Namanya Raka Adiwiswara. Mata tajam dan alis tebal yang membingkai matanya sudah cukup untuk membekukan semua tatapan orang padanya. Tapi Tuhan kadang tidak adil. Wajah tampan dengan aura dingin itu, di tambah tubuh tegap dengan kaki jenjang yang tak kuasa untuk di tolak. TAMPAN. DINGIN. Dan punya hidup sempurna.
Dengan langkah yang terburu buru, Raka berlari. Membuat seluruh perhatian mata kaum wanita menoleh padanya. Tapi Raka tak acuh. Ia tak punya waktu untuk meladeni tatapan yang seperti menelanjanginya itu.
Dengan jas putih yang berkelibat karena Raka berlari tak karuan cepatnya. Akhirnya laki laki itu sampai di ruangan yang sudah hampir tertutup sepenuhnya.
“Dokter Raka...” sapa seorang perawat dengan wajah pucat yang terlihat sangat bersyukur sudah bersitatap dengan Raka. Raka hanya mengangguk dan membuka pintu ruang operasi dengan tangannya. Segera, dengan sigapnya Raka memakai pakaian operasinya. Melepaskan jas putih dan meletakan stetoskopnya dengan sangat hati hati.
Mata Raka sudah melihat tubuh yang di beri anastesi lokal itu.
“Seberapa parah kondisi pasien?” tanya Raka dengan sangat serius. Ia sudah memakai sarung tangan lateks yang melekat di kedua tangannya dengan sempurna. Raka mendekati sosok perempuan yang tertutup matanya dengan sangat tenang karena obat bius.
“Arteri di pembuluh darah jantung kapiler pecah Dok. Ada beberapa kondisi kelainan pada sistem pernafasan.”
Raka mengangguk. Ia juga mendengarkan penjelasan tambahan lainnya. Akhirnya, setelah mendengar banyak sekali penjelasan. Raka membuat keputusan.
“Kita lakukan sekarang, pisau bedah....” Raka menerima pisau bedah yang sangat tajam itu. Kilatan pisau metal berwarna silver yang berkilat karena terkena cahaya. Mata Raka melih berkilat di atas sana. Membuka tubuh itu dengan sangat hati hati. Membuka tulang rusuk dan mulai dengan intinya. Jantung pasiennya.
^^^
Raka sangat marah. Setelah operasi dua jam. Berlangsung di dalam sana dengan sukses. Sekarang Raka tinggal melampiaskan amarahnya pada para perawat yang baru saja melangsungkan operasi bersamanya.
“Kenapa tidak ada yang memberi tau saya! Kondisi pasien menurut kalian adalah main main? Nyawa perempuan tadi itu bisa di tukar tambah!” Raka membentak dengan suara yang sudah menggelegar. Ia melepaskan sarung tangan lateks, bercak darah yang sangat kontras dengan sarung tangan putih yang kini teronggok di tempat sampah.
Empat orang perawat yang bersama Raka itu terdiam tak ingin bersuara. Sepertinya, menentang Raka bukan pilihan yang tepat.
“Kenapa tidak ada yang memberi tahu saya kalau pasien sedang dalam masa kritis!” bentak Raka lagi, kini emosinya memuncak. Raka memutuskan untuk memandang empat orang yang kini menunduk ketakutan padanya.
“Jawab!” bentak Raka lagi, ia mengusap rambut hitamnya yang kini terlihat berantakan. Baru saja. Kalau saja... Ada satu pasien yang mati di bawah penangannya. Maka sandangan Dokter paling kompeten di Rumah Sakit Alexandria. Akan pupus dari tangan Raka.
“Sebenarnya, saya sudah menghubungi Dokter...,” jawab salah seorang perawat dengan takut takut. Ia bahkan masih menunduk, tidak ingin menatap mata tajam Raka.
“Terus...?” tanya Raka dengan menaikan sebelah alisnya,”Kenapa saya tidak mendapatkan panggilan? Yang kamu maksud itu panggilan fiktif atau bagaimana?” sindir Raka dengan sangat ketus dan pandai sekali membuat lawan bicaranya membeku.
Barusan, setelah melakukan tiga operasi berturut turut tanpa berhenti. Raka dalam perjalanan pulang di dalam mobilnya untuk pulang ke apartemen dan beristirahat. Dan sialnya! Raka yang masih di tengah perjalanan harus banting setir kembali, ke rumah sakit hanya karena hal sepele! Ia tak merasa di hubungi untuk melakukan operasi lagi. Tapi salah satu pasienya malah kritis di ruang operasi tanpa sepengetahuanya! Konyol!!
