Lelah, itu yang menyerang sekujur tubuh Pram setelah nyaris dua belas jam mengawal kegiatan nona mudanya. Namun sebenarnya bukan hanya lelah fisik yang dia rasakan. Tapi juga lelah bathin dan telinga.
Medan juang Pram kali ini sangat berbeda. Sewaktu bekerja menjadi tenaga pengamanan di hotel Swastika, hanya lelah fisik yang dia rasakan. Dan obatnya hanya dengan makan dan tidur beberapa jam, sembuh.
Namun tugasnya yang sekarang, benar-benar menuntutnya untuk memiliki mental baja dan menebalkan dinding telinga. Bayangkan saja, bagaimana dirinya harus bersabar mendengarkan segala ocehan Cinta yang kelewat batas. Bahkan hanya karena satu kesalahan kecil, Cinta sanggup merapalkan kata-kata tak menyenangkan sepanjang perjalanan pulang. Sejujurnya itu sangat menyebalkan dan mengganggu konsentrasinya menyetir kendaraan.
Ini baru hari pertama, bagaimana hari-hari selanjutnya?
Sejujurnya, dia menganggap tugas ini adalah tantangan baru untuknya. Terlebih lagi saat terngiang perintah Pak Abraham mengenai tugasnya yang lebih utama adalah mencegah Cinta mengunjungi night club dan menyentuh minuman keras apalagi narkotika.
Dan dia rasa tiga hal itu bukan perkara mudah. Lihatlah bagaimana Cinta begitu berkuasa atas dirinya. Berani memarahinya di depan banyak orang. Bahkan terang-terangan mengatakan dia malu karena keberadaan Pram didekatnya.
Ini bukan lagi soal gaji besar yang dia dapatkan dari Pak Abraham. Tapi juga tentang harga dirinya sebagai laki-laki. Karena itu dia bertekad tak akan menyerah dengan segala perlakuan sinis Cinta. Pram pikir dia harus menggunakan strategi untuk menjalankan tugasnya kali ini.
Masih dengan baju kebanggaannya yang ditutupi oleh jaket coklat yang dipinjamkan Cinta tadi siang, Pram melangkahkan kakinya ringan melewati jalan sempit bebatuan dan basah karena siraman air hujan sore tadi menuju rumah kontrakannya.
Dari jarak beberapa meter mendekati tempat tinggalnya, sayup-sayup rungu Pram menangkap suara wanita menyanyikan sebuah lagu dengan merdu dan syahdu. Bagi siapapun yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu, pasti akan lari terbirit-birit jika mendengar suara wanita bersenandung di pukul sebelas malam ini. Tapi bagi warga yang memang tinggal di tempat itu suara wanita itu bukan sesuatu yang aneh apalagi menyeramkan. Karena mereka, termasuk Pram, tahu siapa yang mempunyai kebiasaan unik di setiap tengah malam itu.
Dan kini Pram tengah menghampirinya, sambil ikut menyenandungkan lirik lagu yang sama.
“Regrets, I've had a few
But then again, too few to mention
I did what I had to do
And saw it through without exemption
I planned each charted course
Each careful step along the by way
And more, much more than this
I did it my way”
Ibu Ocha, si pemilik suara merdu itu menoleh dan tersenyum lebar pada Pram yang sudah berdiri tegak di hadapannya setelah keduanya serentak mengakhiri nyanyian mereka dengan vibra menggema.
Hampir setiap malam, wanita yang mengaku berusia 55 tahun itu duduk di teras kontrakannya sambil menikmati secangkir teh hangat dan menyanyikan tembang lawas milik Frank Sinatra itu dengan suaranya yang cukup merdu disertai dengan ekspresinya yang sangat menjiwai. Dan lirik lagu itu dia nyanyikan berulang-ulang sampai-sampai Pram pun hapal lagu yang hits pada masa lampau itu.
“Udah berapa putaran Mak nyanyiin lagu itu malam ini?” tanya Pram mengulum senyum.
Bu Ocha terkekeh kecil sembari menepuk lengan Pram, tersipu malu pastinya.
“Baru delapan putaran, Pram. Harusnya udah sembilan, tapi tadi ke toilet dulu sebentar,” guraunya dengan suara serak.
