"Engkh …. "Jenifer melenguh panjang merenggangkan badanya yang terasa kaku, matanya mengerjap pelan. Seketika ia kaget dan membekap mulutnya setelah menyadari bahwa wajahnya menempel di d@da bidang seorang pria. Pikiranya kacau. 'Ada apa ini, dada siapa ini dan apa yang terjadi semalam?' Jenifer bertanya-tanya dalam batinya.
Dengan segera Jenifer memeriksa bajunya, Ia menghela napas lega setelah mengetahui gaun yang ia kenakan masih utuh melekat di badanya. Dengan pelan ia menyingkirkan lengan kekar yang memeluk pinggangnya dan segera duduk memeriksa wajah dari pria yang telah tidur seranjang denganya semalam.
"Edward." Cicitnya pelan hampir tak terdengar. Belum sempat ia mengingat kejadian semalam, Edward membuka matanya.
"Selamat pagi Jen, bagaimana tidurmu semalam?"
"Pa pagi Ed, em … semalam kita …."
"Semalam kita tidur bersama, tidak lebih."
"K-kenapa." Jenifer menunjuk tubuh kekar Edward yang polos dengan telunjuknya.
"Kamu lupa Jen? Kamu semalam mabuk lalu pingsan, tapi sebelum pingsan kau muntah di bajuku." Edward tersenyum sambil menaikan sebelah alisnya. "Semalam sudah sangat larut, jadi tidak memungkinkan untuk keluar membeli baju. Caroline sudah chek out dan mengembalikan key card kamar kepada resepsionis. Terpaksa aku tidur disini karena hotel sudah full booked."
"Maaf merepotkanmu."Jenifer sangat malu, mengingat betapa menjijikannya ia muntah di baju Edward. Lagi-lagi ia membekap mulutnya yang pasti bau karena tidak membersihkan mulutnya setelah muntah.
"Jangan khawatir, semalam aku tidak melalukan apapun padamu. Aku cuma tidur di sampingmu, tidak lebih." Jenifer tersenyum canggung mendengar penuturan Edward. Bagaimanapun ini pengalaman pertamanya tidur seranjang dengan seorang pria walaupun cuma hanya tidur, dalam tanda kutip tidak lebih.
"Aku ke kamar mandi dulu, mulutku pasti sangat bau gara-gara muntah semalam."
"Take your time Jen, ladys first."
Setelah selesai membersihkan diri dari kamar mandi, Jenifer melihat Edward sudah mengenakan kemejanya kembali. 'Untung ia sudah sudah pakai baju, kalau tidak jantungku serasa mau copot melihat otot-otot di perutnya huft ….' Jenifer bermonolog sambil tersenyum merona.
"Kenapa senyum-senyum sendiri, sini sarapan dulu sebelum aku antar pulang."
"I iya."
"Kenapa jadi canggung seperti ini, sih? Relax Jen, last night nothing hapen between us. Aku suka kamu yang ramai daripada yang pendiam seperti ini."
"Maaf, Ed."
"Hh … berapa kali kamu sudah bilang maaf dalam kurun waktu belum ada satu jam. Sini makan biar waras." Akhirnya mereka tertawa lepas dan sarapan dengan diselingi candaan garing yang di lontarkan Edward.
~~~~~~~~~~~Keesokan harinya, Jenifer yang sudah sibuk di ruang kerjanya mulai menginput data-data penjualan dan pemasukan. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh asistennya, tapi berhubung hari masih terlalu pagi dan masih ada waktu satu jam lagi untuk membuka kafe, ia putuskan untuk membantu asistennya sekaligus mengecek pesanan kopi dan snack untuk acara gathering dari beberapa perusahaan. Kafe miliknya sudah lumayan punya nama di antara perkantoran untuk menyediakan konsumsi bagian minuman dan dessert.Tapi ia tiba-tiba panik ketika buku jurnal yang berisikan catatan pesanan beserta kartu nama pemesan tidak berhasil ia temukan. Jenifer ingat sabtu sore Gustaf datang merayunya dan mengajaknya pergi ke hotel. Karena tanpa persiapan ia membawa serta jurnal kerjanya yang berada di dalam tas slempangnya.
