Share

5. Parasit.

"Engkh …. "Jenifer melenguh panjang merenggangkan badanya yang terasa kaku, matanya mengerjap pelan. Seketika ia kaget dan membekap mulutnya setelah menyadari bahwa wajahnya menempel di d@da bidang seorang pria. Pikiranya kacau. 'Ada apa ini, dada siapa ini dan apa yang terjadi semalam?' Jenifer bertanya-tanya dalam batinya.

Dengan segera Jenifer memeriksa bajunya, Ia menghela napas lega setelah mengetahui gaun yang ia kenakan masih utuh melekat di badanya. Dengan pelan ia menyingkirkan lengan kekar yang memeluk pinggangnya dan segera duduk memeriksa wajah dari pria yang telah tidur seranjang denganya semalam.

"Edward." Cicitnya pelan hampir tak terdengar. Belum sempat ia mengingat kejadian semalam, Edward membuka matanya.

"Selamat pagi Jen, bagaimana tidurmu semalam?"

"Pa pagi Ed, em … semalam kita …."

"Semalam kita tidur bersama, tidak lebih."

"K-kenapa." Jenifer menunjuk tubuh kekar Edward yang polos dengan telunjuknya.

"Kamu lupa Jen? Kamu semalam mabuk lalu pingsan, tapi sebelum pingsan kau muntah di bajuku." Edward tersenyum sambil menaikan sebelah alisnya. "Semalam sudah sangat larut, jadi tidak memungkinkan untuk keluar membeli baju. Caroline sudah chek out dan mengembalikan key card kamar kepada resepsionis. Terpaksa aku tidur disini karena hotel sudah full booked."

"Maaf merepotkanmu."Jenifer sangat malu, mengingat betapa menjijikannya ia muntah di baju Edward. Lagi-lagi ia membekap mulutnya yang pasti bau karena tidak membersihkan mulutnya setelah muntah.

"Jangan khawatir, semalam aku tidak melalukan apapun padamu. Aku cuma tidur di sampingmu, tidak lebih." Jenifer tersenyum canggung mendengar penuturan Edward. Bagaimanapun ini pengalaman pertamanya tidur seranjang dengan seorang pria walaupun cuma hanya tidur, dalam tanda kutip tidak lebih.

"Aku ke kamar mandi dulu, mulutku pasti sangat bau gara-gara muntah semalam."

"Take your time Jen, ladys first."

Setelah selesai membersihkan diri dari kamar mandi, Jenifer melihat Edward sudah mengenakan kemejanya kembali. 'Untung ia sudah sudah pakai baju, kalau tidak jantungku serasa mau copot melihat otot-otot di perutnya huft ….' Jenifer bermonolog sambil tersenyum merona.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, sini sarapan dulu sebelum aku antar pulang."

 "I iya."

"Kenapa jadi canggung seperti ini, sih? Relax Jen, last night nothing hapen between us. Aku suka kamu yang ramai daripada yang pendiam seperti ini."

 "Maaf, Ed."

"Hh … berapa kali kamu sudah bilang maaf dalam kurun waktu belum ada satu jam. Sini makan biar waras." Akhirnya mereka tertawa lepas dan sarapan dengan diselingi candaan garing yang di lontarkan Edward.

                   ~~~~~~~~~~~

Keesokan harinya, Jenifer yang sudah sibuk di ruang kerjanya mulai menginput data-data penjualan dan pemasukan. Pekerjaan ini biasanya dikerjakan oleh asistennya, tapi berhubung hari masih terlalu pagi dan masih ada waktu satu jam lagi untuk membuka kafe, ia putuskan untuk membantu asistennya sekaligus mengecek pesanan kopi dan snack untuk acara gathering dari beberapa perusahaan. Kafe miliknya sudah lumayan punya nama di antara perkantoran untuk menyediakan konsumsi bagian minuman dan dessert.

Tapi ia tiba-tiba panik ketika buku jurnal yang berisikan catatan pesanan beserta kartu nama pemesan tidak berhasil ia temukan. Jenifer ingat sabtu sore Gustaf datang merayunya dan mengajaknya pergi ke hotel. Karena tanpa persiapan ia membawa serta jurnal kerjanya yang berada di dalam tas slempangnya.

"Dimana hilangnya jurnal itu, sedangkan nomor kontak pemesan belum aku input di ponselku. Bisa hancur nama baik kafe ini. Ah … dasar Gustaf s!alan." Jenifer meremas rambutnya mengumpat kesal. "Sebentar … mungkin terbawa atau tertinggal di mobil Edward."

Jenifer mulai menenangkan pikiranya dan perlahan mulai mengingat kapan terakhir jurnalnya terlihat. Chek in di hotel, satu lift dengan Edward yang sedang berciuman mesra dengan kekasihnya, Gustaf meninggalkanya, Edward datang menenangkanya yang sedang menangis, ia minum sambil curhat laluuuu … Edward menciumnya dan ia membalasnya.

 "Aa …." Jenifer berteriak dan meraba dadanya, jantungnya berdetak sangat keras. 'Jadi selain hanya tidur bersama, Edward telah menciumku dan aku pun membalas ciumanya.' Kembali Jenifer bermonolog.

Sekarang Jenifer sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanyakan kepada Edward tentang keberadaan jurnal miliknya. Tapi dengan mengingat ciuman itu …, ah sungguh canggung bila bertemu denganya.

Jenifer memijat pelipisnya berulang-ulang sibuk dengan pemikiran konyolnya. "Kenapa dibuat bingung sih, kami cuma berciuman tidak lebih dan waktu itu aku dalam keadaan mabuk. Tinggal pura-pura tidak ingat, pasti beres tidak ada masalah ha ha ha." Jenifer mentertawakan kebodohanya. Ia keluar dari ruang kerjanya bermaksud menemui Edward di kantornya. Seperti ada sinyal telepati di antara mereka berdua, karena Edward juga telah muncul dari balik pintu kafe hendak menemui Jenifer.

"Hai Jen, aku ingin mengembalikan buku ini, pasti penting untukmu, kan?" Edward menunjukkan sebuah jurnal bersampul warna tosca.

Jenifer cuma terpaku, matanya fokus ke bibir Edward yang mengatakan bait demi bait kata. Sekelebat bayangan ciuman panas mereka kembali menari-nari di otaknya.

"Hey Jen, hello … are you okay?" Edward menjentikan jarinya di depan matanya Jenifer. 

"Ah ya … em … kau bilang apa tadi?" Jenifer tersenyum canggung, rencana untuk terlihat biasa dan melupakan ciumannya bersama Edward, gagal sudah tinggal wacana. Karena faktanya kini ia seperti tersihir membeku, melihat bibir seksi Edward yang pernah menciumnya.

"Kau kenapa, mengapa menatapku seperti itu?"

"Ah aku tidak apa-apa he he he … cuma sedang kepikiran bibir." Astaga Jenifer membekap mulutnya yang kelepasan bicara, wajahnya merah padam menahan malu.

"Bibir, bibir, kau suka bibir sensualku ini?" Edward mencoba menggoda Jenifer.

"Bu bukan itu maksudku, aku cuma …."

"Ya, ya, ya, aku paham maksudmu, kamu mencari jurnal ini, kan? Maaf, aku tadi cuma bercanda." Edward pura-pura tidak bisa menangkap maksud dari kata-kata Jenifer yang keceplosan dengan kata bibir. Ia juga akan pura-pura tidak mengingat ciuman panas mereka, mengikuti keinginan Jenifer. Sandiwara memang diperlukan untuk mengurangi kecanggungan supaya tidak ada jarak dihubungan mereka yang masih abu-abu.

***

Sudah lebih dari dua minggu sejak insiden pertengkaran di hotel, Jenifer belum pernah bertatap muka ataupun berbalas pesan lewat media daring dengan kekasihnya itu. Entah karena kehadiran Edward atau ia yang sudah lelah memaafkan kesalahan yang sama dan berulang-ulang tanpa ada niat untuk memperbaikinya, menjadikan Jenifer enggan memikirkan hubungan yang sebenarnya sudah tidak sehat.

  Ia lebih memilih menyibukkan diri mengurus kafe miliknya daripada memikirkan kisah asmaranya yang pelik. Seperti pagi ini, Jenifer berangkat lebih awal dari para pekerjanya. Ia dengan semangat mengelap meja kasir dan komputer sambil bersenandung ria.

  Kegiatanya terhenti saat lonceng pintu berbunyi menampilkan Gustaf dari balik pintu dan tersenyum renyah kepada Jenifer. Dengan langkah lebarnya ia berjalan menghampiri Jenifer di meja kasir.

  "Pagi Jen, apa khabarmu?"

  "Mmmm pagi juga Gus. As you see i'm fine."

  Gustaf merasa janggal dengan sikap Jenifer yang berubah, biasanya Jenifer akan menyambutnya dengan senyuman hangat dan meminta Gustaf untuk duduk serta menghidangkan menu sarapan favoritnya tanpa perlu merogoh koceknya. Jenifer selalu menolak untuk dibayar dan itu merupakan suatu keuntungan baginya untuk mengurangi pengeluaran bulanannya.

  Gustaf adalah seorang imigran dari negara Meksiko, sehingga ia harus pintar-pintar mengatur keuangannya agar bisa bertahan di kota besar New York. Jenifer bahkan sering membersihkan apartemen Gustaf, melakukan laundry dan mengisi kulkas Gustaf dengan bermacam-macam minuman dan makanan. Tidak sampai disitu, Gustaf juga sering meminjam uang kepada Jenifer dengan alasan untuk dikirimkan kepada orang tuanya yang sedang kesusahan atau sakit, tanpa pernah dikembalikan dengan dalih lupa. Jangan tanya ketika acara kencan di luar pastilah Jenifer yang mengeluarkan uang. Intinya Jenifer adalah penyokong keuangan Gustaf.

  "Mengapa tidak ada kabar, maafkan aku yang telah menyakiti hatimu." Gustaf meraih tangan Jenifer lalu menggenggamnya. Di luar kebiasaan, kali ini ia harus merayunya. Biasanya Jenifer yang akan mendekat lebih dulu dan memperbaiki hubungan mereka dikala terjadi pertengkaran.

  "Oh aku sibuk dan juga ayahku datang kemari menginap selama satu minggu, jadi aku harus meluangkan waktu untuk menemaninya jalan-jalan keliling kota New york." Jenifer sengaja berbohong tentang kunjungan ayahnya. Ia tahu Gustaf sangat menghindari untuk bertemu ayahnya Jenifer yang tidak suka kepadanya.

"Kenapa kau tak memberitahuku, paman berkunjung kemari? Setidaknya aku juga akan ikut menemaninya jalan-jalan." 'Hhhh b**a-basi,' batin Jenifer. Entah kenapa sekarang ia sangat sebal dengan semua perilaku manis Gustaf yang diberikan kepadanya. Ia mulai ragu bahwa semuanya adalah kebohongan yang ditutupi.

   "Dalam dua minggu ini kau bisa  menghubungiku dulu, bukan? Dan tempatmu bekerja juga sangat dekat dengan kafe ini, setiap hari aku pasti disini." Gustaf tercengang dengan jawaban Jenifer yang runtun dan terkesan memojokkan dirinya.

  "Ma maaf di kantor sedang ada renovasi dan kita harus kerja ekstra lagian juga aku takut kau masih marah." Gustaf masih saja berbohong, ia takut kehilangan Jenifer yang akan membawa kesengsaraan baginya.

  "Oh ya, bagian mana yang direnovasi? Kenapa aku tidak pernah melihatnya? Padahal aku sering datang ke kantormu mengantarkan pesanan." Kali ini Jenifer benar-benar ingin beradu argumen dengan Gustaf.

  "Di basement bawah, tapi kami diminta untuk ikut serta membersihkan bekas-bekas sisa renovasi." Jenifer menarik tangannya dari genggaman tangan Gustaf lalu menghela napas karena lidah Gustaf sangat licin dalam bertutur kata.

  "Maafkan kesalahanku, Jen, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi." Jenifer masih tidak bergeming. Gustaf mulai gusar karena rayuanya tidak mempan.

  "Sudahlah, aku telah memaafkanmu." Gustaf masih tidak percaya karena Jenifer mengatakannya dengan memalingkan wajahnya. Gustaf tidak mau hubunganya dengan Jenifer kandas karena ia masih butuh sosok Jenifer untuk menyokong hidupnya.

  Sudah hampir satu jam usaha Gustaf untuk meluluhkan hati Jenifer tapi belum ada tanda-tanda akan berhasil, sedangkan para pekerja kafe sudah datang dengan formasi lengkap. Mereka sudah stand by di tempatnya masing-masing untuk menjalankan tugasnya. Pelanggan kafe sudah mulai bermunculan seiring bau harum kopi yang menguar dari coffe maker.    

  Dari sekian pelanggan yang muncul, Edward juga termasuk di dalamnya. Sebenarnya Edward rindu ingin bertemu dengan Jenifer dan menjadikan minum kopi sebagai alasan untuk bertemu. Tapi ketika ia melihat Gustaf yang sedang  berbicara serius dengan Jenifer, ia mengurungkan niatnya untuk menyapa  Jenifer. Ia sangat ingin mendekat dan mencuri dengar pembicaraan mereka tapi itu tidak mungkin sehingga ia cuma menerka-nerka melalui ekspresi wajah dan gestur tubuh mereka.

  Gustaf mulai panik, ia memutar otaknya dengan sangat keras. Ia memikirkan cara untuk mempertahankan Jenifer di sisinya. Batinnya menjerit senang ketika mendapatkan ide cemerlang. Gustaf tiba-tiba berjongkok di depan Jenifer yang sedang sibuk ikut mengantar pesanan ke meja pelanggan. Gustaf mengambil sesuatu dari dalam sakunya. "Will you marry me, Jen?" Jenifer kaget, ia membulatkan matanya. Sungguh ia tak mengira Gustaf akan melamarnya ditempat umum.

  Di seberang sana Edward tak kalah syok dengan kelakuan Gustaf." Síalan, dasar buaya tak tahu malu." Umpatnya sambil meremas koran yang sedang di bacanya.

  Gustaf mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam lalu membukanya. Sebuah cincin yang bertahtakan berlian kecil itu ia sodorkan di depan Jenifer dengan masih tetap melanjutkan aksi jongkoknya. Terlihat romantis tapi sayangnya, itu tidak lagi dirasakan oleh hati Jenifer.

   Belum sempat Jenifer membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Gustaf menodongnya lagi dengan kalimat yang sama. "Will you marry me, Jen?" Sontak para pengunjung kafe bersorak tepuk tangan.

  "Terima, terima, terima. "Suara dukungan pengunjung kafe menggema memenuhi disetiap penjuru kafe. Jenifer menggaruk kepalanya yang tidak gatal bingung harus berbuat apa.

         TBC.

   Kira-kira diterima nggak ya, lamaran Gustaf kepada Jeny?

         Hani.^^

              

       

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status