Angga namanya. Lelaki seperempat abad yang bernasib baik, setelah resmi diterima menjadi PNS dan mengabdi di sebuah sekolah menengah atas. Pria berwajah manis plus teduh itu terkenal humoris, juga romantis. Tak segan-segan mengecup manja istrinya di khalayak publik. Itu menunjukkan betapa dia teramat mencintai Inara, wanita yang dua tahun lalu dinikahi.Awalnya hidup keluarga Angga berserta istri baik-baik saja, bahkan banyak yang iri terhadap keharmonisan mereka. Apalagi mertua serta adik ipar Inara begitu menghormati dirinya. Namun, semua berubah, ketika Angga mulai intens berkomunikasi dengan Aina, yakni tetangganya sendiri.Awalnya mereka termasuk orang-orang yang soleh [dalam pandangan manusia, hasil akhir tetap Allah yang menentukan,] tetapi semua itu lenyap dan segala ibadah yang dilakukan hanyalah topeng belaka. Flash back on"Jadi gimana, Ay? Kamu mau kan jadi pacar Mas Angga? Janji deh bakal dibahagiain. Kamu mau apapun boleh, asal tetap bisa menjaga rahasia sampai kapanpu
"Ya, Allah.""Aduuuuh! Amit-amit jabang bayi!""Benarkan, semuanya? Suami saya lagi main gila sama tetangganya?" Vokal Inara terakhir kali didengar dari beragam cibiran yang ada. Ada banyak jantung yang berpacu bagaikan di arena genderang perang.Angga dan Aina melompat saking kagetnya. Terpaksa meninggalkan kehangatan yang sudah dirajut selama beberapa waktu itu. Angga secepat kilat menarik sarung kotak-kotak berwarna biru di sebelahnya, sementara Aina kebingungan sebab yang tersisa di situ hanyalah sebuah lingerie. Percuma juga kalau dia mengenakan itu, bentukan tubuhnya tetaplah tampak. Akhirnya dia hanya berjongkok seraya menenggelamkan kepala."Apa-apaan kalian ini, hah?" teriak salah seorang laki-laki berperut balon. Perawakannya yang tegap, persis bak sumo siap gulat.Inara menjatuhkan dirinya pada beberapa kerumunan orang di belakang. Pura-pura syoklah istilahnya. Inara terkapar tak berdaya. Kepalanya terkulai ke sebelah kanan. Para wanita sibuk mengamankan dia di belakang. M
Mungkin desa mereka akan viral setelah ini. Jangankan sesama kampung, Se Indonesia sekalipun amat mudah dijangkau. Toh, semuanya juga sudah serba online. Tinggal ambil gambar, share, lalu viral. Para ibu-ibu memasukkan anak kecil mereka untuk tidak menyaksikan arak-arakan tanpa busana tersebut, sementara mereka sendiri diam-diam mengekori sambil mencari berita. Setelah perjalanan yang cukup lama sekaligus menarik, pada akhirnya aktivitas itu berhasil dihentikan oleh segerombolan orang yang berhamburan dari masjid. Jarak yang dekat membuat mereka bisa menangkap dengan mata kepala sendiri, juga adanya sorakan-sorakan yang jelas dapat didengar."Astaghfirullahaladzim. Ada apa ini? Ada apa?" Pak Ustadz mengeraskan vokal, tetapi matanya menatap pepohonan. Syurga di depan tak ditoleh sedikit pun."Angga? Aina?" Istri Pak Ustadz juga melakukan hal yang sama."Apa yang sudah terjadi?" tanya warga lain."Iya. Kenapa mereka ditelanjangi begini.""Pantas, Bu! Dua manusia biadap ini sudah membu
"Kalian yang seharusnya pergi dari sini!"Bu Dila melepas pegangan tangan Ruby dan ikut-ikutan menentang Inara. Dia mulai berani, sebab putranya turut ada di sana."Eh, jaga jarak!" Tiba-tiba Pak Sentot bersuara. Menyilangkan kedua tangannya menutupi perut Inara. Maksudnya adalah wanita itu tuan dia. Jadi, jangan mencoba menyakiti."Apa lagi sih si satpam satu ini! Orang miskin kayak kamu nggak pantes ikut campur! Ini urusan keluarga kami. Tugas kamu itu cuma jagain maling." Ruby menyahut dari pojok berlawanan. Tak suka dengan security rumah abangnya yang sok dibutuhkan itu.Pak Sentot menatap jengkel. Bola matanya menyerupai komedi putar. Dia kemudian menarik diri dan kembali ke posisi semula."Kamu sudah berhasil membuat satu keluarga ini malu, Inara! Dan, sekarang kamu juga bukan istri dari putraku lagi. Kau juga bukan menantuku dan bukan pula kakak ipar dari Ruby. Apalagi yang kamu tunggu? Cepat ambil seluruh barang-barangmu dan angkat kaki dari sini!" ujar sang mertua membuat Ina