Ya jelas aja serak, kira-kira nyaris satu jam Bu Ocha menjadi artis tengah malam menyanyikan lagu lawas itu delapan kali putaran dengan penuh penghayatan. Hetty Koes Endang pun belum tentu sanggup bernyanyi selama satu jam tanpa jeda sesaat pun.
“Wah, hebat, Mak Ocha. Bininya Frank Sinatra pasti laper, kan?” Pram menyodorkan bungkusan plastik hitam yang sedari tadi dibawanya ke pangkuan Bu Ocha.
Bu Ocha pun meraihnya dan lekas membuka bungkusan itu. Seketika bola matanya berbinar-binar cerah saat mendapati potongan martabak bertabur coklat dan keju di dalam kotak kardus yang dia buka.
“Tau aja Si Narti doyan martabak manis,” ucapnya semringah, lalu tangan kurusnya merogoh sepotong martabak itu, tanpa sungkan dia melahapnya pelan.
Pram mengernyitkan dahi, “Si Narti?”
Lalu terbahak saat Bu Ocha bilang, “Si Narti bininya Sinatra.”
“Mak, Mak. Bisa aja.”
“Pram, Ibu kan udah bilang berkali-kali. Ibu nggak suka dipanggil ‘Mak’.” Katanya lagi sambil melahap potongan martabak kedua.
“Emangnya mau dipanggil apa? Tante? Apa Madam?” sahut Pram seraya menghenyakkan diri di tembok setinggi satu meter sebagai pembatas teras.
“Panggil ‘Ibu’ aja. Lebih elegan kedengerannya. Kalo dipanggil ‘Mak’, Ibu jadi ngerasa kayak tukang pijet,” sergahnya dengan mulut yang masih sibuk mengunyah.
“Lah, aslinya kan emang ___?”
“Tukang urut,” sambungnya jujur.
Pram tertawa lagi. “Tukang pijet sama tukang urut ya podo wae, Mak.”
“Tapi kan Ibu ini tukang urut bayi, Pram.”
“Mak Ocha ini dulunya supir bajay, kali ya? Pinter banget ngeles, soalnya.”
“Enak aja, Ibu ini dulunya kontestan Miss Universe loh, Pram. Liat dong garis wajah Ibu masih mempesona, kan?” puji Bu Ocha membanggakan diri sendiri sambil menegakkan kepala dengan sikap anggun layaknya peserta ajang putri-putrian.
Pram menggelengkan kepala dan memanyunkan bibirnya meledek Bu Ocha. Dalam hati Pram mengakui Bu Ocha ini masih menyisakan kecantikan masa mudanya dulu walaupun keriput dan kekusaman sudah tercetak di sekujur permukaan kulitnya.
Karena dia perhatikan wajah Bu Ocha sedikit ke-bule-bule-an, terutama di bagian batang hidung yang tegak dan mata yang berlensa coklat muda. Pram menebak mungkin Bu Ocha ini berdarah blasteran eropa dari nenek moyangnya atau buyut-buyutnya yang hidup di jaman purbakala dulu.
“Tapi sekarang ... Miss Skin.” Bu Ocha menyambung kalimatnya dengan wajah menurun dan pura-pura memelas. Melihat ekspresi Bu Ocha yang menggelikan itu gelak tawa Pram pun kembali lepas ke udara. Disusul Bu Ocha dengan seringai lucunya.
Begitulah Ibu Ocha, walaupun hidup dengan ekonomi yang pas-pasan, wanita ini selalu ceria dan hampir tak pernah menampakan kesulitan hidupnya di hadapan orang lain. Karena itulah sudah enam bulan ini, sejak Bu Ocha menempati kamar kontrakan tepat di sebelah kamar Pram, pasangan beda kelamin dan beda usia ini berteman cukup akrab. Dan keakraban yang terjalin ini selayaknya hubungan antara seorang ibu dan anak.
Setiap kali bersama wanita setengah abad lebih ini, Pram tak pernah merasakan sedih ataupun gundah. Apalagi di saat pekerjaannya cukup menyita stamina, celotehan Bu Ocha ampuh menjadi pengobat lelah.
Tak banyak yang Pram ketahui tentang wanita tua ini. Hanya sekelumit mengenai sosok pribadinya. Bernama asli Rosa dan perantau asal Surabaya. Dia mengaku seorang janda yang ditinggal mati sang suami juga anak semata wayangnya karena kecelakaan lalu lintas beberapa tahun lalu.
Di Jakarta ini Bu Ocha tak mempunyai sanak saudara. Semua kerabatnya ada di Surabaya. Menggunakan keahliannya, Bu Ocha mencari nafkah dengan menjadi seorang tukang pijat panggilan untuk bayi. Tapi sesekali juga menerima jasa bersih-bersih rumah saat job utamanya sedang sepi peminat.
Penghasilannya bisa dikatakan hanya cukup untuk mengganjal perut setiap hari. Malah tak jarang perutnya sama sekali tak terisi apapun dalam satu hari karena tak ada pelanggan yang memakai jasanya hingga berhari-hari.
Karena rasa iba, Pram sering kali mengajak Bu Ocha untuk tinggal bersamanya. Dengan maksud agar Bu Ocha tidak lagi bersusah payah memikirkan biaya kontrakan sebesar 700 ribu setiap bulan. Tapi apa jawaban Bu Ocha sewaktu Pram menawarkan ajakannya?
“Ogah ah, Pram. Ibu takut di enak-enak sama kamu. Walaupun udah tua gini, Ibu kan masih deg-deg ser ngeliat cowok, apalagi yang muda dan cakep kayak kamu. Ibu bisa khilap,” katanya.
Vangke emang ...
Siapa juga yang nafsu sama kerupuk kulit?
Saat itu Pram hanya tertawa menanggapi. Namun lambat laun Pram mulai mengerti sifat Bu Ocha yang memang tak pernah mau merepotkan siapapun, apalagi membebani Pram.
Disamping itu, Bu Ocha pun tahu bagaimana kehidupan ekonomi Pram yang bisa dikatakan sebelas dua belas dengannya. Penghasilan Pram sebagai security sebuah hotel berbintang tak seberapa besar. Bahkan Bu Ocha pun tahu apa saja kebutuhan Pram yang harus dia penuhi. Seperti biaya hidup sehari-hari, bayar kontrakan dan cicilan motor setiap bulan.
Apalagi Pram punya keinginan untuk menikahi seorang gadis yang sudah dipacarinya selama dua tahun ini, bernama Hani. Sudah pasti Pram harus lebih memperketat pengeluarannya.
“Pramugara, kamu udah makan? Kamu keliatan capek banget.” Kali ini nada suara Bu Ocha terdengar penuh perhatian saat menangkap raut Pram yang berbeda dari biasanya setiap pria itu pulang kerja. Lesu dengan sorot bola mata yang layu.
Pram menghela nafas panjang membenarkan dalam hati pengamatan Bu Ocha atas dirinya malam ini. “Pramudya, Mak. Namaku Pramudya, jangan panggil Pramugara terus. Gak enak, nanti disangka orang aku beneran Pramugara. Masa Pramugara tinggal di kontrakan type RS9 (RSNine) begini,” protes Pram lekas.
“Apa tuh RS9 (RSNine)?” tanya Bu Ocha dengan alis bertautan.
Pram menarik nafas sedikit panjang dan dramatis sebelum menjawab. “Rumah Sangat Sederhana Sekali Susah Senang Sama Sama Senasib Sepenanggungan.”
Tawa Bu Ocha pecah seketika dan serta merta martabak yang belum terlumat sempurna muncrat mengenai baju dan celana Pram
Aseeem memang Bu Ocha ini.
Pram menggerutu seraya mengibas-ngibaskan serpihan ‘bom’ martabak dari pakaiannya.
Memang sudah kebiasaan Bu Ocha, memanggil Pram dengan panggilan Pramugara. Pram pastinya selalu protes nama kebanggaannya di ganti dengan sebutan profesi di pesawat terbang itu. Tapi kata Bu Ocha, “Wajah dan postur tubuh Pram lebih cocok jadi pramugara dibanding satpam.”
Alasan yang tak masuk akal dan lebay, pikir Pram.
Dasar emak-emak ganjen!
“Kalo kamu panggil Ibu ‘Mak’ terus, Ibu juga akan panggil kamu Pramugara terus,” syarat Bu Ocha seenaknya sambil melahap lagi potongan martabak ketiga.
Ini orang lapar apa doyan?
Pram hanya mengangguk dan menyerah saja. “Oke, deh. Ibu,” ucapnya dengan menekan kata terakhir.
