Di sebuah jalan di Kota Melbourne, Australia. Terdapat seorang gadis berambut hitam panjang terurai yang berpakaian layaknya pekerja kantoran pada umumnya.
Yaitu rok span putih yang dipadu dengan kemeja kasual berwarna cokelat. Selintas pakaian itu terlihat sangat cocok untuknya.
"Ah, capek banget hari ini," gerutu gadis itu lumayan keras.
Wajahnya tampak kusut dan kusam, sepertinya dia memang sudah sangat berusaha keras untuk hari ini. Namun, meski penampilannya terlihat lusuh seperti itu. Si gadis tetap saja terlihat cantik dan menawan, seolah-olah semua itu tadi tidak mampu untuk menutupi kecantikannya. Baik dalam keadaan lusuh dan dekil sekalipun.
Di antara banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, hanya gadis itulah yang paling kelihatan menonjol dibandingkan yang lain. Bagaimana tidak, gadis itu memiliki wajah sangat manis dan cantik.
Gadis berdarah campuran itu terlihat sangat menawan dengan warna kulit eksotis miliknya. Belum ditambah lagi dengan alis tebal, hidung mancung, bibir merah berisi, dan lesung pipi yang berada di sebelah kanan pipinya.
Sambil terus berjalan dengan menenteng tas di tangan kiri dan kantung plastik berisi bahan makanan di tangan kanan, gadis itu masih tetap saja menggerutu merutuki kesialan yang didapatinya sepanjang hari ini.
Banyak hal buruk yang terjadi padanya hari ini. Itulah yang membuat mood gadis itu lumayan berantakan sekarang. Pikirannya hanya dipenuhi dengan rasa kesal terhadap kejadian yang menimpanya di kantor tadi.
Sambil menghela napas panjang, si gadis tadi terus saja melanjutkan lamunannya.
"Pak Bos tega banget nyuruh gue buat kerja lembur sendirian. Nggak tahu apa kalau gue ini masih tetep perempuan, belum kawin lagi. Kalau gua diculik orang gimana, dijual gimana, terus diper—"
"Dih, amit-amit. Amit-amit Ya Tuhan, jangan sampai," lanjut si gadis dengan memukul-mukul kepalanya sambil berjalan tanpa melihat ke arah depannya.
Tiba-tiba dengan sangat cepat gadis itu hampir saja terjatuh ke belakang, untung saja ada seseorang yang mau menolongnya.
Apabila tidak ada seseorang yang kini sedang menahan pinggangnya dari belakang, bisa dipastikan seperti apa malunya dia terjatuh di depan umum sambil ditonton oleh banyaknya orang yang berada di sana.
Hampir semua orang yang melintasi jalan, ikut menoleh ke arahnya dengan wajah yang penuh rasa ingin tahu. Mereka semua penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Karena sekilas mereka terlihat seperti sedang melakukan adegan berpelukan sepasang kekasih. Persis seperti di dalam film-film romantis.
"Permisi, Nona, tanganku sudah mulai pegal."
Seperti tidak tahu keadaan, suara tegas dan dalam itu seolah memaksa si gadis itu untuk bangkit dari keterkejutannya. Sudah hampir jatuh dipeluk orang lagi, itu pikirnya.
Tunggu sebentar, ini kan suara seorang pria. Jangan-jangan yang memeluknya juga, ah sialan. Gadis itu saja belum pernah berpacaran seumur hidupnya, bagaimana bisa dia tenang dipeluk oleh seorang pria.
Meski niat orang itu hanya untuk membantunya, tapi kan tetap saja. Astaga, dia masih berada di dalam dekapan pria itu.
Saat sudah mulai tersadar, sontak saja gadis itu langsung buru-buru melepaskan diri dari 'pelukan' pria itu sambil membenahi pakaiannya yang kusut. Dia terlihat agak salah tingkah sekarang.
Diam-diam dia melirik ke arah sang pria yang telah menolongnya itu, dan si gadis pun langsung terperangah takjub.
