Apartemen Raka sangat sepi. Dingin dan tak berpenghuni. Bagaimana bisa di sana ada kegiatan manusia kalau Raka hanya berada di rumah sakit dalam tujuh belas jam dalam sehari hidupnya. Hanya pulang untuk tidur dan mandi serta berganti baju.
Dengan langkah yang sangat terseok sekok karena lelah, Raka memaksakan diri untuk berjalan lebih jauh ke arah dapur untuk mengambil minuman di kulkas karena kerongkongannya terasa sangat kering setelah ingat dia belum minum ataupun makan dari sore tadi.
Tangan Raka memegang gagang pintu dan membuka kulkas yang hanya berisi udara kosong, dingin dan tak ada makanan sama sekali. Saking seringnya hanya pulang untuk mandi, tidur dan berganti pakaian. Raka sampai lupa kapan terakhir kali ia berbelanja untuk mengisi kulkas super besarnya dengan makanan. Sayang, decak Raka dalam hati. Kulkas besar itu hanya berisi udara kosong tak terisi apapun.
Di ujung rak kulkas, Raka melihat satu botol air mineral yang hanya tersisa beberapa tegukan saja. Dan Raka meraih botol itu dengan menimang apakah isinya dapat menghilangkan dahaganya. Dan nyatanya, Raka membukanya dan hanya sekali tenggak, dan sialnya. Raka belum terobati dahaganya.
Melihat ke penjuru ruangan, Raka jadi ingat kapan kali terakhir ia membersihkan apartemen, kapan kali terakhir dia berbelanja dan memasak. Dan kapan kali terakhir ia menjalankan hidup seperti manusia normal yang punya waktu istirahat, waktu bekerja, dan waktu bersenang senang. Tidak seperti sekarang yang hanya di dominasi waktu bekerja dengan sedikit istirahat dan tak ada waktu bersenang senang.
Rasa dahaga Raka yang belum juga habis, membuat laki laki itu nekat untuk mengisi botol kosong tadi dengan air kran sampai setengah botolnya terisi air tak matang itu. tapi Raka nyatanya memang berniat menghilangkan rasa dahaganya dengan cara itu.
Dengan beberapa kali tenggakan, air itu habis. Dan Raka nampak tak menyesal sudah mengisi perutnya dengan air kotor itu. nampak bersyukur malah. Ia tak harus ke super market malam malam seperti ini hanya untuk membeli air minum di botol dengan jumlah yang banyak tentunya.
“Jam sepuluh malam ....” desis Raka pada dirinya sendiri. Ia tak mau mengisikan apapun ke dalam perutnya. Ia tak butuh makan hari ini. Hanya butuh istirahat.
Dan Raka melangkahkan kakinya yang masih terseok seok karena kelelahan itu ke kamarnya. Membaringkan diri dengan melepaskan kemejanya hingga tak memakai apapun di bagian atas tubuhnya. Menampakan tubuh Raka yang sangat keras karena susunan ototnya yang sangat terlatih.
Raka memejamkan mata. Tapi otaknya sudah berpikir untuk mengisi banyak makanan ke kulkasnya besok. Setidaknya, mulai esok, ia takan bekerja extra karena Brian yang akan membagi pekerjaan dengannya. Sekarang ada bagian di hidup Raka yang bernama bekerja dan beristirahat. Tapi Raka akan bingung, bagian hidupnya akan terisi dengan bersenang senang?? Mungkin tidak, mungkin juga belum.
^^^
Raka terbangun sangat pagi, pukul empat pagi hanya untuk bersiap untuk bekerja? Tentu tidak. Jangan salahkan Raka kalau dia gila berolahraga tepatnya berlari. Raka akan berlari sangat pagi dan berujung pada makan sarapan berupa bubur ayam sampai dua mangkok, bahkan tiga mangkok untuk mengisi perutnya. Jadi, itulah alasan Raka kuat bekerja sampai siang. Dan itu juga alasan Raka memiliki masa otot yang sangat keras. Ia berolahraga setiap hari, bahkan saat hari sedang hujan. Menempuh jarak sampai lima kilometer untuk membunuh waktu sampai pukul tujuh pagi ia harus bekerja. Dengan rutinitas yang sama seperti itu sampai hari harinya berakhir.
^^^
“Dokter, pasien cempaka VIP tiga sudah bangun.” Lapor seorang asisten perawat yang selalu bersama Raka, namanya dokter Mega. Perempuan di usia penghujung tiga puluhan. Dengan rambut yang keriting menggantung dan tatapan mata keibuan. Dengan jiwa kerja yang sangat produktif, membuat Raka sangat senang bisa bekerja dengannya karena terasa efisien.
“Saya sudah tau kalau pasien cempaka VIP tiga sudah sadar.” Jawab Raka dengan sangat tenang, membuat Mega sangat bingung. Dari mana Raka mengetahui kalau pasien yang baru saja melakukan pegecekan darinya itu sudah sadar? Sedangkan Raka baru saja sampai di rumah sakit?
Tanpa banyak kata, sekali lagi, Mega adalah tipikal pekerja yang sangat profesional dan efisien. Jadi ia takan bertanya hal penting seperti, kenapa doktr sudah tau? Apa dokter ini cenayang? Atau apapaun itu.
Mega hanya mengikuti langkah Raka. Raka tak melakukan pekerjaanya kemarin. Saat melihat pasiennya itu bangun. Tapi dari penglihatan sekilas Raka. Ia tau kalau pasiennya baik baik saja. Apa lagi mulut sadis perempuan itu yang mengatainya, Maling?!! Sudah pasti Raka menjamin. Kalau operasi yang di lakukannya berjalan dengan amat sangat lancar tanpa ada kendala sedikitpun.
Ruangan Cempaka VIP tiga itu di datangi Raka dan dua perawat. Membuat mata Mika membulat. Ia harus bersitatap dengan orang yang sama. Dan sialnya, kemarin ia salah kira. Menyangka kalau dokter itu adalah seorang maling.
Mika nampak gugup dengan gelagat dokter itu. tapi dua perawat di sampingnya terlihat sangat santai dan nampak sangat mempercayai dokter itu. membuat Mika sangat berpikir, sehandal itukah dokter yang menanganinya??
Tangan Raka mengeluarkan stetoskopnya, menaruh bagian bercabang itu ke telinganya dan menangkupkan kepala stetoskop ke arah Mika.
Mika bungkam saat Raka menekankan tangannya untuk mendengarkan jantungnya. Alat pemantau, atau demografi detak jantungnya sudah di copot tadi pagi karena entah alasan apa itu. toh alat itu membantu untuk memantau kondisi pasien yang tak sadarkan diri. Sedangkan sekarang Mika sadar, berarti alat itu tak berguna bukan?
“Ada gejala rasa sakit di dada selama beberapa saat terakhir?” tanya Raka dengan nada super dingin, ia tak mau terlibat banyak interaksi dengan pasien pasiennya. Image dingin selalu ia nomor satukan.
Mika menggeleng, bukan karena rasa sakit itu tiba tiba ada. Tapi aroma mint dari mulut Raka yang sangat segar membuat Mika berpikiran yang tidak tidak, terlebih tangan Raka yang tiba tiba meraih tangannya dan menyentuh pergelangan tangannya seolah memastikan sesuatu.
“Denyut nadi normal, sembilan puluh per menit.” Raka selesai mengatakan itu, ia menatap Mika dengan sangat tajam. Mata tajam dan rahang yang runcing itu membuat Mika jadi makin gugup.
“Kamu sedang gugup atau memang ini masih terkena pengaruh obat?”
Dan seperti ledakan dinamit. Nyatanya Raka diam saja saat Mika menatapnya dengan kebingungan harus berkata apa. Ya! Jawabannya karena dia sedang gugup tiba tiba mendapatkan sentuhan di tangan. Siapa yang tidak gugup?
Tapi seringai tajam Mika tak di lihat Raka. Mana bisa dia ia tinggal diam saja saat ada seorang yang menjatuhkan martabatnya di depan dua orang perawat pula! Mikalia Abraham yang ini, anak bungsu dari keluarga Abraham tidak akan tinggal diam saat tau, Raka tersenyum sinis karena keupasan di atas awan yang sementara.
“Ternyata Bapa itu, Dokter? Bukan maling ya....?” Mika membuat Raka marah dengan sangat tepat di ulu hati.
