Malam hari, di rumah sakit sendirian di lantai teratas karena ruangan VIP pastinya punya prioritas tersendiri. Ruangan VIP memiliki lantai tersendiri untuk setiap kegiatan pemeriksaan. Satu lantai sudah sepaket dengan ruangan operasi dan lab yang hanya di pakai khusus untuk pemeriksaan pasien VIP. Jadi tak perlu menunggu lama hanya untuk hasil labolatorium. Semuanya sepadan dengan harga tentunya.
Tapi harga yang di bayar Mika rasanya sangat tinggi jatuhnya, ia berkali kali menelfon kakanya dan orang tuanya. Jawaban mereka hampir sama semua. Sedang tenggelam dalam kesibukan masing masing. Ada yang masih bekerja, ada yang masih di urusan bisnins dan bahkan belum menginjakan kaki di ibu kota.
“Mika sekarat loh...” desah Mika sambil menaruh ponselnya di sampingnya. Dengan wajah yang tak mandi sedikitpun. Mika sudah di bantu membersihkan diri khusunya luka di dadanya dan juga makan dengan teratur oleh perawat perawat di rumah sakit.
Tapi yang Mika butuhkan lebih dari itu. ia butuh orang untuk di ajak berbicara denganya. Di sampingnya, menanyakan keadaanya. Bukan karena kewajiban memeriksa. Ia butuh seseorang untuk menanyakan kesehatannya, kondisinya, karena memang benar benar peduli padanya. Tapi mereka tak ada.
Mika mencoba beranjak dari ranjangnya. Rasanya ia ingin menghirup nafas dengan sangat panjang di udara malam ini. Ia sudah pengap menghirup udara ber-AC yang justru sering ia hirup freonnya. Tak sesegar udara dari alam langsung.
Mika kewalahan saat ia tersangkut dengan infus yang melingkar dan menusuk tangan kirinya. Rasanya sangat sakit saat cairan itu di paksakan masuk ke dalam pembuluh darahyan. Lebih sakit lagi saat jarumnya bergerak di dalam sana.
“Arghh....!” Mika mengerang kesakitan saat ia mencoba untuk bangkit. Tapi akhirnya tak jadi. Ia tak jadi keluar dari ruangan ini karena rasa sakit untuk bangkit menghalanginya.
“Kalau kamu mau mati, sia sia kamu ke rumah sakit. Jangan mati di rumah sakit.” suara yang terdengar lebih ke ancaman itu membuat Mika melengos. Ke arah pintu yang sekarang terbuka dan terdapat tubuh Raka di sana. Dengan stelan jas yang sama seperti pagi tadi saat kali ketiga mereka bertemu.
Raka mendekati Mika dengan langkah panjangnya. Hanya butuh berapa langkah dan mereka bertemu. Raka berdiri di samping Mika dengan tangan yang memegang sebuha laporan yang tak bisa Mika ketahui isinya. Tapi lebih karena hanya Raka yang bisa membaca dan mengerti maksudnya.
“Besok kita lakukan pemeriksaan menyeluruh ke katup jantung kamu,” ucap Raka dengan sangat dingin. Ia melihat ke arah infus Mika dan seperti hendak menancapkan jarumnya dalam dalam agar tidak bisa di lepaskan oleh gadis itu.
Mika mendapati kalau mata Raka sedang menatap ke arah tanganya yang memerah karena usahanya untuk melepaskan diri itu.
“Dokter tau? Kalau bertemu lebih dari tiga kali konon katanya itu takdir?” tanya Mika mengalihkan pembicaraan. Raka hanya tersenyum tengil meremehkan takdir apa yang sedang di katakan Mika ini.
Mata Mika mengobsevasi kemeja dan juga jas yang Raka kenakan. Terdapat nama yang sedang Mika cari cari. Raka Adiwiswara. Mika akhirnya menemukan nama itu.
“Dokter Raka percaya takdir?” tanya Mika dengan nada suara yang berubah. Membuat Raka yang sedang sibuk mengatur infus terperanjat. Ia tak tau kalau Mika mengetahui namanya. Berkenalan jgua tidak. Tapi secepat kilat Raka mengkondisikan wajahnya itu. tapi terlambat, Mika sudah melihat wajah kaget Raka yang menurutnya terlihat lucu.