Apa-apaan wajah tampan pria ini, pikirnya. Sangat tidak manusiawi, ah, bukan. Wajahnya terlalu sempurna.
Gadis itu teringat bahwa dia belum berterima kasih pada pria yang telah menolongnya dirinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, dan maaf soal yang barusan," ucap gadis itu dengan nada yang tidak enak hati.
"Lain kali berhati-hatilah, Nona." Ucap sang pria tanpa menghiraukan perkataan dari si gadis.
Karena malu tidak diberi tanggapan dari sang pria, gadis itu pun memutuskan untuk pamit. Meski dalam hati dia merasa sedikit tidak rela untuk meninggalkan pria tampan itu.
"Ah, tentu. Terima kasih sekali lagi. Kalau begitu, aku permisi dulu," pamit gadis itu pada akhirnya.
Masih saja tidak ada tanggapan yang berarti dari sang pria. Tanpa banyak berpikir lagi, gadis itu pun langsung melangkahkan kaki pergi dari sana.
Jika saja dia tidak sedang kelelahan sekarang, pasti dia akan lebih memilih betah untuk berlama-lama tinggal di samping pria yang dingin itu.
***
Sepuluh menit sudah berlalu semenjak kejadian yang dialaminya tadi. Gadis itu pun juga hampir sampai ke apartemennya yang tinggal beberapa meter lagi.
Si gadis pun sudah mulai membayangkan betapa nyamannya dia saat berendam di dalam air hangat nanti, sembari menghirup aroma memenangkan yang menguar dari lilin-lilin aromatik miliknya.
Namun sayang, sepertinya dia harus menunda dulu keinginannya itu. Pertama-tama dia harus mengambil kembali dompet miliknya yang hilang.
Kemungkinan, dompet itu masih berada tidak jauh dari tempat dia hampir terjatuh tadi. Sekarang dia harus bergegas pergi, sebelum dompet miliknya benar-benar menghilang.
"Ah, di sana tadi tempatnya," gumam gadis itu pelan.
Sesampainya di tempat, dia langsung melihat ke sana kemari, berharap dompetnya yang berisi uang dan kartu tanda identitas itu bisa segera ditemukan.
"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telinganya.
"Iya, itu dompetku," jawab gadis itu singkat.
"Kau terlalu ceroboh," sindir sang pria sembari menyerahkan dompet milik si gadis.
"Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?"
"Albern."
"Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucap sang gadis tulus.
"Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu."
"Excuse me?" tanya gadis itu.
"Biarkan aku menginap di rumahmu," jawab sang pria.
"Kamu serius?!" tanya gadis itu memastikan.
"Pelankan suaramu," sindir sang pria.
"Maaf."
Entah si gadis harus bersyukur atau sebaliknya sekarang. Meski dia sudah tinggal cukup lama di Melbourne, tapi dia juga sama sekali belum pernah membawa masuk seseorang ke dalam apartemennya.
Apalagi ini, seorang pria. Bukannya dia tidak senang bisa berduaan semalaman bersama pria dingin yang sialnya sangat tampan itu.
"Albern, maaf, bukannya aku mau menolak. Tapi aku sama sekali belum pernah membawa seorang pria masuk ke dalam tempat tinggalku," jelas gadis itu pelan-pelan.
"Aku mengerti," jawab sang pria sangat singkat.
"Maaf, kalau begitu aku pulang dulu ya?" pamit gadis itu pada sang pria.
"...."
Tak ada jawaban dari pria itu. Namun, meski dengan berat hati, dia harus tetap pulang ke apartemennya sekarang. Karena hari sudah semakin larut. Tidak baik untuknya berkeliaran tengah malam.
Baru tiga langkah dia melangkahkan kaki, sebuah tangan besar dan hangat menahan lengannya. Seakan memintanya untuk jangan pergi dari sana. Ya, tangan itu adalah milik Albern.
Tanpa perlu menoleh si gadis pun bertanya, "Ada apa?"