“Dokter Brian bilang, beliau yang akan menangani pasien ini. Tapi saya tidak tau, kalau beliau belum berbicara pada Dokter ....”
Raka menaikan keningnya hingga berkerut dan menarik nafas dengan berat. Salah satu dokter sialan yang selalu merasa kalah saing dengan Raka.
“Bagaiamana keadaan pasien sekarang?” tanya Raka. Ia tak bisa menyalahkan tim medisnya kalau ini bukan kesalahan mereka. Dan Raka memilih untuk memfokuskan diri ke kondisi perempuan yang baru saja ia operasi itu.
“Kondisi jantung pasien masih terkontrol dengan normal, tekanan darah normal, denyut jantung sudah kembali normal. Sudah berangsur membaik.” Jawab seorang perawat yang langsung berjalan dengan sigap saat Raka menanyakan jawaban kondisi pasiennya.
Raka meremas kembali rambut hitamnya.
“Pantau kondisi pasien dan secara bergantian dan berskala. Saya akan pulang ke apartemen dulu.” Dan tubuh Raka berjalan keluar dari ruangan perawatan itu. Jas putihnya masih tertinggal di sana. Tapi kemeja biru yang Raka kenakan sudah cukup untuk laki laki itu.
Raka berjalan kembali, kini dengan sangat santai. Tapi pandangan matanya tak bersitatap dengan siapapun. Padahal orang orang sudah menatapnya sebagai pusat perhatian. Sedikit bocoran, bibir Raka yang merekah yang sedang terkatup itu juga jadi poin penting yang menjadikan Raka makin tampan.
Langkah yang sangat lambat itu sekarang makin cepat saat Raka melihat seorang perempuan dengan jas dokter yang berlogo sama dengannya. Rumah Sakit Alexandria. Dokter Pevita namanya. Dokter perempuan itu sudah berlari sedikit terburu buru untuk mengejar Raka. Tapi langkah panjang Raka sudah cukup untuk membuat jarak dokter Pevita jauh di belakangnya.
Raka menghembuskan nafas dengan sangat lega kerana dokter itu tak bisa mengejarnya. Dengan kilatan mata marah, Raka mengingat siapa si biang onar hari ini.
“Brian sialan!!” seru Raka dengan sangat marah, membenturkan tangannya ke pintu mobil Alpahrd merahnya dengan keras. Tangan Raka tak merasakan apa apa, walaupun pukulan itu begitu kerasanya.
“Awas Brian, awas .....” ucap Raka dengan nada memperingati.
“Besok, udah engga ada pengampunan lagi!” ucap Raka dan sekarang sudah sangat kentara kalau ia menaruh dendam pada dokter Brian itu. gerakan cepat Raka membuka pintu mobilnya. Ia akan kembali ke apartemennya dan beristirahat. Untuk kali ini, musuhnya akan tidur dengan sangat tenang. Karena Raka belum bisa balas dendam.
Udara dingin menerpa kulit wajah Mikaila. Dengan di sertai rasa nyeri. Rasanya, udara dingin makin memperparah rasa sakitnya. Tapi sentuhan lembut di dahinya, dan kemudian merambat ke lehernya. Dan berlanjut ke lengannya. Membuat Mikaila mau tak mau merasakan nyaman. Sentuhan tangan yang sangat asing baginya, tapi membuatnya nyaman. Dan dalam sekejap, rasa nyeri di dadanya yang tadinya membuncah itu. menghilang secara ajaib, mistrius. “Kalau pasien sudah sadar, secepatnya.” Ucap suara bariton yang sangat maskulin di telinga itu. membuat telinga Mikaila yang sangat menikmati lantunan suara selanjutnya dari orang yang sama. “Jangan lupa, beri suntikan obat penenang setiap empat jam sekali untuk mengurangi rasa sakit bekas jahitan operasi kemarin.”&n
Apartemen Raka sangat sepi. Dingin dan tak berpenghuni. Bagaimana bisa di sana ada kegiatan manusia kalau Raka hanya berada di rumah sakit dalam tujuh belas jam dalam sehari hidupnya. Hanya pulang untuk tidur dan mandi serta berganti baju. Dengan langkah yang sangat terseok sekok karena lelah, Raka memaksakan diri untuk berjalan lebih jauh ke arah dapur untuk mengambil minuman di kulkas karena kerongkongannya terasa sangat kering setelah ingat dia belum minum ataupun makan dari sore tadi. Tangan Raka memegang gagang pintu dan membuka kulkas yang hanya berisi udara kosong, dingin dan tak ada makanan sama sekali. Saking seringnya hanya pulang untuk mandi, tidur dan berganti pakaian. Raka sampai lupa kapan terakhir kali ia berbelanja untuk mengisi kulkas super besarnya dengan makanan. Sayang, decak Raka dalam hati. Kulkas besar itu hanya be
Malam hari, di rumah sakit sendirian di lantai teratas karena ruangan VIP pastinya punya prioritas tersendiri. Ruangan VIP memiliki lantai tersendiri untuk setiap kegiatan pemeriksaan. Satu lantai sudah sepaket dengan ruangan operasi dan lab yang hanya di pakai khusus untuk pemeriksaan pasien VIP. Jadi tak perlu menunggu lama hanya untuk hasil labolatorium. Semuanya sepadan dengan harga tentunya. Tapi harga yang di bayar Mika rasanya sangat tinggi jatuhnya, ia berkali kali menelfon kakanya dan orang tuanya. Jawaban mereka hampir sama semua. Sedang tenggelam dalam kesibukan masing masing. Ada yang masih bekerja, ada yang masih di urusan bisnins dan bahkan belum menginjakan kaki di ibu kota. “Mika sekarat loh...” desah Mika sambil menaruh ponselnya di sampingnya. Dengan wajah yang
Mata Mika makin sipit jadinya saat ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan malah memikirkan banyak hal untuk hari ini. Hari sudah menjadi esok dan Mika masih mengkhawatirkan kata kata Raka kemarin. Masih terngiang ngiang dan menakutinya tanpa ampun sampai ia tak bisa tidur. Mika memiringkan tubuhnya, sialnya! Saat ia sudah sangat ingin beristirahat. Matahari malah mengejeknya dengan terbit seperti belum waktunya. Tau tau sudah sangat pagi sampai kamarnya terkena pantulan cahaya yang keemasan. Orang orang bilang, ini adalah golden hour. Waktu emas karena kilatan cahayanya seperti emas. Tak di pungkiri, pagi hari sangat bagus bukan? Dan sepertinya, pintu neraka untuk Mika sudah di buka dengan sangat lebar sampai sengatan cahaya itu membuat ia silau luar dalam. Datang dua suster dengan p
Gangguan pernafasan!! Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia. Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatan untuk Mika.**** 6 **** Raka dengan cekatan memberikan nafas buatan pada Mika yang sudah terkap
Entah kenapa, ada rasa tak terima di hati Raka karena Pevita secara tidak langsung, memberikan kesan menyedihkan karena Mika terkena penyakit jantung, sekaligus memberikan kesan kalau Mika adalah perempuan yang merepotkan. “Kalau dokter Pevita mau saya kasih nafas buatan, tolong jantungnya jangan di jaga. Karena saya hanya memberikan nafas buatan untuk pasien yang terkena serangan jantung.” Jleb! Wajah Pevita merah padam. Niat hati ingin membuat Mika malu dan tak punya wajah, tapi malah Raka yang memberikannya tamparan tak kasat mata. Sial!**** 7 ****Raka berjalan dengan santai meninggalkan Pevita yang masih berdiri mematung karena ucapannya barusan. Pevita masih tak percaya. Kalau memang benar. Pangkat
8 Ken di tarik keluar dengan paksa oleh petugas keamanan. Dengan sedikit paksaan tentunya dan sedikit perlawanan pastinya. Mika bisa bernafas lega. Ia tak lagi mendengar suara laki laki yang sudah mengoyak hatinya itu. Dengan kepala yang terulur dengan sangat berhati hati, Mika menengok lewat celah pintu. Berusaha mencari tahu apakah Ken benar benar sudah pergi atau belum. Dan Mika bisa bernafas lega karenanya. “Huft. Aman ...” ucap Mika sambil mengusap dadanya sendiri. “Apa di sini kurang aman?” suara Raka yang terdengar sangat dingin itu seperti kucuran air es. Mengagetkan
9 Raka berjalan mondar mandir di hari libur ke empatnya. Ia rasa, ia akan mulai gila. “Astaga ....!!” geram Raka dengan sangat frustasi membolak balik kalender yang ada di tangannya. Baru saja empat haru citu, tapi ia sudah merindukan rumah sakit. Ah!! Ralat! Pekerjaan! Tanggung jawab moral sebagai dokter. Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan pikirannya agar tak memunculkan ide untuk datang ke rumah sakit seperti pahlawan kesiangan karena shiftnya sudah di ganti dengan Brian. Raka menatap kunci mobilnya. Ia jadi teringat sesuatu dan merasa lega. Sudah meminta petugas keamanan, untuk....^^^&nbs
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Pagi harinya, Mika tak melihat Raka. Ia sudah pergi sebelum Mika membuka mata. Raka hanya meninggalkan notes dengan pesan yang tertulis bahwa Raka sudah mempersiapkan sarapan dan ia pergi buru – buru karena ada masalah yang sangat penting. Dan di sinilah Mika sekarang, di meja makan dengan sepiring sandwich yang baru saja ia hangatkan. Raka hanya menumpuk sayuran, beberapa lapis keju, bahkan karena terlalu sehat. Mika sampai tak bisa merasakan rasa daging ham, rasa sayur lebih dominan karena hampir tiga perempat isi sandwich di menangkan oleh sayuran. Mentimun, selada segar, tomat. Mika menikmati pagi dengan tenang, dan damai. Tak banyak yang Mika pikirkan akhir – akhir ini. Selang beberapa menit, Mika kedatangan tamu. Keyza. Ia datang untuk melihat kondisi Mika. “Aku masih hidup,” canda Mika dengan mimik wajah datar, ia kembali melahap sandwich yang belum habis setengahnya. Raka membuatkannya sandwich porsi besar. “kalia
*** Raka tidak bisa mengundurkan diri dengan mudah, ia tidak bisa lolos dengan mudah seperti belut yang akan terus lolos karena kulitnya yang licin. Raka tidak bisa lolos begitu saja seperti belut, Raka harus mengurus beberapa berkas yang tidak bisa di wakilkan. Dan setelah keluar dari ruangan Tata Usaha rumah sakit, Raka menurunkan topinya, menutupi sebagian wajahnya dan berjalan menuju parkiran. Beberapa perawat yang memang menganali Raka perawakannya yang tak asing, menyapa Raka. Raka membalas sapaan dengan sopan dan singkat. Beberapa perawat bahkan masih membicarakannya meski Raka sudah berjalan cukup jauh. Beberapa ada yang menyayangkan keputusan Raka. Beberapa ada yang menyalahkan keadaan. Dan masih ada banyak hal yang bisa di gosipkan dari keputusan resign Raka yang mendadak ini. Tapi Raka tak ambil pusing, hari ini ia akan menemui ayahnya. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengajukan tawaran. Raka m
Flashback. Mika menutup telfonya dengan Morgan, tak lama, Keyza mengirim pesan singkat yang isinya meminta Mika untuk mengirimkan lokasinya agar Keyza bisa segera datang. Setelah Keyza tau lokasi Mika. Mika menutup ponselnya, ia berpura – pura mengelilingi mini market, seolah mencari barang tersembunyi yang sulit di temukan. Saat Mika tengah menjauhi kerumunan orang yang berbelanja, namun belum sempat Mika melancarkan aktingnya, seseorang menepuk bahunya. “Bisa minta waktunya sebentar?”&nbs
Mika masuk ke dalam apartment lamanya. Rasanya seperti kembali ke rumah. Mika mengelilingi ruang TV. Tempat yang paling sering ia guakan untuk menghabiskan waktu untuk bermalas – malasan. Mika melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Kemudian ke arah dapur, area yang paling jarang terjamah olehnya. Semua barang – barang masih berada di tempatnya semula. Saat di perjalanan, Keyza menceritakan kalau Morgan bersikeras untuk membiarkan apartment ini tetap terawat sampai Mika keluar dari rumah sakit. Dan nyatanya, dengan sifat keras kepala Morgan, ia berhasil merebut key card. Menjaga apartment ini untuknya. “Kamu lelah?” tanya Keyza tiba – tiba, Keyza masuk dan langsung ke arah dapur, ia membawa banyak sekali tas belanjaan tanpa memperbolehkan Mika
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera