“Kita harus menghargai diri sendiri dengan baik lebih dari apa pun,
termasuk pergi dari orang yang tidak pernah menghargaimu.”
Pagi menjelang. Seorang perempuan cantik masih tertidur nyenyak
di ranjang. Kamar sederhana, berbagi dengan teman pantinya.
Perempuan kecil yang dulu ditemukan menangis di tepi persawahan
pada malam hari, kini sudah tumbuh besar, seperti remaja pada umumnya.
Tingginya kini 150 senti, wajah dengan pipi gembul, iris sebiru langit,
tampak memesona. Kalung berinisal ACQAE selalu bergelantungan di
leher. Diingatnya nama lengkap hanya Alvara Catania, sedangkan sisanya
tidak ia ketahui. Dari sana, kemudian orang-orang memanggilnya Ara.
Seorang wanita datang, kemudian menggoyang-goyangkan tubuh
Ara dengan pelan. “Sayang, bangun, yuk! Ara Sayang, bangun!”
Tak lain dan tak bukan ialah pemilik Panti Asuhan Kasih Bunda.
Namanya Nia. Dialah yang menemukan Ara malam itu dan merawatnya
hingga sekarang ini. Kesehariannya mengurus panti dibantu satu-dua
orang temannya. Sang suami bekerja sebagai pegawai bank, tetapi ia tidak
pernah merasa kekurangan dana hingga tidak mampu mengurus panti
asuhan tersebut. Selama lima tahun menikah, ia belum juga dikaruniai
keturunan. Namun, hal itu tidak membuat ia kehilangan romantisnya
hubungan dengan sang suami.
Panti asuhan ini pun semakin berkembang karena banyak donatur
yang selalu datang untuk memberikan sumbangan setiap bulan dan sebab
itu pula, panti asuhan ini menjadi panti asuhan yang terbaik dan terkenal
di kota Jakarta.
“Iya, Bun, Ara udah bangun, kok,” sahut Ara seraya meregangkan
tubuh.
Setiap harinya Ara selalu bangun sekitar pukul lima pagi untuk
membantu bunda memasak meski kadang ditolak. Seperti pagi ini, ia
dilarang untuk membantu memasak dan memilih merapikan kamar,
lantas bergegas untuk bersiap ke sekolah.
“Selamat pagi, adik-adik, Bunda!” sapa Ara ceria saat sampai di meja
makan.
“Pagi, Kakak Ara!” balas serentak adik-adik serta Ibu Nia.
“Nih!” Nia menyodorkan sepiring nasi goreng untuk Ara yang dibalas
ucapan terima kasih oleh gadis itu.
Nia dan anak-anak panti makan bersama dengan lahap, menikmati
makanan masing-masing tanpa banyak bicara.
Setelah selesai, Ara meminum segelas air putih, lalu beranjak menghampiri
Bunda Nia untuk pamit berangkat ke sekolah. “Bunda, Ara berangkat
dulu, ya.”
“Iya, Sayang. Hati-hati di jalan,” jawab Bunda sambil tersenyum
ketika Ara mencium punggung tangannya. “Kamu masih bekerja di kafe,
Sayang?”
“Iya, Bunda. Seperti biasa Ara pulangnya.”
Tidak lupa gadis itu pamit pada adik-adik di panti. Kaki itu kemudian
berjalan keluar menuju halte untuk naik kendaraan umum yang menuju
tempat menimba ilmu.
Semenjak menginjak bangku SMP, Ara sudah bekerja menjadi
pelayan di sebuah kafe. Ia bekerja setelah sepulang sekolah sampai pukul
sembilan malam.
Jarak dari panti ke kafe membutuhkan waktu yang tidak terlalu
lama karena memang jaraknya tidak terlalu jauh, sedangkan dari panti
ke sekolah, jarak yang ditempuh kurang lebih menghabiskan waktu dua
puluh menit. Jadi, ia hanya mengeluarkan ongkos untuk berangkat dan
pulang sekolah saja karena jarak yang tidak terlalu jauh dari kafe ke panti,
ia cukup berjalan kaki.
