Rupanya permintaan Aina tentang liburan selama 3 hari di Bali adalah bohong. Faktanya mereka justru berada di sana sampai 1 minggu lamanya. Pekerjaan Angga terbengkalai. Sengaja Inara mencari tahu dan ternyata pria itu izin kepada kepala sekolah dengan mengatakan bahwa dirinya telah kehilangan saudara di kampung dan akan terus mendekam di sana hingga acara 7 harian. Lagi pula, dia diupah oleh negara. Kerja tidak kerja honor tetap masuk, walaupun jatuhnya seperti memakan gaji buta. Tidak ada tanda-tanda kepergian mereka, kalau dilihat dari sosial media. Tidak ada yang berani mengunggah foto apapun. Palingan cuma Aina yang terkadang mengupload gambar barang belanjaan, pemandangan pepohonan ataupun tangan laki-laki. Yang pada intinya mereka benar-benar membungkusnya serapat mungkin.Malam ini Angga pulang tanpa kabar. Mukanya kusam terbakar terik mentari di pulau Bali. Angga memasuki rumah tanpa salam dan langsung membongkar seisi ransel dan dimasukkan ke mesin cuci. "Selamat datang, Bi
Angga namanya. Lelaki seperempat abad yang bernasib baik, setelah resmi diterima menjadi PNS dan mengabdi di sebuah sekolah menengah atas. Pria berwajah manis plus teduh itu terkenal humoris, juga romantis. Tak segan-segan mengecup manja istrinya di khalayak publik. Itu menunjukkan betapa dia teramat mencintai Inara, wanita yang dua tahun lalu dinikahi.Awalnya hidup keluarga Angga berserta istri baik-baik saja, bahkan banyak yang iri terhadap keharmonisan mereka. Apalagi mertua serta adik ipar Inara begitu menghormati dirinya. Namun, semua berubah, ketika Angga mulai intens berkomunikasi dengan Aina, yakni tetangganya sendiri.Awalnya mereka termasuk orang-orang yang soleh [dalam pandangan manusia, hasil akhir tetap Allah yang menentukan,] tetapi semua itu lenyap dan segala ibadah yang dilakukan hanyalah topeng belaka. Flash back on"Jadi gimana, Ay? Kamu mau kan jadi pacar Mas Angga? Janji deh bakal dibahagiain. Kamu mau apapun boleh, asal tetap bisa menjaga rahasia sampai kapanpu
"Ya, Allah.""Aduuuuh! Amit-amit jabang bayi!""Benarkan, semuanya? Suami saya lagi main gila sama tetangganya?" Vokal Inara terakhir kali didengar dari beragam cibiran yang ada. Ada banyak jantung yang berpacu bagaikan di arena genderang perang.Angga dan Aina melompat saking kagetnya. Terpaksa meninggalkan kehangatan yang sudah dirajut selama beberapa waktu itu. Angga secepat kilat menarik sarung kotak-kotak berwarna biru di sebelahnya, sementara Aina kebingungan sebab yang tersisa di situ hanyalah sebuah lingerie. Percuma juga kalau dia mengenakan itu, bentukan tubuhnya tetaplah tampak. Akhirnya dia hanya berjongkok seraya menenggelamkan kepala."Apa-apaan kalian ini, hah?" teriak salah seorang laki-laki berperut balon. Perawakannya yang tegap, persis bak sumo siap gulat.Inara menjatuhkan dirinya pada beberapa kerumunan orang di belakang. Pura-pura syoklah istilahnya. Inara terkapar tak berdaya. Kepalanya terkulai ke sebelah kanan. Para wanita sibuk mengamankan dia di belakang. M