"Dimana hilangnya jurnal itu, sedangkan nomor kontak pemesan belum aku input di ponselku. Bisa hancur nama baik kafe ini. Ah … dasar Gustaf s!alan." Jenifer meremas rambutnya mengumpat kesal. "Sebentar … mungkin terbawa atau tertinggal di mobil Edward."
Jenifer mulai menenangkan pikiranya dan perlahan mulai mengingat kapan terakhir jurnalnya terlihat. Chek in di hotel, satu lift dengan Edward yang sedang berciuman mesra dengan kekasihnya, Gustaf meninggalkanya, Edward datang menenangkanya yang sedang menangis, ia minum sambil curhat laluuuu … Edward menciumnya dan ia membalasnya.
"Aa …." Jenifer berteriak dan meraba dadanya, jantungnya berdetak sangat keras. 'Jadi selain hanya tidur bersama, Edward telah menciumku dan aku pun membalas ciumanya.' Kembali Jenifer bermonolog.
Sekarang Jenifer sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanyakan kepada Edward tentang keberadaan jurnal miliknya. Tapi dengan mengingat ciuman itu …, ah sungguh canggung bila bertemu denganya.
Jenifer memijat pelipisnya berulang-ulang sibuk dengan pemikiran konyolnya. "Kenapa dibuat bingung sih, kami cuma berciuman tidak lebih dan waktu itu aku dalam keadaan mabuk. Tinggal pura-pura tidak ingat, pasti beres tidak ada masalah ha ha ha." Jenifer mentertawakan kebodohanya. Ia keluar dari ruang kerjanya bermaksud menemui Edward di kantornya. Seperti ada sinyal telepati di antara mereka berdua, karena Edward juga telah muncul dari balik pintu kafe hendak menemui Jenifer.
"Hai Jen, aku ingin mengembalikan buku ini, pasti penting untukmu, kan?" Edward menunjukkan sebuah jurnal bersampul warna tosca.
Jenifer cuma terpaku, matanya fokus ke bibir Edward yang mengatakan bait demi bait kata. Sekelebat bayangan ciuman panas mereka kembali menari-nari di otaknya.
"Hey Jen, hello … are you okay?" Edward menjentikan jarinya di depan matanya Jenifer.
"Ah ya … em … kau bilang apa tadi?" Jenifer tersenyum canggung, rencana untuk terlihat biasa dan melupakan ciumannya bersama Edward, gagal sudah tinggal wacana. Karena faktanya kini ia seperti tersihir membeku, melihat bibir seksi Edward yang pernah menciumnya.
"Kau kenapa, mengapa menatapku seperti itu?"
"Ah aku tidak apa-apa he he he … cuma sedang kepikiran bibir." Astaga Jenifer membekap mulutnya yang kelepasan bicara, wajahnya merah padam menahan malu.
"Bibir, bibir, kau suka bibir sensualku ini?" Edward mencoba menggoda Jenifer.
"Bu bukan itu maksudku, aku cuma …."
"Ya, ya, ya, aku paham maksudmu, kamu mencari jurnal ini, kan? Maaf, aku tadi cuma bercanda." Edward pura-pura tidak bisa menangkap maksud dari kata-kata Jenifer yang keceplosan dengan kata bibir. Ia juga akan pura-pura tidak mengingat ciuman panas mereka, mengikuti keinginan Jenifer. Sandiwara memang diperlukan untuk mengurangi kecanggungan supaya tidak ada jarak dihubungan mereka yang masih abu-abu.
***
Sudah lebih dari dua minggu sejak insiden pertengkaran di hotel, Jenifer belum pernah bertatap muka ataupun berbalas pesan lewat media daring dengan kekasihnya itu. Entah karena kehadiran Edward atau ia yang sudah lelah memaafkan kesalahan yang sama dan berulang-ulang tanpa ada niat untuk memperbaikinya, menjadikan Jenifer enggan memikirkan hubungan yang sebenarnya sudah tidak sehat.