Gadis itu sama sekali tidak keberatan. Hitung-hitung menambah uang
sakunya. Ia menolak untuk diadopsi meski oleh keluarga berkecukupan
karena sudah menganggap Nia sebagai ibu kandung, sehingga berat sekali
untuk berpisah. Untung saja tidak pernah ada orang yang keberatan karena itu. Tentu saja ia tidak melupakan keluarganya yang dulu meski
sekarang tidak tahu mereka ada di mana.
Ara rajin menabung dan berhemat. Di sekolah pun ia jarang jajan
karena uang sakunya ditabung untuk kebutuhan lain. Oleh sebab itu, ia
setiap hari membawa bekal agar tidak kelaparan di sekolah.
Akhirnya, gadis itu sampai di sekolahnya yang terbilang elit. Sekolah
itu bernama A’drson Z’beth High School, sekolah yang terkenal untuk
anak-anak kalangan atas karena fasilitas juga pendidikan yang berkualitas.
Ara bersyukur bisa masuk sekolah favorit di Jakarta ini jalur beasiswa.
Semua itu berkat kepintaran yang dimiliki.
“Ara!”
Sontak saja gadis itu berbalik, mencari seseorang yang baru saja
memanggilnya. Senyumnya terkembang lebar ketika menangkap sosok
Alika yang kini berlari kecil menghampiri. Ia bersyukur karena masih
ada yang mau berteman dan bersahabat dengan dirinya. Alika termasuk
orang kalangan atas, tetapi tidak malu berteman dengannya, bahkan
mereka sudah bersahabat SMP.
“Yuk, ke kelas!” ajak Alika dengan semangat dan dibalas Ara dengan
anggukan kepala.
Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Sesekali mengobrol
disertai canda tawa. Ara tidak menghiraukan siswa-siswi lain yang
menatapnya rendah, sudah biasa akan hal ini. Selama mereka tidak
berbicara langsung di depannya, ia akan memilih diam saja.
Sesampainya di kelas, Alika dan Ara disambut oleh Jessika atau biasa
dipanggil Ika. Mereka bertiga bersahabat baik sudah dari SMP. Kebetulan
takdir, mereka dipertemukan di SMA yang sama, bahkan juga sekelas.
Persahabatan yang indah, tidak membedakan kasta meski terkadang
masih tidak sedikit yang memperlakukan Ara dengan tidak baik.
***
Bel pertanda usainya pelajaran berdering nyaring. Seluruh siswasiswi bersemangat untuk pulang ke rumah masing-masing dan
mengistirahatkan penat, termasuk Ika dan Alika yang ingin segera
merebahkan diri di ranjang empuk.
“Ara, main ke rumahku, yuk!” ajak Ika seraya menyampirkan tas di
bahu. Ara menggeleng lemah dengan wajah bersalah. “Sorry, gue nggak
bisa. Kan, gue harus kerja.”
“Kenapa harus kerja, sih, Ra? Kan, Bunda Nia bisa ngebiayain
kebutuhan lo dan adik-adik lo di panti asuhan.”
“Iya, gue tau, tapi gue nggak mau liat bunda kecapekan. Gue cuma
mau bantu-bantu sambil nambahin uang saku,” jelas Ara dengan ringan
seakan tidak pernah terbebani. Selain itu, ia merasa bertanggung jawab
karena sisa dirinya yang paling tua di panti dibanding adik-adiknya yang
lain.
“Ya, terus kapan, dong, lo bisa full time bareng kita?” tanya Alika
menuntut kejelasan.
Ara berpikir sejenak dengan tangan mengetuk-ngetuk dagu. “Sabtu,
deh. Gue janji Sabtu gue ke rumah lo.”
“Janji, ya?” Ika menatap penuh selidik.
Ara mengangguk. “Iya. Udah, yuk, pulang! Udah sepi juga,” ajaknya
sembari menggandeng tangan kedua sahabat menuju ke luar kelas.
“Jangan takut, dunia itu menarik.”Ara masuk bagian belakang kafe tempatnya bekerja. Menyapabeberapa karyawan yang ditemui, lekas berganti seragam di ruang ganti.Setelah dirasa penampilannya rapi, ia segera keluar.“Ara! Mbak minta tolong, ya, bawain minuman ini untuk meja nomertujuh!”Ara menoleh pada Mbak Santi yang memanggil, diterimanya nampantersebut, lantas bergegas mengantarkan pesanan tersebut.“Permisi,” ucap Ara sopan, lalu menata gelas minuman di mejatersebut. Saat ingin berbalik, tangannya dicekal oleh salah satu remaja disana. Ditatapnya laki-laki itu dengan alis berkerut. “Ada apa, Kak?”Kala sepasang mata itu bersitatap, sesuatu di dada menyentak hebat.Mata itu. Ia tidak percaya atas apa yang dilihat bola matanya sendiri.“Bro?” Panggilan temannya membubarkan lamunan.Laki-laki itu tersadar, lalu melepas cekalan, wajahnya berpaling.“Nggak apa-apa.”Meski merasa aneh dengan laki-laki itu, tetapi Ara tidak mau ambilpusing. Ia melenggang pergi untuk melanjutkan pe
"Kepergianmu menciptakan luka lebar dan bagian terparahnya, rindu membuat luka semakin parah.”Di sebuah mansion mewah suasana sepi juga sunyi menyelimuti.Tidak ada ramai yang mengisi karena luka masa lalu yang enggan tertutup.Setiap saat, harap mereka mulai menipis sebab belum ada sama sekalitanda-tanda sosok yang dicari lekas ditemukan. Ingin rasanya menyerah.Sudah belasan tahun mencari-cari, tetapi tak membuahkan hasil samasekali.Wanita paruh baya memandangi figura berisi foto anak kecil yangbegitu cantik, bahkan mungkin sekarang lebih cantik. Air matanyamengalir seiring rasa kerinduan yang kian menggunung. Sosok ibu yangsangat terpukul. Hingga saat ini ia pun masih meyakinkan diri bahwaputrinya masih hidup.“Sayang, kamu di mana? Mom rindu sama kamu. Apa kamu baikbaik saja di luar sana? Setiap hari Mom tidak pernah absen untukmerindukanmu dengan memandang wajah cantik kamu.”Tangis sosok ibu itu terdengar pilu. “Mengapa orang seperti merekajahat kepadamu? Mengapa harus
"Berdamai dengan takdir adalah sebaik-baiknya pilihan. Bila kamu terima apa yang ditakdirkan, pasti kamu tak akan semudah itu mempersalahkan.”Jam istirahat telah berbunyi seperti biasa. Kedua sahabat Ara pergi kekantin, sedangkan gadis itu makan bekal di kelas. Hingga bekalnya habis,jam istirahat masih tersisa, juga teman-temannya belum kembali ke kelas.Bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman sekolah.Sepertinya berada di sana akan sedikit menenangkan pikiran.Ara memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Dilihatnyabunga-buga mekar yang tampak indah. Awan teduh memayungi ditambahangin sepoi berembus.Tiba-tiba terlintas di pikiran Ara tentang kejadian samar yangterekam di benak. Apakah keluarga mencarinya? Mengapa dirinyasangat sulit mengingat apa yang terjadi di masa lalu? Potongan-potongankecil memorinya tidak lengkap dan cenderung samar. Namun, yangdiingatnya, ia memiliki keluarga, beberapa kakak laki-laki, ayah juga ibuyang baik, hingga tiba