“Kemarin saya kira, saya sedang ngelindur karena efek obat bius. Melihat ada laki laki yang mendendap endap ke ruangan saya. Ternyata setelah saya lihat lebih seksama, itu Bapa....”
Kata kata Mika barusan membuat Mega, perawat yang bekerja dengan profesionalitas itu menjadi mengerutkan dahinya. Begitu juga Abila. Perawat di sampingnya. Raka bahkan terkejut mendapatkan serangan dari Mika yang membuatnya tersudut. Karena Mika dengan sengaja tidak mengatakan kalau ia mengambil jas yang tertinggal.
Raka menatap dingin Mega dan Abila yang tak berkutik begitu mata dinginnya menatap mereka. Bergantian dengan Mika yang harus mendapatkan tatapan dingin itu. tangan Raka sudah sangat cekatan memberikan beberapa suntikan ke dalam infus Mika.
“Banyak orang yang bilang, malaikat kematian akan terlihat tampan untuk orang yang banyak berbuat kebaikan. Akan terlihat menakutkan untuk orang yang jahat. Dan kenapa mereka punya dua sisi, karena tidak akan ada yang tau kapan mereka akan mati.”
Setelah mengatakan itu, Mika makin ketakutan kalau yang di maksudkan untuknya adalah suntikan kematian. Kematiannya berhenti pada Raka yang tampan tapi mematikan.
“Saya harap kamu segera sembuh.” Ucap Raka dengan gamang karena baru kali ini mendapati pasien kurang ajar yang bahkan umurnya lebih muda darinya. Tapi Mika masih mengatupkan bibirnya tak berusara.
Mega dan Abila saja sudah sejak tadi kehilangan rohnya karena di tatap mata tajam Raka. Apalagi Mika yang berhadapan langsung dan berperang langsung dengan mata tajam Raka. Setelah Raka pergi dengan dua perawatnya, membawa beberapa hasil pemeriksaan dan beberapa sempel darah untuk di teliti di labolatorium. Mika kembali di ranjangnya dengan sangat kesepian. Bunga yang terakhir yang ia lihat itu belum berganti. Sekarang mungkin akan mengering karena tak pernah di ganti. Karena nyatanya, Mika tak mendapatkan kunjungan dari keluarganya.
Menghempaskan diri ke atas ranjang rumah sakit. rasanya Mika sudah siap untuk mati, tapi kapan kalau begini? Mati juga butuh orang lain, sedangkan keluarganya tak peduli. Harus mati di mana Mika ini agar tidak merepotkan orang orang yang bahkan tak peduli padanya. Mati di rumah sakit pun, akan membutuhkan tanda tangan keluarga untuk persetujuan.
Hempasan nafas berat Mika dengan tangan kiri yang di aliri selang infus itu menyentuh dadanya yang berdetak tak karuan itu.
“Kenapa tadi tiba tiba gugup?” tanya Mika pada dirinya sendiri, mengingat kejadian barusan. Saat Raka mengatakan kalau detak jantungnya tak normal karena gugup, dan nyatanya memang benar. Ia gugup. Tapi kenapa? Harus gugup saat Raka menyentuh tangannya? Kenapa?