Ia lebih memilih menyibukkan diri mengurus kafe miliknya daripada memikirkan kisah asmaranya yang pelik. Seperti pagi ini, Jenifer berangkat lebih awal dari para pekerjanya. Ia dengan semangat mengelap meja kasir dan komputer sambil bersenandung ria.
Kegiatanya terhenti saat lonceng pintu berbunyi menampilkan Gustaf dari balik pintu dan tersenyum renyah kepada Jenifer. Dengan langkah lebarnya ia berjalan menghampiri Jenifer di meja kasir.
"Pagi Jen, apa khabarmu?"
"Mmmm pagi juga Gus. As you see i'm fine."
Gustaf merasa janggal dengan sikap Jenifer yang berubah, biasanya Jenifer akan menyambutnya dengan senyuman hangat dan meminta Gustaf untuk duduk serta menghidangkan menu sarapan favoritnya tanpa perlu merogoh koceknya. Jenifer selalu menolak untuk dibayar dan itu merupakan suatu keuntungan baginya untuk mengurangi pengeluaran bulanannya.
Gustaf adalah seorang imigran dari negara Meksiko, sehingga ia harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar bisa bertahan di kota besar New York. Jenifer bahkan sering membersihkan apartemen Gustaf, melakukan laundry dan mengisi kulkas Gustaf dengan bermacam-macam minuman dan makanan. Tidak sampai disitu, Gustaf juga sering meminjam uang kepada Jenifer dengan alasan untuk dikirimkan kepada orang tuanya yang sedang kesusahan atau sakit, tanpa pernah dikembalikan dengan dalih lupa. Jangan tanya ketika acara kencan di luar pastilah Jenifer yang mengeluarkan uang. Intinya Jenifer adalah penyokong keuangan Gustaf.
"Mengapa tidak ada kabar, maafkan aku yang telah menyakiti hatimu." Gustaf meraih tangan Jenifer lalu menggenggamnya. Di luar kebiasaan, kali ini ia harus merayunya. Biasanya Jenifer yang akan mendekat lebih dulu dan memperbaiki hubungan mereka dikala terjadi pertengkaran.
"Oh aku sibuk dan juga ayahku datang kemari menginap selama satu minggu, jadi aku harus meluangkan waktu untuk menemaninya jalan-jalan keliling kota New york." Jenifer sengaja berbohong tentang kunjungan ayahnya. Ia tahu Gustaf sangat menghindari untuk bertemu ayahnya Jenifer yang tidak suka kepadanya.
"Kenapa kau tak memberitahuku, paman berkunjung kemari? Setidaknya aku juga akan ikut menemaninya jalan-jalan." 'Hhhh b**a-basi,' batin Jenifer. Entah kenapa sekarang ia sangat sebal dengan semua perilaku manis Gustaf yang diberikan kepadanya. Ia mulai ragu bahwa semuanya adalah kebohongan yang ditutupi.
"Dalam dua minggu ini kau bisa menghubungiku dulu, bukan? Dan tempatmu bekerja juga sangat dekat dengan kafe ini, setiap hari aku pasti disini." Gustaf tercengang dengan jawaban Jenifer yang runtun dan terkesan memojokkan dirinya.
"Ma maaf di kantor sedang ada renovasi dan kita harus kerja ekstra lagian juga aku takut kau masih marah." Gustaf masih saja berbohong, ia takut kehilangan Jenifer yang akan membawa kesengsaraan baginya.
"Oh ya, bagian mana yang direnovasi? Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Padahal aku sering datang ke kantormu mengantarkan pesanan." Kali ini Jenifer benar-benar ingin beradu argumen dengan Gustaf.
"Di basement bawah, tapi kami diminta untuk ikut serta membersihkan bekas-bekas sisa renovasi." Jenifer menarik tangannya dari genggaman tangan Gustaf lalu menghela napas karena lidah Gustaf sangat licin dalam bertutur kata.
