Mahesa bersedih. Ia menangis. Hatinya hancur saat mengetahui istrinya itu telah dilecehkan oleh salah satu ajudan terbaiknya."Saya nggak becus jadi suami!"Mahesa yang merasa sakit hati akhirnya menaruh dendam pada Ikhsan. Bahkan kini ia berniat membalas semua sakit hatinya.Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Mahesa pun yakin bisa memberi pelajaran pada Ikhsan. Sebuah rencana yang matang pun telah disiapkannya."Farraz, kamu harus backup saya! Kalau nanti dia melawan, kamu habisi dia saja. Kamu mau kan?" tanya Mahesa. Farraz pun terkejut."Mana mungkin aku membunuh Ikhsan?" batin Farraz.Farraz tidak pernah membayangkan jika harus membunuh sahabatnya sendiri. Mentalnya tidak seberani itu. Ia pun memberi saran jika Ben saja yang melakukannya."Panggil Ben!"Farraz pun kembali ke tempat para ajudan itu berkumpul. Ia langsung mengajak Ben untuk segera menemui atasan mereka.Sesampainya di salah satu ruang di rumah dinas Mahesa itu sang jenderal memerintahkan agar Ben melakukan penembaka
Rasa penyesalan Ben tidak bisa berubah keadaan. Ikhsan tidak akan pernah kembali lagi. Ben pun sudah dicap sebagai pembunuh. Noda hitam yang akan terus ada dalam kehidupannya.Semuanya tidak pernah mau tahu, apa yang menyebabkan seorang Benyamin Joshua tega menghujamkan peluru panas ke tubuh sahabatnya sendiri. Namun, jika mereka ada di posisi Ben, akankah mereka bisa menolak? Ataukah akan melakukan hal yang sama seperti yang telah Ben lakukan? Ben memilih diam. Mengikuti semua skenario dari sang jenderal."Aku sudah membunuh Ikhsan. Maafkan aku, Bang. Maafkan aku ...." lirihnya.Farraz dan Kavi menjalankan tugasnya. Membersihkan seluruh ruangan. Semua barang yang mungkin bisa dijadikan bukti yang akan memberatkan.Termasuk beberapa barang yang digunakan untuk melenyapkan nyawa Ikhsan."Gimana?""Semua sudah beres, Pak," jawab Farraz. Mahesa pun memuji kerja salah satu ADC terlamanya."Good!"Mahesa pun mulai menjalankan skenario demi skenario yang akan dijalaninya untuk membantu aju
Ruang rahasia itu kembali mendapatkan tamu. Tamu istimewa yang diberikan khusus oleh sang jenderal. Darah masih terus mengalir deras dari bagian kepala yang sudah bocor.Morry -- asisten dan ajudan rahasia kepercayaan Jenderal Mahesa itu akhirnya kembali mendapatkan tugas. Tugas yang biasa ia lakukan. Hanya Morry yang dipercaya dan mampu melakukannya."Hanya orang bermental baja, yang sanggup melaksanakan apa yang saya perintahkan!" ucap sang jenderal kala pertama kali memerintahkan Morry.Morry bukanlah seorang abdi negara. Ia hanya rakyat biasa yang dididik keras dan memiliki jiwa kejam layaknya seorang psikopat.FlashbackMalam itu Mahesa berada di sebuah daerah terpencil di Brebes. Tempatnya bertugas. Sebuah kejahatan terjadi. Satu keluarga mati terbunuh. Gery Anarki. Anak lelaki berusia 13 tahun yang ditemukan di lokasi. Dia adalah satu-satunya korban selamat dari tragedi sadis itu."Saya akan angkat anak dia. Saya akan bawa dia ke Jakarta. Biar dia bisa melanjutkan masa depan
Fero hanya bisa menangis. Mendekap erat ketiga adiknya yang masih kecil. Di depan mata mereka sang ayah ditembak. Di rumah mereka sendiri darah itu mengalir deras. Darah seorang pahlawan keluarga.Morry yang dengan kekejamannya langsung menyeret tubuh Harimurti yang telah menjadi mayat itu keluar rumah. Lantai rumah itu menjadi saksi bisu kejamnya seorang Morry.Berada di teras rumah, tubuh sang jenderal dilempar ke dalam sebuah kotak yang sudah ia siapkan. Karena ukuran kotak yang ternyata lebih kecil, Morry pun memaksanya, menekuk kaki sang jenderal.Fero dari balik jendela kamarnya hanya bisa menangis. Menjerit melihat kekejaman Morry. Tidak ada yang berani menolong saat itu. Bahkan para ajudannya pun hanya bisa diam saat mereka sadar dan mendapatkan ancaman Morry."Pak, maafkan kami. Kami gagal menjaga bapak ...."Morry pun langsung pergi meninggalkan rumah sang jenderal. Di saat itulah, Fero dan Veronica serta anak Harimurti lainnya turun ke lantai bawah dan menjerit histeris.
