Mata Mika makin sipit jadinya saat ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan malah memikirkan banyak hal untuk hari ini. Hari sudah menjadi esok dan Mika masih mengkhawatirkan kata kata Raka kemarin. Masih terngiang ngiang dan menakutinya tanpa ampun sampai ia tak bisa tidur.
Mika memiringkan tubuhnya, sialnya! Saat ia sudah sangat ingin beristirahat. Matahari malah mengejeknya dengan terbit seperti belum waktunya. Tau tau sudah sangat pagi sampai kamarnya terkena pantulan cahaya yang keemasan. Orang orang bilang, ini adalah golden hour. Waktu emas karena kilatan cahayanya seperti emas. Tak di pungkiri, pagi hari sangat bagus bukan?
Dan sepertinya, pintu neraka untuk Mika sudah di buka dengan sangat lebar sampai sengatan cahaya itu membuat ia silau luar dalam. Datang dua suster dengan pakaian perang lengkapnya dan senyuman jenakan seperti mengatakan, giliran kamu yang di kuliti! Ayo ikut sekarang!
Mika meneguk ludahnya saat suster itu meraih tanganya dan memeriksa infus yang tersisa sedikit. Kemudian si suster satunya lagi seperti melakukan pemeriksaan. Mika melihat ke arah si suster menatapnya, semalam, ia gagal melepaskan infusnya, itu hanya sukses memberikan rasa sakit di nadinya.
“Infusnya akan saya lepas ya, jangan takut. Tidak akan sakit.” sama persis seperti yang di katakan Raka kemarin malam. Membuat Mika menegukan ludahnya dengan sangat alot. Karena gugup akan menanti rasa sakit.
Dan setelah mengatakan kata kata itu, Mika sangat meyakinkan dirinya kalau rasa sakinya luar biasa! Dia sudah mencobanya sebanyak dua kali dan tak ada yang membuahkan hasil. Jadi kenapa dia harus percaya dengan kata tidak sakit? Bohong....!!!
Dan entah ini keajaiban sugesti atau memang keajaiban seorang perawat yang sangat pandai dalam menjalankan tugasnya. Mika tak merasakan sengatan rasa sakit seperti kemarin. Jarum yang super besar yang ia lihat itu, lolos dengan mudahnya tanpa merasakan ada rasa sakit yang baru saat ia di lepas. Hanya meninggalkan rasa sakit yang tak seberapa.
“Sekarang kita ke ruangan endoskopi.” Ucap si perawat satunya lagi yang sepertinya sudah selesai dalam memeriksa Mika. Mika yakin, di sebrang sana. Raka akan tersenyum sangat senang. Di atas singgasananya.
“Eh, suster. Yang nanti masukin itu? dokter Raka bukan?”
Kedua suster yang membawa Mika di kursi roda itu mengernyit.
“Dokter yang menangani bukan Dokter Raka, Dokter Raka khusus untuk pasien dengan gangguan jantung dan beliau sudah bersiap di ruangan operasi setengah jam yang lalu....”
Mika mau tak mau harus bernafas dengan sangat lega, saking leganya, gerakan mengambil nafas yang mungkin terlihat berlebihan itu membuat dua suster itu mengernyitkan dahi karena bingung, ada apa dengan pasiennya ini? Kenapa? Ada apa?
“Ayo dok, bawa saya secepatnya ke ruangan untuk endoskopi.” Ucap Mika dengan sangat ceria seperti memberikan komando untuk lebih bersemangat dalam bekerja lagi. Dan dua suster itu nampak sangat kebingungan dengan pikiran pasiennya yang sedikit terganggu.
^^^
Ruangan endoskopi terlihat sangat tenang karena baru saja di masuki Mika seorang. Melihat dengan pandangan yang asing, Mika menyusuri ruangan bercat putih dengan banyak sekali alat yang tak ia ketahui kegunanaanya itu.