"Maafkan kesalahanku, Jen, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Jenifer masih tidak bergeming. Gustaf mulai gusar karena rayuanya tidak mempan.
"Sudahlah, aku telah memaafkanmu." Gustaf masih tidak percaya karena Jenifer mengatakannya dengan memalingkan wajahnya. Gustaf tidak mau hubunganya dengan Jenifer kandas karena ia masih butuh sosok Jenifer untuk menyokong hidupnya.
Sudah hampir satu jam usaha Gustaf untuk meluluhkan hati Jenifer tapi belum ada tanda-tanda akan berhasil, sedangkan para pekerja kafe sudah datang dengan formasi lengkap. Mereka sudah stand by di tempatnya masing-masing untuk menjalankan tugasnya. Pelanggan kafe sudah mulai bermunculan seiring bau harum kopi yang menguar dari coffe maker.
Dari sekian pelanggan yang muncul, Edward juga termasuk di dalamnya. Sebenarnya Edward rindu ingin bertemu dengan Jenifer dan menjadikan minum kopi sebagai alasan untuk bertemu. Tapi ketika ia melihat Gustaf yang sedang berbicara serius dengan Jenifer, ia mengurungkan niatnya untuk menyapa Jenifer. Ia sangat ingin mendekat dan mencuri dengar pembicaraan mereka tapi itu tidak mungkin sehingga ia cuma menerka-nerka melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh mereka.
Gustaf mulai panik, ia memutar otaknya dengan sangat keras. Ia memikirkan cara untuk mempertahankan Jenifer di sisinya. Batinnya menjerit senang ketika mendapatkan ide cemerlang. Gustaf tiba-tiba berjongkok di depan Jenifer yang sedang sibuk ikut mengantar pesanan ke meja pelanggan. Gustaf mengambil sesuatu dari dalam sakunya. "Will you marry me, Jen?" Jenifer kaget, ia membulatkan matanya. Sungguh ia tak mengira Gustaf akan melamarnya ditempat umum.
Di seberang sana Edward tak kalah syok dengan kelakuan Gustaf." Síalan, dasar buaya tak tahu malu." Umpatnya sambil meremas koran yang sedang di bacanya.
Gustaf mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam lalu membukanya. Sebuah cincin yang bertahtakan berlian kecil itu ia sodorkan di depan Jenifer dengan masih tetap melanjutkan aksi jongkoknya. Terlihat romantis tapi sayangnya, itu tidak lagi dirasakan oleh hati Jenifer.
Belum sempat Jenifer membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Gustaf menodongnya lagi dengan kalimat yang sama. "Will you marry me, Jen?" Sontak para pengunjung kafe bersorak tepuk tangan.
"Terima, terima, terima. "Suara dukungan pengunjung kafe menggema memenuhi disetiap penjuru kafe. Jenifer menggaruk kepalanya yang tidak gatal bingung harus berbuat apa.
TBC.
Kira-kira diterima nggak ya, lamaran Gustaf kepada Jeny?
Hani.^^
Edward bangun dari duduknya, ia ingin sekali segera membawa Jenifer keluar dari situasi yang memojokkanya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Jenifer memegang bahu Gustaf dan menganggukkan kepalanya. Tepuk tangan riuh pengunjung kafe menyadarkan lamunan Edward bahwa Jenifer sudah menerima lamaran Gustaf sang pecundang. Dengan langkah lesu Edward tetap berjalan menghampiri gadis pujaannya. 'Ah sejak kapan Jenifer menjadi gadis pujaanya.' Edward tersenyum kecut dengan pikirannya sendiri. "Ehmmmm congrat's, Jen, lamaran yang cukup romantis." Edward tersenyum kepada Jenifer, pandangan mereka bertemu dan saling mengunci. Walau Jenifer melihat bibir Edward tersenyum tapi sorot mata tajam Edward terlihat penuh kekecewaan dan terluka. Lewat mata seakan mereka berbicara, lidah Jenifer terasa kelu untuk mengeluarkan suara. Hati Jenifer mengatakan bahwa Edward terluka atas keputusanya yang menerima lamaran dari Gustaf tapi logikanya menolak, mana mungkin
Keheningan menyelimuti mobil yang di kendarai Edward dan Jenifer. Edward tidak berani menginterupsi keterdiaman Jenifer setelah beberapa saat tumpahan tangisan pilu keluar dari bibir séksi Jenifer. Edward memutuskan untuk membawa pulang Jenifer ke apartemenya, sesaat setelah ia mengendarai mobilnya hanya berputar-putar pada satu titik jalan yang sama. Ia tidak ingin membiarkan Jenifer terpuruk sendirian malam ini. Edward berdehem pelan dan membukakan pintu mobil untuk Jenifer. "Sudah sampai Jen, ayo turun." Edward meraih tangan Jenifer lalu menggandeng tangannya berjalan beriringan masuk kedalam lift. Di dalam liftpun masih sama hanya ada keheningan yang terasa. Tanpa melepaskan genggaman tangannya, Edward berjalan dengan pelan keluar dari lift menuju unit apartemenya. Sesampainya di depan pintu, Jenifer tersadar bahwa ini bukan gedung apartemennya. "Ed, ini dimana?" "Di apartemenku, Jen, aku tidak mungkin
Cahaya pagi menembus tirai kamar, sepasang anak manusia masih begelung di bawah selimut menyembunyikan tubuh mereka dari hawa dingin yang menyeruak menyentuh kulit tubuh. Jenifer mengerjapkan matanya dan tersenyum saat wajah tampan Edward tepat terpampang di depan matanya. Ingin ia mengelus wajah tampan Edward tapi ia ragu, takut Edward akan terbangun dari tidurnya. Semalam ia tidur dengan sangat lelap. Merasa sangat nyaman berada di pelukannya Edward. Bahkan ia sudah tak mengingat lagi tentang berakhirnya hubungan pertunangannya dengan Gustaf. "Mau kemana?" Edward mengeluarkan suaranya yang sedikit serak di saat merasakan tangan Jenifer yang memindahkan tangannya dari perut Jenifer. Tidak menunggu jawaban dari Jenifer, Edward malah mengeratkan pelukannya kepada Jenifer. Bahkan wajahnya ia benamkan di ceruk leher Jenifer. Jenifer menahan napas dengan kelakuan Edward yang membuatnya merinding. Embusan napas Edward yang hangat menyapu lehe
Hubungan Jenifer dan Edward semakin dekat. Walau mereka mengklaim hubungan mereka hanya sebatas teman tapi melihat interaksi mereka berdua bisa di pastikan mereka punya hubungan lebih. Edward akan mengantar jemput Jenifer ke kafe hampir setiap hari, kecuali Edward ada pekerjaan di luar kota. Setiap malam mereka akan makan malam bersama, Jenifer juga sering mengirim kopi kesukaan Edward. Biasanya Edward akan mengganti dengan membelikan hadiah mahal atau mengajaknya keluar jalan-jalan berdua. Edward juga sering memaksa Jenifer untuk menginap di apartemennya yang berakhir tidur berdua di ranjang yang sama. Noted hanya tidur dan tidak lebih. Edward tidak berani memaksa Jenifer untuk melayani napsunya. Dan seperti biasa Edward akan menyalurkan hasratnya di kamar mandi, bermain solo. Seperti malam ini, sepulang kerja Edward langsung pergi menuju kafe untuk mengajak Jenifer makan malam bersama. Wajah lelah Edward langsung berubah ceria di
21+!!! Malam ini Edward berada di sebuah pesta untuk kalangan pengusaha dan executive. Ia datang sendirian, tadinya Edward ingin mengajak Jenifer ikut serta. Tapi undangan yang datangnya mendadak itu tidak memungkinkan untuknya meminta kesediaan Jenifer untuk hadir menemaninya di pesta. Edward mendesah bosan karena ini hanyalah sebuah pesta biasa tanpa adanya pembahasan bisnis. Pesta ini biasanya hanya ajang pamer pasangan atau ajang para wartawan infotaiment pencari gosip kehidupan pribadi dari kalangan jetset. Edward sangat merindukan Jenifer. Sudah beberapa hari ini karena kesibukanya, ia belum bertemu dengan Jenifer. Ingin rasanya ia memeluk tubuh Jenifer yang hangat sebagai penghilang rasa penatnya akibat pekerjaan yang menumpuk. Untuk mengalihkan rasa bosannya, Edward mengirimkan pesan kepada Jenifer melalui ponselnya dengan harapan Jenifer akan membalasnya supaya waktu cepat berl
Kejadian modus yang terjadi satu minggu yang lalu tidak membuat hubungan Edward dan Jenifer renggang. Keduanya semakin nyaman dengan status teman tapi mesra. Edward bahkan tidak segan untuk memeluk Jenifer di tempat umum ataupun tempat terbuka dan untuk Jenifer, ia semakin jatuh kedalam pesona seorang Edward Williams. Apalagi sejak kejadian dimana ia dan Edward hampir melakukan hubungan séks. Wajahnya merona dan jantungnya berdebar ketika teringat akan cumbuan Edward yang sangat panas, darahnya juga berdesir saat mengingat bentuk kejantanan Edward yang terlihat keras dan berurat. Jauh di dalam lubuk hatinya, Jenifer merasa takut kalau semua harapanya saat ini tidak sesuai dengan realitanya. "Ed jangan." Jenifer menghindar ketika Edward ingin memeluknya saat berada di lift kantor. "Kalau ada orang yang melihat kita sedang berpelukan, bagaimana?" "Biarkan saja, aku tidak peduli. Kalau ada yang bicara macam-macam tentang k
"Hai Mom." Edward menyapa Mommynya yang sedang menahan amarahnya. Tidak lupa dengan pelan ia menurunkan Jenifer dari pangkuannya. Jenifer yang masih syok, hanya menundukkan kepalanya karena malu tertangkap basah sedang berbuat hal yang memalukan. Jari-jari tanganya saling bertaut, menandakan bahwa ia sangat gugup. Untung tadi Edward tidak dalam mode jahil yang lebih alias mesum, kalau tidak entah'lah. Mau ditaruh dimana mukanya, jika kesan pertama dengan Mommynya Edward begitu buruk yang seolah memperlihatkan bahwa ia wanita yang gampangan. "Minggir kamu." Casandra Mommynya Edward mendorong Edward untuk menjauh dari sisi Jenifer. Edward segera pindah di sofa singgle karena Mommynya duduk di sebelah Jenifer menggantikan posisinya. "Mommmm." "Diam, sekarang belum giliranmu, Ed." "Siapa namamu cantik?" Casandra menakup wajah Jenifer yang menunduk. "Je, Jenifer tan
"Jangan menyesal, kalau dia pergi karena sudah bosan dengan status yang tidak pasti." Kalimat Mommynya masih terngiang-ngiang. "Tidak-tidak, aku nggak mau kehilangan Jenifer. Aku bisa gila kalau dia jadi milik orang lain. Setelah sekian lama hanya dia yang bisa membuat hatiku berdebar hanya dengan mendengar namanya. Dia sangat sempurna, aku----------síal." Edward bergumam sambil meremas rambutnya frustasi. "Bunyi telepon membuyarkan Edward dari pikiran kusutnya."Ya hallo Sam, ada apa? Pesta, nanti malam? Oke, jam delapan saya pasti datang. Kamu free, saya akan datang sendirian. "Edward tersenyum senang, muncul ide untuk mengajak Jenifer nanti malam ke pesta dan mengungkapkan isi hatinya seusai pesta nanti. Edward merenggangkan otot-ototnya lalu menumpuk file dan dokumen yang telah ia periksa. Waktu telah menunjukan jam 3 sore. Ia bahkan sengaja melewatkan jam makan siangnya dan marathon menyelesaikan pekerjaanya. "Engk