“Ada masalah di tempat kerja?” Bu Ocha mengulangi lagi pertanyaannya dengan kalimat berbeda.
Pram menggeleng lemah lalu menarik sudut bibirnya sedikit malas lantaran mengingat hari pertamanya yang menyebalkan bersama Cinta.
“Sekarang aku punya tugas baru, Bu. Jadi pengawal pribadi sekaligus driver artis, anaknya boss aku,”
Bu Ocha menegakkan duduknya seraya meletakkan kotak martabaknya ke atas meja, lalu menatap lekat wajah Pram dengan seringai tipis di wajahnya.
“Waaah, keren dong. Artis terkenal? Penyanyi? Atau pemain film? Siapa namanya? Mungkin Ibu kenal? Cantik-cantik begini ‘kan Ibu mantan artis juga, loh.” Pertanyaan Bu Ocha berderet-deret, tapi ujungnya nggak enak didengar, bikin mual.
“Namanya Aura Cinta Anastasia. Setau aku sih pemain sinetron dan bintang iklan, Bu.”
Tampak kelopak mata Bu Ocha terbelalak lebar dengan sorot matanya yang berkilau-kilau. Antara girang, senang dan sok kenal, mungkin.
“Ooo, Aura Cinta Anastasia. Artis sinetron yang judulnya KU MENANG, SIS? Yang panjangnya berjilid-jilid sampe jutaan episode itu? Dari jaman Jahiliyah sampe jaman Nakaliyah nggak kelar-kelar?”
Pram hanya mengangguk seraya tersenyum geli menanggapi pertanyaan Bu Ocha yang seperti Choki-Choki itu. Panjang dan lama.
“Hebat kamu, Pram. Bisa jadi pengawal artis. Siapa tau kamu nanti diajak main sinetron, ya, Pram?” seru Bu Ocha dengan khayalan tingkat nirwananya. Entah meledek atau memang berharap. Tak jelas. Sama dengan isi otaknya.
“Ibu ada-ada aja. Mimpi kali ye?” sergah Pram tak percaya sambil tertawa.
“Kamu nih, Pram. Kok gak pede gitu sih? Nanti ada prosedur yang nawarin ___”
“Produser, Bu,” ralat Pram lekas.
“Nah iya itu, nanti kalo ada Propesor yang nawarin kamu main film gimana?"
Pram menggeleng lagi. 'Udah di ralat masih aja salah. Dasar Ibu ...'
“Ya, aku sih yes. Tapi aku maunya tetep berperan sebagai Satpam, Bu. Biar lebih menghayati.”
“Nah! Cocok.” Bu Ocha menjentikkan jari ke udara. “Judulnya Satpam Yang Tertukar,” serunya dengan wajah antara serius dan semringah.
Kini giliran Pram meledakkan tawa. Lalu beranjak dari tempatnya.
Setelah menyelesaikan gelaknya, Pram menggeliat sejenak meluruskan punggungnya yang penat. “Ngobrol sama Ibu jadi lupa waktu. Aku istirahat dulu, Bu. Ibu juga masuk, ya. Jangan begadang terus, ntar sakit.”
“Iya, sebentar lagi ibu masuk. Selamat bobok, Pramuniaga. Mimpi indah ya.”
Langkah Pram terhenti untuk tergelak lagi saat mendengar panggilan lain dari Bu Ocha untuknya. Profesinya banyak juga ternyata. Tadi Pramugara sekarang Pramuniaga.
“Aku mimpi Hani, Bu. Bukan mimpi Indah. Nama pacarku Hani, bukan si Indah,” gurau Pram sebelum memasuki unit kontrakannya yang bersisian dengan milik Bu Ocha.
Gelak Bu Ocha kembali terdengar membahana, lalu melambaikan tangan pada Pram memberi kode untuknya agar segera masuk. Dan tangannya pun kembali mencomot potongan martabak yang ke sekian. Lalu melahapnya utuh.
Becanda sama Pram bikin laper dan baper, katanya di hati.
