“Jika ini mimpi, kumohon, jangan bangunkan aku. Aku ingin merasakan
kebahagiaan ini lebih lama lagi walau hanya sekadar mimpi.”
Ara melangkah terburu untuk mengantarkan pesanan pada
pelanggan. Hari yang cukup sibuk di tempat kerja karena sedang ramairamainya didatangi pelanggan. Ia sampai di depan sebuah meja ditempati
satu orang laki-laki yang tampak terlihat sibuk sekali dengan laptop.
“Permisi,” ucap Ara sopan, kemudian diangsurkannya gelas
dari nampan. Entah karena tangannya terlalu licin atau kurang kuat
menggenggam gelas, minuman tersebut seketika tumpah mengenai
laptop.
Sontak laki-laki itu langsung terkejut. Murkanya memuncak karena
segala hal yang sedang dikerjakan musnah. “Lo buta, hah?! Nggak bisa
hati-hati?! Nganterin minum doang nggak becus!”
“Maaf ... Kak. Saya nggak sengaja,” ujar Ara dengan bibir bergetar. Ia
menunduk ketakutan.
“Dengan kata maaf apa laptop gue bisa idup lagi?! Sekarang gue mau
lo tanggung jawab! Ganti laptop gue!”
Menggeleng takut, gadis itu semakin menunduk. Kedua jemarinya saling
meremas. Ia tidak mungkin bisa mengganti laptop tersebut.
“Kalo gitu, panggil manajer lo! Mana manajer lo itu?!”
“Ada apa?” tanya seorang yang merupakan manajer dari kafe tersebut.
Ia keluar memeriksa karena mendengar keributan.
“Gue mau minta ganti rugi laptop yang udah dirusakin sama karyawan
lo itu!
Manejer tersebut langsung melihat ke arah tumpahan gelas. “Maaf,
Pak, maafkan karyawan saya.”
“Saya mau dia ganti rugi dan dipecat!” Laki-laki itu menuding ke
arah Ara. “Kalau nggak, gue bakal—”
“Iya, saya yang akan ganti rugi.” Ara maju selangkah, membungkuk
ke arah sang manajer. “Saya juga mau mengundurkan diri dari sini, Pak.
Terima kasih karena Bapak sudah memberi saya kesempatan untuk
bekerja di sini.”
Laki-laki yang marah tersebut meninggalkan kafe beserta kartu
pengenal, sedangkan Ara kembali ke belakang untuk berkemas pulang.
Dalam hati, Ara berpikir keras bagaimana cara mengganti laptop yang
harganya bahkan menyentuh puluhan juta tersebut. Tabungannya tentu
tidak akan pernah cukup.
Napas panjang diembus perlahan seraya menatap langit jingga Jakarta.
“Tuhan, bagaimana ini?”
***
Sepasang suami istri berdiri di depan pintu panti asuhan bersama
dua orang laki-laki berusia remaja. Wajah mereka tampak begitu serius.
Sang ayah mengetuk pintu. Perlu menunggu beberapa saat hingga Bu Nia
keluar menyambut dengan senyum ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Ada yang ingin saya bicarakan, Bu. Apa bisa?” tanya pria tersebut.
Setelah mempersilakan keempat tamu itu masuk, kini mereka berada di
ruang tamu.
Tanpa berbasa-basi lagi, sang ayah pun segera mengutarakan
maksudnya mendatangi panti ini. “Begini, Bu, kedatangan saya kemari
ingin menanyakan perihal anak panti di sini. Apa di sini ada anak gadis
yang seumuran remaja SMA?”
“Iya, ada. Namanya Ara. Ada hubungan apa, ya?”
“Boleh dijelaskan, Bu, seluk beluk gadis itu?” tanya sang istri
penasaran.
Bu Nia langsung menjelaskan secara rinci dan detail awal mula
bertemu gadis bernama Ara. Mereka semua mendengarkan dengan baik
agar tidak terlewat satu kata pun. Setelah selesai diceritakan, mereka
sangat terharu dan bersyukur karena anak mereka masih hidup selama ini. Meski Nia awalnya kurang percaya, tetapi ketika keluarga tersebut
menunjukkan banyak bukti bahwa Ara adalah bagian dari mereka, ia
tersenyum lega.
Di tengah haru yang menyelimuti, seorang perempuan masuk ke
ruang tamu setelah mengucapkan salam. Tentu saja perhatian seketika
teralih padanya.
“Loh, Kakak, kan, yang kemaren, ya?” tanya Ara saat melihat lakilaki yang kemarin bersamanya di taman sekolah. “Kakak ada apa ke sini?”
“Anakku ...,” gumam Rossa. Air matanya berderai. Ia pun menghampiri
perempuan itu, kemudian memeluknya. “Sayang ... akhirnya Mom
nemuin kamu.”
Ara hanya diam. Dirinya bingung bukan kepalang. Namun, ia merasa
... nyaman meski tak kunjung membalas pelukan tersebut. Dekap terurai
kala Bu Nia menyuruhnya untuk duduk.
“Mereka keluarga kandung kamu, Sayang. Keluarga yang selama ini
kamu rindukan,” jelas Bu Nia seraya mengusap pundak Ara yang sudah
dianggapnya sebagai anak sendiri.
“Bagaimana mungkin, Bun?” tanya Ara yang masih tak percaya
kenyataan ini.
“Kalung kamu, Sayang. Jarang ada yang memiliki kalung seperti itu,”
jawab Rossa sambil menyeka sisa air mata di pipi.
“Kalung ini.” Ara mengeluarkan kalung yang menggantung,
mengamati secara saksama. Sungguh, ia masih belum percaya akan hal
yang terjadi saat ini.
“Kamu memang bagian keluarga kami. Masih ada akta, foto kamu
ketika kecil, bukti-bukti lainnya kalau kamu masih belum percaya.” Pria
itu menyodorkan setumpuk berkas berisi hal-hal yang memperkuat bukti
bahwa Ara adalah putri mereka.
Gadis itu pun melihatnya satu-satu. Ingatan di kepala seakan tidak
asing. Tanpa disadari, air mata menetes melintasi pipi. Ia menutup mulut.
Bahagianya membuncah. “Ini beneran? Ara nggak mimpi, ‘kan?”
“Iya, Sayang. Sini peluk.”
Ara menatap keluarganya, lalu menghampiri sang mama. Tangisnya
tersedu penuh haru.
“Mommy sangat merindukanmu.” Dikecup Rossa dahi buah hati
yang teramat disayanginya berulang kali.
“Sini peluk.” Sauqi merentangkan tangan, kemudian mendekap Ara
penuh hangat. “I miss you, putri kecil daddy.”
“Kita berdua nggak dapet pelukan?”
Ara menoleh pada dua remaja yang duduk di sebelah sang ayah.
“Kakak?”
“Panggil abang, Sayang.”
Ara menghambur ke arah dua pemuda tersebut. Senangnya
bukan kepalang. Doanya terwujud. Ia dipertemukan kembali dengan
keluarganya.
Usai melepas rindu, dalam hati kecil diselimuti rasa bimbang. Ara
sudah menganggap panti asuhan ini sebagai keluarga juga rumahnya
untuk pulang, tetapi kini sudah dipertemukan kembali pada keluarga
kandung. Namun, saat menoleh pada Nia, wanita itu mengangguk lembut.
“Pulanglah. Mereka keluargamu yang sesungguhnya,” ucap Nia
sembari menahan air mata agar tidak mengalir. Mau tidak mau, siap
tidak siap, dirinya harus bisa melepas gadis yang sudah ia anggap sebagai
anak sendiri.
“Makasih, Bunda, udah rawat Ara dari kecil sampai sekarang. Ara
nggak akan melupakan jasa Bunda. Terima kasih banyak. Ara bakalan
sering-sering berkunjung ke sini karena semua yang ada di sini juga
keluarga Ara,” ucap Ara seraya memeluk bundanya erat.
Tangis tak dapat ditahan maupun dielak. Semuanya hanyut dalam
haru juga bahagia.
“Takdir yang indah.”Saat ini Ara dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Gadis itu diapitoleh kedua abang, sedangkan orang tuanya berada di depan karena hariini enggan memakai sopir.Dua remaja laki-laki yang saat ini bersama Ara merupakan anakkelima dan keenam Tuan Sauqi dan Nyonya Rossa, yaitu Alden AddiesonAnderson Elizabeth dan Alvaro Dirgantara Anderson Elizabeth yangkerap disapa Alden dan Aro. Alvaro sendiri merupakan saudara kembardari Ara.Mobil Tuan Sauqi sudah berada di halaman rumah mewah nan besarmiliknya. Ara turun dari mobil, menatap kagum bangunan di depan,lebih tepatnya mansion atau wastu.“Ini sekarang menjadi rumah Ara juga,” kata Sauqi seakan mengertiakan perasaan takjub anak gadisnya.“Ayo, Princess,” ajak Alden untuk masuk, tetapi Ara tetap berdiam didepan pintu rumah.Heran, Aro bertanya, “Kenapa Princess diam saja?”“Ara takut. Bagaimana kalau mereka nggak mau nerima Ara lagi?”“Mereka sekarang sangat merindukanmu, Sayang. Mana mungkinmereka tidak mener
Pahit berujung manis.”Ketiga putra Sauqi sudah sampai rumah dan berkumpul di mejamakan serta anggota keluarga lainnya, kecuali Ara karena perempuan itumasih membersihkan badan.“Ada masalah apa sampai menyuruhku pulang?” tanya putra pertamatanpa basa-basi dengan dingin, khas seorang Algeral Anggara AndersonElizabeth. “Jangan bilang, Mom menyuruhku pulang hanya karena rindu.”“Ada hal penting yang wajib kalian ketahui, terutama kalian bertiga.”“Apa?” tanya putra kedua. Ia adalah Andrian Anggara AndersonElizabeth.“Cepatlah, Dad, jangan basa-basi.” Putra ketiga tampak mencebikkesal. Namanya Andreas Leonard Anderson Elizabet.“Kita makan saja dulu. Pasti kalian bertiga sangat capek,” ucap Rossasembari tersenyum.Andri mendengkus sebal. “Kelamaan, Mom.”Rossa menghela napas panjang. “Bentar, Mom panggil dia.”Ketiga laki-laki itu saling berpandangan, tidak mengerti maksudsang mama. Dalam benak juga bertanya, siapa dia?Tak lama setelah itu, Ara datang. Perempuan itu berjalan men
“Takdir Allah jauh lebih baik daripada harapan dan rencanamu.” Pesta yang begitu meriah terselenggara di sebuah mansion milik sebuah keluarga yang begitu harmonis. Semua teman, sahabat, kerabat, keluarga tujuh turunan datang dan berkumpul untuk ikut merayakan pesta ini. Acara besar yang hanya diadakan setahun sekali, yakni saat ini bertambahnya umur anak kembar—berbeda jenis kelamin—yang kini baru menginjak lima tahun. Setelah bernyanyi, meniup kue ulang tahun, serta berdoa bersama, kini para tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan. Semua orang tampak begitu menikmati pesta yang ada. Bercanda, tertawa, hingga berbagi cerita dengan raut wajah bahagia.“Mau balon,” pinta anak perempuan itu kepada abang sulungnya—yang berumur sepuluh—tahun sambil menunjuk balon berwarna merah muda. Ia adalah salah satu dari anak kembar yang sedang berulang tahun. Keduanya kini berada di lantai satu, keluar dari lingkar keramaian ditemani seorang pengasuh."Yang mana, Putri?" tanya lembut s
"Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir membawaku ke sini.”Sebuah mobil menepi di area persawahan daerah Tangerang. Taklama kemudian pintu terbuka dan seorang gadis kecil diturunkan begitusaja, setelahnya kendaraan beroda empat itu melaju, meninggalkan anakperempuan itu sendiri. Ia menangis ketakutan, tetapi tidak tahu harus kemana. Isaknya terdengar memilukan.Seorang perempuan yang sedang berjalan di sekitaran persawahantanpa sengaja mendengar isak tangis anak kecil. Ia mencoba mencarisumber suara, tidak ada rasa takut sama sekali karena ia seorangpemberani.“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu saat menemukan anakkecil yang sedang menangis. Ia terburu menghampiri, kemudianmenggendongnya. “Kamu ngapain di sini, anak cantik?”Anak itu tersedu. Wajahnya memerah dengan berurai air mata.Perempuan tersebut memandang penuh iba sembari mengusappunggungnya, menyeka air mata yang mengalir deras.“Cup-cup, udah, ya, jangan nangis. Kamu aman sama saya,” ujarperempuan itu lemah le
“Kita harus menghargai diri sendiri dengan baik lebih dari apa pun,termasuk pergi dari orang yang tidak pernah menghargaimu.”Pagi menjelang. Seorang perempuan cantik masih tertidur nyenyakdi ranjang. Kamar sederhana, berbagi dengan teman pantinya.Perempuan kecil yang dulu ditemukan menangis di tepi persawahanpada malam hari, kini sudah tumbuh besar, seperti remaja pada umumnya.Tingginya kini 150 senti, wajah dengan pipi gembul, iris sebiru langit,tampak memesona. Kalung berinisal ACQAE selalu bergelantungan dileher. Diingatnya nama lengkap hanya Alvara Catania, sedangkan sisanyatidak ia ketahui. Dari sana, kemudian orang-orang memanggilnya Ara.Seorang wanita datang, kemudian menggoyang-goyangkan tubuhAra dengan pelan. “Sayang, bangun, yuk! Ara Sayang, bangun!”Tak lain dan tak bukan ialah pemilik Panti Asuhan Kasih Bunda.Namanya Nia. Dialah yang menemukan Ara malam itu dan merawatnyahingga sekarang ini. Kesehariannya mengurus panti dibantu satu-duaorang temannya. Sang su
“Jangan takut, dunia itu menarik.”Ara masuk bagian belakang kafe tempatnya bekerja. Menyapabeberapa karyawan yang ditemui, lekas berganti seragam di ruang ganti.Setelah dirasa penampilannya rapi, ia segera keluar.“Ara! Mbak minta tolong, ya, bawain minuman ini untuk meja nomertujuh!”Ara menoleh pada Mbak Santi yang memanggil, diterimanya nampantersebut, lantas bergegas mengantarkan pesanan tersebut.“Permisi,” ucap Ara sopan, lalu menata gelas minuman di mejatersebut. Saat ingin berbalik, tangannya dicekal oleh salah satu remaja disana. Ditatapnya laki-laki itu dengan alis berkerut. “Ada apa, Kak?”Kala sepasang mata itu bersitatap, sesuatu di dada menyentak hebat.Mata itu. Ia tidak percaya atas apa yang dilihat bola matanya sendiri.“Bro?” Panggilan temannya membubarkan lamunan.Laki-laki itu tersadar, lalu melepas cekalan, wajahnya berpaling.“Nggak apa-apa.”Meski merasa aneh dengan laki-laki itu, tetapi Ara tidak mau ambilpusing. Ia melenggang pergi untuk melanjutkan pe
"Kepergianmu menciptakan luka lebar dan bagian terparahnya, rindu membuat luka semakin parah.”Di sebuah mansion mewah suasana sepi juga sunyi menyelimuti.Tidak ada ramai yang mengisi karena luka masa lalu yang enggan tertutup.Setiap saat, harap mereka mulai menipis sebab belum ada sama sekalitanda-tanda sosok yang dicari lekas ditemukan. Ingin rasanya menyerah.Sudah belasan tahun mencari-cari, tetapi tak membuahkan hasil samasekali.Wanita paruh baya memandangi figura berisi foto anak kecil yangbegitu cantik, bahkan mungkin sekarang lebih cantik. Air matanyamengalir seiring rasa kerinduan yang kian menggunung. Sosok ibu yangsangat terpukul. Hingga saat ini ia pun masih meyakinkan diri bahwaputrinya masih hidup.“Sayang, kamu di mana? Mom rindu sama kamu. Apa kamu baikbaik saja di luar sana? Setiap hari Mom tidak pernah absen untukmerindukanmu dengan memandang wajah cantik kamu.”Tangis sosok ibu itu terdengar pilu. “Mengapa orang seperti merekajahat kepadamu? Mengapa harus
"Berdamai dengan takdir adalah sebaik-baiknya pilihan. Bila kamu terima apa yang ditakdirkan, pasti kamu tak akan semudah itu mempersalahkan.”Jam istirahat telah berbunyi seperti biasa. Kedua sahabat Ara pergi kekantin, sedangkan gadis itu makan bekal di kelas. Hingga bekalnya habis,jam istirahat masih tersisa, juga teman-temannya belum kembali ke kelas.Bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman sekolah.Sepertinya berada di sana akan sedikit menenangkan pikiran.Ara memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Dilihatnyabunga-buga mekar yang tampak indah. Awan teduh memayungi ditambahangin sepoi berembus.Tiba-tiba terlintas di pikiran Ara tentang kejadian samar yangterekam di benak. Apakah keluarga mencarinya? Mengapa dirinyasangat sulit mengingat apa yang terjadi di masa lalu? Potongan-potongankecil memorinya tidak lengkap dan cenderung samar. Namun, yangdiingatnya, ia memiliki keluarga, beberapa kakak laki-laki, ayah juga ibuyang baik, hingga tiba
Pahit berujung manis.”Ketiga putra Sauqi sudah sampai rumah dan berkumpul di mejamakan serta anggota keluarga lainnya, kecuali Ara karena perempuan itumasih membersihkan badan.“Ada masalah apa sampai menyuruhku pulang?” tanya putra pertamatanpa basa-basi dengan dingin, khas seorang Algeral Anggara AndersonElizabeth. “Jangan bilang, Mom menyuruhku pulang hanya karena rindu.”“Ada hal penting yang wajib kalian ketahui, terutama kalian bertiga.”“Apa?” tanya putra kedua. Ia adalah Andrian Anggara AndersonElizabeth.“Cepatlah, Dad, jangan basa-basi.” Putra ketiga tampak mencebikkesal. Namanya Andreas Leonard Anderson Elizabet.“Kita makan saja dulu. Pasti kalian bertiga sangat capek,” ucap Rossasembari tersenyum.Andri mendengkus sebal. “Kelamaan, Mom.”Rossa menghela napas panjang. “Bentar, Mom panggil dia.”Ketiga laki-laki itu saling berpandangan, tidak mengerti maksudsang mama. Dalam benak juga bertanya, siapa dia?Tak lama setelah itu, Ara datang. Perempuan itu berjalan men
“Takdir yang indah.”Saat ini Ara dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Gadis itu diapitoleh kedua abang, sedangkan orang tuanya berada di depan karena hariini enggan memakai sopir.Dua remaja laki-laki yang saat ini bersama Ara merupakan anakkelima dan keenam Tuan Sauqi dan Nyonya Rossa, yaitu Alden AddiesonAnderson Elizabeth dan Alvaro Dirgantara Anderson Elizabeth yangkerap disapa Alden dan Aro. Alvaro sendiri merupakan saudara kembardari Ara.Mobil Tuan Sauqi sudah berada di halaman rumah mewah nan besarmiliknya. Ara turun dari mobil, menatap kagum bangunan di depan,lebih tepatnya mansion atau wastu.“Ini sekarang menjadi rumah Ara juga,” kata Sauqi seakan mengertiakan perasaan takjub anak gadisnya.“Ayo, Princess,” ajak Alden untuk masuk, tetapi Ara tetap berdiam didepan pintu rumah.Heran, Aro bertanya, “Kenapa Princess diam saja?”“Ara takut. Bagaimana kalau mereka nggak mau nerima Ara lagi?”“Mereka sekarang sangat merindukanmu, Sayang. Mana mungkinmereka tidak mener