"Kita mau ke mana?" Suara wanita tertua terdengar.Setelah perdebatan panjang dan cukup menguras emosi, pada akhirnya pihak Angga kalah juga. Mereka tak bisa berkutik atas sertifikat rumah yang telah berganti nama tersebut. Merasa bodoh, rugi, kecewa. Mereka semua tertipu oleh ketenangan Inara selama ini. Perempuan yang dipikir cupu, ternyata setara dengan barisan suhu. Kali ini ia menang. Benar-benar berhasil mengalahkan Angga serta jajarannya melalui cara bawah tanah. Misteri kenapa sertifikat rumah bisa berganti nama gagal terungkap. Inara tutup mulut. Yang pada intinya, sekarang Inara menjadi penguasa dari tiga bangunan yang lumayan besar. Angga tidak tahu untuk apa rumah-rumah itu, sementara sekarang dia hanya tinggal sendiri.Yang tersisa hanyalah dua buah sepeda motor dan satu mobil. Aina dan Ruby menunggangi kendaraan mereka masing-masing dan membuntut di belakang, sementara Angga serta ibunya berada di mobil. Angga mencengkram kemudi dengan hati yang senantiasa memanas. Rasa
Bangunan sederhana akhirnya dilepas. Setelah berkelana cukup jauh meninggalkan desa lamanya, keluarga Angga berhasil juga memeroleh rumah yang lebih dari kata layak. Itu pun tak sekali cari, butuh waktu beberapa jam sampai mereka gosong berjamaah terpapar mentari demi menuruti kemauan Aina. Ia selalu mengancam akan pergi dan memilih hidupnya sendiri, kalau perkataannya tak dituruti. Sejauh ini Bu Dila beserta anak perempuannya lumayan mengalah untuk Aina. Karena rumah itu lumayan cantik, Aina juga memerintahkan suaminya untuk mengontrak langsung 1 tahun saja. Sekali lagi Angga manut, mengingat keutamaan kebahagiaan istrinya tersebut. Mereka menghabiskan uang 10 juta untuk menyewa tempat tersebut. "Nah, beginikan bagus! Rumah ini bahkan lebih cantik daripada rumah kita bertiga yang lama," puji Aina sambil memutar tubuhnya ke hamparan ruangan kosong melompong tersebut."Oh, ya. Kita harus membeli barang-barang lain. Lebih baik kita pergi sekarang aja, sebelum malam," saran Angga."Ya,
Angga baru saja memasuki rumah dalam keadaan acak adul. Seragam mengajarnya keluar dari celana. Kera lehernya terangkat, persis seperti pakaian ala-ala drakula. Matanya memerah disertai dengus napas banter. Angga terseok-seok, lalu membanting tasnya ke lantai, sampai mendarat di bawah kaki seseorang."Mas, kenapa sudah pulang? Aku bahkan belum pergi ke kampus." Ruby mendapati Angga menyandarkan badan pada tembok rumah. Sejenak memejamkan netra. Angga menoleh ke arah adik bungsu, lalu bertanya, "Ke mana Ibu dan Aina?" "Di kamar masing-masing." "Panggil!" titahnya.Mungkin saat ini Ruby merasa aneh dengan seruan tersebut, kemudian tentang abangnya yang pulang sebelum jam kerja usai. Bahkan, ini masih pukul sepuluh."Kok cepet banget, Angga?" Kali ini vokal Bu Dila yang terdengar.Aina menyusul dari belakang. Pelan-pelan menepis jarak dengan keluarga suaminya."Kenapa, Mas? Kamu kenapa?" Feeling seorang istri jarang meleset."Duduk dulu!" perintahnya.Bulu kuduknya meremang. Secara b
"Mana uangnya, Mas?""Mas. Mana uangnya?"Sibuk bukan main. Kalimat itu sudah seribu kali diulang. Tak ubah seperti kaset rusak. Sebuah permintaan yang mengandung paksaan.Aina takut sisa uang dipegang oleh Angga, lalu dibagikan kepada Ibu serta adik kandungnya. Itu adalah sebuah kebenaran, karena Aina sendiri yang mengungkap kecemasannya beberapa hari lalu. Jadilah ia mengekori Angga ke manapun pergi. Bahkan, saat suaminya buang hajat di kamar mandi sekalipun, ia berusaha untuk mengetuk pintu sambil meneruskan permintaannya tersebut.Ini adalah puncak permohonan itu terjadi. Mumpung tak ada siapapun di rumah, tentu Aina lebih bebas mengekspresikan diri.Ia meringkuk di sudut ranjang Jepara seharga 18 juta tersebut. Tak bergerak sedari tadi. Pekerjaan rumah belum ada yang beres, termasuk sarapan pagi sekalipun. Angga berulang kali bertanya di mana kemeja hitamnya juga gagal memeroleh sahutan. Aina menjelma patung tunduk kepala. "Aina!"Bentakan tersebut keluar enteng dari bibir Angga