“Jika ini mimpi, kumohon, jangan bangunkan aku. Aku ingin merasakankebahagiaan ini lebih lama lagi walau hanya sekadar mimpi.”Ara melangkah terburu untuk mengantarkan pesanan padapelanggan. Hari yang cukup sibuk di tempat kerja karena sedang ramairamainya didatangi pelanggan. Ia sampai di depan sebuah meja ditempatisatu orang laki-laki yang tampak terlihat sibuk sekali dengan laptop.“Permisi,” ucap Ara sopan, kemudian diangsurkannya gelasdari nampan. Entah karena tangannya terlalu licin atau kurang kuatmenggenggam gelas, minuman tersebut seketika tumpah mengenailaptop.Sontak laki-laki itu langsung terkejut. Murkanya memuncak karenasegala hal yang sedang dikerjakan musnah. “Lo buta, hah?! Nggak bisahati-hati?! Nganterin minum doang nggak becus!”“Maaf ... Kak. Saya nggak sengaja,” ujar Ara dengan bibir bergetar. Iamenunduk ketakutan.“Dengan kata maaf apa laptop gue bisa idup lagi?! Sekarang gue maulo tanggung jawab! Ganti laptop gue!”Menggeleng takut, gadis itu semakin m
“Takdir yang indah.”Saat ini Ara dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Gadis itu diapitoleh kedua abang, sedangkan orang tuanya berada di depan karena hariini enggan memakai sopir.Dua remaja laki-laki yang saat ini bersama Ara merupakan anakkelima dan keenam Tuan Sauqi dan Nyonya Rossa, yaitu Alden AddiesonAnderson Elizabeth dan Alvaro Dirgantara Anderson Elizabeth yangkerap disapa Alden dan Aro. Alvaro sendiri merupakan saudara kembardari Ara.Mobil Tuan Sauqi sudah berada di halaman rumah mewah nan besarmiliknya. Ara turun dari mobil, menatap kagum bangunan di depan,lebih tepatnya mansion atau wastu.“Ini sekarang menjadi rumah Ara juga,” kata Sauqi seakan mengertiakan perasaan takjub anak gadisnya.“Ayo, Princess,” ajak Alden untuk masuk, tetapi Ara tetap berdiam didepan pintu rumah.Heran, Aro bertanya, “Kenapa Princess diam saja?”“Ara takut. Bagaimana kalau mereka nggak mau nerima Ara lagi?”“Mereka sekarang sangat merindukanmu, Sayang. Mana mungkinmereka tidak mener
Pahit berujung manis.”Ketiga putra Sauqi sudah sampai rumah dan berkumpul di mejamakan serta anggota keluarga lainnya, kecuali Ara karena perempuan itumasih membersihkan badan.“Ada masalah apa sampai menyuruhku pulang?” tanya putra pertamatanpa basa-basi dengan dingin, khas seorang Algeral Anggara AndersonElizabeth. “Jangan bilang, Mom menyuruhku pulang hanya karena rindu.”“Ada hal penting yang wajib kalian ketahui, terutama kalian bertiga.”“Apa?” tanya putra kedua. Ia adalah Andrian Anggara AndersonElizabeth.“Cepatlah, Dad, jangan basa-basi.” Putra ketiga tampak mencebikkesal. Namanya Andreas Leonard Anderson Elizabet.“Kita makan saja dulu. Pasti kalian bertiga sangat capek,” ucap Rossasembari tersenyum.Andri mendengkus sebal. “Kelamaan, Mom.”Rossa menghela napas panjang. “Bentar, Mom panggil dia.”Ketiga laki-laki itu saling berpandangan, tidak mengerti maksudsang mama. Dalam benak juga bertanya, siapa dia?Tak lama setelah itu, Ara datang. Perempuan itu berjalan men
“Takdir Allah jauh lebih baik daripada harapan dan rencanamu.” Pesta yang begitu meriah terselenggara di sebuah mansion milik sebuah keluarga yang begitu harmonis. Semua teman, sahabat, kerabat, keluarga tujuh turunan datang dan berkumpul untuk ikut merayakan pesta ini. Acara besar yang hanya diadakan setahun sekali, yakni saat ini bertambahnya umur anak kembar—berbeda jenis kelamin—yang kini baru menginjak lima tahun. Setelah bernyanyi, meniup kue ulang tahun, serta berdoa bersama, kini para tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan. Semua orang tampak begitu menikmati pesta yang ada. Bercanda, tertawa, hingga berbagi cerita dengan raut wajah bahagia.“Mau balon,” pinta anak perempuan itu kepada abang sulungnya—yang berumur sepuluh—tahun sambil menunjuk balon berwarna merah muda. Ia adalah salah satu dari anak kembar yang sedang berulang tahun. Keduanya kini berada di lantai satu, keluar dari lingkar keramaian ditemani seorang pengasuh."Yang mana, Putri?" tanya lembut s
"Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir membawaku ke sini.”Sebuah mobil menepi di area persawahan daerah Tangerang. Taklama kemudian pintu terbuka dan seorang gadis kecil diturunkan begitusaja, setelahnya kendaraan beroda empat itu melaju, meninggalkan anakperempuan itu sendiri. Ia menangis ketakutan, tetapi tidak tahu harus kemana. Isaknya terdengar memilukan.Seorang perempuan yang sedang berjalan di sekitaran persawahantanpa sengaja mendengar isak tangis anak kecil. Ia mencoba mencarisumber suara, tidak ada rasa takut sama sekali karena ia seorangpemberani.“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu saat menemukan anakkecil yang sedang menangis. Ia terburu menghampiri, kemudianmenggendongnya. “Kamu ngapain di sini, anak cantik?”Anak itu tersedu. Wajahnya memerah dengan berurai air mata.Perempuan tersebut memandang penuh iba sembari mengusappunggungnya, menyeka air mata yang mengalir deras.“Cup-cup, udah, ya, jangan nangis. Kamu aman sama saya,” ujarperempuan itu lemah le
Pahit berujung manis.”Ketiga putra Sauqi sudah sampai rumah dan berkumpul di mejamakan serta anggota keluarga lainnya, kecuali Ara karena perempuan itumasih membersihkan badan.“Ada masalah apa sampai menyuruhku pulang?” tanya putra pertamatanpa basa-basi dengan dingin, khas seorang Algeral Anggara AndersonElizabeth. “Jangan bilang, Mom menyuruhku pulang hanya karena rindu.”“Ada hal penting yang wajib kalian ketahui, terutama kalian bertiga.”“Apa?” tanya putra kedua. Ia adalah Andrian Anggara AndersonElizabeth.“Cepatlah, Dad, jangan basa-basi.” Putra ketiga tampak mencebikkesal. Namanya Andreas Leonard Anderson Elizabet.“Kita makan saja dulu. Pasti kalian bertiga sangat capek,” ucap Rossasembari tersenyum.Andri mendengkus sebal. “Kelamaan, Mom.”Rossa menghela napas panjang. “Bentar, Mom panggil dia.”Ketiga laki-laki itu saling berpandangan, tidak mengerti maksudsang mama. Dalam benak juga bertanya, siapa dia?Tak lama setelah itu, Ara datang. Perempuan itu berjalan men
“Takdir yang indah.”Saat ini Ara dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Gadis itu diapitoleh kedua abang, sedangkan orang tuanya berada di depan karena hariini enggan memakai sopir.Dua remaja laki-laki yang saat ini bersama Ara merupakan anakkelima dan keenam Tuan Sauqi dan Nyonya Rossa, yaitu Alden AddiesonAnderson Elizabeth dan Alvaro Dirgantara Anderson Elizabeth yangkerap disapa Alden dan Aro. Alvaro sendiri merupakan saudara kembardari Ara.Mobil Tuan Sauqi sudah berada di halaman rumah mewah nan besarmiliknya. Ara turun dari mobil, menatap kagum bangunan di depan,lebih tepatnya mansion atau wastu.“Ini sekarang menjadi rumah Ara juga,” kata Sauqi seakan mengertiakan perasaan takjub anak gadisnya.“Ayo, Princess,” ajak Alden untuk masuk, tetapi Ara tetap berdiam didepan pintu rumah.Heran, Aro bertanya, “Kenapa Princess diam saja?”“Ara takut. Bagaimana kalau mereka nggak mau nerima Ara lagi?”“Mereka sekarang sangat merindukanmu, Sayang. Mana mungkinmereka tidak mener
