Menurut Pramudya, hidup yang enak itu sebenarnya hidup yang pas-pasan. Pas laper pas di depan Warteg. Pas cape pas sampe kamar. Pas kangen eh pas di telepon pacar.
Seperti yang dia alami sekarang. Setelah segar dia rasakan selepas membersihkan diri, dan melaksanakan ibadah malam yang nyaris terlewat, saatnya dia merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Tapi sepertinya sang pacar punya kemampuan telepati, tiba-tiba saja Yayang Hani menghubungi.
Semringahnya Pram saat melihat id caller bernama “Hani Bunny Ciki Bunny” yang bergambar wajah seorang gadis cantik berambut sebahu memanggilnya lewat aplikasi hijau jutaan umat berinisial WhatsApp.
“Assalammualaikum, Hani Bunny,” sapanya lembut setelah dia geser tanda menerima panggilan di layar gawainya.
“Waalaikumsalam, Mas Pram. Mas baru pulang?” sambut suara Hani dari seberang. Terdengar riang namun sedikit sendu. Mungkin sedang menahan rindu. Sama yang Pram rasakan sekarang. Seharian ini dia nyaris tak mendengar suara lembut sang kekasih, benar-benar menyiksa hati.
Biasanya dalam satu hari, Hani ataupun dirinya tak pernah kurang dari tiga kali saling menghubungi. Tak mau kalah dengan dosis minum obat. Tapi hari ini, karena kesibukan Pram di hari pertamanya bertugas sebagai pengawal pribadi Cinta, pria itu tak sempat mengecek ponselnya.
Baginya, hari pertama adalah hari penjajakan sekaligus hari cari muka sedunia agar majikan barunya tak kecewa dengan kredibilitasnya sebagai security profesional.
Dan kini, bagaimana tak membuncah rasa rindunya saat suara Hani membelai telinganya.
“Kira-kira satu jam yang lalu, Sayang. Mas juga udah makan, udah mandi, udah sholat Isya, udah siap bobok. Eh iya, kamu jangan lupa dandan yang cantik ya. Sebentar lagi kita ketemuan.” Tak kalah lembutnya suara Pram dengan kelopak mata yang terpejam.
“Tengah malam begini ketemuan?” Tentu saja si pacar heran.
“Kita ketemuan dalam mimpi, Hani Bunny Ciki Bunny.” Rayuan maut pun bertebaran di udara dari lisan Pram. Senyuman merekah dari bibir tipisnya seraya membayangkan si pacar tersenyum-senyum simpul menerima kalimat yang mengandung jutaan rindu itu.
Terdengar kekehan merdu mendesah dari ujung sana. Siapa lagi kalo bukan sang pacar yang kini hatinya berbunga-bunga. “Mas bisa aja. Seharian ini Mas kok nggak telepon aku? Sebel. Aku kan jadi nggak konsen ngajar anak-anak, Mas. Serasa nggak ada asupan gizi gitu loh,”
“Maaf, Sayang. Aku nggak sempet pegang HP. Hari ini aku sibuk banget. Kamu tau nggak, aku sekarang punya jabatan baru, lho, Yang.”
“Oh ya? Manajer? Atau Direktur?”
Pram meneguk salivanya sesaat.
Ini si pacar ngebet banget Mamas-nya punya jabatan setinggi itu. Dari Satpam loncat jadi Manajer atau Direktur? Apa dia sangka perusahaan itu punya nenek buyutnya Pram?
“Bukan, Sayang. Jadi Driver sekaligus ____”
“Hah? Driver? Kok jadi turun ranjang ... eh, turun jabatan, Mas? Minimal jadi Kepala Security, gitu. Kamu kan udah lama jadi Security di hotel itu. Udah pantaslah jadi Kepala Keamanan,” tukas Hani tanpa memberi kesempatan Pram menyelesaikan pengumumannya.
“Denger dulu, dong, Sayang. Aku jadi Driver sekaligus pengawal pribadi anaknya Pak Boss.”
Terdengar desahan Hani dari ujung sana, sepertinya desahan mengeluh atau tak puas dengan kalimat lanjutan Pram.
“Ooo, begitu.” Benar saja. Nada suara Hani terdengar melemah. Tak bergairah seperti orang kurang darah.
“Tapi gajiku naik tiga kali lipat dari bulan kemarin, Yang.”
“Serius, Mas?” Kali ini nada suara Hani spontan berubah. Girang dong pastinya.
Ya begitulah, mendengar kalimat ‘gaji naik tiga kali’ itu bagaikan kejatuhan durian runtuh bagi Hani. Walaupun duriannya menimpa kepala, tapi tak apalah. Yang penting berjuta rasanya.
“Serius binti Aquarius, Sayang. Mudah-mudahan aja duit aku bisa cepat ngumpul. Dan punya cukup modal untuk segera nikah sama kamu. Aku udah nggak tahan pengen buruan mengikat kamu supaya nggak di ambil orang.”
Ngikat? Dikira si Hani itu kambing kali?
Dan Hani pun terlonjak senang di dalam kamarnya, mungkin sedang bersalto ria di atas ranjang mendengar niatan yang barusan terlontar dari Pram.
Gadis normal mana yang tak senang, mendengar sang kekasih yang sudah dua tahun ini dia pacari punya niat membawanya ke jenjang pernikahan. Apalagi orang tua Hani selalu mendesak gadis itu untuk segera bersuami.
Tapi ... ada tapinya .... Orang tua Hani sampai detik ini belum memberi restu pada hubungan keduanya, dikarenakan keadaan ekonomi Pram yang mereka pikir belum mumpuni untuk membahagiakan Hani.
Di tambah lagi status Pram yang hidup sebatang kara, tanpa saudara ataupun kerabat dekat. Hingga mereka tak begitu saja mempercayakan putri mereka pada pria dengan status yang tak jelas.
Dan untuk menutupi hubungan asmara mereka dari orangtuanya selama ini, Hani mengaku hanya berteman dengan Pram, tak lebih. Sebenarnya Pram tak suka dengan cara Hani itu. Seakan keberadaannya tak di akui. Padahal perasaan Pram benar-benar serius padanya. Dan ingin membawa gadis yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar itu ke jenjang yang lebih jauh lagi.
Saat enam bulan yang lalu, Pram merasa sudah tak kuasa lagi membendung keinginannya untuk menemui kedua orang tua Hani dan meminta Hani sebagai Istri, namun Hani justru mencegahnya. Hani katakan saat itu, rencana Pram itu terlalu terburu-buru.
Sementara Hani menilai Pram belum cukup meyakinkan orang tua Hani untuk menerimanya sebagai menantu mereka. Tak perlu Hani jelaskan lagi, pastinya Pram sangat tahu yang dimaksud Hani adalah soal materi.
Karena itu, saat Pak Abraham menawarkan gaji yang cukup menggiurkan padanya, tanpa banyak pertimbangan lagi Pram langsung menyetujui, walaupun dengan tantangan pekerjaan yang lebih sulit dari sebelumnya.
“Ngomong-ngomong, anak Boss-nya Mas Pram itu usia berapa? Sekolah? Kuliah?” Setelah puas dengan debaran hatinya ketika Pram menyinggung soal pernikahan, Hani kembali bersuara.
“Dia artis, Yang. Namanya Aura Cinta Anastasia. Kamu pasti tau, sinetronnya rutin muncul di tivi,” sahut Pram ringan.
“Aura Cinta Anastasia? Ya, aku tau, Mas. Sinetronnya juga favorit aku. Dia ... cantik banget. Nanti ... Mas kepincut,” suara Hani terdengar ragu dan terbata-bata.
Gelak Pram pun terdengar sebelum menjawab. “Ya, gak mungkin, Hani Bunny. Secantik apapun dia, dia itu majikan aku. Dan aku harus profesional. Lagi pula, aku ... cinta mentok sama kamu. Kamu lebih cantik di mata aku.”
Hahaaay ... Rayuanmu ManTul, Pram. Mantap betul.
Di ujung sana, kembali Hani bersalto ria di atas ranjangnya. Atau mungkin kini dirinya sudah melayang di atas awan.
Itulah satu lagi keistimewaan Pram, cinta yang besar untuk gadisnya. Sepertinya Pram memakai kacamata kuda. Menurutnya tak ada wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta selain Hani seorang. Karena itulah Hani patut dia perjuangkan sampai titik keringat penghabisan.
“Kamu jangan khawatir, Sayang. Aku gak akan berpaling sama cewek mana pun. Kamu doain aku tiap hari ya. Supaya pekerjaanku lancar. Dan aku pulang ke rumah tiap malam dengan selamat dan sehat,” Ucapan Pram ibarat permen kapas bagi Hani. Manis dan lembut.
Selamat dan sehat. Pram ucapkan itu saat membayangkan wajah Aura Cinta Anastasia, sang majikan yang selalu menatapnya horor disertai hujanan kalimat pedas dan setajam silet yang selalu terlontar dari lisannya.
“Iya, Mas. Pasti aku doakan Mas selalu. Sekarang Mas tidur ya, sudah malam sekali ini. Aku juga udah ngantuk.”
Pram mengangguk meng-iya-kan, walaupun Hani tak melihat. “Oke, selamat bobok, Yayangnya Mas. Sampe ketemu di dalam mimpi.”
Sambungan komunikasi itu pun disudahi lebih dulu oleh Hani setelah gadis itu memperdengarkan suara kecupannya untuk Pram, dan Pram pun membalas.
Kini Pram kembali merebahkan diri di atas kasur busa yang dia bentang di lantai, tanpa selimut yang melindunginya dari kedinginan. Hanya t-shirt coklat dan celana training yang membalut tubuhnya. Lalu memejamkan mata, berusaha menepati janjinya untuk bertemu Hani di dalam mimpi.
Setelah nyaris satu jam membelah jalan raya di tengah atmosfere malam, Pram mengarahkan kemudi Range Rover putih itu memasuki basement gedung apartement berlogo FX Sudirman. Jarum panjang di arloji Pram tepat berada di angka sepuluh sewaktu Pram meliriknya.Duduk di kursi penumpang, ada Cinta dan sang manajer, Sabrina, yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Sesekali suara cekikian terdengar dari bibir Sabrina kala mengirimkan pesan untuk Cinta. Di selingi suara decakan sebal dari bibir Cinta saat membalas pesan Sabrina.Kadang kelakuan absurb mereka sangat menggelikan. Masih dalam ruang yang sama, bahkan bahu mereka juga bersentuhan, tapi mereka saling membalas ujaran di ruang chat aplikasi.Biasanya, jika ada dua orang yang merahasiakan obrolan, kemungkinan sedang menggibahi satu orang lain yang tengah bersama mereka. Kemungkinan itu memang benar. Sang artis dan manajernya sedang menggibahi sang driver yang kini
Kata Cinta, papanya sedang menyiksanya melalui Pram yang dipekerjakan sebagai pengawal dan driver pribadinya. Tampaknya itu benar. Lihatlah bagaimana Cinta di jam dua pagi ini masih gagal juga memejamkan kelopak mata. Rasa kantuk sama sekali belum menghampiri dirinya. Padahal tubuhnya itu sudah meronta minta diistirahatkan karena nyaris seharian kemarin dia menjalani padatnya agenda aktifitas keartisannya.Di mulai pagi hari, dia sudah hinggap di lokasi syuting untuk satu acara bersama seorang youtuber ternama, Acca Halilincar. Di siang harinya harus menjalani syuting sinetron strippingnya. Dan di sore hari mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan untuk menghadiri nonton bareng premiere film terbarunya berjudul Alat-Alat Bercinta, dimana dia berperan sebagai seorang mahasiswi yang menjalin hubungan dengan seorang CEO terkaya di dunia yang mengidap kelainan seksual Masokisme.Namun, tetap saja keinginan untuk mengunjungi hiburan malam ke n
Siang ini, sesuai jadwal, Cinta menjalani sesi photoshoot di sebuah studio untuk endorsement sebuah produk parfum ternama dari seorang artis lawas asal negeri Jiran yang beralih profesi sebagai produsen wewangian.Produsen parfum itu menjatuhkan pilihan pada Cinta sebagai icon-nya karena menganggap kepribadian Cinta mewakili karakteristik produknya yang menyasar kalangan level menengah ke atas yang menjunjung kemewahan dan keanggunan.Dan seperti yang terlihat saat ini, produsen parfum itu memang tak salah pilih. Cinta tampak sangat anggun dan glamour setelah penata busana dan penata rias mendandani dirinya bak bidadari.Gadis kurus semampai itu tampak kian memikat dalam balutan maxidress off shoulder warna red elektrik dengan long tail sepanjang dua meter. Menampilkan bahu dan setengah bagian dadanya yang begitu mulus dengan rona kemerahan. Ditambah lagi kaki jenjang beralas stilleto berheel sepuluh senti itu sesekali m
“Gak mau! Gak mau! Gue bisa jalan sendiri!”Cinta menepis kasar tangan Pram sewaktu kedua lengan kokoh itu sudah terjulur siap meraih tubuh gadis itu.Pram yang sudah memposisikan diri untuk mengangkat tubuhnya, menarik diri kembali dan hanya tegak di samping pintu bagian penumpang yang terbuka.“Gak bisa, Cinta. Kamu tuh harus di bopong, lho. Mana bisa kamu jalan sendiri dengan keadaan kaki pincang begitu. Yang ada nanti malah tambah sakit, Cin.” Sabrina ikut membujuk Cinta yang kadar keras kepalanya memang di atas rata-rata.Melihat pergelangan kaki kiri Cinta yang membengkak dan ada warna kebiruan, membuat Sabrina meringis ngilu. Rasa iba terbit di hatinya saat Cinta bersusah payah mengeluarkan tubuhnya sendiri dari dalam mobil sambil mengerang menahan sakit.Tapi sepertinya tidak bagi Pram. Wajahnya datar saja mengamati pergerakan majikannya yang manja
Memang ya, bersama Pram itu bawaannya aman dan nyaman. Bukan karena stigma pekerjaannya saja yang mengharuskan Pram melindungi siapa yang sedang bersamanya. Tapi juga karena aura Pram sebagai laki-laki pelindung sepertinya begitu mendominasi.Begitu yang di rasakan Bu Ocha. Sepanjang perjalanan pulang bersama Pram. Bawaannya pengen nempel terus. Di atas motor pun apalagi, tubuhnya seolah terpatri pada tubuh Pram. Merapat sambil memeluk pinggang Pram erat. Dan sesekali merebahkan kepala di punggung Pram.Namun lucunya, Pram sama sekali tak merasa risih, walaupun Pram tentu merasakan bagaimana Bu Ocha duduk begitu rapat dengannya. Bahkan ketika berhenti di lampu merah, satu mobil sedan berisi gadis-gadis berpakaian putih abu-abu dengan genit menggoda dan meneriakinya ‘berondong dan tantenya’. Pram meresponnya hanya dengan tersenyum lebar. Sementara Bu Ocha makin menggila. Dia makin mengeratkan pelukannya dan mendusel-duselkan pipi
Sudah lebih dari tujuh jam Pram bersama Sabrina mendampingi Cinta menjalankan rutinitas syutingnya di dua lokasi berbeda. Sementara jarum panjang di arloji Pram sudah mengarah di angka lima. Tapi tampaknya tak ada tanda-tanda dari Cinta untuk menyelesaikan syutingnya sore ini.Begitu juga sang sutradara yang duduk di tengah taman bersama seperangkat layar monitor, tampaknya tak ada puasnya memerintahkan para artisnya untuk mengulang satu adegan untuk mendapatkan hasil yang sempurna.Bersama beberapa kru yang mendampingi, sutradara kawakan bernama Rizal Mantavkali itu bergeming dengan konsentrasi penuh memantau adegan-adegan yang diperagakan oleh Cinta berdua dengan lawan mainnya, seorang aktor terkenal asal Negeri Ginseng, Lho Baw Tae.Kembali Pram melirik arlojinya, dengan perasaan hati yang sulit dijelaskan. Pasalnya, malam ini dia harus memenuhi janjinya pada Hani untuk datang menemui kedua orang tua Hani. Karena Pram tak ingin menunda lebih lama lagi untuk s
Malam, walaupun gelap, tapi dirinya bisa menunjukkan bahwa mendung tengah menyelimuti, dan siap memuntahkan air yang sudah bergelayut di balik awan. Terbukti tak tampak bintang di atas sana dan disertai suhu udara yang lambat laun menghangat.Begitu juga dengan Pram. Walaupun wajah tampannya dia kondisikan setenang mungkin, namun aura kesedihan itu tak mampu dia sembunyikan. Tak tampak lukisan semangat dan lesung pipit samar sisa senyuman yang menjadi ciri khasnya. Bu Ocha menangkap jelas aura tak menyenangkan itu.Terlebih lagi melihat Pram memasukkan motornya dengan langkah gontai dan juga keranjang berisi buah yang masih terbungkus rapi teronggok di atas meja tepat disampingnya. Buket buah yang sama yang di bawa Pram ke rumah Hani sore tadi saat Pram berpamitan padanya. Tak perlu banyak interogasi, Bu Ocha sudah bisa menerka bahwa lamaran Pram untuk sang kekasih tak sesuai dengan harapan.Pram kembali menghampiri Bu Ocha, lalu menempatkan dirinya di atas temb
“Ke rumah Pak Abraham. Sekarang juga.”Begitu isi pesan WhatsApp dari Pak Darto, komandannya, tepat di pukul lima pagi tadi, setelah Pram baru selesai menuntaskan ibadah wajib Shubuhnya. Tentu saja bingung dan heran menyapa diri Pram setelah membaca pesan itu. Karena sejak pembicaraan satu bulan lalu, baik Pak Darto maupun Pak Abraham, boss besarnya, tidak pernah menghubunginya lagi satu kali pun. Hanya notifikasi tranferan gaji saja yang dia terima dari sekertaris Pak Abraham di tanggal satu, beberapa hari yang lalu.Pram yakin, pasti ada sesuatu yang sangat penting hingga dirinya diminta untuk segera datang ke rumah Pak Abraham pagi ini juga.Karena itulah kini Pram berdiri tegak di hadapan Pak Abraham dan juga Pak Darto di ruang kerja Pak Abraham. Menunggu siapa diantara kedua orang berwibawa itu membuka suara lebih dulu.“Pramudya, Mbak Cinta kecelakaan dini hari tadi.”Degh!“Astagfirullah! Bu Cinta .
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd