Di lain tempat, ada sepasang pria dan wanita yang sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius. Dapat dilihat dari sang wanita yang tampak tidak setuju dengan apa yang dibicarakan oleh sang pria.
"Mau sampai kapan kau ingin menyembunyikan itu?" tanya sang wanita.
"...."
"Mau sampai kapan kau mau menyembunyikannya dari Anna, Liam?" tanya Julian pada akhirnya. Ya, wanita itu adalah Julian.
"Sampai dia mengingatku lagi," jawab Liam singkat.
"Tapi itu hal yang mustahil, bodoh. Kalian bertemu sepuluh tahun yang lalu, terus apalagi yang kau harapkan dari itu?" tanya wanita itu lagi.
"Anna pasti akan mengingatku, aku sangat yakin dia pasti akan mengingatku suatu hari nanti," jawab Liam tegas.
"Coba kau pikirkan baik-baik dengan akal sehatmu itu, Liam. Sudah sepuluh tahun berlalu, dan pasti banyak sekali orang yang sudah ditemuinya. Arrgh, astaga ... aku benar-benar tidak habis pikir lagi denganmu!" seru wanita itu.
"Biar kuingatkan sekali lagi. Kau itu hanya bertemu dengannya sebanyak dua kali, dan itu pun sepuluh tahun yang lalu. Huft, aku menyerah. Sekarang terserah kau, mau berbuat apa. Aku tidak ingin ikut campur lagi!" serunya kesal melanjutkan.
"Aku tahu, Julian," balas sang pria.
"Kalau kau tahu—"
"Sudahlah, Julian. Aku tidak ingin membicarakannya lagi. Kalau begitu, aku mau lanjut bekerja dulu," potong Liam.
Setelah selesai berkata seperti itu, Liam pun langsung beranjak pergi meninggalkan Julian seorang diri di atap kantor mereka. Tanpa Liam tahu, sekarang Julian sedang menatap hampa dan sedih ke arah punggung sang pria yang semakin menjauh.
"Kita sama, Liam," lirih wanita itu pilu.
Memang tidak ada yang tahu rahasia Julian selama ini, karena memang dia tidak berniat untuk memberi tahu siapa pun mengenai rahasianya, termasuk kepada Anna. Rahasia yang sudah dipendamnya selama ini. Rahasia yang dia pikir akan menghancurkan kedua orang terdekatnya, apabila mereka mengetahuinya.
***
~Julian POV~
Entah aku harus merasa bersyukur atau bersalah sekarang. Karena Liam masih belum ingin mengatakan rahasianya kepada Anna, sahabatnya.
Pada satu sisi aku merasa bersyukur. Karena aku bisa menghabiskan waktu bersama Liam lebih lama lagi. Ya, rahasia dan kesalahanku adalah mencintai Liam, saudaraku sendiri.
Aku tahu, aku salah. Dan aku pun tahu dia adalah sepupuku. Tapi siapa yang akan menyangka, bahwa cinta pertamaku adalah Liam. Aku sudah pernah menyangkal perasaan ini dengan cara bergonta-ganti pasangan. Tapi tetap saja, rasaku padanya tidaklah semudah itu untuk dihilangkan.
Tidak ada yang mengetahui ini, bahkan Liam sekali pun. Aku juga yakin, bahwa dia tidak akan pernah menyadari perasaanku. Kami tidak pernah bertingkah selayaknya saudara pada umumnya. Yang ada hanyalah bertengkar, bertengkar, dan bertengkar.
Baiklah, lanjut. Pada satu sisi yang lainnya, aku merasa bersalah kepada Anna karena sudah menyembunyikan rahasia milik mereka. Aku tahu aku sudah turut ikut campur terlalu dalam kedalam urusan Liam.
Aku tahu selama ini Anna tidak pernah menyukai Liam sama sekali, dan aku pun tahu ... Anna cukup terganggu dengan kehadiran Liam yang suka menjahilinya. Tapi mungkin saja hal itu bisa berubah, apabila Anna sudah mengetahui rahasia yang disimpan Liam selama ini. Dan aku sama sekali belum siap dengan hal itu. Aku masih tidak siap kehilangan Liam secepat ini. Meski kepada sahabatku sendiri. Salahkah aku.
~Julian POV End~
***
Kembali ke kantor, terlihat Anna yang sedang mondar-mandir di depan ruangan milik atasannya. Anna berniat untuk meluruskan kesalahpahaman yang ada di antara dirinya dan atasannya alias Bu Joanna. Anna tidak ingin dirinya dicap buruk oleh atasannya itu, maka dari itu dia memberanikan diri untuk menemui Bu Joanna.