Mungkin desa mereka akan viral setelah ini. Jangankan sesama kampung, Se Indonesia sekalipun amat mudah dijangkau. Toh, semuanya juga sudah serba online. Tinggal ambil gambar, share, lalu viral. Para ibu-ibu memasukkan anak kecil mereka untuk tidak menyaksikan arak-arakan tanpa busana tersebut, sementara mereka sendiri diam-diam mengekori sambil mencari berita. Setelah perjalanan yang cukup lama sekaligus menarik, pada akhirnya aktivitas itu berhasil dihentikan oleh segerombolan orang yang berhamburan dari masjid. Jarak yang dekat membuat mereka bisa menangkap dengan mata kepala sendiri, juga adanya sorakan-sorakan yang jelas dapat didengar."Astaghfirullahaladzim. Ada apa ini? Ada apa?" Pak Ustadz mengeraskan vokal, tetapi matanya menatap pepohonan. Syurga di depan tak ditoleh sedikit pun."Angga? Aina?" Istri Pak Ustadz juga melakukan hal yang sama."Apa yang sudah terjadi?" tanya warga lain."Iya. Kenapa mereka ditelanjangi begini.""Pantas, Bu! Dua manusia biadap ini sudah membu
"Kalian yang seharusnya pergi dari sini!"Bu Dila melepas pegangan tangan Ruby dan ikut-ikutan menentang Inara. Dia mulai berani, sebab putranya turut ada di sana."Eh, jaga jarak!" Tiba-tiba Pak Sentot bersuara. Menyilangkan kedua tangannya menutupi perut Inara. Maksudnya adalah wanita itu tuan dia. Jadi, jangan mencoba menyakiti."Apa lagi sih si satpam satu ini! Orang miskin kayak kamu nggak pantes ikut campur! Ini urusan keluarga kami. Tugas kamu itu cuma jagain maling." Ruby menyahut dari pojok berlawanan. Tak suka dengan security rumah abangnya yang sok dibutuhkan itu.Pak Sentot menatap jengkel. Bola matanya menyerupai komedi putar. Dia kemudian menarik diri dan kembali ke posisi semula."Kamu sudah berhasil membuat satu keluarga ini malu, Inara! Dan, sekarang kamu juga bukan istri dari putraku lagi. Kau juga bukan menantuku dan bukan pula kakak ipar dari Ruby. Apalagi yang kamu tunggu? Cepat ambil seluruh barang-barangmu dan angkat kaki dari sini!" ujar sang mertua membuat Ina
"Kita mau ke mana?" Suara wanita tertua terdengar.Setelah perdebatan panjang dan cukup menguras emosi, pada akhirnya pihak Angga kalah juga. Mereka tak bisa berkutik atas sertifikat rumah yang telah berganti nama tersebut. Merasa bodoh, rugi, kecewa. Mereka semua tertipu oleh ketenangan Inara selama ini. Perempuan yang dipikir cupu, ternyata setara dengan barisan suhu. Kali ini ia menang. Benar-benar berhasil mengalahkan Angga serta jajarannya melalui cara bawah tanah. Misteri kenapa sertifikat rumah bisa berganti nama gagal terungkap. Inara tutup mulut. Yang pada intinya, sekarang Inara menjadi penguasa dari tiga bangunan yang lumayan besar. Angga tidak tahu untuk apa rumah-rumah itu, sementara sekarang dia hanya tinggal sendiri.Yang tersisa hanyalah dua buah sepeda motor dan satu mobil. Aina dan Ruby menunggangi kendaraan mereka masing-masing dan membuntut di belakang, sementara Angga serta ibunya berada di mobil. Angga mencengkram kemudi dengan hati yang senantiasa memanas. Rasa
Bangunan sederhana akhirnya dilepas. Setelah berkelana cukup jauh meninggalkan desa lamanya, keluarga Angga berhasil juga memeroleh rumah yang lebih dari kata layak. Itu pun tak sekali cari, butuh waktu beberapa jam sampai mereka gosong berjamaah terpapar mentari demi menuruti kemauan Aina. Ia selalu mengancam akan pergi dan memilih hidupnya sendiri, kalau perkataannya tak dituruti. Sejauh ini Bu Dila beserta anak perempuannya lumayan mengalah untuk Aina. Karena rumah itu lumayan cantik, Aina juga memerintahkan suaminya untuk mengontrak langsung 1 tahun saja. Sekali lagi Angga manut, mengingat keutamaan kebahagiaan istrinya tersebut. Mereka menghabiskan uang 10 juta untuk menyewa tempat tersebut. "Nah, beginikan bagus! Rumah ini bahkan lebih cantik daripada rumah kita bertiga yang lama," puji Aina sambil memutar tubuhnya ke hamparan ruangan kosong melompong tersebut."Oh, ya. Kita harus membeli barang-barang lain. Lebih baik kita pergi sekarang aja, sebelum malam," saran Angga."Ya,
Angga baru saja memasuki rumah dalam keadaan acak adul. Seragam mengajarnya keluar dari celana. Kera lehernya terangkat, persis seperti pakaian ala-ala drakula. Matanya memerah disertai dengus napas banter. Angga terseok-seok, lalu membanting tasnya ke lantai, sampai mendarat di bawah kaki seseorang."Mas, kenapa sudah pulang? Aku bahkan belum pergi ke kampus." Ruby mendapati Angga menyandarkan badan pada tembok rumah. Sejenak memejamkan netra. Angga menoleh ke arah adik bungsu, lalu bertanya, "Ke mana Ibu dan Aina?" "Di kamar masing-masing." "Panggil!" titahnya.Mungkin saat ini Ruby merasa aneh dengan seruan tersebut, kemudian tentang abangnya yang pulang sebelum jam kerja usai. Bahkan, ini masih pukul sepuluh."Kok cepet banget, Angga?" Kali ini vokal Bu Dila yang terdengar.Aina menyusul dari belakang. Pelan-pelan menepis jarak dengan keluarga suaminya."Kenapa, Mas? Kamu kenapa?" Feeling seorang istri jarang meleset."Duduk dulu!" perintahnya.Bulu kuduknya meremang. Secara b
Pagi ini Angga tidak jadi membuat bakso kuah terbaru karena buku resepnya hilang. Namun, dia masih terus berusaha mencari, kali saja dia salah letak atau entah bagaimana, yang jelas dia masih berharap supaya buku itu lekas ketemu.Berbeda dari kemarin, hari ini bahkan sampai Angga sudah duduk stay di warung depan rumahnya, Ayu tak kunjung datang. Sayangnya Angga tidak mempunyai kontak wanita tersebut. Jadi, dia tak bisa menghubungi."Ke mana Ayu? Tumben lama nggak seperti kemarin," batinnya.Dia pun membereskan warung seorang diri. Mulai dari menata bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat bakso serta mengilap mangkuk-mangkuk supaya lebih kinclong.Anehnya, hingga siang menjelang, Ayu tak kunjung menampakkan batang hidung. Angga sampai berpikir kalau perempuan itu sedang sakit sehingga dia tidak bisa untuk bekerja di hari itu. Angga memaklumi. Dia berjanji akan meminta kontak Ayu setelah perempuan itu masuk nantinya. ***Sayangnya, Apa yang Anda pikirkan tidak sejalan dengan kenya
"Tahu apa, Rin?" Angga membidik wajah lawan bicaranya yang tampak serius.Rina mendekatkan tubuhnya sampai memangkas jarak antar mereka. Angga yang risih sedikit mundur, tetapi Rina malah menariknya. Telinga Angga didekatkan pada bibir Rina."Ternyata orang tuanya Ayu juga sama-sama pedagang bakso kayak kamu, Mas," bisiknya perlahan-lahan.Leher Angga sampai memendek, karena kepalanya tersentak. Dia menjauhi Rina dengan mata yang terbelah lebar."Ah, yang bener kamu? Tadi aja dia bilang, kalau ibu bapaknya seorang petani dan memiliki kebun di desa.""Beneran Mas, aku nggak bohong. Makanya dari awal aku udah curiga sama si Ayu. Kayaknya dia menginginkan sesuatu dari kamu, deh."Saat obrolan mereka belum selesai dan Rina belum menjelaskan lebih lanjut, tiba-tiba saja orang yang diceritakan datang dan langsung mendorong Rina, hingga dia mundur agak jauhan.BRUGH!"Apa maksud kamu, Rin? Kenapa kamu malah ngomong kayak begitu sama Mas Angga? Tahu apa kamu tentang orang tuaku? Orang tuaku u