“Jika ini mimpi, kumohon, jangan bangunkan aku. Aku ingin merasakankebahagiaan ini lebih lama lagi walau hanya sekadar mimpi.”Ara melangkah terburu untuk mengantarkan pesanan padapelanggan. Hari yang cukup sibuk di tempat kerja karena sedang ramairamainya didatangi pelanggan. Ia sampai di depan sebuah meja ditempatisatu orang laki-laki yang tampak terlihat sibuk sekali dengan laptop.“Permisi,” ucap Ara sopan, kemudian diangsurkannya gelasdari nampan. Entah karena tangannya terlalu licin atau kurang kuatmenggenggam gelas, minuman tersebut seketika tumpah mengenailaptop.Sontak laki-laki itu langsung terkejut. Murkanya memuncak karenasegala hal yang sedang dikerjakan musnah. “Lo buta, hah?! Nggak bisahati-hati?! Nganterin minum doang nggak becus!”“Maaf ... Kak. Saya nggak sengaja,” ujar Ara dengan bibir bergetar. Iamenunduk ketakutan.“Dengan kata maaf apa laptop gue bisa idup lagi?! Sekarang gue maulo tanggung jawab! Ganti laptop gue!”Menggeleng takut, gadis itu semakin m
"Berdamai dengan takdir adalah sebaik-baiknya pilihan. Bila kamu terima apa yang ditakdirkan, pasti kamu tak akan semudah itu mempersalahkan.”Jam istirahat telah berbunyi seperti biasa. Kedua sahabat Ara pergi kekantin, sedangkan gadis itu makan bekal di kelas. Hingga bekalnya habis,jam istirahat masih tersisa, juga teman-temannya belum kembali ke kelas.Bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman sekolah.Sepertinya berada di sana akan sedikit menenangkan pikiran.Ara memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Dilihatnyabunga-buga mekar yang tampak indah. Awan teduh memayungi ditambahangin sepoi berembus.Tiba-tiba terlintas di pikiran Ara tentang kejadian samar yangterekam di benak. Apakah keluarga mencarinya? Mengapa dirinyasangat sulit mengingat apa yang terjadi di masa lalu? Potongan-potongankecil memorinya tidak lengkap dan cenderung samar. Namun, yangdiingatnya, ia memiliki keluarga, beberapa kakak laki-laki, ayah juga ibuyang baik, hingga tiba
"Kepergianmu menciptakan luka lebar dan bagian terparahnya, rindu membuat luka semakin parah.”Di sebuah mansion mewah suasana sepi juga sunyi menyelimuti.Tidak ada ramai yang mengisi karena luka masa lalu yang enggan tertutup.Setiap saat, harap mereka mulai menipis sebab belum ada sama sekalitanda-tanda sosok yang dicari lekas ditemukan. Ingin rasanya menyerah.Sudah belasan tahun mencari-cari, tetapi tak membuahkan hasil samasekali.Wanita paruh baya memandangi figura berisi foto anak kecil yangbegitu cantik, bahkan mungkin sekarang lebih cantik. Air matanyamengalir seiring rasa kerinduan yang kian menggunung. Sosok ibu yangsangat terpukul. Hingga saat ini ia pun masih meyakinkan diri bahwaputrinya masih hidup.“Sayang, kamu di mana? Mom rindu sama kamu. Apa kamu baikbaik saja di luar sana? Setiap hari Mom tidak pernah absen untukmerindukanmu dengan memandang wajah cantik kamu.”Tangis sosok ibu itu terdengar pilu. “Mengapa orang seperti merekajahat kepadamu? Mengapa harus
“Jangan takut, dunia itu menarik.”Ara masuk bagian belakang kafe tempatnya bekerja. Menyapabeberapa karyawan yang ditemui, lekas berganti seragam di ruang ganti.Setelah dirasa penampilannya rapi, ia segera keluar.“Ara! Mbak minta tolong, ya, bawain minuman ini untuk meja nomertujuh!”Ara menoleh pada Mbak Santi yang memanggil, diterimanya nampantersebut, lantas bergegas mengantarkan pesanan tersebut.“Permisi,” ucap Ara sopan, lalu menata gelas minuman di mejatersebut. Saat ingin berbalik, tangannya dicekal oleh salah satu remaja disana. Ditatapnya laki-laki itu dengan alis berkerut. “Ada apa, Kak?”Kala sepasang mata itu bersitatap, sesuatu di dada menyentak hebat.Mata itu. Ia tidak percaya atas apa yang dilihat bola matanya sendiri.“Bro?” Panggilan temannya membubarkan lamunan.Laki-laki itu tersadar, lalu melepas cekalan, wajahnya berpaling.“Nggak apa-apa.”Meski merasa aneh dengan laki-laki itu, tetapi Ara tidak mau ambilpusing. Ia melenggang pergi untuk melanjutkan pe