Setelah lama berbincang dengan si dokter, dua suster itu membaringkan Mika di ranjang yang sangat modern. Dengan banyak sekali tombol yang ada di sampingnya. Seorang dokter laki laki dengan senyuman ramah mulai melakukan tugasnya, memberikan suntikan yang Mika rasa, seperti gigitan semut. Tapi kemudian ia di minta untuk menahan rasa sakitnya. Dan benar juga, benda asing dengan kabel yang terulur panjang itu mulai di masukan ke dalam mulutnya. Mika hanya berdoa, semoga rasanya tak menyakitkan seperti yang ia kira. Semoga lebih bisa di maklumi.
^^^
Mika bisa bernafas dengan sangat lega. Karena ia sendiri sudah sangat lupa rasanya. Mika memutuskan untuk berjalan jalan dengan santai di rumah sakit. ia tak perlu terhalangi oleh infus sekarang. Tapi pakaian yang ia kenakan, pakaian rumah sakit benar benar tak cocok dengan style-nya yang sehari hari terlihat sangat mewah dan elegan khas permpuan keluarga Abraham. Tapi Mika tak keberatan. Ia akan segera keluar dari gedung pencakar langit untuk orang orang sakit ini.
Mika merogoh sakunya. Ia lupa kalau tak membawa ponsel di sakunya itu. ia ingin menghubungi keluarganya. Apakah ada yang mengkhawatirkannya? Atau ada yang peduli dengannya?
Mika sendiri menggeleng kepala dengan sangat frustasi, ia ada di apartemen saat itu. saat sedang merasakan hantaman paling menyakitkan selama ia tau kalau memiliki kelaianan jantung. Tapi Mika takan menyadari kalau ia akan berakhir di rumah sakit sekarang ini.
Langkah Mika terus berjalan tanpa tujuan, Mika sendiri sudah bingung, kemana ia hendak melangkah. Tapi pandangan Mika langsung tertuju pada satu satunya dokter yang ia kenal. Dokter Raka yang sedang berdebat sangat hebat dengan seorang perempuan. Mika yakin, mereka sama sama menjadi dokter di rumah sakit ini. Dengan jas putih dan logo yang sama yang mereka kenakakan.
Rupanya benar, Raka memang sedang berdebat dengan Pevita.
“Saya tidak bisa, terimakasih sudah mau mencitai saya. Tapi saya tidak bisa membalas perasaan kamu.” Jawaban Raka tetap sama. Menolak Pevita yang sedang menatapnya dengan frustasi. Frustasi mengejar Raka yang tak terkejar. Dan frustasi karena ia tak tau siapa sebenarnya perempuan yang di inginkan Raka. Sangat membuat Pevita marah karena ia tak tau bagaimana rupa musuhnya itu.
“Dokter Raka...” sela Pevita sambil menjulangkan tanganya untuk menghalangi langkah Raka. Dan berhasil, dokter itu ternyata berhenti untuk...? Mungkin mendengarkan penjelasan Pevita. Tapi wajah jengah Raka sepertinya tak bisa di buang.
“Beri saya kesempatan, misalnya kita berkencan satu kali saja? Bagaimana?” tawar Pevita tak ingin melepaskan laki laki yang ada di depannya ini. Gila memang kalau ia sampai ingin melepaskan Raka! Pevita takan menyerah! Ia akan mendapatkan dokter tampan di Rumah Sakit Alexandria ini, bagaimanapun caranya.
Raka menarik nafas dengan sangat jengah. Ia pikir, dengan mengabaikan Pevita di Supermarket kemarin, sudah memutuskan harapan perempuan itu. tapi Raka salah, ia sudah berhadapan dengan perempuan yang paling tidak tau mau dan paling tidak tau menyerah rupanya.
Dengan nada yang sangat keberatan, keberatan sekali.... rasanya. Raka menganggukan tawaran Pevita, bukan setuju untuk mengencaninya. Tapi karena ia harus buru buru ke ruangan endoskopi, mengambil salah satu hasil pemeriksaan pasiennya. Mikaila Abraham..... nama itu terngiang dan sosoknya ada di ujung sana. Sedang menyeringai dengan sangat usil ke arah Raka, seperti sedang menangkap basah Raka yang sedang selingkuh. Ternyata, gelagat Pevita yang malah mengalungkan tangannya dan memeluknya makin membuat kesalah pahaman di pandangan pasien itu terhadap Raka makin menjadi jadi.