Panas siang hari ini sepertinya berhasil turun dan mendekam di hati Rina. Perkataan Ayu bagai petir di siang bolong yang menyambar sekujur raganya tanpa ampun.Ayu berucap sedemikian rupa dengan entengnya sambil tersenyum lebar. Sementara Angga di sebelahnya hanya terdiam."A- apa? K- kerja d- di sini?" Rina mengulang ucapan wanita di depannya tersebut."Apa kurang jelas lagi? Mulai besok aku bakal kerja di warung ini. Mas Angga juga udah izinin, kok."Tidak tahu kenapa Rina seakan terganggu oleh Ayu sejak pertemuan mereka kemarin. Dan, saat mengetahui kebenaran ini, perasaannya semakin tak menentu. Ekspresi Rina langsung berubah kecut. Dia memandang Angga dengan penuh beban."Sini, Mas!"Rina cepat-cepat menarik tangan Angga ke sudut warung, agak jauh dari keramaian dan Ayu. Dia akan membuat perhitungan kepada pria tersebut."Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu mengizinkan Ayu bekerja di sini, Mas?" tanyanya, suara penuh kekhawatiran.Sementara itu Rina sempat melirik Ayu yang melipat kedu
Hujan mengguyur kota dengan lebatnya pada malam itu. Lampu-lampu padam satu per satu, menyisakan gelap yang pekat menutupi sudut-sudut kota. Di rumah Angga, seorang pedagang bakso, situasi tidak berbeda. Hanya suara gemericik hujan dan sesekali kilat yang menyinari jendela yang menjadi sumber cahaya.Ketukan di pintu depan membuat ia semakin was-was saja. Angga, yang sudah bersiap tidur, terkejut dan bingung. Siapa yang mungkin datang di tengah malam dan dalam cuaca buruk seperti ini?Dengan hati-hati, ia mendekati pintu, membuka kuncinya pelan-pelan. Angga sudah bersiap, jika yang ada di depan pintunya tersebut adalah orang jahat, maupun makhluk tak kasat mata.Pintu pun akhirnya terbuka dan cahaya senter menyilaukan matanya sejenak.Tring!"Mas Angga, maaf mengganggu!"Degh!Suara lembut itu terdengar. Ketika mata Angga menyesuaikan dengan cahaya."Aman," pikirnya lega. Ia membuka matanya selebar mungkin.Terlihatlah Rina, guru SD yang dikenalnya, berdiri basah kuyup sambil membawa
Angga selaku pemilik warung bakso yang ramah dan populer di kalangan penduduk setempat saat ini benar-benar bingung harus memilih makanan yang mana Di samping dia tidak bisa menerima semuanya karena tidak akan muat di perutnya.Sayangnya, Angga juga tidak tega menolak salah satu diantara mereka. Angga menghargai pemberian Ayu dan Rina terhadapnya. "Biar aku bukain langsung, Mas!" tutur Rina Yang Tak sabar menanti keputusan Angga. Dia langsung meletakkan rantang di atas meja dan membongkar wadah tersebut satu persatu."Ah, aku juga!" ujar Ayu yang ternyata masih tidak mau kalah.Kedua perempuan itu berlomba-lomba membuka rantang mereka masing-masing di hadapan Angga. Membuat pria satu itu semakin kewalahan. Dia sedang diperebutkan atau bagaimana?Rina, guru SD yang bertanggung jawab dan penyayang itu ternyata membawa nasi goreng homemade, sementara Ayu yang kabarnya hanya mengikut orang tua dan tidak mempunyai pekerjaan membawa salad buah segar dan tomyam. Semua makanan yang disuguhk
Dalam cuaca yang diselimuti oleh kegelapan, warung bakso Angga masih ramai dengan suara para pembeli yang datang dan pergi. Lampu yang tergantung rendah di warung itu menambah kehangatan suasana di malam yang sejuk ini. Angga, seorang penjual bakso yang dikenal dengan keramahan dan kejujurannya, sibuk melayani setiap pembeli dengan senyuman lebar."Mas, aku tiga bungkus, ya!""Aku satu mangkuk aja makan di sini, Mas!""Mas, saya dulu, dong! Kasihan anak di rumah sudah kelaparan."Cicitan cicitan para pembeli semakin menguar. Angga merasa senang, meski satu sisi dia kelimpungan."Iya, sabar ya semuanya."Saat sedang mengaduk bakso di dalam panci besar, tiba-tiba seorang anak kecil berlari mendekat ke warungnya. Anak itu, dengan napas yang tersengal, mengulurkan sebuah kotak kecil kepada Angga. Terkejut, Angga menurunkan sendok besar dan menerima kotak tersebut."Untuk om," kata si anak kecil dengan senyum yang manis. Jemari mungilnya terulur memanjang."Eh?"Angga menghentikan aktivita
Degh!Angga yang sedang sibuk melayani pembeli di warung baksonya lantas tunggang langgang menghampiri Rina yang telah dihakimi oleh sosok tak dikenal. Nyaris saja Angga terpelanting ke tanah, karena tersandung oleh kakinya sendiri. Dia ingin cepat-cepat sampai di depan sana demi mempertanyakan Apa yang terjadi.Ia melihat seorang ibu-ibu berkaos ungu yang baru saja turun dari motornya dan tampak sangat marah entah sebab apa sambil menuding-nuding Rina. Angga belum bisa mendengar percakapan mereka sepenuhnya. Dia harus lebih cepat sampai ke sana.Tanpa berpikir panjang, Angga bergegas menyelamatkan situasi. Ia meninggalkan warung baksonya dan berlari menghampiri mereka. "Maaf Bu, kenapa ibu malah marah-marahi teman saya? Ada apa ini? Mungkin kita bisa bicarain dengan tenang," titah Angga mencoba meredakan suasana.Namun, ibu itu tak kunjung reda dan terus memarahi Rina, "Kamu ini guru atau apa, tega sekali memarahi anak saya!"Rina dengan nada cemas menjawab, "Maaf Bu, saya enggak pe
Matahari sudah lama terbenam ketika Angga perlahan membuka matanya, kebingungan menyelimutinya saat dia mencoba memahami di mana dia berada. Kepalanya berdenyut dan sinar lampu yang temaram di ruangan itu tidak membantu. Sambil mencoba mengumpulkan kekuatannya, dia menoleh dan terkejut melihat sosok yang duduk dengan tenang di sisi tempat tidurnya."Mas Angga, kamu sudah sadar?" Rina bertanya dengan suara yang penuh kelegaan. Wajah cantiknya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam."Rina?" Angga berkata dengan suara serak, masih mencoba memproses apa yang terjadi. "Ada di mana kita?""Kita di rumah sakit, Mas. Tadi aku mau beli bakso, tapi pas aku mengetuk pintu rumahmu, tidak ada yang menjawab. Aku minta maaf karena sudah lancang masuk rumah kamu tanpa izin, tapi , aku melihat Mas pingsan," jelas Rina dengan detail, matanya tidak lepas dari wajah Angga.Angga berusaha mengingat kejadian sebelumnya, "Aduh, iya. Aku memang merasa pusing banget. Tapi aku nggak menyangka bakalan pingsan.
Beberapa bulan berlalu, lelaki bernama Angga itu kini telah memiliki rumah sendiri dan warung bakso yang berdiri di depan kediamannya. Dia berhasil mengatur hidupnya menjadi insan yang jauh lebih baik. Angga juga masih berusaha untuk menghindari perempuan. Dia masih trauma kejadian bersama Lala dulu terulang kembali. Lagi pula, Angga juga sudah bolak-balik menikah. Angga takut pernikahannya akan gagal lagi dan gagal lagi.Dia tinggal sendiri. Memasak dagangannya seorang diri pula. Sesekali Angga sakit, tetapi dia masih bisa menahan semuanya. Angga lebih bahagia sekarang, meski tak siapapun yang dapat diajak bicara. Terkadang Angga sampai mengobrol dengan tembok mati di kamarnya. Warung bakso Angga selalu dipenuhi pembeli, dari pagi hingga malam, tak pernah sepi. Dia selalu menjaga kualitas dan keramahan dirinya sendiri selaku sang empunya dagang.Suasana hari itu pun tidak berbeda, warungnya penuh sesak dengan pembeli yang antri untuk menikmati bakso buatannya.Di tengah kesibukan it