahu tak peduli jika Airyn mencibir kepercayaan dirinya setinggi langit. “Nyaman sekali pelukan sama kamu, saya jadi semangat. Pegal saya hilang, tanpa dipijat.”“Aku pengap, mulai sesak napas. Lama banget isi dayanya, udah terhitung setengah jam lebih. Aku belum beberes, belum siapin sarapan. Memangnya Pak Arion nggak laper?”“Kalau sama kamu, saya tidak kenal laper.”Airyn tertawa cemooh. “Udah, Pak, jangan kebanyakan bercanda dan ngegombal. Aku mau cepat pulang, Pak Arion suka ngulur waktu.”“