“Saya tidak percaya takdir...” ucap Raka dengan dingin, membuat Mika jadi ragu untuk melanjutkan tawa mengejeknya. Raka melanjutkan pekerjaanya. Terdengar kata bullshit yang keluar dari mulut Raka.
Raka memutuskan untuk tidak terinterupsi oleh Mika bagaimanapun caranya. Ia kembali ke mode profesionalitas yang sering ia gunakan saat berada di rumah sakit.
“Besok infusnya akan habis, besok juga kamu bisa bebas tanpa infus.” Ucap Raka dengan masih melihat infus yang masih tersisa setengahnya. Ia kira, akan habis malam ini dan esoknya ia atau perawat yang akan melepaskan. Terdengar desahan nafas Mika yang lega.
Tapi seringai Raka membuat Mika ngeri.
“Besok kita lakukan endoskopi. Lebih menyakitkan dari pada pasang infus.” Tutur Raka dengan nada memberitahu, sekaligus memperingati, tapi juga mengancam. Mika sampai berpikir sejenak kalau Raka itu keturunan iblis karena banyak dokter akan menenangkan. Tapi Raka malah bukannya menenangkan dengan mengatakan semuanya akan baik baik saja, dia malah menuju langsung ke poin utamanya. Seperti mengatakan, rasanya akan sama seperti di tusuk belati. Seperti keluar dari neraka dan masuk ke neraka baru.
Raka selesai melakukan pemantauan alias pemeriksaan rutinnya. Ia tak punya waktu tersisa untuk hari ini, kalau tak mau minum air kran lagi. Ia harus cepat pulang bergerak menyusuri lorong lorong swalayan dan membeli makanan untuknya. Karena makan siang di kantin rumah sakit nyatanya tak membuat perutnya yang sudah berlari selama berjam jam sepanjang lima kilo meter itu puas.
Raka hendak berbalik badan saat melihat Mika sedang menatap kosong ke sekeliling ruangan dengan wajah pias. Pucat kenapa? Semuanya baik baik saja saat Raka memeriksanya. Namun tanpa sadar, Raka merasakan hal yang menjadikan ia mirip dengan pasiennya itu. Kesepian dan kesendirian. Tak ada yang namanya komunikasi selain saat Mika di periksa.
Tapi Mika tak mengindahkan kehadiran Raka lagi. Ia sibuk melamun sampai tak tau kalau dokternya sudah pergi begitu saja. Dan Mika kembali sendirian. Komunikasi dengan sesama manusia yang sering ia lakukan selama di rumah sakit.
^^^
Raka menyusuri lorong lorong dengan sangat cepat memilah dan memilih segala jenis makanan yang akan ia simpan di kulkas dengan cepat. Banyak sekali botol minuman yang akan ia beli, mulai dari soda, air mineral bahkan susu kotak dengan ukuran tak kurang dari satu liter.
Tangan Raka terangkat untuk mengambil sereal gandum di rak paling tinggi, untung saja ia memiliki tinggi yang lebih dari seratus delapan puluh centimeter. Hampir mendekati seratus sembilan puluh memang. Tapi tak menyentuh itu. ia akan jadi manusia raksaksa kalau begitu.
Raka mengamati super market yang sangat ramai sekarang ini, ia bahkan jadi todongan orang orang. Laki laki lajang yang sedang berbelanja sendirian. Raka makin mempercepat langkahnya dan menuju ke kasir untuk membayar belanjaanya.
Si kasir yang melihat trolli belanjaan Raka makin heran bercampur senyuma geli.
“Belanja bulanan Pak....” sapa perempuan itu sambil menarik belanjaan Raka dan menaruhnya di mesin scanner barcode. Raka hanya tersenyum simpul dengan sangat kaku. Sekarang ia tau kenapa ia jadi pusat perhatian orang orang. Karena sudah mirip dengan ibu ibu.
“Dokter Raka mau saya bantu bawa ke apartemen?”
Tiba tiba suara itu membuat Raka menoleh, ada Pevita yang sedang melayangkan senyuman manis padanya. Tapi tak mempan pada Raka yang notabennya pria super dingin, dan kadang berlidah tajam.
Sang kasir terkeke tertahan saat melihat Pevita tak di gubris oleh Raka. Tapi Pevita malah melirik sebal ke arah si kasir yang tak bisa menahan tawanya itu. membuat Pevita jadi geram.
“Raka, kamu engga ada shift malam kan besok?” tanya Pevita masih dengan usaha untuk mendekati hati Raka. Tapi laki laki itu diam tak bergeming, ia malah lebih memilih fokus mendengarkan bunyi bippp tiap belanjaanya selesai di scann.
“Aku mau minta bantuan kamu, buat temenenin aku-“
“Besok saya ada kerjaan, lembur dan ada endoskopi pasien VIP.”jawaban Raka langsung memutus segala peluang Pevita untuk berduaan dengan Raka. Ia mencebik sebal karena melihat kasir di depannya tak menahan tawanya. Tak memperhatikan kalau Pevita sudah bersemu sangat malu dan ingin pergi begitu saja.
Tiba tiba Raka berbalik dan mentap Pevita, memberikan harapan kalau laki laki itu akan berubah pikiran. Sesaat, Pevita seperti berada di atas awan.
“Tapi kalau kamu butuh bantuan segera...” ucap Raka masih dengan suara barton yang sangat maskulin beraroma mint itu.
Kamu yang akan bantu kan! Pevita sangat berharap di dalam hati.
“Kamu bisa minta bantuan Dokter Brian, karena dia cuman shift pagi besok.” Sela Raka dengan menerima kartu kreditnya dan bergegas mengambil barang belanjaanya dan meninggalkan Pevita yang seutuhnya sudah tidak punya wajah lagi di depan dua kasir di depannya. Pevita yakin! Ia takan memasukan kakinya lagi ke dalam supermarket ini. Dan Raka melenggan pergi tanpa melihat wajah merah padam Pevita.
^^^
Mika menekukan badannya, mencoba mencari kehangatan walaupun ia sudah mematikan AC sebelum tertidur, tapi rasanya bermalam di rumah sakit untuk sehari saja takan ada yang merasakan nyaman, sama seperti Mika.
Ia merasa harus berjalan ke kamar mandi dengan tertatih. Mika tiba tiba teringat dengan kata kata Raka padanya.
“Dokter Sialan!” umpat Mika, ia sekarang tau kenapa ia tak bisa tidur dengan tenang. Karena ucapan Raka barusan sebelum laki laki itu pergi. Rasa sakitnya melebihi dari di infus. Mika mencoba tersenyum dengan tegar. Kali ini, ia harus menghadapinya. Lagi lagi sendiri.
“Tenang Mika! Semuanya akan mudah,” sela Mika sambil menyemangati dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi, dengan tiang penyangga infus yang ia bawa kemana mana. Membuat pergerakan Mika jadi terhalang.
“Argh!!” Mika berteriak dengan bibir yang terasa bergetar, ia nekat melepaskan infus itu sendirian karena merasa terganggu dengan selang selang itu. Nyatanya ia tak berpengalaman untuk melepaskan jarum infus dari tubuhnya. Mika menyesali kebodohannya yang terulang sampai dua kali ini. Ia takan melaukan ini.
Tapi ini semakin membuat Mika jadi sangsi, sesakit apa nantinya kalau ia melakukan endoskopi? Memasukan kamera kecil atau apalah itu yang bernama endoskop ke dalam tubuhnya? Rasanya sudah tak bisa di prediksi. Sakitnya bukan main pasti. Dan semua pikiran buruk ini gara gara Raka Dokter itu yang menjadi penyebabnya. Dia yang patut di salahkan!!!