Menurut Pramudya, hidup yang enak itu sebenarnya hidup yang pas-pasan. Pas laper pas di depan Warteg. Pas cape pas sampe kamar. Pas kangen eh pas di telepon pacar.Seperti yang dia alami sekarang. Setelah segar dia rasakan selepas membersihkan diri, dan melaksanakan ibadah malam yang nyaris terlewat, saatnya dia merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Tapi sepertinya sang pacar punya kemampuan telepati, tiba-tiba saja Yayang Hani menghubungi.Semringahnya Pram saat melihat id caller bernama “Hani Bunny Ciki Bunny” yang bergambar wajah seorang gadis cantik berambut sebahu memanggilnya lewat aplikasi hijau jutaan umat berinisial WhatsApp.“Assalammualaikum, Hani Bunny,” sapanya lembut setelah dia geser tanda menerima panggilan di layar gawainya.“Waalaikumsalam, Mas Pram. Mas baru pulang?” sambut suara Hani dari seberang. Terdengar riang namun sedikit sendu. Mun
Setelah nyaris satu jam membelah jalan raya di tengah atmosfere malam, Pram mengarahkan kemudi Range Rover putih itu memasuki basement gedung apartement berlogo FX Sudirman. Jarum panjang di arloji Pram tepat berada di angka sepuluh sewaktu Pram meliriknya.Duduk di kursi penumpang, ada Cinta dan sang manajer, Sabrina, yang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Sesekali suara cekikian terdengar dari bibir Sabrina kala mengirimkan pesan untuk Cinta. Di selingi suara decakan sebal dari bibir Cinta saat membalas pesan Sabrina.Kadang kelakuan absurb mereka sangat menggelikan. Masih dalam ruang yang sama, bahkan bahu mereka juga bersentuhan, tapi mereka saling membalas ujaran di ruang chat aplikasi.Biasanya, jika ada dua orang yang merahasiakan obrolan, kemungkinan sedang menggibahi satu orang lain yang tengah bersama mereka. Kemungkinan itu memang benar. Sang artis dan manajernya sedang menggibahi sang driver yang kini
Kata Cinta, papanya sedang menyiksanya melalui Pram yang dipekerjakan sebagai pengawal dan driver pribadinya. Tampaknya itu benar. Lihatlah bagaimana Cinta di jam dua pagi ini masih gagal juga memejamkan kelopak mata. Rasa kantuk sama sekali belum menghampiri dirinya. Padahal tubuhnya itu sudah meronta minta diistirahatkan karena nyaris seharian kemarin dia menjalani padatnya agenda aktifitas keartisannya.Di mulai pagi hari, dia sudah hinggap di lokasi syuting untuk satu acara bersama seorang youtuber ternama, Acca Halilincar. Di siang harinya harus menjalani syuting sinetron strippingnya. Dan di sore hari mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan untuk menghadiri nonton bareng premiere film terbarunya berjudul Alat-Alat Bercinta, dimana dia berperan sebagai seorang mahasiswi yang menjalin hubungan dengan seorang CEO terkaya di dunia yang mengidap kelainan seksual Masokisme.Namun, tetap saja keinginan untuk mengunjungi hiburan malam ke n
Siang ini, sesuai jadwal, Cinta menjalani sesi photoshoot di sebuah studio untuk endorsement sebuah produk parfum ternama dari seorang artis lawas asal negeri Jiran yang beralih profesi sebagai produsen wewangian.Produsen parfum itu menjatuhkan pilihan pada Cinta sebagai icon-nya karena menganggap kepribadian Cinta mewakili karakteristik produknya yang menyasar kalangan level menengah ke atas yang menjunjung kemewahan dan keanggunan.Dan seperti yang terlihat saat ini, produsen parfum itu memang tak salah pilih. Cinta tampak sangat anggun dan glamour setelah penata busana dan penata rias mendandani dirinya bak bidadari.Gadis kurus semampai itu tampak kian memikat dalam balutan maxidress off shoulder warna red elektrik dengan long tail sepanjang dua meter. Menampilkan bahu dan setengah bagian dadanya yang begitu mulus dengan rona kemerahan. Ditambah lagi kaki jenjang beralas stilleto berheel sepuluh senti itu sesekali m
“Gak mau! Gak mau! Gue bisa jalan sendiri!”Cinta menepis kasar tangan Pram sewaktu kedua lengan kokoh itu sudah terjulur siap meraih tubuh gadis itu.Pram yang sudah memposisikan diri untuk mengangkat tubuhnya, menarik diri kembali dan hanya tegak di samping pintu bagian penumpang yang terbuka.“Gak bisa, Cinta. Kamu tuh harus di bopong, lho. Mana bisa kamu jalan sendiri dengan keadaan kaki pincang begitu. Yang ada nanti malah tambah sakit, Cin.” Sabrina ikut membujuk Cinta yang kadar keras kepalanya memang di atas rata-rata.Melihat pergelangan kaki kiri Cinta yang membengkak dan ada warna kebiruan, membuat Sabrina meringis ngilu. Rasa iba terbit di hatinya saat Cinta bersusah payah mengeluarkan tubuhnya sendiri dari dalam mobil sambil mengerang menahan sakit.Tapi sepertinya tidak bagi Pram. Wajahnya datar saja mengamati pergerakan majikannya yang manja
Memang ya, bersama Pram itu bawaannya aman dan nyaman. Bukan karena stigma pekerjaannya saja yang mengharuskan Pram melindungi siapa yang sedang bersamanya. Tapi juga karena aura Pram sebagai laki-laki pelindung sepertinya begitu mendominasi.Begitu yang di rasakan Bu Ocha. Sepanjang perjalanan pulang bersama Pram. Bawaannya pengen nempel terus. Di atas motor pun apalagi, tubuhnya seolah terpatri pada tubuh Pram. Merapat sambil memeluk pinggang Pram erat. Dan sesekali merebahkan kepala di punggung Pram.Namun lucunya, Pram sama sekali tak merasa risih, walaupun Pram tentu merasakan bagaimana Bu Ocha duduk begitu rapat dengannya. Bahkan ketika berhenti di lampu merah, satu mobil sedan berisi gadis-gadis berpakaian putih abu-abu dengan genit menggoda dan meneriakinya ‘berondong dan tantenya’. Pram meresponnya hanya dengan tersenyum lebar. Sementara Bu Ocha makin menggila. Dia makin mengeratkan pelukannya dan mendusel-duselkan pipi
Sudah lebih dari tujuh jam Pram bersama Sabrina mendampingi Cinta menjalankan rutinitas syutingnya di dua lokasi berbeda. Sementara jarum panjang di arloji Pram sudah mengarah di angka lima. Tapi tampaknya tak ada tanda-tanda dari Cinta untuk menyelesaikan syutingnya sore ini.Begitu juga sang sutradara yang duduk di tengah taman bersama seperangkat layar monitor, tampaknya tak ada puasnya memerintahkan para artisnya untuk mengulang satu adegan untuk mendapatkan hasil yang sempurna.Bersama beberapa kru yang mendampingi, sutradara kawakan bernama Rizal Mantavkali itu bergeming dengan konsentrasi penuh memantau adegan-adegan yang diperagakan oleh Cinta berdua dengan lawan mainnya, seorang aktor terkenal asal Negeri Ginseng, Lho Baw Tae.Kembali Pram melirik arlojinya, dengan perasaan hati yang sulit dijelaskan. Pasalnya, malam ini dia harus memenuhi janjinya pada Hani untuk datang menemui kedua orang tua Hani. Karena Pram tak ingin menunda lebih lama lagi untuk s
Malam, walaupun gelap, tapi dirinya bisa menunjukkan bahwa mendung tengah menyelimuti, dan siap memuntahkan air yang sudah bergelayut di balik awan. Terbukti tak tampak bintang di atas sana dan disertai suhu udara yang lambat laun menghangat.Begitu juga dengan Pram. Walaupun wajah tampannya dia kondisikan setenang mungkin, namun aura kesedihan itu tak mampu dia sembunyikan. Tak tampak lukisan semangat dan lesung pipit samar sisa senyuman yang menjadi ciri khasnya. Bu Ocha menangkap jelas aura tak menyenangkan itu.Terlebih lagi melihat Pram memasukkan motornya dengan langkah gontai dan juga keranjang berisi buah yang masih terbungkus rapi teronggok di atas meja tepat disampingnya. Buket buah yang sama yang di bawa Pram ke rumah Hani sore tadi saat Pram berpamitan padanya. Tak perlu banyak interogasi, Bu Ocha sudah bisa menerka bahwa lamaran Pram untuk sang kekasih tak sesuai dengan harapan.Pram kembali menghampiri Bu Ocha, lalu menempatkan dirinya di atas temb
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd