"Pak, jangan salahkan Bastian. Saya juga ikut andil dalam hal ini. Bastian, sebenarnya banyak menolong saya. Saya sedang hamil dan suami saya entah pergi ke mana bersama selingkuhannya. M-mungkin karena hormon kehamilan, saya sangat menginginkan disentuh laki-laki. S-saya yang menggoda Bastian, memintanya untuk menyentuh tubuh saya. Jadi jika Anda ingin memberikan sanksi, hukumlah Saya, Pak. Bastian sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Percayalah …." ucap Samantha penuh dengan penyesalan.Edward membuang napasnya kasar. Samantha adalah bekas sekretaris daddynya, wanita itu sangat cekatan dan dapat diandalkan dalam bekerja. Dia juga sangat loyal kepada perusahaan. Mendedikasikan penuh, seluruh perhatian dan tenaganya untuk membantu Edward di saat awal, ia menggantikan posisi daddynya sebagai CEO Williams Corporation. Namun, ia menyadari, Samantha berubah murung setelah satu bulan umur pernikahannya. Suatu hari, Edward memergoki sekretarisnya itu sedang menangis di ujung koridor
"Biar aku yang menemui orang itu." Edward mengambil kaos dan branya Jenifer lalu menyerahkannya kepada gadis itu. Jenifer yang bersembunyi di bawah meja bartender, mengangguk lalu mulai memakai bra dan kaosnya. "Sial, mengganggu saja." umpat Edward kesal, sebelum menemui tamu sang misterius."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Edward kepada laki-laki setengah baya yang sedang berdiri di depan pintu. Laki-laki itu mirip dengan … "Saya ingin bertemu dengan pemilik kafe ini." Laki-laki itu menatap Edward lekat dari ujung rambut hingga kaki, membuat laki-laki tampan itu merasa tidak nyaman. Pandangan laki-laki setengah baya itu terasa tajam, seakan menguliti Edward. Jenifer yang baru saja selesai memakai pakaiannya terlonjak kaget. Hatinya berdebar-debar tidak karuan. Suara laki-laki itu sangat dikenalnya. Suara yang ia rindukan. Terakhir bertemu pada Natal, tahun lalu dan terakhir melakukan video call, tiga hari yang lalu. "Papa," gumam Jenifer lirih. Seketika pikirannya kosong,
Jennifer ketakutan ketika mendengar ayahnya akan menginap di apartemen, ia segera mengirimkan pesan kepada Edward.[ Ed, bagaimana ini? Papa, ingin menginap di apartemen barang-barangmu dan semuanya yang berhubungan denganmu pasti akan membuat apa curiga. ] Edward yang masih berbincang dengan Robert, segera mengambil ponselnya, lalu membuka pop chat dari Jenifer. Seketika alisnya mengernyit."Permisi, Tuan. Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan dengan asisten saya. Terkait dengan bisnis." izin Edward."Silakan, bisnis sangat penting bagi seorang laki-laki." Robert berlalu mencari keberadaan Jenifer.Edward segera keluar dari kafe lalu menghubungi nomor ponselnya Toni. "Ton, kirimkan orangmu ke kafenya Jenifer dengan segera. Ada tugas darurat untuknya." Edward yang tanggap dengan situasi, langsung menghubungi Toni yang masih berada di Los Angeles, menggantikan dirinya di kantor cabang barunya. Biasanya, segala masalah penting, Toni lah yang akan menyelesaikannya untuk Edward. Sep
"Ehm …! deheman Robert membuat Jennifer dan Edward terkesiap. Mereka kaget, tidak disangka jika Robert, sudah berada di hadapan mereka. Keduanya sangat kikuk karena kepergok sedang berciuman mesra ketika ditinggal Robert ke toilet."Papa.""Tuan Watson."Panggil keduanya hampir bersamaan."Sepertinya sudah larut malam. Bagaimana kalau kita segera pulang sekarang?" tanya Robert."Baik, saya rasa juga begitu Tuan Watson." jawab Edward. Setelah Edward membayar Bill makan mereka di restoran. Ia mengantar Robert dan Jennifer ke apartemennya. Keheningan pun terjadi di dalam mobil. Sepanjang perjalanan menuju apartemennya, baik Jennifer maupun Edward sangat canggung karena kejadian tadi. Sedangkan Robert hanya diam karena sedang memikirkan hubungan mereka. Laki-laki itu tidak menyangka bahwa putrinya dan laki-laki yang belum menjadi suaminya bisa seintim itu. "Sudah sampai, kami turun di sini saja." ucap Jenifer."Baiklah," jawab Edward. "Selamat malam, Tuan Watson.""Selamat malam, Willia
"Uhuk." Jennifer hampir saja tersedak mendengar pertanyaan dari papanya."Papa, kami ….""Papa, hanya ingin tahu, Sayang. Itu saja, kehidupan pribadimu, Papa sebenarnya tidak berhak untuk ikut campur.""Tidak, tidak, tidak apa-apa jika Papa ingin bertanya. Yang, Papa harus tahu. Kami belum melakukan hal yang melanggar batas," dusta Jennifer. Ya …, mereka memang belum melakukan penyatuan, tetapi mereka sering melakukan make out."Maksudmu?""Maksudku, Edward memang sering menginap di sini. Tapi percayalah Papa, kami belum melanggar batas peraturan antara laki-laki dan wanita sebelum menikah. "Oh," Robert tersenyum. "Baiklah, Sayang. Mari kita segera menghabiskan sarapan ini.""Iya, Papa. Selamat makan." "Selamat makan, Sayang."***Setelah sarapan selesai, Robert dan Jennifer segera turun ke bawah karena Edward sudah menunggu mereka di depan lobby apartemen."Selamat pagi, Tuan Watson." sapa Edward. "Pagi juga, Edward." jawab Robert."Pagi, Sayang." Edward langsung memeluk Jennifer s
"Tuan, saya ….""Baiklah, aku tidak akan bertanya lebih lanjut. Hanya satu pesanku, kalau sampai kau mempermainkan hidup putriku. Aku tidak akan melepaskanmu. Walaupun statusmu lebih tinggi dan lebih kaya, aku tidak takut. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Ingat itu!""Jangan khawatir, Tuan. Jennifer adalah hidup saya, mana mungkin saya akan menyakitinya. Saya sangat mencintainya, melebihi dari apapun." ucap Edward tulus."Baiklah, aku tidak ingin mendengar janji-janjimu. Buktikan saja di masa yang akan datang. Aku pamit pergi dulu, jaga putriku baik-baik.""Baik, Tuan. Sampai jumpa, secepatnya saya akan bertamu ke rumah Anda di Texas."Robert dari kejauhan melambaikan tangan kepada Jennifer lalu memasuki kereta yang sudah terbuka pintunya."Papa, bicara apa padamu? Kenapa dia memanggilmu, sepertinya terlihat sangat serius." tanya Jenifer setelah Edward menghampirinya. "Tidak ada, Sayang. Hanya obrolan kecil antara sesama laki-laki." dusta Edward. "Baiklah, kalau kau tidak ingin
"Sial, mengundangku untuk wawancara tapi tidak memberiku fasilitas menunjang. Dasar mau untung banyak, menyisihkan laba sedikit untuk biaya transportasi saja tidak mau." umpat Jessica setelah keluar dari kereta api cepat. Jesica baru saja dibooking untuk mengisi sebuah acara peluncuran produk make up suatu merk terbaru di salah satu stasiun televisi swasta. Sialnya, manajernya ceroboh, tidak teliti dalam membaca kontrak kesepakatan kerja. Sehingga transportasi dan pengeluaran lain harus ditanggung pribadi oleh Jessica. Manajernya yang gagal membooking tiket pesawat karena semua maskapai penerbangan telah penuh. Memilih pulang menggunakan kereta api cepat agar bisa segera pulang ke New York. Besok adalah hari ulang tahun Edward. Entah mengapa, ia merasa harus ada di kota ini walaupun kesempatan untuk bisa menemuinya sangatlah kecil. Setelah laki-laki tampan itu mendeklarasikan hubungannya dengan seorang wanita bertubuh gemuk.Panggilan dari Alex, beberapa kali sudah mengusik ketenagan
"Hei, Jen." Edward menarik tangan Jenifer yang baru keluar dari mobilnya. Gadis itu masih marah karena peristiwa tadi. Dilihat oleh seseorang dalam keadaan yang tidak mengenakan rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini."Ed, lepaskan tanganku. Sudah waktunya untuk bekerja." saat ini mereka berada di depan kantor Williams Corporation dan kafe miliknya Jenifer."Aku tahu, tapi aku tidak ingin kita berpisah seperti ini. Kau dalam keadaan marah." ucap Edward memelas."Aku tidak marah, aku hanya ingin sendiri.""Ayolah, Sayang."Suara ponselnya Edward berdering, sehingga menghentikan percakapan mereka."Halo, nanti saja setelah saya tiba di kantor." jawab Edward singkat." Edward berbicara sambil menggenggam tangan Jenifer dan tidak mau melepaskannya."Nanti malam, kita tidur di apartemen masing-masing." ucapan Jennifer singkat itu membuat Edward terbuka mulutnya karena kaget dan kecewa."Jen, itu …?" Ponsel Edward kembali berdering. Sedangkan Jennifer sudah berhasil melepaskan tanganny
Tiga tahun kemudian."Edric, kembalikan bando, Kakak!" pekik Jasmine yang kesal karena Edric mengambil bando warna merah muda miliknya.Edric hanya tersenyum tipis lalu berlari menuruni tangga."Edric, berhenti!" Jasmine mengejar Edric yang sudah naik ke atas sofa.Jennifer hanya menggeleng melihat Jasmine dan Edric dari dapur. Ia sedang memeriksa para pelayan yang sedang menyiapkan makan malam. Sebentar lagi Edward pulang dari kantor dan Jennifer hanya memastikan makanan yang akan disantap oleh anggota keluarganya. Menyiapkan makan malamnya Edward masih menjadi rutinitas kesehariannya Jennifer. Ia tidak ingin Edward hanya menyantap sedikit makanannya karena tidak cocok dengan lidahnya. Edward masih tetap pemilih soal makanan. Dan Jennifer dengan senang hati memperhatikan kebutuhan perut suaminya saat di rumah."Eric, cucumu yang satu itu sangat berbeda." Cassandra dan Eric menatap keempat cucunya dari lantai dua. Mereka akan turun ke bawah menjelang kepulangan Edward dari kantor untuk
Edward merasa ingin meledak karena setelah tujuh bulan berlalu kejantanannya bisa merasakan hangatnya kewanitaan Jennifer. Pijatan lembut yang berasal dari dinding kewanitaannya Jennifer itu membuat Edward melayang."Ed," begitu pula dengan Jennifer. Ia bersorak dalam hatinya karena rasa rindu akan kehangatan sentuhan Edward terlampiaskan sudah. Rasanya nikmat dan raganya seperti melayang."I love you, Jen." Napas Edward mulai memburu. Nafsunya menggelora. Dengan pelan ia menggerakkan pinggulnya ke depan dan belakang. Gerakan lambat yang lamat-lamat menimbulkan sensasi aneh tapi memabukkan. Hampir saja Edward kelepasan dan ingin menghujam kewanitaannya Jennifer dengan keras dan cepat.'Hah, hampir saja. Maafkan Daddy, sons." Edward kembali ke mode awal. Melakukannya dengan halus dan penuh ke hati-hatian. Besarnya cinta kepada istri dan anak-anaknya meampu membuat Edward yang maniak seks bisa mengontrol nafsu yang sering membakar jiwanya."Ed, terus, lebih dalam." rancu Jennifer sambil
Jennifer tengkurap dengan Edward yang berada di atasnya. Tubuh kekar itu menindih tubuh Jennifer. Napas mereka terengah-engah dan tubuh mereka basah dengan keringat. Edward benar-benar merealisasikan ucapannya tadi. Perjalanan panjang dari kota New York tidak menjadikan stamina Edward berkurang. Laki-laki itu seperti tidak mengenal kata lelah. Memasuki kewanitaan Jennifer dari depan dan belakang dalam berbagai gaya."Ed, berat." keluh Jennifer."Hehehe, maaf," Edward mengecup punggung polos Jennifer lalu berguling di sampingnya. Ia menengadah ke atas menatap langit-langit gazebo. Rasa puas membuat wajahnya berseri-seri. Mereka sudah empat tahun menikah. Tapi Edward merasa masih bergelora saat bercinta dengan Jennifer. Tidak merasa bosan dan semakin mencintai wanita itu.Edward teringat dengan ucapan Cassandra. Ibunya mengatakan jika benar-benar mencintai seseorang. Tidak akan membuat kita berpaling, semakin lama semakin besar cintanya untuk seseorang yang dicintainya. Dan Edward meras
"Puaskan aku, Jen." Edward melepas kimono handuknya Jennifer."Aku ….""Kalau begitu, biarkan aku yang akan memuaskanmu." Edward menarik tangannya Jennifer lalu mendorong tubuhnya ke atas ranjang."Jangan membuatku tersiksa dengan menolakku." Edward membuka kancing kemejanya lalu melucuti satu-persatu baju yang menempel di tubuhnya.Jujur saja Jennifer merasa tergoda oleh tubuh polos Edward yang begitu memanjakan matanya. Dada bidang, lengat berotot dan bisepnya yang mempunyai lekukan beberapa ruas. Suami tampannya itu rajin gym dan menjaga pola makannya sehingga seiring bertambahnya umur, Edward semakin memesona."Kau tidak tergoda dengan ini?" Edward sedikit narsis sambil menyentuh otot-otot di perutnya."Atau … kau sudah bosan dengan ini?" Edward yang berdiri menjulang di hadapan Jennifer sengaja menggerak-gerakkan kejantanannya yang sudah tegak mengacung.Jennifer yang berada di atas ranjang, hanya mampu menggigit bibir bawahnya dengan wajah yang sudah memerah. Bohong jika dirinya
Mereka memang sepakat untuk tidak melakukan USG untuk mengetahui jenis gender bayi. Edward dan Jennifer ingin jenis kelamin bayinya menjadi kejutan karena bayi mereka adalah cucu pertama dari keluarga Williams dan Watson. Edward yang merupakan anak tunggal dan kakak laki-laki nya Jennifer yang belum menikah.Suster jaga yang berada di ruangan itu pun menggeleng sambil tersenyum mendengar perdebatan suami istri itu. "Pasti mirip denganmu, Ed." "Oh, ya?" Senyum Edward mengembang. "Ya, karena saat mengandung aku sangat terobsesi padamu." "Benarkah?" Mata Edward berbinar karena tersanjung. "Ya, aku … aduh, Ed, panggil dokter ke mari. Rasanya sakit sekali." Jennifer mencengkram tangan Edward karena rasa sakit yang berlebih itu tiba-tiba datang. "Suster, istri saya." "Sebentar saya periksa dulu, Tuan." Sebelum memeriksa Jennifer, suster itu menghubungi Dokter terlebih dahulu." "Sepertinya sudah siap dan saat ini adalah waktu yang tepat." Suster itu menyiapkan alat-alat bantu melahirk
Jessica tidak menyangka jika hari di mana ia meminta izin mengunjungi Alex akan berakhir seperti ini. Bukan benihnya Alex, tapi benih laki-laki yang tidak dikenalnya. Jessica yang merasa bersalah karena menyebabkan Alex harus mendekam di penjara selama sepuluh tahun. Karena rasa bersalah, ia mencari hiburan dengan minum-minum di klub. Dirinya yang mabuk berat tidak sadar telah dibawa seseorang ke hotel dan berakhir bercinta dengan laki-laki yang tidak dikenal itu. Ia bahkan sudah lupa akan kejadian itu. Tapi kini benih tersebut sudah menjadi nyawa baru di rahimnya.'Bagaimana ini? Aku hamil, bagaimana kalau Alex tahu aku hamil anak laki-laki lain?'***Dua bulan kemudian."Ed," Jennifer sudah muncul di kantornya Edward. Padahal mereka baru saja bepisah selama dua jam."Sayang," Edward hanya bisa menghela napasnya saat Jennifer datang ke kantor hanya menggunakan daster tidur dan sandal rumahan. Tanpa make up dan rambutnya acak-acakan. "Kau tidak menyukai kehadiranku?" mata Jennifer
"Jen, bertahanlah." Edward langsung mengambil pakaian di lemari lalu mengenakannya. Ia lalu membantu Jennifer mengenakan piyama handuk untuk mempercepat waktu.Jantung Edward berdebar saat Jennifer pingsan dalam gendongannya. Ia berteriak saat melihat beberapa orang sedang berdiri di depan lift apartemennya."Minggir, minggir, istriku pingsan dan kami butuh lift secepatnya."Beruntung beberapa orang itu mengerti dengan keadaan gawat yang sedang dialami oleh Edward dan Jennifer."Terima kasih," ucap Edward saat seseorang menekan tombol open untuknya."Sayang, jangan tidur. Bangunlah, Jen." Edward menjejakkan kakinya beberapa kali. Waktu terasa sangat lambat agar lift yang mereka tumpangi sampai ke lantai dasar.Beruntung mobil Edward terparkir persis di depan pintu lift, sehingga ia tidak usah berjalan jauh untuk mencarinya."Sayang, bertahanlah." Edward membaringkan Jennifer di jok belakang mobilnya. Ia tidak menghubungi sopir pribadinya karena akan memakan waktu lebih lama jika menun
"Itu tidak ada hubungannya, kita berdua sudah periksa ke dokter ahli kandungan dan hasilnya kita sehat-sehat saja. Rahimmu bagus, sel telurmu dan spermaku juga normal.""Tapi kenapa aku belum hamil juga." Jennifer menggigit bibirnya.Edward sangat gemas. Ingin ia menjelaskan dengan suara yang lebih lantang tapi takut membuat Jennifer semakin sedih."Anggap saja, Tuhan ingin kita mempunyai banyak waktu untuk bermesraan. Sebelum menikah kau tidak mengizinkanku untuk menyentuhmu. Aku sangat tersiksa selama hampir setahun lamanya. Mungkin ini balasan dari Tuhan agar aku bisa memanjakan nafsuku untuk menyalurkannya padamu, Sayang.""Tapi ….""Mari manfaatkan waktu yang ada agar hubungan kita semakin erat. Setelah kita punya anak nanti, pasti aku tidak bisa menguasaimu sepenuhnya. Kasih sayangmu akan terbagi. Dan pasti mereka berdua menjadi milik anak kita." Edward mencubit puncak dadanya Jennifer yang hanya tertutup oleh selimut."Ed, jangan mulai.""Aku serius, Jen. Aku yakin kau pasti in
"Tunggu, aku panggil, Dokter." Jennifer ingin memencet tombol yang berada di atas ranjangnya Edward."Tidak perlu, Jen. Hanya sedikit sakit.""Tapi aku khawatir lukamu akan memburuk.""Tidak, Sayang. Hanya tersenggol tanganmu dan sedikit nyeri. Itu saja.""Tapi," wajah Jennifer terlihat khawatir."Cium aku.""Apa?""Aku tidak perlu Dokter, cium saja aku untuk meredakan rasa nyeri di perutku."Jennifer tersenyum lalu dengan senang hati melumat bibir Edward dengan sepenuh hati. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu, Ed. Jangan pernah tinggalkan aku." ucap Jennifer tulus."Aku menagih janjimu, Jen.""Janji yang mana?" "Kau bilang akan mengabulkan apapun permintaanku padamu.""Oh itu," pipi Jennifer bersemu merah. "Kau belum mengiyakan permintaanku." Jennifer balik menagih."Yang mana?""Ed ….""Hahaha, aduh, aduh." Edward memegang perutnya. Karena tertawa membuat jahitan di perut Edward bergerak dan itu menimbulkan rasa nyeri."Ed, kau baik-baik saja?""Aku baik-baik saja, Say