Morry memang diterima dengan baik oleh keluarga Mahesa. Ia juga sangat dekat dengan anak-anak Mahesa dsn Indhira. Walau tidak setiap saat bertemu, Morry selalu menjadi saudara yang menyenangkan."Mor, coba kamu hubungi bapak ya. Kita makan malam bersama di sini aja. Suruh bawa seluruh ajudan ya, Mor!" suruh Indhira."Baik, Ibu.""Bu, coba dicicipi dulu. Mana tahu ada rasa yang belum pas," tutur Morry.Indhira pun langsung menyicipi Coto Makassar yang sudah terhidang di meja makan."Gimana?""Perfect!"Morry pun bahagia. Ia senang akhirnya ada yang memuji masakannya. Morry pun langsung menghubungi Mahesa agar membawa serta seluruh ajudan dan ART yang ada di rumah dinasnya.[Pak, Morry disuruh ibu untuk mengabari bapak untuk makan malam di rumah. Sekalian bawa seluruh ART dan para ADC di rumah dinas, Pak!][Masakan istimewa? Baiklah Morry. Sebentar lagi kami meluncur. Thank you, Morry!]Setelah mematikan teleponnya, Morry pun menyiapkan makan malam dan menyusun beberapa piring tambahan
Mahesa terlalu pintar untuk seorang Zac. ADC Mahesa itu mengira dengan pergi jauh dari ibukota membuatnya bisa lepas dan selamat dari jeratan sang jenderal. Tapi, sayangnya tidak. Mahesa malam itu sudah mengetahui lewat CCTV yang ada disekitar taman jika Zac telah mendengar percakapannya dengan Morry. Mahesa memang membiarkan Zac merasa 'selamat' dulu, hingga di waktu yang tepat ia akan menyuruh Morry mengeksekusinya.Setelah menikmati sejenak ketenangannya bersama keluarga besarnya di kampung, Zac pun mencoba mencari pekerjaan lain di kota Makassar. "Mas, kamu yakin nggak mau kembali ke Jakarta? Melanjutkan karirmu, Mas?" tanya sang istri. Walau tidak menjelaskan secara rinci penyebab keputusannya keluar dari instansi yang sangat dicintainya itu, Zac pun menyiratkan akan bahaya besar jika ia kembali."Aku tahu apa yang harus kulakukan, Rim! Tugas kamu sekarang jaga anak-anak dengan baik. Besok aku berangkat setelah subuh. Jika terjadi sesuatu padaku. Tetap diam. Jangan pernah men
Hari ini keluarga Mahesa dan para ajudan serta asisten rumah tangga kembali makan besar. Banyak makanan enak dan mewah tersaji di meja makan. "Pak, Bu, sering-sering aja gini, kita jadi makan enak terus," celetuk Zacky, salah satu ajudan baru Mahesa."Iya. Yuk, makan yang banyak sampai kenyang," ujar Mahesa tersenyum. Senyum khas yang mempunyai banyak makna.Mereka pun menikmati banyak makanan. Termasuk rendang daging, bakso dan tak ketinggalan menu favorit keluarga Mahesa, Coto Makassar."Wah, nikmat banget ya. Siapa yang masak ini, Bu?" tanya Zacky."Semua makanan enak ini yang masak Morry," jawab Indhira tersenyum. Tanpa mereka sadari, jika menu daging yang tersaji itu adalah daging sesama ajudan yang menghilang tanpa jejak."Wah, kalau ada Zac, dia makan banyak nih. Dia kan paling suka rendang. Eh ya, ke mana ya dia? Kenapa lama banget pulang kampungnya?" celetuk Leon."Iya ya. Aku hubungi nomornya juga nggak aktif. Ke mana ya?" timpal Romero.Sesama ajudan pun timbul sebuah per