Mata Mika makin sipit jadinya saat ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan malah memikirkan banyak hal untuk hari ini. Hari sudah menjadi esok dan Mika masih mengkhawatirkan kata kata Raka kemarin. Masih terngiang ngiang dan menakutinya tanpa ampun sampai ia tak bisa tidur. Mika memiringkan tubuhnya, sialnya! Saat ia sudah sangat ingin beristirahat. Matahari malah mengejeknya dengan terbit seperti belum waktunya. Tau tau sudah sangat pagi sampai kamarnya terkena pantulan cahaya yang keemasan. Orang orang bilang, ini adalah golden hour. Waktu emas karena kilatan cahayanya seperti emas. Tak di pungkiri, pagi hari sangat bagus bukan? Dan sepertinya, pintu neraka untuk Mika sudah di buka dengan sangat lebar sampai sengatan cahaya itu membuat ia silau luar dalam. Datang dua suster dengan p
Gangguan pernafasan!! Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia. Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatan untuk Mika.**** 6 **** Raka dengan cekatan memberikan nafas buatan pada Mika yang sudah terkap
Entah kenapa, ada rasa tak terima di hati Raka karena Pevita secara tidak langsung, memberikan kesan menyedihkan karena Mika terkena penyakit jantung, sekaligus memberikan kesan kalau Mika adalah perempuan yang merepotkan. “Kalau dokter Pevita mau saya kasih nafas buatan, tolong jantungnya jangan di jaga. Karena saya hanya memberikan nafas buatan untuk pasien yang terkena serangan jantung.” Jleb! Wajah Pevita merah padam. Niat hati ingin membuat Mika malu dan tak punya wajah, tapi malah Raka yang memberikannya tamparan tak kasat mata. Sial!**** 7 ****Raka berjalan dengan santai meninggalkan Pevita yang masih berdiri mematung karena ucapannya barusan. Pevita masih tak percaya. Kalau memang benar. Pangkat
8 Ken di tarik keluar dengan paksa oleh petugas keamanan. Dengan sedikit paksaan tentunya dan sedikit perlawanan pastinya. Mika bisa bernafas lega. Ia tak lagi mendengar suara laki laki yang sudah mengoyak hatinya itu. Dengan kepala yang terulur dengan sangat berhati hati, Mika menengok lewat celah pintu. Berusaha mencari tahu apakah Ken benar benar sudah pergi atau belum. Dan Mika bisa bernafas lega karenanya. “Huft. Aman ...” ucap Mika sambil mengusap dadanya sendiri. “Apa di sini kurang aman?” suara Raka yang terdengar sangat dingin itu seperti kucuran air es. Mengagetkan
9 Raka berjalan mondar mandir di hari libur ke empatnya. Ia rasa, ia akan mulai gila. “Astaga ....!!” geram Raka dengan sangat frustasi membolak balik kalender yang ada di tangannya. Baru saja empat haru citu, tapi ia sudah merindukan rumah sakit. Ah!! Ralat! Pekerjaan! Tanggung jawab moral sebagai dokter. Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan pikirannya agar tak memunculkan ide untuk datang ke rumah sakit seperti pahlawan kesiangan karena shiftnya sudah di ganti dengan Brian. Raka menatap kunci mobilnya. Ia jadi teringat sesuatu dan merasa lega. Sudah meminta petugas keamanan, untuk....^^^&nbs
10 Raka entah harus mengatakan apa atau bereaksi seperti apa. Menjatuhkan tasnya tentu bukan ekspresi yang ingin ia tunjukan. Bersyukur rasanya juga kurang tepat untuk saat ini. Tapi Raka bisa di bilang sangat kejam, karena ia bersyukur wanita di lantai itu bukanlah Mika. Seorang perempuan yang membutuhkan pertolongan tentunya. Tapi untunglah, sekali lagi. Bukan Mika. Raka langsung duduk dan meraih tubuh itu. mengangkatnya dan mengeluarkan tubuh itu dengan sekali tarikan keluar dari lift. Mega membantu Raka dengan memungut tas laki laki itu. dengan jari yang di tujukan ke jalur pernafasan. Raka bisa merasakan, kalau perempuan ini pingsan karena syok dan ketakutan. “Dokter engga ada niatan
11 Mika terbangun, lebih tepatnya terjaga sampai larut malam. Seminggu lagi, dan puteri ketiga dari keluarga Abraham itu tak mendapatkan satu kunjungan keluarga sedikitpun. Mika merasa sesak di dadanya. Ada bisikan kalau ia sengaja di telantarkan sampai mati. Ponsel yang tak berguna itu ia hempaskan ke ranjangnya. Bergegas dengan santai menuruni ranjang rumah sakit. Mika ingin berjalan jalan, di rumah sakit di tengah malam. Aneh bukan? Dengan langkah santai berjalan di lantai teratas. Mika bisa melihat ke luar sana, lampu lampu gedung pencakar langit memberikan tiga warna yang paling mendominasi. Biru, merah dan putih. Mika mengusap jendela kaca itu dengan senyum merekah. Mika suka kesendirian,
12 Raka sudah bersiap. Pagi ini, setelah tidur hanya dalam empat jam dan terbangun pukul enam pagi. Raka harus rela kehilangan waktunya untuk berjogging karena kurang istirahat. Bisa bisa, bukan sehat yang di dapat kalau ia memaksakan jogging. Tapi tepar sendiri dan akhirnya mengabaikan pekerjaan. Jas rapi dengan name tag yang sudah beberapa tahun ia gunakan. Raka Adiwiswara. Dokter spesialis jantung. Bedah jantung tepatnya. Senyuman terlukis saat Raka membuka kulkasnya. Ingat kenangan beberapa jam yang lalu, saat ia makan bersama Mika. Mengambil satu boks makanan berisi salad sayuran dengan selada yang mendominasi. Sayuran segar dan renyah itu menjadi menu sarapannya hari ini. “Pagi dokt
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Pagi harinya, Mika tak melihat Raka. Ia sudah pergi sebelum Mika membuka mata. Raka hanya meninggalkan notes dengan pesan yang tertulis bahwa Raka sudah mempersiapkan sarapan dan ia pergi buru – buru karena ada masalah yang sangat penting. Dan di sinilah Mika sekarang, di meja makan dengan sepiring sandwich yang baru saja ia hangatkan. Raka hanya menumpuk sayuran, beberapa lapis keju, bahkan karena terlalu sehat. Mika sampai tak bisa merasakan rasa daging ham, rasa sayur lebih dominan karena hampir tiga perempat isi sandwich di menangkan oleh sayuran. Mentimun, selada segar, tomat. Mika menikmati pagi dengan tenang, dan damai. Tak banyak yang Mika pikirkan akhir – akhir ini. Selang beberapa menit, Mika kedatangan tamu. Keyza. Ia datang untuk melihat kondisi Mika. “Aku masih hidup,” canda Mika dengan mimik wajah datar, ia kembali melahap sandwich yang belum habis setengahnya. Raka membuatkannya sandwich porsi besar. “kalia
*** Raka tidak bisa mengundurkan diri dengan mudah, ia tidak bisa lolos dengan mudah seperti belut yang akan terus lolos karena kulitnya yang licin. Raka tidak bisa lolos begitu saja seperti belut, Raka harus mengurus beberapa berkas yang tidak bisa di wakilkan. Dan setelah keluar dari ruangan Tata Usaha rumah sakit, Raka menurunkan topinya, menutupi sebagian wajahnya dan berjalan menuju parkiran. Beberapa perawat yang memang menganali Raka perawakannya yang tak asing, menyapa Raka. Raka membalas sapaan dengan sopan dan singkat. Beberapa perawat bahkan masih membicarakannya meski Raka sudah berjalan cukup jauh. Beberapa ada yang menyayangkan keputusan Raka. Beberapa ada yang menyalahkan keadaan. Dan masih ada banyak hal yang bisa di gosipkan dari keputusan resign Raka yang mendadak ini. Tapi Raka tak ambil pusing, hari ini ia akan menemui ayahnya. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengajukan tawaran. Raka m
Flashback. Mika menutup telfonya dengan Morgan, tak lama, Keyza mengirim pesan singkat yang isinya meminta Mika untuk mengirimkan lokasinya agar Keyza bisa segera datang. Setelah Keyza tau lokasi Mika. Mika menutup ponselnya, ia berpura – pura mengelilingi mini market, seolah mencari barang tersembunyi yang sulit di temukan. Saat Mika tengah menjauhi kerumunan orang yang berbelanja, namun belum sempat Mika melancarkan aktingnya, seseorang menepuk bahunya. “Bisa minta waktunya sebentar?”&nbs
Mika masuk ke dalam apartment lamanya. Rasanya seperti kembali ke rumah. Mika mengelilingi ruang TV. Tempat yang paling sering ia guakan untuk menghabiskan waktu untuk bermalas – malasan. Mika melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Kemudian ke arah dapur, area yang paling jarang terjamah olehnya. Semua barang – barang masih berada di tempatnya semula. Saat di perjalanan, Keyza menceritakan kalau Morgan bersikeras untuk membiarkan apartment ini tetap terawat sampai Mika keluar dari rumah sakit. Dan nyatanya, dengan sifat keras kepala Morgan, ia berhasil merebut key card. Menjaga apartment ini untuknya. “Kamu lelah?” tanya Keyza tiba – tiba, Keyza masuk dan langsung ke arah dapur, ia membawa banyak sekali tas belanjaan tanpa memperbolehkan Mika
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera