"Aku ingin kau sembuh, oleh sebab itu aku membawamu ke sini." ucap Alex yang tidak bergeming saat Jessica memukulinya. "Alex, Alex, bajingan! Aku tidak mau, lepaskan aku!" Jessica terus berteriak dan meronta. Semua orang yang berada di klinik Dan jalanan yang mereka lalui melirik karena teriakan keras dari Jessica.Alex menurunkan Jessica setelah sampai di ruang psikolog yang bernama Anne Davis."Nona Davis," Sapa Alex.Tuan Lewis, akhirnya Anda datang. Ini ….""Dia Jessica Hall, teman wanita saya. Dia yang pernah saya ceritakan via telepon.""Apa? Kau menceritakan kehidupanku dengan orang lain? Kurang ajar sekali dirimu, Alex! Kau tidak berhak ikut campur dengan kehidupanku, bajingan!" Jessica mulai emosi dengan memukul dadanya Alex."Nona, Nona Hall tenang, tenanglah Nona. Saya hanya ingin membantu Nona. Anggaplah saya teman Nona. Bagaimana kalau kita ngobrol tentang kehidupan kita." rayu Anne."Kau pikir aku bodoh, hah?! Kau ingin menyelidiki privasiku. Kau ingin mengorek rahasia
"Sayang," Edward memandang Jenifer dengan tatapan memohon."Jangan lama-lama," bisik Jenifer."Aku tidak janji," Edward langsung membuka kancing kemejanya Jennifer lalu membuka pengait bra nya. Seperti biasa, Edward langsung menghisap puncak dadanya Jenifer."Ed, geli." Jennifer menggelinjang dan ingin bangun dari pangkuannya Edward. Namun Edward lebih gesit memeluk punggung Jennifer sehingga gadis itu tidak bisa menghindari lumatan panas mulutnya Edward. Jennifer pun akhirnya pasrah, mendesahkan nama Edward sambil meremas rambut tebalnya.Edward perlahan bangkit dari duduknya lalu mengangkat tubuh Jenifer. Jennifer seperti anak koala yang menempel pada Edward. Sedangkan Edward menenggelamkan wajahnya di belahan dadanya Jenifer. Ranjang king size miliknya menjadi tujuannya Edward. Ia perlahan menurunkan tubuh Jenifer di ranjang lalu menindihnya."Jen, aku menginginkanmu. Aku sangat menginginkanmu saat ini." Edward berusaha membuka resleting celana jeansnya Jennifer."Ed," Jennifer mera
Setelah semalaman tidak bisa tidur pagi-pagi sekali Edward sudah menyambangi kafe milik Jennifer yang berlokasi tepat di depan kantor William Corporation. Edward memutuskan sebelum berangkat kerja, ia ingin melihat Jennifer terlebih dahulu. Dalam semalam saja rindunya sudah tidak dapat dibendung. Edward membayangkan satu minggu ke depan tanpa bisa melihat Jennifer membuatnya sangat frustasi."Selamat pagi," sapa Edward kepada Ema, asisten pribadinya Jennifer."Selamat pagi, Tuan Williams.""Ema, apakah Nona Watson sudah berangkat pagi ini?" "Maaf Tuan, hari ini Nona Watson tidak akan berangkat ke kafe." "Apa?!" mata Edward terbelalak karena terkejut mendengar ucapan Ema yang mengatakan bahwa Jennifer hari ini tidak akan berada di kafe."Kenapa tidak berangkat?""Saya tidak tahu, Tuan. Semalam Nona Watson mengirimkan pesan kepada saya katanya ada hal penting yang harus diurus. Sehingga hari ini Nona Watson tidak akan datang ke kafe dan menyuruh saya untuk menghandle pekerjaan yang ber
"Tian," Samantha mendesah saat dirinya mencapai klimaks. Saat ini Samantha sedang duduk di pangkuan Bastian. Laki-laki muda yang sudah menjadi kekasihnya selama empat bulan itu sulit untuk ditolak kemauannya. Bastian sangat bersemangat. Kejantanannya yang masih menyatu dengan kewanitaannya Samantha terasa dicengkram karena Samantha telah mencapai klimaks."Tian, aku lapar." rengek Samantha."Tunggu sebentar, aku hampir keluar." Bastian menggeram sambil memeluk tubuh polos Samantha ketika dirinya mengeluarkan cairan pelepasannya."S-sam," Bastian sudah tidak tahan lagi. Cairan pelepasannya masuk ke dalam kewanitaannya Samantha.Bastian terkekeh, ia mengecup bibir Samantha lalu mengelus perut buncit wanita itu dengan sayang. "Dia baik-baik saja, kan?""Dia baik," ucap Samantha sambil mengelus perut buncitnya."Tadi aku takut dia terluka ketika aku memelukmu."Samantha terkekeh lalu turun dari pangkuannya Bastian."Kenapa turun?""Kau lupa? Aku sudah lapar dan Bos sudah menunggu kita."
"Edward," Jenifer menggelinjang saat lidah Edward sudah melingkari puncak dadanya. Jujur Jennifer juga sangat merindukan Edward. Ia tidak peduli jika ada orang lain yang mendengar atau memergoki dirinya Dan Edward yang sedang make out.Edward tertawa kecil lalu menjilat bibir bawahnya, bagi Edward. Tubuh Jennifer bagaikan candu. Manis, legit dan menggigit. "Lima hari lagi aku akan merasakannya," Edward menelusupkan jarinya di kewanitaan Jennifer.Jennifer hanya tersipu malu. Kedua pipi chubbynya merona. Warna merah muda yang membuat Edward semakin gemas."K-kau tidak akan menyesal, kan? Jika rasanya di luar ekspektasimu?"Edward menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk kewanitaannya Jennifer."Aku mencintaimu, mencintai dirimu. Bukan karena tubuhmu atau rasa kewanitaanmu. Apapun itu, aku akan menyukai dan terus menjaganya karena hatiku telah memilihmu." Edward menarik jarinya."Jika bukan karena cinta. Aku sudah mencari wanita lain di luar sana untuk memuaskan nafsuku. Baga
"Sayang, Jenny." Cassandra masuk ke dalam kamarnya Edward di mana Jennifer sedang mendapatkan sentuhan make-up terakhir sebelum mereka turun ke bawah menuju gereja untuk melangsungkan pernikahan."Tante," jawab Jennifer malu-malu."Mulai sekarang, kau harus memanggilku Mommy. Jangan panggil Tante, sebentar lagi kau sudah akan menjadi istri sahnya Edward. Otomatis akan menjadi menantu mommy jadi panggilan Mommy lebih pas daripada memanggilku Tante.""Oke," Jennifer tersipu malu."Mommy ingin lihat," Cassandra memegang dagu Jennifer lalu memeriksa wajahnya. "Wah, dengan di make-up seperti ini, kau tambah cantik. Pasti putraku akan terpesona dengan penampilanmu hari ini." puji Cassandra.Tentu Jennifer dalam hatinya mengiyakan kata-kata Cassandra. Karena hari-hari biasa pun Edward akan memujinya dan tatapan matanya terlihat begitu tulus memujanya."Kau tidak menjawab berarti apa yang Monmy katakan pasti benar, kan?" Jennifer hanya tersenyum mengulum bibirnya."Kau santai saja setelah me
Mata Edward berkaca-kaca, impiannya untuk menikahi Jennifer akhirnya terwujud. Kini Jennifer hanya berjarak beberapa meter darinya. Terlihat anggun dengan rambut pirangnya yang disanggul. Wajahnya tertutup oleh wedding veil yang tembus pandang. Gaun pengantin yang simple tapi terlihat elegan. Sesuai dengan permintaan Edward yang menginginkan bagian dadanya yang tertutup. Namun Edward masih mengizinkan desainer yang merancang baju pengantin dengan model punggung terbuka, mengekspos punggung mulus Jennifer. Gaun itu berekor lumayan panjang dengan taburan kristal Swarovski."Edward, saya serahkan putri kesayangan saya padamu. Bahagiakan hidupnya. Jika kau menyakitinya saya tidak akan tinggal diam. Saya pasti akan membuat perhitungan padamu. Saya tidak akan takut dengan derajat dan uangmu." Robert meletakkan tangan Jennifer di telapak tangan kanannya Edward."Terima kasih atas kepercayaannya, Tuan Watson. Saya berjanji akan menyayangi dan membahagiakan Jennifer untuk seumur hidup saya."
Edward berjalan mengendap-endap membuka pintu kamar hotel yang ditempati oleh Jennifer. Tadi Bastian menyampaikan pesan jika dirinya disuruh oleh Cassandra untuk menemui Jennifer. Tentu Edward sangat senang karena ia tidak sabar untuk berduaan dengan Jennifer. Mommynya sungguh sangat kejam, memisahkannya selama satu minggu ditambah dengan sekarang dipisahkan lagi sebelum pesta resepsi."Jeny sayang," Edward segera memeluk tubuh Jennifer setelah mereka bertemu. "Ed.""Ya, wifey." Edward sengaja memanggil Jennifer dengan kata istri untuk menggodanya."Wow, gaun ini membuatmu lebih cantik." puji Edward sambil mengelus punggung terbukanya Jennifer."Kau juga sangat tampan," bisik Jennifer."Aku sangat merindukanmu, masih ada waktu kan, sebelum pesta resepsi dimulai?"Seketika wajah Jennifer memerah karena paham dengan apa yang diinginkan oleh Edward."Hei, kita telah resmi menikah. Tidak ada salahnya kan kalau kita…." Edward memasukkan tangannya ke dalam gaunnya Jennifer. Entah bagaimana
Tiga tahun kemudian."Edric, kembalikan bando, Kakak!" pekik Jasmine yang kesal karena Edric mengambil bando warna merah muda miliknya.Edric hanya tersenyum tipis lalu berlari menuruni tangga."Edric, berhenti!" Jasmine mengejar Edric yang sudah naik ke atas sofa.Jennifer hanya menggeleng melihat Jasmine dan Edric dari dapur. Ia sedang memeriksa para pelayan yang sedang menyiapkan makan malam. Sebentar lagi Edward pulang dari kantor dan Jennifer hanya memastikan makanan yang akan disantap oleh anggota keluarganya. Menyiapkan makan malamnya Edward masih menjadi rutinitas kesehariannya Jennifer. Ia tidak ingin Edward hanya menyantap sedikit makanannya karena tidak cocok dengan lidahnya. Edward masih tetap pemilih soal makanan. Dan Jennifer dengan senang hati memperhatikan kebutuhan perut suaminya saat di rumah."Eric, cucumu yang satu itu sangat berbeda." Cassandra dan Eric menatap keempat cucunya dari lantai dua. Mereka akan turun ke bawah menjelang kepulangan Edward dari kantor untuk
Edward merasa ingin meledak karena setelah tujuh bulan berlalu kejantanannya bisa merasakan hangatnya kewanitaan Jennifer. Pijatan lembut yang berasal dari dinding kewanitaannya Jennifer itu membuat Edward melayang."Ed," begitu pula dengan Jennifer. Ia bersorak dalam hatinya karena rasa rindu akan kehangatan sentuhan Edward terlampiaskan sudah. Rasanya nikmat dan raganya seperti melayang."I love you, Jen." Napas Edward mulai memburu. Nafsunya menggelora. Dengan pelan ia menggerakkan pinggulnya ke depan dan belakang. Gerakan lambat yang lamat-lamat menimbulkan sensasi aneh tapi memabukkan. Hampir saja Edward kelepasan dan ingin menghujam kewanitaannya Jennifer dengan keras dan cepat.'Hah, hampir saja. Maafkan Daddy, sons." Edward kembali ke mode awal. Melakukannya dengan halus dan penuh ke hati-hatian. Besarnya cinta kepada istri dan anak-anaknya meampu membuat Edward yang maniak seks bisa mengontrol nafsu yang sering membakar jiwanya."Ed, terus, lebih dalam." rancu Jennifer sambil