Himawan Prasetya, seorang anggota kepolisian yang menjadi senior Mahesa. Keduanya pernah menjadi sahabat yang sangat dekat. Namun, suatu peristiwa telah mengubah semuanya.Himawan kini menjadi musuh yang menakutkan bagi seorang Mahesa. Demi membalas dendamnya, ia rela berjibaku dengan maut. Memanfaatkan Indhira -- istri Mahesa sendiri demi membalaskan semua sakit hatinya.Rencana pun sudah berjalan dengan lancar. Ikhsan telah terbunuh di tangan komandannya sendiri. Ikhsan hanya terjebak di antara pusara permusuhan dua jenderal."Dendamku masih ada. Tidak akan ada kata maaf. Nyawa harus dibayar dengan nyawa ...." batin Himawan.Apa yang sebenarnya yang melatarbelakangi permusuhan dua sahabat itu?Hari itu Himawan dan Mahesa baru saja kembali dari tugas mereka di Kalimantan. Sebuah kasus besar baru saja ditangani. Himawan dan Mahesa pun mendapat promosi jabatan.Namun, kelicikan Mahesa akhirnya membawa Himawan pada kemerosotan karirnya. Bukan hanya itu, ia harus kehilangan wanita yang s
Wiranata kembali mencari jalan keluar untuk mengejar Baskara yang sudah membawa Balqis. Ibu kandungnya. Melalui Himawan, rahasia itu akhirnya dibuka kembali. Himawan yang juga kawan lama Pak Harry dan Namira yang dikenal Wira sebagai orangtua kandungnya.Di sebuah cafe malam itu Himawan akhirnya memutuskan memberitahu soal rahasia ini. Agar Wiranata tidak lagi salah melangkah ke depannya. Sudah waktunya bagi Himawan membuka misteri ini."Wira, orangtua kandungmu sebenarnya masih hidup. Dia ada di sekitarmu. Selalu memperhatikan perkembangan kamu sejak dulu," tutur Himawan membuka percakapan."Apa maksud anda?" tanya Wira yang syok. Ia pun tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Himawan."Ya, namanya Balqis Soraya. Dia adalah sahabat baik Namira dan Harry. Sahabatku juga. Ceritanya panjang, sampai akhirnya dia menitipkan kamu dengan Harry dan Namira. Yang jelas, itu dilakukannya demi menyelenggarakan nyawamu!" tegas Him."Menyelamatkan nyawa saya?" tanya Wira. Kali ini ia lebih be
Baskara pun terdesak. Kini ia dikelilingi para polisi yang pistolnya telah tertuju padanya. Dalam hitungan detik, mungkin peluru-peluru itu telah tembus ke dadanya."Lepaskan dia!" teriak Wiranata."Diam! Jangan ada yang bergerak. Jika ingin wanita ini selamat, biarkan aku pergi. Aku tidak mau dipenjara. Jika kalian nekat, perempuan tua ini akan mati!" hardik Baskara. Pria itu menodongkan pistolnya tepat di kepalanya.Wiranata pun tidak mau mengambil resiko. Ia pun meminta anak buahnya itu menjatuhkan senjatanya. Wira pun memberi jalan pada Baskara untuk meninggalkan tempat itu. "Komandan, kenapa kita lepaskan dia? Padahal kita sudah kerja keras untuk mencari keberadaannya?" ujar Leon. Anak buah Wira yang juga ikut menangani kasus pembunuhan Ikhsan."Jika wanita itu ibumu, apa kau akan tetap bersikap seperti ini Leon? Apa kau tidak ingin menyelamatkan nyawa ibumu?" tutur Wira lirih.Leon tertundukBaskoro yang selama ini tertawan akhirnya berhasil dievakuasi. Tubuhnya yang sudah rent
Balqis berjalan perlahan meninggalkan pemakaman itu. Hatinya sudah tidak sanggup lagi berdekatan dengan Wiranata. Anak yang sudah sangat dirindukannya itu.Memasuki mobilnya, Balqis pun langsung meminta supirnya itu segera meninggalkan area pemakaman dan. pulang ke rumah megah itu. Rumah yang sudah belasan tahun ia tinggalkan.Akhirnya, rumah ini ia jejaki kembali. Ada rasa cemas,takut. Trauma itu malah melekat erat di ingatannya. Entah apa yang terjadi, ia berharap bayangan itu tidak lagi muncul di benaknya."Rumah ini masih seperti yang dulu. Apa aku harus tinggal di sini lagi?" ucap Balqis. Rasanya masih berat ia langkahkan kakinya memasuki pintu utama."Selamat datang kembali, Nyonya. Senang bisa melihat anda kembali." Sashihara, asisten kepercayaan Baskoro itu akhirnya muncul. Menyambut kedatangannya."Terimakasih, Sashi. Apa kabarmu?" tanya balik Balqis."Seperti yang nyonya lihat. Saya masih sehat dan baik-baik saja. Oh ya, saya sudah siapkan hidangan makan malam yang lezat bua
POV BALQIS Malam itu perempuan berusia 27 tahun itu berlari ditengah hujan yang deras. Petir saling bersahutan. Tubuhnya telah basah, ia pun mulai menggigil kedinginan. Namun, satu tujuannya. Ia harus menyelamatkan anak yang baru dilahirkannya."Ya Allah, tolong hamba. Selamatkan hamba dan anak hamba dari perbuatan jahat mereka ...." ucap Balqis lirih.Balqis Soraya. Wanita yang telah dipersunting sepupunya sendiri itu baru saja melahirkan dalam hitungan jam. Namun, ia harus menguatkan dirinya demi menyelamatkan sang putra yang akan dibunuh oleh suaminya sendiri."Anakku laki-laki lagi? Gila! Aku butuh anak perempuan!" hardik Baskoro, suami Balqis yang dikenal sebagai mafia yang sangat ditakuti."Sudah 3 anak dan semuanya laki-laki. Aku ingin anak perempuan, Balqis! Ah, kau ini hanya bawa sial dalam hidupku. Lebih baik kuhabisi saja nyawa kalian!!!" hardiknya.Balqis yang baru melahirkan, bahkan tenaganya yang sudah terkuras banyak pun belum pulih. Tidak ada makanan yang masuk, tapi
"Ingat baik-baik ya, Nak. Balaskan dendam kematian orangtuamu dan adikmu. Nyawa harus dibayar dengan nyawa ...."Pesan itu masih terngiang jelas dibenak Wiranata. Nyonya Miranti sebelum kematiannya menitipkan sebuah pesan. Pesan mendalam itu ditinggalkannya karena hatinya yang belum ikhlas atas kematian anak mantu dan cucunya."Tapi apa yang harus kulakukan, Nek?" tanya Wiranata. Saat itu usianya baru menginjak 20 tahunan. Wira pun bingung harus berbuat apa. Tidak ada sanak keluarga yang akan membantunya. Hanya nenek lah satu-satunya keluarganya yang tersisa dan sedang dalam kondisi kritis.Namun, itu beberapa tahun silam. Berkat kegigihannya, kerja kerasnya. Ia berhasil masuk ke instansi tempat si pembunuh itu bekerja. Ya, pembunuh itu adalah seorang penegak hukum, sama seperti kedua orangtuanya.Beberapa tahun lalu, pihak kepolisian berhasil mengungkap penyebab kematian kedua orangtuanya. Awalnya diduga kecelakaan, tapi nyatanya bukan kecelakaan murni. Ada sabotase di sana. Hingga
Perjalanan ini mulai mendekati titik akhir. Setelah menjalani proses persidangan yang panjang. Berbelit-belit dan penuh intrik drama, akhirnya hari ini jadi titik akhir perjalanan panjang itu. Hari ini sidang keputusan final atas kasus kematian Ikhsan. Para terdakwa akan diputus hari ini. Apakah bisa terbebas ataukah harus menjalani hukuman sesuai perbuatan mereka."Gimana, Jos, sudah siap?" tanya Martin, pengacaranya saat bertemu di ruang tunggu. "Saya pasrah om. Semoga hasilnya tidak memberatkan saya," jawab Joshua.Satu persatu memasuki ruang sidang. Giliran pertama adalah pembacaan keputusan untuk Mahesa. Si tokoh utama yang juga menjerat banyak anggota instansinya karena ikut terlibat menutupi kasus yang tengah berjalan." .... menjatuhi saudara Danantya Mahesa dengan hukuman MATI ...."Suara riuh yang ada di ruang persidangan pun membuat ricuh. Hingga palu hakim harus terdengar agar suasana tetap aman terkendali.Bukan hanya keluarga korban yang saat itu ikut hadir yang sangat
Satu persatu aib kejahatannya di masalalu mulai terbongkar. Mahesa pun kesulitan untuk membantahnya. Bahkan Himawan sudah mempunyai semua bukti yang bahkan tidak diduganya sama sekali."Saudara Mahesa, apa keterangan saksi ada yang salah? Salah semua atau benar semua?" tanya hakim Iman. Hakim ketua itu beberapa kali mulai menekan Mahesa dengan pertanyaan yang sulit dijawabnya."Ada yang salah yang mulia," jawab Mahesa. Him pun tertawa kecil mendengar jawaban Mahesa itu."Saya tidak pernah menerima suap seperti yang dikatakan saksi. Semuanya tidak benar dan saya juga tidak tahu darimana saksi mendapatkan semua bukti itu!" ucap Mahesa lantang."Anda yakin dengan jawaban anda saudara Mahesa?" tanya hakim Morgan."Yakin yang mulia."Para hakim itupun kembali saling pandang. Sungguh tidak masuk diakal mereka, bukti yang semua sudah jelas di depan mata masih sanggup dibantahnya."Baiklah. Nanti biar kami yang akan menilai. Apakah saudara Mahesa yang berbohong atau saksi. Ada yang mau bertan
Wajah Mahesa tiba-tiba memerah padam. Entah darimana tim Joshua mengetahui keberadaannya. Apa mungkin, ini kerja Wiranata???Indhira menatap ke arah Himawan. Ia panik, takut, cemas, jika semua aib-aibnya akan terbongkar. Apalagi jika Mahesa tahu kalau ia pernah bekerjasama dengan Himawan untuk menghancurkannya.Wajah Kivan dan Farraz pun sama-sama menatap wajah Himawan. Pria mantan rival sekaligus mantan sahabat Mahesa itu dikenal sangat tegas dan lantang untuk membela kebenaran dan membasmi semua hal tentang kejahatan. "Bisa habis aku sama Pak Him?" batin Farraz.Para saksi pun dipersiapkan. Dihadirkan di muka persidangan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Himawan ingin tampil lebih dulu dan berbicara dengan Mahesa di muka persidangan."Baiklah, silakan, kami beri waktu anda 10 menit," ucap hakim Morgan."Terimakasih yang mulia."Himawan pun mengambil mic-nya. Belum saja Himawan berbicara, sejak tadi Mahesa terlihat beberapa kali duduk tidak tenang."Halo, Tuan Mahesa. Lama kita tida
Suara keributan kembali terjadi. Joshua dan Farraz tetap dengan jawabannya masing-masing. Joshua bahkan berani mengucapkan sesuatu yang tidak pernah dia ungkapkan sebelumnya."Pak hakim, saya jadi curiga. Jangan-jangan Farraz juga ikut terlihat dalam kematian Bang Ikhsan. Karena saya pernah melihat mereka bertengkar. Dia bahkan mengancam akan bilang sama bapak!" ungkap Joshua.Semua mata terbelalak. Begitupun tim pengacaranya. Hakim, jaksa hingga Farraz yang langsung emosi dan menantang Joshua bertengkar kali itu. Ia meradang karena jawaban Joshua dapat memberatkan hukumannya."Joshua, jangan kurang ajar kamu!!!" hardiknya. Farraz bahkan sempat menarik tangan Joshua, hingga akhirnya beberapa anggota kepolisian memisahkan mereka."Kalian tenang! Saudara Farraz, kamu bersikap tenang jika tidak maka bisa memberatkan hukumanmu!" tegas YM hakim Iman."Baik, yang mulia."Sidang kembali dilanjutkan. Banyak pertanyaan yang akhirnya membuat Farraz tersudutkan. Ia mulai merasa tegang, wajahnya