“Kita harus menghargai diri sendiri dengan baik lebih dari apa pun,termasuk pergi dari orang yang tidak pernah menghargaimu.”Pagi menjelang. Seorang perempuan cantik masih tertidur nyenyakdi ranjang. Kamar sederhana, berbagi dengan teman pantinya.Perempuan kecil yang dulu ditemukan menangis di tepi persawahanpada malam hari, kini sudah tumbuh besar, seperti remaja pada umumnya.Tingginya kini 150 senti, wajah dengan pipi gembul, iris sebiru langit,tampak memesona. Kalung berinisal ACQAE selalu bergelantungan dileher. Diingatnya nama lengkap hanya Alvara Catania, sedangkan sisanyatidak ia ketahui. Dari sana, kemudian orang-orang memanggilnya Ara.Seorang wanita datang, kemudian menggoyang-goyangkan tubuhAra dengan pelan. “Sayang, bangun, yuk! Ara Sayang, bangun!”Tak lain dan tak bukan ialah pemilik Panti Asuhan Kasih Bunda.Namanya Nia. Dialah yang menemukan Ara malam itu dan merawatnyahingga sekarang ini. Kesehariannya mengurus panti dibantu satu-duaorang temannya. Sang su
"Aku tidak pernah menyangka bahwa takdir membawaku ke sini.”Sebuah mobil menepi di area persawahan daerah Tangerang. Taklama kemudian pintu terbuka dan seorang gadis kecil diturunkan begitusaja, setelahnya kendaraan beroda empat itu melaju, meninggalkan anakperempuan itu sendiri. Ia menangis ketakutan, tetapi tidak tahu harus kemana. Isaknya terdengar memilukan.Seorang perempuan yang sedang berjalan di sekitaran persawahantanpa sengaja mendengar isak tangis anak kecil. Ia mencoba mencarisumber suara, tidak ada rasa takut sama sekali karena ia seorangpemberani.“Astaghfirullah!” pekik perempuan itu saat menemukan anakkecil yang sedang menangis. Ia terburu menghampiri, kemudianmenggendongnya. “Kamu ngapain di sini, anak cantik?”Anak itu tersedu. Wajahnya memerah dengan berurai air mata.Perempuan tersebut memandang penuh iba sembari mengusappunggungnya, menyeka air mata yang mengalir deras.“Cup-cup, udah, ya, jangan nangis. Kamu aman sama saya,” ujarperempuan itu lemah le
“Takdir Allah jauh lebih baik daripada harapan dan rencanamu.” Pesta yang begitu meriah terselenggara di sebuah mansion milik sebuah keluarga yang begitu harmonis. Semua teman, sahabat, kerabat, keluarga tujuh turunan datang dan berkumpul untuk ikut merayakan pesta ini. Acara besar yang hanya diadakan setahun sekali, yakni saat ini bertambahnya umur anak kembar—berbeda jenis kelamin—yang kini baru menginjak lima tahun. Setelah bernyanyi, meniup kue ulang tahun, serta berdoa bersama, kini para tamu undangan menikmati makanan yang telah disediakan. Semua orang tampak begitu menikmati pesta yang ada. Bercanda, tertawa, hingga berbagi cerita dengan raut wajah bahagia.“Mau balon,” pinta anak perempuan itu kepada abang sulungnya—yang berumur sepuluh—tahun sambil menunjuk balon berwarna merah muda. Ia adalah salah satu dari anak kembar yang sedang berulang tahun. Keduanya kini berada di lantai satu, keluar dari lingkar keramaian ditemani seorang pengasuh."Yang mana, Putri?" tanya lembut s