Malam hari, di rumah sakit sendirian di lantai teratas karena ruangan VIP pastinya punya prioritas tersendiri. Ruangan VIP memiliki lantai tersendiri untuk setiap kegiatan pemeriksaan. Satu lantai sudah sepaket dengan ruangan operasi dan lab yang hanya di pakai khusus untuk pemeriksaan pasien VIP. Jadi tak perlu menunggu lama hanya untuk hasil labolatorium. Semuanya sepadan dengan harga tentunya. Tapi harga yang di bayar Mika rasanya sangat tinggi jatuhnya, ia berkali kali menelfon kakanya dan orang tuanya. Jawaban mereka hampir sama semua. Sedang tenggelam dalam kesibukan masing masing. Ada yang masih bekerja, ada yang masih di urusan bisnins dan bahkan belum menginjakan kaki di ibu kota. “Mika sekarat loh...” desah Mika sambil menaruh ponselnya di sampingnya. Dengan wajah yang
Mata Mika makin sipit jadinya saat ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan malah memikirkan banyak hal untuk hari ini. Hari sudah menjadi esok dan Mika masih mengkhawatirkan kata kata Raka kemarin. Masih terngiang ngiang dan menakutinya tanpa ampun sampai ia tak bisa tidur. Mika memiringkan tubuhnya, sialnya! Saat ia sudah sangat ingin beristirahat. Matahari malah mengejeknya dengan terbit seperti belum waktunya. Tau tau sudah sangat pagi sampai kamarnya terkena pantulan cahaya yang keemasan. Orang orang bilang, ini adalah golden hour. Waktu emas karena kilatan cahayanya seperti emas. Tak di pungkiri, pagi hari sangat bagus bukan? Dan sepertinya, pintu neraka untuk Mika sudah di buka dengan sangat lebar sampai sengatan cahaya itu membuat ia silau luar dalam. Datang dua suster dengan p
Gangguan pernafasan!! Mata Raka langsung memebelalak dan mencari cari hembusan nafas Mika, dan sangat lemah dan putus putus. Dugaanya hanya asma atau pneunomonia. Tangan Raka langsung menarik wajah Mika agar mendekatinya dan menangkupkan bibir perempuan itu agar mendekat pada bibirnya. Dengan gerakan menghirup nafas yang sangat panjang. Bibir mereka bertemu dan Raka langsung memberikan nafas buatan untuk Mika.**** 6 **** Raka dengan cekatan memberikan nafas buatan pada Mika yang sudah terkap
Entah kenapa, ada rasa tak terima di hati Raka karena Pevita secara tidak langsung, memberikan kesan menyedihkan karena Mika terkena penyakit jantung, sekaligus memberikan kesan kalau Mika adalah perempuan yang merepotkan. “Kalau dokter Pevita mau saya kasih nafas buatan, tolong jantungnya jangan di jaga. Karena saya hanya memberikan nafas buatan untuk pasien yang terkena serangan jantung.” Jleb! Wajah Pevita merah padam. Niat hati ingin membuat Mika malu dan tak punya wajah, tapi malah Raka yang memberikannya tamparan tak kasat mata. Sial!**** 7 ****Raka berjalan dengan santai meninggalkan Pevita yang masih berdiri mematung karena ucapannya barusan. Pevita masih tak percaya. Kalau memang benar. Pangkat
8 Ken di tarik keluar dengan paksa oleh petugas keamanan. Dengan sedikit paksaan tentunya dan sedikit perlawanan pastinya. Mika bisa bernafas lega. Ia tak lagi mendengar suara laki laki yang sudah mengoyak hatinya itu. Dengan kepala yang terulur dengan sangat berhati hati, Mika menengok lewat celah pintu. Berusaha mencari tahu apakah Ken benar benar sudah pergi atau belum. Dan Mika bisa bernafas lega karenanya. “Huft. Aman ...” ucap Mika sambil mengusap dadanya sendiri. “Apa di sini kurang aman?” suara Raka yang terdengar sangat dingin itu seperti kucuran air es. Mengagetkan
9 Raka berjalan mondar mandir di hari libur ke empatnya. Ia rasa, ia akan mulai gila. “Astaga ....!!” geram Raka dengan sangat frustasi membolak balik kalender yang ada di tangannya. Baru saja empat haru citu, tapi ia sudah merindukan rumah sakit. Ah!! Ralat! Pekerjaan! Tanggung jawab moral sebagai dokter. Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan pikirannya agar tak memunculkan ide untuk datang ke rumah sakit seperti pahlawan kesiangan karena shiftnya sudah di ganti dengan Brian. Raka menatap kunci mobilnya. Ia jadi teringat sesuatu dan merasa lega. Sudah meminta petugas keamanan, untuk....^^^&nbs
10 Raka entah harus mengatakan apa atau bereaksi seperti apa. Menjatuhkan tasnya tentu bukan ekspresi yang ingin ia tunjukan. Bersyukur rasanya juga kurang tepat untuk saat ini. Tapi Raka bisa di bilang sangat kejam, karena ia bersyukur wanita di lantai itu bukanlah Mika. Seorang perempuan yang membutuhkan pertolongan tentunya. Tapi untunglah, sekali lagi. Bukan Mika. Raka langsung duduk dan meraih tubuh itu. mengangkatnya dan mengeluarkan tubuh itu dengan sekali tarikan keluar dari lift. Mega membantu Raka dengan memungut tas laki laki itu. dengan jari yang di tujukan ke jalur pernafasan. Raka bisa merasakan, kalau perempuan ini pingsan karena syok dan ketakutan. “Dokter engga ada niatan
11 Mika terbangun, lebih tepatnya terjaga sampai larut malam. Seminggu lagi, dan puteri ketiga dari keluarga Abraham itu tak mendapatkan satu kunjungan keluarga sedikitpun. Mika merasa sesak di dadanya. Ada bisikan kalau ia sengaja di telantarkan sampai mati. Ponsel yang tak berguna itu ia hempaskan ke ranjangnya. Bergegas dengan santai menuruni ranjang rumah sakit. Mika ingin berjalan jalan, di rumah sakit di tengah malam. Aneh bukan? Dengan langkah santai berjalan di lantai teratas. Mika bisa melihat ke luar sana, lampu lampu gedung pencakar langit memberikan tiga warna yang paling mendominasi. Biru, merah dan putih. Mika mengusap jendela kaca itu dengan senyum merekah. Mika suka kesendirian,
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Akibat MIka yang kehilangan kesadaran beberapa waktu yang lalu, proses perawatan Mika jadi sedikit tertunda. Akibatnya, jadwal operasi selanjutnya di pukul mundur oleh Raka. Kondisi yang menurun secara tiba - tiba meski selalu di dalam pantauan, membuat Raka khawatir. Kawatir akan ada sesuatu yang terjadi di luar kendalinya.Oleh sebab itu, Raka memutuskan untuk menunda operasi dan hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan rutin. Saja. Ssetelah menilik lagi ke belakang, Raka tau alasan Mika akhirnya ta ksadarkan diri secara tiba - tiba. Mika sudah melewati banyak hal berat, bahkan akhir - akhir ini, Mika sudah melalui banyak hal dengan susah payah. Ia butuh istirahat, istirahat dari semua hal yang membuatnya stress.“Kamu senang hari ini?” tanya Raka.Ia tengah duduk di kursi taman, dengan Mika yang ada di sebelahnya. Rambut gadis itu terurai dengan bebas. Seeskali hembusan angin memainkan anak rambut MIka yang mulai memanjang. Tapi gadis itu tidak peduli, ia tengah sibuk menebar biji
Raka menggengam sekaleng minuman soda yang baru saja ia beli dari minimarket, sembari berjalan melipis, Raka memutuskan untuk duduk sementara di kursi yang di sediakan untuk konsumen. Tangan Raka dengan cekatan membuka tutup kaleng dan suara minuman soda yang terbuka terdengar, dengan busa busa yang mencuat dari dalam kaleng.Raka mulai minum, sensasi soda yang sudah tak asing di lidahnya, serta tenggorokannya mampu menghilangkan rasa dahaganya, sedikit demi sedikit.Meski begitu, Raka nampaknya tidak terlalu menikmati minumannya. Dahinya berkerut, nampak tengah berpikir keras. Tentu saja ini berkaitan dengan MIkaila, siapa lagi perempuan yang wara - wiri memenuhi pikiran Raka kalau bukan MIkaila Abraham.Dengan dahi yang masih mengkerut, Raka kembali mengangkat kaleng soda, meminumnya dengan rakus seperti tak ada hari esok lagi.Tepat saat minuman Raka habis, ponsel pria itu berdering pelan. Tanda khusus kalau ia menerima telephone. Kali ini Raka tidak mengabaikan telephone, meski
Pagi harinya, Mika tak melihat Raka. Ia sudah pergi sebelum Mika membuka mata. Raka hanya meninggalkan notes dengan pesan yang tertulis bahwa Raka sudah mempersiapkan sarapan dan ia pergi buru – buru karena ada masalah yang sangat penting. Dan di sinilah Mika sekarang, di meja makan dengan sepiring sandwich yang baru saja ia hangatkan. Raka hanya menumpuk sayuran, beberapa lapis keju, bahkan karena terlalu sehat. Mika sampai tak bisa merasakan rasa daging ham, rasa sayur lebih dominan karena hampir tiga perempat isi sandwich di menangkan oleh sayuran. Mentimun, selada segar, tomat. Mika menikmati pagi dengan tenang, dan damai. Tak banyak yang Mika pikirkan akhir – akhir ini. Selang beberapa menit, Mika kedatangan tamu. Keyza. Ia datang untuk melihat kondisi Mika. “Aku masih hidup,” canda Mika dengan mimik wajah datar, ia kembali melahap sandwich yang belum habis setengahnya. Raka membuatkannya sandwich porsi besar. “kalia
*** Raka tidak bisa mengundurkan diri dengan mudah, ia tidak bisa lolos dengan mudah seperti belut yang akan terus lolos karena kulitnya yang licin. Raka tidak bisa lolos begitu saja seperti belut, Raka harus mengurus beberapa berkas yang tidak bisa di wakilkan. Dan setelah keluar dari ruangan Tata Usaha rumah sakit, Raka menurunkan topinya, menutupi sebagian wajahnya dan berjalan menuju parkiran. Beberapa perawat yang memang menganali Raka perawakannya yang tak asing, menyapa Raka. Raka membalas sapaan dengan sopan dan singkat. Beberapa perawat bahkan masih membicarakannya meski Raka sudah berjalan cukup jauh. Beberapa ada yang menyayangkan keputusan Raka. Beberapa ada yang menyalahkan keadaan. Dan masih ada banyak hal yang bisa di gosipkan dari keputusan resign Raka yang mendadak ini. Tapi Raka tak ambil pusing, hari ini ia akan menemui ayahnya. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengajukan tawaran. Raka m
Flashback. Mika menutup telfonya dengan Morgan, tak lama, Keyza mengirim pesan singkat yang isinya meminta Mika untuk mengirimkan lokasinya agar Keyza bisa segera datang. Setelah Keyza tau lokasi Mika. Mika menutup ponselnya, ia berpura – pura mengelilingi mini market, seolah mencari barang tersembunyi yang sulit di temukan. Saat Mika tengah menjauhi kerumunan orang yang berbelanja, namun belum sempat Mika melancarkan aktingnya, seseorang menepuk bahunya. “Bisa minta waktunya sebentar?”&nbs
Mika masuk ke dalam apartment lamanya. Rasanya seperti kembali ke rumah. Mika mengelilingi ruang TV. Tempat yang paling sering ia guakan untuk menghabiskan waktu untuk bermalas – malasan. Mika melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Kemudian ke arah dapur, area yang paling jarang terjamah olehnya. Semua barang – barang masih berada di tempatnya semula. Saat di perjalanan, Keyza menceritakan kalau Morgan bersikeras untuk membiarkan apartment ini tetap terawat sampai Mika keluar dari rumah sakit. Dan nyatanya, dengan sifat keras kepala Morgan, ia berhasil merebut key card. Menjaga apartment ini untuknya. “Kamu lelah?” tanya Keyza tiba – tiba, Keyza masuk dan langsung ke arah dapur, ia membawa banyak sekali tas belanjaan tanpa memperbolehkan Mika
“Aku tidak apa – apa.” ucap Mika. Mika berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Raka yakin bahwa kejadian kemarin tidaklah mengganggunya. Tapi Raka masih menatapnya sangsi. “Sungguh,” lanjut Mika, karena sepertinya, aktingnya kurang meyakinkan Raka. Kemarin Morgan datang dan menanyakan hal yang sama pada Mika. Tentu saja kejadian kemarin membuat hatinya sakit, tapi apa boleh buat? Mika tidak bisa berbuat apa – apa. “Aku lapar.... “ Mika merengek seperti anak kecil yang kelaparan, ia mengusap perutnya yang tidak di isi makanan semalaman. “
Sementara di sisi lain, Ibu tiri Mika baru saja selesai mengeluarkan amarahnya. Hampir semua barang pecah belah di ruangan itu. Suara gaduh barang – barang yang di banting terdengar sampai ke beberapa ruangan. Namun para pelayan tidak ada yang berani untuk mendekati majikannya itu, bahkan setelah amarahnya reda. Mereka tidak berani untuk mendekat, sebelum mereka mendapatkan perintah langsung. “Mama..... “ Marcell berlari cepat menghampiri ibunya yang terengah setelah membanting puluhan vas. Marcell melihat darah segar mengalih dari telapak tangan ibunya, tapi ibunya tidak memperhatikan luka di tanganya, Marcell yang panik langsung mempercepat langkahnya dan saat ia hendak mera