"Tolong bawa aku, hanya untuk malam ini saja."
"Miss Anna, berkas-berkasnya sudah kamu berikan kepada Pak Lucas?" tanya seorang wanita paruh baya kepada bawahannya."Sudah semua, Bu," jawab gadis itu."Bagus, hanya itu yang ingin saya tanyakan. Kamu boleh kembali bekerja," ucap sang manajer."Baik, Bu."***~Anna POV~Akhirnya, Bu Joanna pergi juga dari ruanganku. Sudah cukup aku menahan napas sedari tadi, suasana terlalu tegang bila beliau hadir di sini.Jangan salah paham, Bu Joanna sangat baik kepada kami para bawahannya. Namun tetap saja, ketika menyangkut tentang pekerjaan. Beliau akan berubah menjadi seseorang yang sangat tegas dan disiplin."Hei, kau baik-baik saja Anna?" tanya Julian rekanku di sini dengan khawatir.
"Anna, aku mau nyobain yang rasa vanilla," pinta Julian padaku."Ini, ambil saja punyaku," ujarku sembari menyerahkan es krim milikku ke hadapannya."Woah, thank you, dear. Gak mau nyicip punyaku juga?" tanyanya."Nggak, ah. Aku nggak terlalu suka cokelat," jawabku.Aku lebih suka rasa vanilla, dibandingkan cokelat. Entahlah, dari dulu aku memang tidak terlalu menyukainya. Terasa aneh saja di lidahku, makanya aku enggan untuk menyicipi es krim rasa cokelat milik Julian."Dasar aneh, padahal cokelat itu enak banget loh," sindirnya padaku."Kan emang nggak suka, mau diapain?" tanyaku menantang."Anna, ih..."Yah, mulai lagi deh merajuknya. Aku heran, kenapa orang-orang di kantor sering kali menghindari Julian. Kata mereka dia galak, tapi coba lihat sekarang. Yang ada Julian itu identik dengan anak kecil, sifatnya saja sebelas dua belas dengan an
Aku curiga, pasti ada seseorang yang dengan sengaja menjebakku. Entah apa yang menjadi alasan si pelaku untuk menjebakku. Tapi aku harus berterima kasih padanya nanti. Berkat dia, aku sekarang sudah memutuskan untuk memberi password pada komputerku. Agar kejadian yang sama tidak kembali terulang."Anna, aku minta maaf soal yang tadi. Aku bukannya bermaksud untuk meninggalkanmu bersama Liam. Tapi karena aku sudah berjanji untuk membantunya mendekatimu makanya—""Sudahlah jangan dipikirkan, Julian. Aku sudah melupakannya," potongku.Setelah itu, aku pun mulai menceritakan semua kejadian yang kualami tadi kepada Julian. Aku memang sedang tidak ingin membahas soal Pak Liam di sini. Aku hanya sedang pusing memikirkan masalah yang kuhadapi kali ini."Tapi, bagaimana dengan kejadian yang barusan. Siapa sebenarnya yang tega melakukan itu kepada Anna
"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telingaku."Iya, itu dompetku," jawabku singkat. Syukurlah dompet itu tidak jadi hilang."Kau terlalu ceroboh," sindir pria itu sembari menyerahkan dompet itu padaku."Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?""Albern.""Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucapku tulus."Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu.""Excuse me?" tanyaku tidak yakin. Mana mungkin pria sepertinya bisa bersikap sekasar itu kepada seorang wanita sepertiku."Biarkan aku menginap di rumahmu," jawabnya. Pria ini benar-benar sedang menguji kesabaranku.
Di dapur, aku memilih untuk memasak masakan rumahan yang sederhana. Alasannya sih, karena simpel dan cepat matangnya. Aku cuma membuat tiga menu masakan andalanku. Yaitu tumis sayur, omelette, dan sambal."Kira-kira Al doyan sama masakan gue nggak ya. Eh, tapi bule zaman sekarang sudah pada doyan makan sambal kan," gumamku."Anna?"Tiba-tiba saja Albern muncul dari belakang, mengagetkanku. Hampir saja aku memukulnya dengan sendok nasi, untung saja aku masih bisa menahannya. Kalau tidak, betapa sayangnya bila jidatnya yang mulus itu menjadi benjol karenaku."Iya, Al. Ada apa?" tanyaku pada akhirnya."Masakanmu harum," jawabnya."Oh, apakah kamu suka dengan aromanya?" tanyaku lagi."Ya. Anna, itu masakan apa?" tanyanya balik.
Di lain tempat, ada sepasang pria dan wanita yang sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius. Dapat dilihat dari sang wanita yang tampak tidak setuju dengan apa yang dibicarakan oleh sang pria."Mau sampai kapan kau ingin menyembunyikan itu?" tanya sang wanita."....""Mau sampai kapan kau mau menyembunyikannya dari Anna, Liam?" tanya Julian pada akhirnya. Ya, wanita itu adalah Julian."Sampai dia mengingatku lagi," jawab Liam singkat."Tapi itu hal yang mustahil, bodoh. Kalian bertemu sepuluh tahun yang lalu, terus apalagi yang kau harapkan dari itu?" tanya wanita itu lagi."Anna pasti akan mengingatku, aku sangat yakin dia pasti akan mengingatku suatu hari nanti," jawab Liam tegas."Coba kau pikirkan baik-baik dengan ak
Entah kenapa, Julian yang mendengar pertanyaanku raut wajahnya seperti sangat terkejut. Ada apa memangnya, apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya."Julian, kenapa?" tanyaku khawatir."Tidak, Anna. Aku tidak apa-apa," jawabnya gugup."Wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya. Julian, apa aku menanyakan hal yang salah?" tanyaku cemas."Tidak, Anna. Kau tidak salah, aku hanya merasa sedikit tidak enak badan," jawab Julian."Baiklah kalau begitu. Ayo, sebaiknya kamu pergi beristirahat sebentar. Mumpung jam istirahat masih berlangsung agak lama," ujarku memberi saran."Terima kasih, Anna.""Sama-sama, Sayang," gurauku.Melihatnya seperti itu, membuatku sedikit terkejut dan merasa aneh. Ini salah, mun
Seakan waktu terhenti, aku lantas memandangi Albern yang baru saja mengatakan hal yang manis padaku. Jangan bilang kalau aku sedang baper sekarang."Menyukai apa, Al. Aku?" tanyaku dengan penuh rasa percaya diri."Bukan kau, tapi tingkahmu," sanggah Al.Ah, aku sakit hati teman-teman. Dia sih yang membuat aku salah paham terlebih dulu. Siapa coba yang tidak senang kalau disukai oleh Albern si tampan. Tapi tetap saja bukan."Kamu baru saja menyakiti hatiku, Al," ungkapku berlebihan."Apa?""Tidak jadi, lupakan saja," ucapku buru-buru.Bagaimana bisa aku bertingkah seperti ini padanya. Bagaimana pun, kami ini masih menjadi orang asing dan bukanlah sepasang kekasih. Apalagi kami ini baru saja bertemu kemarin malam. Tapi biarlah, aku juga bahagia bertingkah seperti itu di hadapannya."Kamu sudah makan siang?" tanyaku mencoba untuk mengalihkan.
~Anna POV~"Apa?!" teriakku."Kamu tidak salah, Al? Ini hanya candaan kamu saja, bukan?" lanjutku bertanya.Apa-apaan ini, yang benar saja. Albern memintaku untuk menjadi kekasihnya, ini sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku. Ku pikir Al akan meminta sesuatu kepadaku, tapi yang pasti bukan untuk menjadi kekasihnya. Ini benar-benar mengejutkanku.Ya Tuhan, apa aku hanya salah mendengar tadi. Iya, pasti begitu. Tidak mungkin Al menembakku. Yang benar saja, kami baru saja bertemu beberapa hari yang lalu loh. Belum lagi dengan identitas Al yang belum ku ketahui, nama belakangnya saja aku tidak tahu."Aku tidak bercanda, Anna. Aku serius," ujar Al menyadarkanku."Tapi ... bahkan aku belum tahu banyak tentangmu, Albern.""Kau bisa mencari tahunya sendiri setelah menjadi kekasih ku, Anna," balas Albern."S-sebentar, kamu benar-benar serius?" tanya
"Maaf, Anna. Aku tidak bisa menemanimu pergi ke pesta. Karena kemungkinan aku baru bisa diizinkan pulang besok pagi," ujar Julian tidak enak hati."Tidak apa, jangan dipikirkan. Aku lah yang seharusnya khawatir, kamu kan jadi tidak bisa ikut bersenang-senang denganku di pesta," canda Anna.Anna memang cukup mengkhawatirkan wanita itu. Julian dirawat sendiri di sini tanpa adanya seseorang yang menemani. Anna tidak berani bertanya soal itu kepada Julian, karena menurutnya hal ini merupakan bagian dari privasinya. Anna hanya bisa menunggu sampai wanita itu sendiri yang menceritakannya padanya."Aku akan buat pesta sendiri nanti," balasnya dengan wajah cemberut."Yang penting, kamu harus sehat dulu sekarang," ujar Anna menasehati."Yes, Mam," gurau Julian.Dan mereka berdua pun tertawa bersama. Anna sudah menemani Julian sejak dia pulang dari kerja, sekitar dua jam yang lalu. Anna tidak
Anna sedang memikirkan keadaan Julian sekarang, sampai-sampai dia menjadi tidak fokus untuk mengerjakan sesuatu di kantor. Para rekan kerjanya juga turut menjadi khawatir melihat Anna yang seperti ini."Anna, kamu izin pulang saja sekarang," saran Ailee rekan sekantornya."Ah, tidak perlu. Sebentar lagi kita juga pulang bukan," tolak Anna secara halus."Tapi kami semua mengkhawatirkan kamu, Anna. Seharian ini kamu menjadi tidak fokus, tidak seperti kamu yang biasanya," ungkap Ailee khawatir.Anna melihat ke seluruh ruangan, dapat dilihat semua rekan kerja Anna sedang menatapnya khawatir. Anna menjadi merasa tidak enak sudah membuat mereka semua mengkhawatirkan dirinya."Maaf, karena membuat kalian semua khawatir. Tapi aku sekarang sudah agak baikan. Jadi, jangan khawatirkan aku lagi ya teman-teman," ujar Anna sembari mengerlingkan matanya menggoda.Banyak di antara rekan kerja
"Anna, nanti datang, ya, ke pesta ulang tahunku!" seru Vella sambil menyerahkan selembar undangan pada Anna.Siapa wanita ini, pikir Anna mengingat-ingat. Anna memang memiliki sedikit masalah dengan memori otaknya, dia memiliki kecenderungan untuk melupakan sesuatu.Padahal gadis itu harus bisa mengendalikan kekurangannya, mau tidak mau."Ah, iya. Happy Birthday, Vella," ucap Anna dengan canggung. Hampir saja dia tidak mengingatnya."Haha, nanti besok malam saja ucapannya. Dan jangan lupa untuk membawa pasanganmu, Anna," imbuh Vella mengingatkan."Hah, pasangan?!" pekik Anna."Iya, pasangan. Soalnya pestaku akan mengadakan acara dansa bersama dipertengahan acara nanti, lebih lengkapnya bisa kamu cek sendiri di undangannya," ujar Vella menjelaskan."Okay, terima kasih buat undangannya," balas Anna dengan tersenyum masam."Siap, jangan sampai t
Seakan waktu terhenti, aku lantas memandangi Albern yang baru saja mengatakan hal yang manis padaku. Jangan bilang kalau aku sedang baper sekarang."Menyukai apa, Al. Aku?" tanyaku dengan penuh rasa percaya diri."Bukan kau, tapi tingkahmu," sanggah Al.Ah, aku sakit hati teman-teman. Dia sih yang membuat aku salah paham terlebih dulu. Siapa coba yang tidak senang kalau disukai oleh Albern si tampan. Tapi tetap saja bukan."Kamu baru saja menyakiti hatiku, Al," ungkapku berlebihan."Apa?""Tidak jadi, lupakan saja," ucapku buru-buru.Bagaimana bisa aku bertingkah seperti ini padanya. Bagaimana pun, kami ini masih menjadi orang asing dan bukanlah sepasang kekasih. Apalagi kami ini baru saja bertemu kemarin malam. Tapi biarlah, aku juga bahagia bertingkah seperti itu di hadapannya."Kamu sudah makan siang?" tanyaku mencoba untuk mengalihkan.
Entah kenapa, Julian yang mendengar pertanyaanku raut wajahnya seperti sangat terkejut. Ada apa memangnya, apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya."Julian, kenapa?" tanyaku khawatir."Tidak, Anna. Aku tidak apa-apa," jawabnya gugup."Wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya. Julian, apa aku menanyakan hal yang salah?" tanyaku cemas."Tidak, Anna. Kau tidak salah, aku hanya merasa sedikit tidak enak badan," jawab Julian."Baiklah kalau begitu. Ayo, sebaiknya kamu pergi beristirahat sebentar. Mumpung jam istirahat masih berlangsung agak lama," ujarku memberi saran."Terima kasih, Anna.""Sama-sama, Sayang," gurauku.Melihatnya seperti itu, membuatku sedikit terkejut dan merasa aneh. Ini salah, mun
Di lain tempat, ada sepasang pria dan wanita yang sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius. Dapat dilihat dari sang wanita yang tampak tidak setuju dengan apa yang dibicarakan oleh sang pria."Mau sampai kapan kau ingin menyembunyikan itu?" tanya sang wanita."....""Mau sampai kapan kau mau menyembunyikannya dari Anna, Liam?" tanya Julian pada akhirnya. Ya, wanita itu adalah Julian."Sampai dia mengingatku lagi," jawab Liam singkat."Tapi itu hal yang mustahil, bodoh. Kalian bertemu sepuluh tahun yang lalu, terus apalagi yang kau harapkan dari itu?" tanya wanita itu lagi."Anna pasti akan mengingatku, aku sangat yakin dia pasti akan mengingatku suatu hari nanti," jawab Liam tegas."Coba kau pikirkan baik-baik dengan ak
Di dapur, aku memilih untuk memasak masakan rumahan yang sederhana. Alasannya sih, karena simpel dan cepat matangnya. Aku cuma membuat tiga menu masakan andalanku. Yaitu tumis sayur, omelette, dan sambal."Kira-kira Al doyan sama masakan gue nggak ya. Eh, tapi bule zaman sekarang sudah pada doyan makan sambal kan," gumamku."Anna?"Tiba-tiba saja Albern muncul dari belakang, mengagetkanku. Hampir saja aku memukulnya dengan sendok nasi, untung saja aku masih bisa menahannya. Kalau tidak, betapa sayangnya bila jidatnya yang mulus itu menjadi benjol karenaku."Iya, Al. Ada apa?" tanyaku pada akhirnya."Masakanmu harum," jawabnya."Oh, apakah kamu suka dengan aromanya?" tanyaku lagi."Ya. Anna, itu masakan apa?" tanyanya balik.
"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telingaku."Iya, itu dompetku," jawabku singkat. Syukurlah dompet itu tidak jadi hilang."Kau terlalu ceroboh," sindir pria itu sembari menyerahkan dompet itu padaku."Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?""Albern.""Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucapku tulus."Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu.""Excuse me?" tanyaku tidak yakin. Mana mungkin pria sepertinya bisa bersikap sekasar itu kepada seorang wanita sepertiku."Biarkan aku menginap di rumahmu," jawabnya. Pria ini benar-benar sedang menguji kesabaranku.