Sudah hampir sepuluh menit Anna menunggu di sana, dan sudah selama itu pula dia tidak bisa diam. Sepertinya tamu Bu Joanna sudah selesai dengan urusannya. Baiklah Anna, kau harus tenang, perintahnya dari dalam hati.
"Miss Anna, masuklah!" perintah Bu Joanna dari dalam ruangannya.
"Baik, Bu," balas Anna dengan sopan.
Sesampainya Anna ke dalam ruangan, dia pun dengan sopan menundukkan sedikit kepalanya untuk menghormati atasannya yang sedang berbicara kepadanya.
"Ada apalagi menemui ku?" tanya Bu Joanna penasaran.
"Saya ingin kembali meluruskan masalah yang terjadi kemarin, Bu," jawab Anna sedikit gugup.
"Apalagi yang ingin diluruskan Miss Anna, baiklah. Kuberi waktu lima menit untuk menjelaskannya, cukup bukan?"
"Cukup, Bu."
"Baik, silakan menjelaskan," ujar Bu Joanna.
"Saya memiliki bukti rekaman tentang kejadian yang kemarin, Bu. Rekaman itu membuktikan kalau saya sama sekali tidak bersalah. Saya hanya dijebak, Bu," jelas Anna to the point.
"Oke, coba putarkan rekamannya," titah atasannya itu.
"Baik, Bu."
Setelah mendengar rekaman yang diputar oleh Anna, "Siapa mereka?" tanya Bu Joanna.
"Olla dan teman-temannya, Bu," jawab Anna lugas.
"Baiklah, setelah ini saya akan memanggil mereka ke sini. Untuk kejadian yang kemarin, saya meminta maaf kepada kamu. Saya telah salah paham kemarin," ujar Bu Joanna menyesal.
"Tidak apa-apa, Bu."
"Kalau begitu, sebagai kompensasi atas keteledoran saya. Kamu saya izinkan untuk meminta sesuatu kepada saya, baik cuti atau apa pun. Silakan," titah atasannya.
"Kalau untuk saat ini, saya masih tidak ingin cuti, Bu. Kira-kira, kesempatan ini berlaku sampai kapan ya?" tanya Anna ingin tahu.
"Selama kamu masih bekerja di sini, maka kesempatan itu akan terus berlaku. Kalau kamu sudah memutuskan ingin cuti kapan, kamu bisa langsung pergi ke HRD dan meminta surat persetujuan cuti dari saya. Mengerti?"
"Saya mengerti, Bu," jawab Anna.
"Baiklah, kalau begitu kamu boleh keluar."
"Baik, Bu. Terima kasih."
***
~Anna POV~
Syukurlah masalahku dengan Bu Joanna sudah selesai, kesalahpahaman di antara kami pun sudah menghilang. Lega sekali, aku harus memberi tahu Julian tentang ini.
Aku akan mengirim pesan padanya, agar dia bisa dengan cepat kembali ke kantor dan berbicara padaku. Dengar-dengar tadi dia akan pergi bersama Pak Liam, tapi aku tidak tahu mereka pergi ke mana.
Ah, sudah ada balasan dari Julian. Dia mengatakan akan segera datang ke sini, dia menyuruhku untuk menunggunya di ruang kerja kami. Aku harus segera sampai di sana, karena aku sangat tidak sabar untuk segera menceritakannya kepada Julian.
Tidak sampai sepuluh menit, Julian sudah tiba di ruangan. Napasnya tersengal-sengal, sepertinya dia terburu-buru dan berlari untuk segera sampai ke sini.
"Anna?"
"Iya, tunggu dulu. Tarik napas, buang. Ulangi. Sudah tenang?" potongku.
"Lumayan. By the way, ada apa kau memanggilku. Tumben sekali. Makanya kupikir ada sesuatu yang terjadi padamu, jadi aku bergegas untuk bisa segera sampai ke sini. Sebenarnya ada apa?" tanya Julian padaku.
"Tidak terjadi apa-apa, kok. Aku cuma mau bilang, kalau masalahku yang kemarin itu sudah selesai kubereskan. Dan ... aku mendapat tiket untuk cuti secara cuma-cuma, langsung dari Bu Joanna sendiri," jelasku menggebu-gebu.
"Woah, benarkah itu?" tanyanya tidak mempercayaiku.
"Iya, benar."