“Jika ini mimpi, kumohon, jangan bangunkan aku. Aku ingin merasakankebahagiaan ini lebih lama lagi walau hanya sekadar mimpi.”Ara melangkah terburu untuk mengantarkan pesanan padapelanggan. Hari yang cukup sibuk di tempat kerja karena sedang ramairamainya didatangi pelanggan. Ia sampai di depan sebuah meja ditempatisatu orang laki-laki yang tampak terlihat sibuk sekali dengan laptop.“Permisi,” ucap Ara sopan, kemudian diangsurkannya gelasdari nampan. Entah karena tangannya terlalu licin atau kurang kuatmenggenggam gelas, minuman tersebut seketika tumpah mengenailaptop.Sontak laki-laki itu langsung terkejut. Murkanya memuncak karenasegala hal yang sedang dikerjakan musnah. “Lo buta, hah?! Nggak bisahati-hati?! Nganterin minum doang nggak becus!”“Maaf ... Kak. Saya nggak sengaja,” ujar Ara dengan bibir bergetar. Iamenunduk ketakutan.“Dengan kata maaf apa laptop gue bisa idup lagi?! Sekarang gue maulo tanggung jawab! Ganti laptop gue!”Menggeleng takut, gadis itu semakin m
"Berdamai dengan takdir adalah sebaik-baiknya pilihan. Bila kamu terima apa yang ditakdirkan, pasti kamu tak akan semudah itu mempersalahkan.”Jam istirahat telah berbunyi seperti biasa. Kedua sahabat Ara pergi kekantin, sedangkan gadis itu makan bekal di kelas. Hingga bekalnya habis,jam istirahat masih tersisa, juga teman-temannya belum kembali ke kelas.Bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman sekolah.Sepertinya berada di sana akan sedikit menenangkan pikiran.Ara memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Dilihatnyabunga-buga mekar yang tampak indah. Awan teduh memayungi ditambahangin sepoi berembus.Tiba-tiba terlintas di pikiran Ara tentang kejadian samar yangterekam di benak. Apakah keluarga mencarinya? Mengapa dirinyasangat sulit mengingat apa yang terjadi di masa lalu? Potongan-potongankecil memorinya tidak lengkap dan cenderung samar. Namun, yangdiingatnya, ia memiliki keluarga, beberapa kakak laki-laki, ayah juga ibuyang baik, hingga tiba
"Kepergianmu menciptakan luka lebar dan bagian terparahnya, rindu membuat luka semakin parah.”Di sebuah mansion mewah suasana sepi juga sunyi menyelimuti.Tidak ada ramai yang mengisi karena luka masa lalu yang enggan tertutup.Setiap saat, harap mereka mulai menipis sebab belum ada sama sekalitanda-tanda sosok yang dicari lekas ditemukan. Ingin rasanya menyerah.Sudah belasan tahun mencari-cari, tetapi tak membuahkan hasil samasekali.Wanita paruh baya memandangi figura berisi foto anak kecil yangbegitu cantik, bahkan mungkin sekarang lebih cantik. Air matanyamengalir seiring rasa kerinduan yang kian menggunung. Sosok ibu yangsangat terpukul. Hingga saat ini ia pun masih meyakinkan diri bahwaputrinya masih hidup.“Sayang, kamu di mana? Mom rindu sama kamu. Apa kamu baikbaik saja di luar sana? Setiap hari Mom tidak pernah absen untukmerindukanmu dengan memandang wajah cantik kamu.”Tangis sosok ibu itu terdengar pilu. “Mengapa orang seperti merekajahat kepadamu? Mengapa harus
“Jangan takut, dunia itu menarik.”Ara masuk bagian belakang kafe tempatnya bekerja. Menyapabeberapa karyawan yang ditemui, lekas berganti seragam di ruang ganti.Setelah dirasa penampilannya rapi, ia segera keluar.“Ara! Mbak minta tolong, ya, bawain minuman ini untuk meja nomertujuh!”Ara menoleh pada Mbak Santi yang memanggil, diterimanya nampantersebut, lantas bergegas mengantarkan pesanan tersebut.“Permisi,” ucap Ara sopan, lalu menata gelas minuman di mejatersebut. Saat ingin berbalik, tangannya dicekal oleh salah satu remaja disana. Ditatapnya laki-laki itu dengan alis berkerut. “Ada apa, Kak?”Kala sepasang mata itu bersitatap, sesuatu di dada menyentak hebat.Mata itu. Ia tidak percaya atas apa yang dilihat bola matanya sendiri.“Bro?” Panggilan temannya membubarkan lamunan.Laki-laki itu tersadar, lalu melepas cekalan, wajahnya berpaling.“Nggak apa-apa.”Meski merasa aneh dengan laki-laki itu, tetapi Ara tidak mau ambilpusing. Ia melenggang pergi untuk melanjutkan pe
“Kita harus menghargai diri sendiri dengan baik lebih dari apa pun,termasuk pergi dari orang yang tidak pernah menghargaimu.”Pagi menjelang. Seorang perempuan cantik masih tertidur nyenyakdi ranjang. Kamar sederhana, berbagi dengan teman pantinya.Perempuan kecil yang dulu ditemukan menangis di tepi persawahanpada malam hari, kini sudah tumbuh besar, seperti remaja pada umumnya.Tingginya kini 150 senti, wajah dengan pipi gembul, iris sebiru langit,tampak memesona. Kalung berinisal ACQAE selalu bergelantungan dileher. Diingatnya nama lengkap hanya Alvara Catania, sedangkan sisanyatidak ia ketahui. Dari sana, kemudian orang-orang memanggilnya Ara.Seorang wanita datang, kemudian menggoyang-goyangkan tubuhAra dengan pelan. “Sayang, bangun, yuk! Ara Sayang, bangun!”Tak lain dan tak bukan ialah pemilik Panti Asuhan Kasih Bunda.Namanya Nia. Dialah yang menemukan Ara malam itu dan merawatnyahingga sekarang ini. Kesehariannya mengurus panti dibantu satu-duaorang temannya. Sang su
"Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir membawaku ke sini.”Sebuah mobil menepi di area persawahan daerah Tangerang. Taklama kemudian pintu terbuka dan seorang gadis kecil diturunkan begitusaja, setelahnya kendaraan beroda empat itu melaju, meninggalkan anakperempuan itu sendiri. Ia menangis ketakutan, tetapi tidak tahu harus kemana. Isaknya terdengar memilukan.Seorang perempuan yang sedang berjalan di sekitaran persawahantanpa sengaja mendengar isak tangis anak kecil. Ia mencoba mencarisumber suara, tidak ada rasa takut sama sekali karena ia seorangpemberani.“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu saat menemukan anakkecil yang sedang menangis. Ia terburu menghampiri, kemudianmenggendongnya. “Kamu ngapain di sini, anak cantik?”Anak itu tersedu. Wajahnya memerah dengan berurai air mata.Perempuan tersebut memandang penuh iba sembari mengusappunggungnya, menyeka air mata yang mengalir deras.“Cup-cup, udah, ya, jangan nangis. Kamu aman sama saya,” ujarperempuan itu lemah le
“Takdir Allah jauh lebih baik daripada harapan dan rencanamu.” Pesta yang begitu meriah terselenggara di sebuah mansion milik sebuah keluarga yang begitu harmonis. Semua teman, sahabat, kerabat, keluarga tujuh turunan datang dan berkumpul untuk ikut merayakan pesta ini. Acara besar yang hanya diadakan setahun sekali, yakni saat ini bertambahnya umur anak kembar—berbeda jenis kelamin—yang kini baru menginjak lima tahun. Setelah bernyanyi, meniup kue ulang tahun, serta berdoa bersama, kini para tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan. Semua orang tampak begitu menikmati pesta yang ada. Bercanda, tertawa, hingga berbagi cerita dengan raut wajah bahagia.“Mau balon,” pinta anak perempuan itu kepada abang sulungnya—yang berumur sepuluh—tahun sambil menunjuk balon berwarna merah muda. Ia adalah salah satu dari anak kembar yang sedang berulang tahun. Keduanya kini berada di lantai satu, keluar dari lingkar keramaian ditemani seorang pengasuh."Yang mana, Putri?" tanya lembut s