Dengan gugup, Raka melepaskan tangan Pevita ” Saya harus memeriksa pasien saya, permisi....” ucap Raka dengan sangat gugup karena melepaskan tangan Pevita yang seperti tentakel cumi, melekat sangat erat di tubuhnya.
Di sebrang sana, Mika sudah memasuki lift dengan senyuman usil yang tersungging, makin membuat Raka sebal karena ia merasa sedang di rendahkan olehnya. Raka langsung meninggalkan Pevita dan berlari ke arah lift yang di masuki Mika.
Langkah lebarnya memang berhasil mengejar Mika sebelum pintu lift benar benar tertutup dan ia akan malu karena tak menjelaskan adegan yang tak pantas itu. lagi pula, kenapa Mika bisa ada di lantai khusus staff rumah sakit itu? Raka mulai bertanya tanya.
Dengan nafas yang di buat seteratur mungkin, Raka memasuki lift dengan langkah tenang. Tapi sial! Ketenangan Raka terusik oleh senyuman jahil menahan tawa Mika.
“Jangan tertawa! Tidak ada yang lucu!” hentak Raka karena lift ini hanya terisi mereka berdua. Mika malah menahan mulutnya dengan sangat keras agar tak kebablasan. Tai nyatanya, ia malah kebablasan.
“Gaya pacaran dokter lucu juga ya...” ucap Mika di sela sela tawanya. Mika harus menutup kembali mulutnya agar suarany tak menggema di lift yang hanya ada mereka berdua. Mata tajam Raka langsung melihat kalau tangan Mika sudah bebas dari infus.
“Mau saya berikan dua infus ganda? Lewat arteri tangan, juga lewat arteri kaki?”
Mendengar ancaman Raka, Mika langsung menutup mulutnya dan berniat untuk tidak tertawa sedikitpun. Dan menyadari dari ketersinggungan Raka terhadap topik pembicaraanya. Mika menarik kesimpulan, kalau perempuan itu bukanlah kekasih dokter di depannya ini.
“Dokter percaya kalau ketemu lebih dari tiga kali itu takdir?”tanya Mika memancing perhatian Raka. Tapi laki laki dingin itu malah menyilangkan tangannya di depan dada dan menatap lurus ke depan tanpa berpikiran untuk melirik ke arah lawan bicaranya.
“Sudah takdir saya untuk merawat pasien kaya kamu. Takdir saya sedikit sial di sini ... “ gumama Raka sambil mendengus seperti baru saja di timpa kemalangan. Reaksi Raka itu membuat Mika jadi cemberut bukan main. Bukan itu yang ia maksud. Yang ia maksud itu takdir yang lain.
Tiba tiba lift tergoncang dengan sangat keras. Dan lampu di dalam lift mati dan menyala dan kemudian mati dan menyala lagi dalam hitungan detik berikutnya. Membuat tubuh Raka dan Mika saling berbenturan satu sama lain.
“Argh!” teriak Mika dengan sangat panik karena ketakutan. Ia tak pernah berada di situasi seperti ini. Tapi ia merasakan di kegelapan ini tangan Raka melingkupi tubuhnya seperti melindunginya dari benturan ke dinding lift yang terbuat dari besi.
“Tenang...” bisik Raka tepat di daun telinga Mika. Membuat jeritan ketakutan Mika sedikit teredam karena ia merasa sedikit tenang. Selang beberapa detik kemudian, goncangan di lift terhenti dan membuat lift mati total dengan kegelapan di antaranya. Mereka berdua terduduk di lantai lift dan Raka sudah melepaskan tanganya dari Mika.
“Liftnya mati,” ujar Raka saat sudah memencet tombol darurat beberapa kali. Memberikan kode ke staf pengawas dan keamanan. Kalau ada orang yang terjebak di dalam lift. Untung saja kegelapan di dalam sana bisa menutupi wajah ketakutan Mika.
Kalau tidak, mungkin wajahnya yang sudah pucat itu bisa di tertawakan habis habisa oleh dokter disampingnya itu.
“Berapa lama dok? Kita harus nunggu di sini?” tanya Mika dengan menenangkan suaranya. Ekspresi Raka tak terlihat ataupun terbaca. Hanya suara berat bariton itu yang Mika dengar, di selingin aroma mint yang keluar dari mulut Raka saat bericara.
“Sebentar, kita pasti langsung di tolong.” Ucap Raka menenangkan.
Dan Mika mau mau saja mendengarkan kata Raka yang sangat bullshit itu! Hampir setengah jam dan mereka belum mendengar ada suara penolong dari tim penyelamat ataupun staff keamanan rumah sakit.
Nafas Mika kian berat rasanya karena oksigen di ruangan pengap dan gelap yang terbatas itu harus di bagi dua dengan Raka. Mika mengusap dadanya yang masih di perban dengan tebal. Menenangkan diri kalau semuanya akan baik baik saja. Takan ada yang terjadi. Karena ia bersama dokter.
Mendengar decit nafas Mika, Raka menoleh mencoba mencari di mana posisi Mika di kegelapan.
“Kamu kenapa ...?” tanya Raka dengan sangat ketakutan karena tak bisa melihat kondisi Mika di tempat yang gelap gulita ini. Ia takut kalau luka ataupun jantung Mika yang bermasalah.
“Eng—hah....” Mika menarik nafas dengan sangat berat dan susah payah.
“Engga apa apa Dok.” Jawab Mika setelah mengumpulkan banyak oksigen ke paru parunya.
Raka malah mengernyit, ini tidak benar. Ia merasa kalau ini tidak wajar.
“Mika? Mika ....?” Mika???” panggilan ketiga, kedua dan pertama sudah tak di jawab Mika lagi. Dengan cepat, Raka mencari tubuh Mika yang ternyata tersandar ke dinding lift. Lemas dan tak bergerak sama sekali ataupun merespon Raka.
Kelibatan ingatan saat hendak melakukan operasi pada Mika itu membauat Raka panik
Gangguan pernafasan!!
Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia.
Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatn untuk Mika.
Gangguan pernafasan!! Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia. Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatan untuk Mika.**** 6 **** Raka dengan cekatan memberikan nafas buatan pada Mika yang sudah terkap
Entah kenapa, ada rasa tak terima di hati Raka karena Pevita secara tidak langsung, memberikan kesan menyedihkan karena Mika terkena penyakit jantung, sekaligus memberikan kesan kalau Mika adalah perempuan yang merepotkan. “Kalau dokter Pevita mau saya kasih nafas buatan, tolong jantungnya jangan di jaga. Karena saya hanya memberikan nafas buatan untuk pasien yang terkena serangan jantung.” Jleb! Wajah Pevita merah padam. Niat hati ingin membuat Mika malu dan tak punya wajah, tapi malah Raka yang memberikannya tamparan tak kasat mata. Sial!**** 7 ****Raka berjalan dengan santai meninggalkan Pevita yang masih berdiri mematung karena ucapannya barusan. Pevita masih tak percaya. Kalau memang benar. Pangkat
8 Ken di tarik keluar dengan paksa oleh petugas keamanan. Dengan sedikit paksaan tentunya dan sedikit perlawanan pastinya. Mika bisa bernafas lega. Ia tak lagi mendengar suara laki laki yang sudah mengoyak hatinya itu. Dengan kepala yang terulur dengan sangat berhati hati, Mika menengok lewat celah pintu. Berusaha mencari tahu apakah Ken benar benar sudah pergi atau belum. Dan Mika bisa bernafas lega karenanya. “Huft. Aman ...” ucap Mika sambil mengusap dadanya sendiri. “Apa di sini kurang aman?” suara Raka yang terdengar sangat dingin itu seperti kucuran air es. Mengagetkan