"Kalau begitu, bagaimana caramu untuk menyelesaikannya? Aku membuatku penasaran, Anna," ujarnya jujur.
"Gampang, kamu ingat? Waktu kemarin kamu mengantarkanku ke kamar mandi?" tanyaku memastikan.
"Iya, terus?"
"Kebetulan pada waktu itu, aku bertemu dengan Olla dan teman-temannya. Aku mendengar mereka membicarakan tentangku, sewaktu aku masih di dalam salah satu bilik di sana. Tanpa membuang kesempatan lagi, aku pun langsung merekam pembicaraan mereka. Aku cerdas, bukan?" jelasku menyombongkan diri.
"Ya, ya, dan ya. Sahabatku memang genius," balas Julian dengan mimik wajah yang menyindir.
"Ngomong-ngomong, Julian. Apakah kamu tahu alasan di balik Pak Liam yang selalu mengejar-ngejarku?"
Entah kenapa, Julian yang mendengar pertanyaanku raut wajahnya seperti sangat terkejut. Ada apa memangnya, apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya."Julian, kenapa?" tanyaku khawatir."Tidak, Anna. Aku tidak apa-apa," jawabnya gugup."Wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya. Julian, apa aku menanyakan hal yang salah?" tanyaku cemas."Tidak, Anna. Kau tidak salah, aku hanya merasa sedikit tidak enak badan," jawab Julian."Baiklah kalau begitu. Ayo, sebaiknya kamu pergi beristirahat sebentar. Mumpung jam istirahat masih berlangsung agak lama," ujarku memberi saran."Terima kasih, Anna.""Sama-sama, Sayang," gurauku.Melihatnya seperti itu, membuatku sedikit terkejut dan merasa aneh. Ini salah, mun
Seakan waktu terhenti, aku lantas memandangi Albern yang baru saja mengatakan hal yang manis padaku. Jangan bilang kalau aku sedang baper sekarang."Menyukai apa, Al. Aku?" tanyaku dengan penuh rasa percaya diri."Bukan kau, tapi tingkahmu," sanggah Al.Ah, aku sakit hati teman-teman. Dia sih yang membuat aku salah paham terlebih dulu. Siapa coba yang tidak senang kalau disukai oleh Albern si tampan. Tapi tetap saja bukan."Kamu baru saja menyakiti hatiku, Al," ungkapku berlebihan."Apa?""Tidak jadi, lupakan saja," ucapku buru-buru.Bagaimana bisa aku bertingkah seperti ini padanya. Bagaimana pun, kami ini masih menjadi orang asing dan bukanlah sepasang kekasih. Apalagi kami ini baru saja bertemu kemarin malam. Tapi biarlah, aku juga bahagia bertingkah seperti itu di hadapannya."Kamu sudah makan siang?" tanyaku mencoba untuk mengalihkan.
"Anna, nanti datang, ya, ke pesta ulang tahunku!" seru Vella sambil menyerahkan selembar undangan pada Anna.Siapa wanita ini, pikir Anna mengingat-ingat. Anna memang memiliki sedikit masalah dengan memori otaknya, dia memiliki kecenderungan untuk melupakan sesuatu.Padahal gadis itu harus bisa mengendalikan kekurangannya, mau tidak mau."Ah, iya. Happy Birthday, Vella," ucap Anna dengan canggung. Hampir saja dia tidak mengingatnya."Haha, nanti besok malam saja ucapannya. Dan jangan lupa untuk membawa pasanganmu, Anna," imbuh Vella mengingatkan."Hah, pasangan?!" pekik Anna."Iya, pasangan. Soalnya pestaku akan mengadakan acara dansa bersama dipertengahan acara nanti, lebih lengkapnya bisa kamu cek sendiri di undangannya," ujar Vella menjelaskan."Okay, terima kasih buat undangannya," balas Anna dengan tersenyum masam."Siap, jangan sampai t
Anna sedang memikirkan keadaan Julian sekarang, sampai-sampai dia menjadi tidak fokus untuk mengerjakan sesuatu di kantor. Para rekan kerjanya juga turut menjadi khawatir melihat Anna yang seperti ini."Anna, kamu izin pulang saja sekarang," saran Ailee rekan sekantornya."Ah, tidak perlu. Sebentar lagi kita juga pulang bukan," tolak Anna secara halus."Tapi kami semua mengkhawatirkan kamu, Anna. Seharian ini kamu menjadi tidak fokus, tidak seperti kamu yang biasanya," ungkap Ailee khawatir.Anna melihat ke seluruh ruangan, dapat dilihat semua rekan kerja Anna sedang menatapnya khawatir. Anna menjadi merasa tidak enak sudah membuat mereka semua mengkhawatirkan dirinya."Maaf, karena membuat kalian semua khawatir. Tapi aku sekarang sudah agak baikan. Jadi, jangan khawatirkan aku lagi ya teman-teman," ujar Anna sembari mengerlingkan matanya menggoda.Banyak di antara rekan kerja