Jennifer tengkurap dengan Edward yang berada di atasnya. Tubuh kekar itu menindih tubuh Jennifer. Napas mereka terengah-engah dan tubuh mereka basah dengan keringat. Edward benar-benar merealisasikan ucapannya tadi. Perjalanan panjang dari kota New York tidak menjadikan stamina Edward berkurang. Laki-laki itu seperti tidak mengenal kata lelah. Memasuki kewanitaan Jennifer dari depan dan belakang dalam berbagai gaya."Ed, berat." keluh Jennifer."Hehehe, maaf," Edward mengecup punggung polos Jennifer lalu berguling di sampingnya. Ia menengadah ke atas menatap langit-langit gazebo. Rasa puas membuat wajahnya berseri-seri. Mereka sudah empat tahun menikah. Tapi Edward merasa masih bergelora saat bercinta dengan Jennifer. Tidak merasa bosan dan semakin mencintai wanita itu.Edward teringat dengan ucapan Cassandra. Ibunya mengatakan jika benar-benar mencintai seseorang. Tidak akan membuat kita berpaling, semakin lama semakin besar cintanya untuk seseorang yang dicintainya. Dan Edward meras
"Puaskan aku, Jen." Edward melepas kimono handuknya Jennifer."Aku ….""Kalau begitu, biarkan aku yang akan memuaskanmu." Edward menarik tangannya Jennifer lalu mendorong tubuhnya ke atas ranjang."Jangan membuatku tersiksa dengan menolakku." Edward membuka kancing kemejanya lalu melucuti satu-persatu baju yang menempel di tubuhnya.Jujur saja Jennifer merasa tergoda oleh tubuh polos Edward yang begitu memanjakan matanya. Dada bidang, lengat berotot dan bisepnya yang mempunyai lekukan beberapa ruas. Suami tampannya itu rajin gym dan menjaga pola makannya sehingga seiring bertambahnya umur, Edward semakin memesona."Kau tidak tergoda dengan ini?" Edward sedikit narsis sambil menyentuh otot-otot di perutnya."Atau … kau sudah bosan dengan ini?" Edward yang berdiri menjulang di hadapan Jennifer sengaja menggerak-gerakkan kejantanannya yang sudah tegak mengacung.Jennifer yang berada di atas ranjang, hanya mampu menggigit bibir bawahnya dengan wajah yang sudah memerah. Bohong jika dirinya
Mereka memang sepakat untuk tidak melakukan USG untuk mengetahui jenis gender bayi. Edward dan Jennifer ingin jenis kelamin bayinya menjadi kejutan karena bayi mereka adalah cucu pertama dari keluarga Williams dan Watson. Edward yang merupakan anak tunggal dan kakak laki-laki nya Jennifer yang belum menikah.Suster jaga yang berada di ruangan itu pun menggeleng sambil tersenyum mendengar perdebatan suami istri itu. "Pasti mirip denganmu, Ed." "Oh, ya?" Senyum Edward mengembang. "Ya, karena saat mengandung aku sangat terobsesi padamu." "Benarkah?" Mata Edward berbinar karena tersanjung. "Ya, aku … aduh, Ed, panggil dokter ke mari. Rasanya sakit sekali." Jennifer mencengkram tangan Edward karena rasa sakit yang berlebih itu tiba-tiba datang. "Suster, istri saya." "Sebentar saya periksa dulu, Tuan." Sebelum memeriksa Jennifer, suster itu menghubungi Dokter terlebih dahulu." "Sepertinya sudah siap dan saat ini adalah waktu yang tepat." Suster itu menyiapkan alat-alat bantu melahirk
Jessica tidak menyangka jika hari di mana ia meminta izin mengunjungi Alex akan berakhir seperti ini. Bukan benihnya Alex, tapi benih laki-laki yang tidak dikenalnya. Jessica yang merasa bersalah karena menyebabkan Alex harus mendekam di penjara selama sepuluh tahun. Karena rasa bersalah, ia mencari hiburan dengan minum-minum di klub. Dirinya yang mabuk berat tidak sadar telah dibawa seseorang ke hotel dan berakhir bercinta dengan laki-laki yang tidak dikenal itu. Ia bahkan sudah lupa akan kejadian itu. Tapi kini benih tersebut sudah menjadi nyawa baru di rahimnya.'Bagaimana ini? Aku hamil, bagaimana kalau Alex tahu aku hamil anak laki-laki lain?'***Dua bulan kemudian."Ed," Jennifer sudah muncul di kantornya Edward. Padahal mereka baru saja bepisah selama dua jam."Sayang," Edward hanya bisa menghela napasnya saat Jennifer datang ke kantor hanya menggunakan daster tidur dan sandal rumahan. Tanpa make up dan rambutnya acak-acakan. "Kau tidak menyukai kehadiranku?" mata Jennifer
"Jen, bertahanlah." Edward langsung mengambil pakaian di lemari lalu mengenakannya. Ia lalu membantu Jennifer mengenakan piyama handuk untuk mempercepat waktu.Jantung Edward berdebar saat Jennifer pingsan dalam gendongannya. Ia berteriak saat melihat beberapa orang sedang berdiri di depan lift apartemennya."Minggir, minggir, istriku pingsan dan kami butuh lift secepatnya."Beruntung beberapa orang itu mengerti dengan keadaan gawat yang sedang dialami oleh Edward dan Jennifer."Terima kasih," ucap Edward saat seseorang menekan tombol open untuknya."Sayang, jangan tidur. Bangunlah, Jen." Edward menjejakkan kakinya beberapa kali. Waktu terasa sangat lambat agar lift yang mereka tumpangi sampai ke lantai dasar.Beruntung mobil Edward terparkir persis di depan pintu lift, sehingga ia tidak usah berjalan jauh untuk mencarinya."Sayang, bertahanlah." Edward membaringkan Jennifer di jok belakang mobilnya. Ia tidak menghubungi sopir pribadinya karena akan memakan waktu lebih lama jika menun
"Itu tidak ada hubungannya, kita berdua sudah periksa ke dokter ahli kandungan dan hasilnya kita sehat-sehat saja. Rahimmu bagus, sel telurmu dan spermaku juga normal.""Tapi kenapa aku belum hamil juga." Jennifer menggigit bibirnya.Edward sangat gemas. Ingin ia menjelaskan dengan suara yang lebih lantang tapi takut membuat Jennifer semakin sedih."Anggap saja, Tuhan ingin kita mempunyai banyak waktu untuk bermesraan. Sebelum menikah kau tidak mengizinkanku untuk menyentuhmu. Aku sangat tersiksa selama hampir setahun lamanya. Mungkin ini balasan dari Tuhan agar aku bisa memanjakan nafsuku untuk menyalurkannya padamu, Sayang.""Tapi ….""Mari manfaatkan waktu yang ada agar hubungan kita semakin erat. Setelah kita punya anak nanti, pasti aku tidak bisa menguasaimu sepenuhnya. Kasih sayangmu akan terbagi. Dan pasti mereka berdua menjadi milik anak kita." Edward mencubit puncak dadanya Jennifer yang hanya tertutup oleh selimut."Ed, jangan mulai.""Aku serius, Jen. Aku yakin kau pasti in
"Tunggu, aku panggil, Dokter." Jennifer ingin memencet tombol yang berada di atas ranjangnya Edward."Tidak perlu, Jen. Hanya sedikit sakit.""Tapi aku khawatir lukamu akan memburuk.""Tidak, Sayang. Hanya tersenggol tanganmu dan sedikit nyeri. Itu saja.""Tapi," wajah Jennifer terlihat khawatir."Cium aku.""Apa?""Aku tidak perlu Dokter, cium saja aku untuk meredakan rasa nyeri di perutku."Jennifer tersenyum lalu dengan senang hati melumat bibir Edward dengan sepenuh hati. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu, Ed. Jangan pernah tinggalkan aku." ucap Jennifer tulus."Aku menagih janjimu, Jen.""Janji yang mana?" "Kau bilang akan mengabulkan apapun permintaanku padamu.""Oh itu," pipi Jennifer bersemu merah. "Kau belum mengiyakan permintaanku." Jennifer balik menagih."Yang mana?""Ed ….""Hahaha, aduh, aduh." Edward memegang perutnya. Karena tertawa membuat jahitan di perut Edward bergerak dan itu menimbulkan rasa nyeri."Ed, kau baik-baik saja?""Aku baik-baik saja, Say