9 Raka berjalan mondar mandir di hari libur ke empatnya. Ia rasa, ia akan mulai gila. “Astaga ....!!” geram Raka dengan sangat frustasi membolak balik kalender yang ada di tangannya. Baru saja empat haru citu, tapi ia sudah merindukan rumah sakit. Ah!! Ralat! Pekerjaan! Tanggung jawab moral sebagai dokter. Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan pikirannya agar tak memunculkan ide untuk datang ke rumah sakit seperti pahlawan kesiangan karena shiftnya sudah di ganti dengan Brian. Raka menatap kunci mobilnya. Ia jadi teringat sesuatu dan merasa lega. Sudah meminta petugas keamanan, untuk....^^^&nbs
10 Raka entah harus mengatakan apa atau bereaksi seperti apa. Menjatuhkan tasnya tentu bukan ekspresi yang ingin ia tunjukan. Bersyukur rasanya juga kurang tepat untuk saat ini. Tapi Raka bisa di bilang sangat kejam, karena ia bersyukur wanita di lantai itu bukanlah Mika. Seorang perempuan yang membutuhkan pertolongan tentunya. Tapi untunglah, sekali lagi. Bukan Mika. Raka langsung duduk dan meraih tubuh itu. mengangkatnya dan mengeluarkan tubuh itu dengan sekali tarikan keluar dari lift. Mega membantu Raka dengan memungut tas laki laki itu. dengan jari yang di tujukan ke jalur pernafasan. Raka bisa merasakan, kalau perempuan ini pingsan karena syok dan ketakutan. “Dokter engga ada niatan
11 Mika terbangun, lebih tepatnya terjaga sampai larut malam. Seminggu lagi, dan puteri ketiga dari keluarga Abraham itu tak mendapatkan satu kunjungan keluarga sedikitpun. Mika merasa sesak di dadanya. Ada bisikan kalau ia sengaja di telantarkan sampai mati. Ponsel yang tak berguna itu ia hempaskan ke ranjangnya. Bergegas dengan santai menuruni ranjang rumah sakit. Mika ingin berjalan jalan, di rumah sakit di tengah malam. Aneh bukan? Dengan langkah santai berjalan di lantai teratas. Mika bisa melihat ke luar sana, lampu lampu gedung pencakar langit memberikan tiga warna yang paling mendominasi. Biru, merah dan putih. Mika mengusap jendela kaca itu dengan senyum merekah. Mika suka kesendirian,
12 Raka sudah bersiap. Pagi ini, setelah tidur hanya dalam empat jam dan terbangun pukul enam pagi. Raka harus rela kehilangan waktunya untuk berjogging karena kurang istirahat. Bisa bisa, bukan sehat yang di dapat kalau ia memaksakan jogging. Tapi tepar sendiri dan akhirnya mengabaikan pekerjaan. Jas rapi dengan name tag yang sudah beberapa tahun ia gunakan. Raka Adiwiswara. Dokter spesialis jantung. Bedah jantung tepatnya. Senyuman terlukis saat Raka membuka kulkasnya. Ingat kenangan beberapa jam yang lalu, saat ia makan bersama Mika. Mengambil satu boks makanan berisi salad sayuran dengan selada yang mendominasi. Sayuran segar dan renyah itu menjadi menu sarapannya hari ini. “Pagi dokt
13 Mika tak bisa menjelaskan betapa terkejutnya ia. Merapatkan bibir karena tak tau apa yang harus di jawab. Mika akhirnya berhadapan dengan ekspresi Raka yang sangat membingungkan. Laki laki itu nampak sangat frustasi, seperti....? Menyesal dengan apa yang di ucapkan barusan? Mungkinkah? “Maaf dok, saya mungkin terlalu sensitif karena penyakit saya makin parah. Selama dengan dokter Brian, beliau hanya memeriksa kondisi saya sewajarnya, tidak menanyakan keluhan. Saya merasakan sedikit nyeri di waktu waktu tertentu. Tapi karena dokter Brian tidak bertanya, saya diam.” Penjelasan Mika barusan memberikan jawaban atas segala pikiran buruk Raka. Pikiran buruknya memang benar. Tapi entah