"Maaf, Anna. Aku tidak bisa menemanimu pergi ke pesta. Karena kemungkinan aku baru bisa diizinkan pulang besok pagi," ujar Julian tidak enak hati."Tidak apa, jangan dipikirkan. Aku lah yang seharusnya khawatir, kamu kan jadi tidak bisa ikut bersenang-senang denganku di pesta," canda Anna.Anna memang cukup mengkhawatirkan wanita itu. Julian dirawat sendiri di sini tanpa adanya seseorang yang menemani. Anna tidak berani bertanya soal itu kepada Julian, karena menurutnya hal ini merupakan bagian dari privasinya. Anna hanya bisa menunggu sampai wanita itu sendiri yang menceritakannya padanya."Aku akan buat pesta sendiri nanti," balasnya dengan wajah cemberut."Yang penting, kamu harus sehat dulu sekarang," ujar Anna menasehati."Yes, Mam," gurau Julian.Dan mereka berdua pun tertawa bersama. Anna sudah menemani Julian sejak dia pulang dari kerja, sekitar dua jam yang lalu. Anna tidak
~Anna POV~"Apa?!" teriakku."Kamu tidak salah, Al? Ini hanya candaan kamu saja, bukan?" lanjutku bertanya.Apa-apaan ini, yang benar saja. Albern memintaku untuk menjadi kekasihnya, ini sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku. Ku pikir Al akan meminta sesuatu kepadaku, tapi yang pasti bukan untuk menjadi kekasihnya. Ini benar-benar mengejutkanku.Ya Tuhan, apa aku hanya salah mendengar tadi. Iya, pasti begitu. Tidak mungkin Al menembakku. Yang benar saja, kami baru saja bertemu beberapa hari yang lalu loh. Belum lagi dengan identitas Al yang belum ku ketahui, nama belakangnya saja aku tidak tahu."Aku tidak bercanda, Anna. Aku serius," ujar Al menyadarkanku."Tapi ... bahkan aku belum tahu banyak tentangmu, Albern.""Kau bisa mencari tahunya sendiri setelah menjadi kekasih ku, Anna," balas Albern."S-sebentar, kamu benar-benar serius?" tanya
Di sebuah jalan di Kota Melbourne, Australia. Terdapat seorang gadis berambut hitam panjang terurai yang berpakaian layaknya pekerja kantoran pada umumnya.Yaitu rok span putih yang dipadu dengan kemeja kasual berwarna cokelat. Selintas pakaian itu terlihat sangat cocok untuknya."Ah, capek banget hari ini," gerutu gadis itu lumayan keras.Wajahnya tampak kusut dan kusam, sepertinya dia memang sudah sangat berusaha keras untuk hari ini. Namun, meski penampilannya terlihat lusuh seperti itu. Si gadis tetap saja terlihat cantik dan menawan, seolah-olah semua itu tadi tidak mampu untuk menutupi kecantikannya. Baik dalam keadaan lusuh dan dekil sekalipun.Di antara banyaknya orang yang berlalu lalang di sana, hanya gadis itulah yang paling kelihatan menonjol dibandingkan yang lain. Bagaimana tidak, gadis itu memiliki wajah sangat manis dan cantik.Gadis berdarah campuran itu terlihat sangat menawan deng
"Miss Anna, berkas-berkasnya sudah kamu berikan kepada Pak Lucas?" tanya seorang wanita paruh baya kepada bawahannya."Sudah semua, Bu," jawab gadis itu."Bagus, hanya itu yang ingin saya tanyakan. Kamu boleh kembali bekerja," ucap sang manajer."Baik, Bu."***~Anna POV~Akhirnya, Bu Joanna pergi juga dari ruanganku. Sudah cukup aku menahan napas sedari tadi, suasana terlalu tegang bila beliau hadir di sini.Jangan salah paham, Bu Joanna sangat baik kepada kami para bawahannya. Namun tetap saja, ketika menyangkut tentang pekerjaan. Beliau akan berubah menjadi seseorang yang sangat tegas dan disiplin."Hei, kau baik-baik saja Anna?" tanya Julian rekanku di sini dengan khawatir.
~Anna POV~"Apa?!" teriakku."Kamu tidak salah, Al? Ini hanya candaan kamu saja, bukan?" lanjutku bertanya.Apa-apaan ini, yang benar saja. Albern memintaku untuk menjadi kekasihnya, ini sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku. Ku pikir Al akan meminta sesuatu kepadaku, tapi yang pasti bukan untuk menjadi kekasihnya. Ini benar-benar mengejutkanku.Ya Tuhan, apa aku hanya salah mendengar tadi. Iya, pasti begitu. Tidak mungkin Al menembakku. Yang benar saja, kami baru saja bertemu beberapa hari yang lalu loh. Belum lagi dengan identitas Al yang belum ku ketahui, nama belakangnya saja aku tidak tahu."Aku tidak bercanda, Anna. Aku serius," ujar Al menyadarkanku."Tapi ... bahkan aku belum tahu banyak tentangmu, Albern.""Kau bisa mencari tahunya sendiri setelah menjadi kekasih ku, Anna," balas Albern."S-sebentar, kamu benar-benar serius?" tanya
"Maaf, Anna. Aku tidak bisa menemanimu pergi ke pesta. Karena kemungkinan aku baru bisa diizinkan pulang besok pagi," ujar Julian tidak enak hati."Tidak apa, jangan dipikirkan. Aku lah yang seharusnya khawatir, kamu kan jadi tidak bisa ikut bersenang-senang denganku di pesta," canda Anna.Anna memang cukup mengkhawatirkan wanita itu. Julian dirawat sendiri di sini tanpa adanya seseorang yang menemani. Anna tidak berani bertanya soal itu kepada Julian, karena menurutnya hal ini merupakan bagian dari privasinya. Anna hanya bisa menunggu sampai wanita itu sendiri yang menceritakannya padanya."Aku akan buat pesta sendiri nanti," balasnya dengan wajah cemberut."Yang penting, kamu harus sehat dulu sekarang," ujar Anna menasehati."Yes, Mam," gurau Julian.Dan mereka berdua pun tertawa bersama. Anna sudah menemani Julian sejak dia pulang dari kerja, sekitar dua jam yang lalu. Anna tidak
Anna sedang memikirkan keadaan Julian sekarang, sampai-sampai dia menjadi tidak fokus untuk mengerjakan sesuatu di kantor. Para rekan kerjanya juga turut menjadi khawatir melihat Anna yang seperti ini."Anna, kamu izin pulang saja sekarang," saran Ailee rekan sekantornya."Ah, tidak perlu. Sebentar lagi kita juga pulang bukan," tolak Anna secara halus."Tapi kami semua mengkhawatirkan kamu, Anna. Seharian ini kamu menjadi tidak fokus, tidak seperti kamu yang biasanya," ungkap Ailee khawatir.Anna melihat ke seluruh ruangan, dapat dilihat semua rekan kerja Anna sedang menatapnya khawatir. Anna menjadi merasa tidak enak sudah membuat mereka semua mengkhawatirkan dirinya."Maaf, karena membuat kalian semua khawatir. Tapi aku sekarang sudah agak baikan. Jadi, jangan khawatirkan aku lagi ya teman-teman," ujar Anna sembari mengerlingkan matanya menggoda.Banyak di antara rekan kerja
"Anna, nanti datang, ya, ke pesta ulang tahunku!" seru Vella sambil menyerahkan selembar undangan pada Anna.Siapa wanita ini, pikir Anna mengingat-ingat. Anna memang memiliki sedikit masalah dengan memori otaknya, dia memiliki kecenderungan untuk melupakan sesuatu.Padahal gadis itu harus bisa mengendalikan kekurangannya, mau tidak mau."Ah, iya. Happy Birthday, Vella," ucap Anna dengan canggung. Hampir saja dia tidak mengingatnya."Haha, nanti besok malam saja ucapannya. Dan jangan lupa untuk membawa pasanganmu, Anna," imbuh Vella mengingatkan."Hah, pasangan?!" pekik Anna."Iya, pasangan. Soalnya pestaku akan mengadakan acara dansa bersama dipertengahan acara nanti, lebih lengkapnya bisa kamu cek sendiri di undangannya," ujar Vella menjelaskan."Okay, terima kasih buat undangannya," balas Anna dengan tersenyum masam."Siap, jangan sampai t
Seakan waktu terhenti, aku lantas memandangi Albern yang baru saja mengatakan hal yang manis padaku. Jangan bilang kalau aku sedang baper sekarang."Menyukai apa, Al. Aku?" tanyaku dengan penuh rasa percaya diri."Bukan kau, tapi tingkahmu," sanggah Al.Ah, aku sakit hati teman-teman. Dia sih yang membuat aku salah paham terlebih dulu. Siapa coba yang tidak senang kalau disukai oleh Albern si tampan. Tapi tetap saja bukan."Kamu baru saja menyakiti hatiku, Al," ungkapku berlebihan."Apa?""Tidak jadi, lupakan saja," ucapku buru-buru.Bagaimana bisa aku bertingkah seperti ini padanya. Bagaimana pun, kami ini masih menjadi orang asing dan bukanlah sepasang kekasih. Apalagi kami ini baru saja bertemu kemarin malam. Tapi biarlah, aku juga bahagia bertingkah seperti itu di hadapannya."Kamu sudah makan siang?" tanyaku mencoba untuk mengalihkan.
Entah kenapa, Julian yang mendengar pertanyaanku raut wajahnya seperti sangat terkejut. Ada apa memangnya, apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya."Julian, kenapa?" tanyaku khawatir."Tidak, Anna. Aku tidak apa-apa," jawabnya gugup."Wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya. Julian, apa aku menanyakan hal yang salah?" tanyaku cemas."Tidak, Anna. Kau tidak salah, aku hanya merasa sedikit tidak enak badan," jawab Julian."Baiklah kalau begitu. Ayo, sebaiknya kamu pergi beristirahat sebentar. Mumpung jam istirahat masih berlangsung agak lama," ujarku memberi saran."Terima kasih, Anna.""Sama-sama, Sayang," gurauku.Melihatnya seperti itu, membuatku sedikit terkejut dan merasa aneh. Ini salah, mun
Di lain tempat, ada sepasang pria dan wanita yang sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya cukup serius. Dapat dilihat dari sang wanita yang tampak tidak setuju dengan apa yang dibicarakan oleh sang pria."Mau sampai kapan kau ingin menyembunyikan itu?" tanya sang wanita."....""Mau sampai kapan kau mau menyembunyikannya dari Anna, Liam?" tanya Julian pada akhirnya. Ya, wanita itu adalah Julian."Sampai dia mengingatku lagi," jawab Liam singkat."Tapi itu hal yang mustahil, bodoh. Kalian bertemu sepuluh tahun yang lalu, terus apalagi yang kau harapkan dari itu?" tanya wanita itu lagi."Anna pasti akan mengingatku, aku sangat yakin dia pasti akan mengingatku suatu hari nanti," jawab Liam tegas."Coba kau pikirkan baik-baik dengan ak
Di dapur, aku memilih untuk memasak masakan rumahan yang sederhana. Alasannya sih, karena simpel dan cepat matangnya. Aku cuma membuat tiga menu masakan andalanku. Yaitu tumis sayur, omelette, dan sambal."Kira-kira Al doyan sama masakan gue nggak ya. Eh, tapi bule zaman sekarang sudah pada doyan makan sambal kan," gumamku."Anna?"Tiba-tiba saja Albern muncul dari belakang, mengagetkanku. Hampir saja aku memukulnya dengan sendok nasi, untung saja aku masih bisa menahannya. Kalau tidak, betapa sayangnya bila jidatnya yang mulus itu menjadi benjol karenaku."Iya, Al. Ada apa?" tanyaku pada akhirnya."Masakanmu harum," jawabnya."Oh, apakah kamu suka dengan aromanya?" tanyaku lagi."Ya. Anna, itu masakan apa?" tanyanya balik.
"Kau mencari ini, Nona?" tanya seseorang dengan suara yang tidak terdengar asing lagi di telingaku."Iya, itu dompetku," jawabku singkat. Syukurlah dompet itu tidak jadi hilang."Kau terlalu ceroboh," sindir pria itu sembari menyerahkan dompet itu padaku."Ya, aku tahu. Terima kasih sekali lagi, ehm?""Albern.""Oke, Tuan Albern. Aku Anna, Annandya. Salam kenal dan terima kasih atas bantuannya," ucapku tulus."Ya, tapi aku tak membutuhkan ucapan terima kasihmu.""Excuse me?" tanyaku tidak yakin. Mana mungkin pria sepertinya bisa bersikap sekasar itu kepada seorang wanita sepertiku."Biarkan aku menginap di rumahmu," jawabnya. Pria ini benar-benar sedang menguji kesabaranku.