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Pagi harinya, Mika tak melihat Raka. Ia sudah pergi sebelum Mika membuka mata. Raka hanya meninggalkan notes dengan pesan yang tertulis bahwa Raka sudah mempersiapkan sarapan dan ia pergi buru – buru karena ada masalah yang sangat penting. Dan di sinilah Mika sekarang, di meja makan dengan sepiring sandwich yang baru saja ia hangatkan. Raka hanya menumpuk sayuran, beberapa lapis keju, bahkan karena terlalu sehat. Mika sampai tak bisa merasakan rasa daging ham, rasa sayur lebih dominan karena hampir tiga perempat isi sandwich di menangkan oleh sayuran. Mentimun, selada segar, tomat. Mika menikmati pagi dengan tenang, dan damai. Tak banyak yang Mika pikirkan akhir – akhir ini. Selang beberapa menit, Mika kedatangan tamu. Keyza. Ia datang untuk melihat kondisi Mika. “Aku masih hidup,” canda Mika dengan mimik wajah datar, ia kembali melahap sandwich yang belum habis setengahnya. Raka membuatkannya sandwich porsi besar. “kalia
*** Raka tidak bisa mengundurkan diri dengan mudah, ia tidak bisa lolos dengan mudah seperti belut yang akan terus lolos karena kulitnya yang licin. Raka tidak bisa lolos begitu saja seperti belut, Raka harus mengurus beberapa berkas yang tidak bisa di wakilkan. Dan setelah keluar dari ruangan Tata Usaha rumah sakit, Raka menurunkan topinya, menutupi sebagian wajahnya dan berjalan menuju parkiran. Beberapa perawat yang memang menganali Raka perawakannya yang tak asing, menyapa Raka. Raka membalas sapaan dengan sopan dan singkat. Beberapa perawat bahkan masih membicarakannya meski Raka sudah berjalan cukup jauh. Beberapa ada yang menyayangkan keputusan Raka. Beberapa ada yang menyalahkan keadaan. Dan masih ada banyak hal yang bisa di gosipkan dari keputusan resign Raka yang mendadak ini. Tapi Raka tak ambil pusing, hari ini ia akan menemui ayahnya. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengajukan tawaran. Raka m
Flashback. Mika menutup telfonya dengan Morgan, tak lama, Keyza mengirim pesan singkat yang isinya meminta Mika untuk mengirimkan lokasinya agar Keyza bisa segera datang. Setelah Keyza tau lokasi Mika. Mika menutup ponselnya, ia berpura – pura mengelilingi mini market, seolah mencari barang tersembunyi yang sulit di temukan. Saat Mika tengah menjauhi kerumunan orang yang berbelanja, namun belum sempat Mika melancarkan aktingnya, seseorang menepuk bahunya. “Bisa minta waktunya sebentar?”&nbs
Mika masuk ke dalam apartment lamanya. Rasanya seperti kembali ke rumah. Mika mengelilingi ruang TV. Tempat yang paling sering ia guakan untuk menghabiskan waktu untuk bermalas – malasan. Mika melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Kemudian ke arah dapur, area yang paling jarang terjamah olehnya. Semua barang – barang masih berada di tempatnya semula. Saat di perjalanan, Keyza menceritakan kalau Morgan bersikeras untuk membiarkan apartment ini tetap terawat sampai Mika keluar dari rumah sakit. Dan nyatanya, dengan sifat keras kepala Morgan, ia berhasil merebut key card. Menjaga apartment ini untuknya. “Kamu lelah?” tanya Keyza tiba – tiba, Keyza masuk dan langsung ke arah dapur, ia membawa banyak sekali tas belanjaan tanpa memperbolehkan Mika
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera