Fero hanya bisa menangis. Mendekap erat ketiga adiknya yang masih kecil. Di depan mata mereka sang ayah ditembak. Di rumah mereka sendiri darah itu mengalir deras. Darah seorang pahlawan keluarga.Morry yang dengan kekejamannya langsung menyeret tubuh Harimurti yang telah menjadi mayat itu keluar rumah. Lantai rumah itu menjadi saksi bisu kejamnya seorang Morry.Berada di teras rumah, tubuh sang jenderal dilempar ke dalam sebuah kotak yang sudah ia siapkan. Karena ukuran kotak yang ternyata lebih kecil, Morry pun memaksanya, menekuk kaki sang jenderal.Fero dari balik jendela kamarnya hanya bisa menangis. Menjerit melihat kekejaman Morry. Tidak ada yang berani menolong saat itu. Bahkan para ajudannya pun hanya bisa diam saat mereka sadar dan mendapatkan ancaman Morry."Pak, maafkan kami. Kami gagal menjaga bapak ...."Morry pun langsung pergi meninggalkan rumah sang jenderal. Di saat itulah, Fero dan Veronica serta anak Harimurti lainnya turun ke lantai bawah dan menjerit histeris.
Morry memang diterima dengan baik oleh keluarga Mahesa. Ia juga sangat dekat dengan anak-anak Mahesa dsn Indhira. Walau tidak setiap saat bertemu, Morry selalu menjadi saudara yang menyenangkan."Mor, coba kamu hubungi bapak ya. Kita makan malam bersama di sini aja. Suruh bawa seluruh ajudan ya, Mor!" suruh Indhira."Baik, Ibu.""Bu, coba dicicipi dulu. Mana tahu ada rasa yang belum pas," tutur Morry.Indhira pun langsung menyicipi Coto Makassar yang sudah terhidang di meja makan."Gimana?""Perfect!"Morry pun bahagia. Ia senang akhirnya ada yang memuji masakannya. Morry pun langsung menghubungi Mahesa agar membawa serta seluruh ajudan dan ART yang ada di rumah dinasnya.[Pak, Morry disuruh ibu untuk mengabari bapak untuk makan malam di rumah. Sekalian bawa seluruh ART dan para ADC di rumah dinas, Pak!][Masakan istimewa? Baiklah Morry. Sebentar lagi kami meluncur. Thank you, Morry!]Setelah mematikan teleponnya, Morry pun menyiapkan makan malam dan menyusun beberapa piring tambahan
Mahesa terlalu pintar untuk seorang Zac. ADC Mahesa itu mengira dengan pergi jauh dari ibukota membuatnya bisa lepas dan selamat dari jeratan sang jenderal. Tapi, sayangnya tidak. Mahesa malam itu sudah mengetahui lewat CCTV yang ada disekitar taman jika Zac telah mendengar percakapannya dengan Morry. Mahesa memang membiarkan Zac merasa 'selamat' dulu, hingga di waktu yang tepat ia akan menyuruh Morry mengeksekusinya.Setelah menikmati sejenak ketenangannya bersama keluarga besarnya di kampung, Zac pun mencoba mencari pekerjaan lain di kota Makassar. "Mas, kamu yakin nggak mau kembali ke Jakarta? Melanjutkan karirmu, Mas?" tanya sang istri. Walau tidak menjelaskan secara rinci penyebab keputusannya keluar dari instansi yang sangat dicintainya itu, Zac pun menyiratkan akan bahaya besar jika ia kembali."Aku tahu apa yang harus kulakukan, Rim! Tugas kamu sekarang jaga anak-anak dengan baik. Besok aku berangkat setelah subuh. Jika terjadi sesuatu padaku. Tetap diam. Jangan pernah men
Hari ini keluarga Mahesa dan para ajudan serta asisten rumah tangga kembali makan besar. Banyak makanan enak dan mewah tersaji di meja makan. "Pak, Bu, sering-sering aja gini, kita jadi makan enak terus," celetuk Zacky, salah satu ajudan baru Mahesa."Iya. Yuk, makan yang banyak sampai kenyang," ujar Mahesa tersenyum. Senyum khas yang mempunyai banyak makna.Mereka pun menikmati banyak makanan. Termasuk rendang daging, bakso dan tak ketinggalan menu favorit keluarga Mahesa, Coto Makassar."Wah, nikmat banget ya. Siapa yang masak ini, Bu?" tanya Zacky."Semua makanan enak ini yang masak Morry," jawab Indhira tersenyum. Tanpa mereka sadari, jika menu daging yang tersaji itu adalah daging sesama ajudan yang menghilang tanpa jejak."Wah, kalau ada Zac, dia makan banyak nih. Dia kan paling suka rendang. Eh ya, ke mana ya dia? Kenapa lama banget pulang kampungnya?" celetuk Leon."Iya ya. Aku hubungi nomornya juga nggak aktif. Ke mana ya?" timpal Romero.Sesama ajudan pun timbul sebuah per
Himawan Prasetya, seorang anggota kepolisian yang menjadi senior Mahesa. Keduanya pernah menjadi sahabat yang sangat dekat. Namun, suatu peristiwa telah mengubah semuanya.Himawan kini menjadi musuh yang menakutkan bagi seorang Mahesa. Demi membalas dendamnya, ia rela berjibaku dengan maut. Memanfaatkan Indhira -- istri Mahesa sendiri demi membalaskan semua sakit hatinya.Rencana pun sudah berjalan dengan lancar. Ikhsan telah terbunuh di tangan komandannya sendiri. Ikhsan hanya terjebak di antara pusara permusuhan dua jenderal."Dendamku masih ada. Tidak akan ada kata maaf. Nyawa harus dibayar dengan nyawa ...." batin Himawan.Apa yang sebenarnya yang melatarbelakangi permusuhan dua sahabat itu?Hari itu Himawan dan Mahesa baru saja kembali dari tugas mereka di Kalimantan. Sebuah kasus besar baru saja ditangani. Himawan dan Mahesa pun mendapat promosi jabatan.Namun, kelicikan Mahesa akhirnya membawa Himawan pada kemerosotan karirnya. Bukan hanya itu, ia harus kehilangan wanita yang s
Himawan kini mulai menjalankan balas dendamnya. Cukup sudah baginya diam. Di saat Mahesa tengah menghadapi kasus besar atas kematian sang ajudan, Himawan pun mendapatkan kesempatan emas. "Senang Mahesa, akhirnya Tuhan bisa mempertemukan kita kembali," ucap Himawan saat pertama kali berjumpa. Mahesa pun hanya tersenyum kecut."Apa mau dia?" batin Mahesa."Mau apa kau ke sini?" tanya Mahesa."Waw! Kamu masih saja arogan? Mahesa, Mahesa, ternyata kamu nggak pernah bisa berubah!" ujar Himawan. Ia pun tertawa terbahak-bahak.Mahesa pun geram. Mulai muak dengan tingkah mantan komandannya itu. Terlebih ia kini menyadari jika Himawan tergabung dalam tim khusus yang dibentuk untuk mengungkap kematian Ikhsan."Sial! Kenapa sekarang dia pindah ke sini lagi? Dan kenapa dia bisa terlibat di timsus ini? Siapa yang sudah memanggil dia kembali?" batin Mahesa.Mahesa pun saling tatap dengan musuh besarnya itu. Ia pun memilih diam dan hanya mendengarkan ocehan mangan komandannya itu."Mahesa, apa yang
Mahesa bukanlah manusia yang suci. Walau menjadi seorang yang taat menjalankan ibadahnya, ia tetaplah manusia. Dunia hitam pun juga dijalaninya.Demi memuluskan semua jalan karirnya, Mahesa pun mendatangi sebuah dukun terkenal di sebuah desa terpencil di Kalimantan. Di sanalah tinggal seorang penguasa.Nyai Ageng -- wanita berusia 55 tahun itu nampak masih segar dan awet muda bagi siapapun yang melihatnya. Namun, aslinya saat malam hari, ia bisa berubah wujud menjadi makhluk yang menyeramkan.Lewat seorang kenalannya yang juga pemakai jasa Nyai Ageng, Mahesa pun meminta bantuan Nyai untuk memuluskan karirnya. Malam itu, ia datang bersama Morry. Satu-satunya orang yang dipercayanya menyimpan semua rahasia gelapnya."Nyai, tolong saya. Saya ...." ucap Mahesa. Belum usai Mahesa berbicara, Nyai Ageng pun sudah tertawa. Tawanya yang menyeramkan itu membuat Mahesa dan Morry mulai merinding. Ditambah suasana rumah Nyai Ageng yang memiliki aroma mistis yang kental."Aku sudah tahu maksud ked
Morry pun mulai melakukan tugasnya kembali. Menghujamkan sebuah belati tepat ke jantung korbannya. Darah pun mengalir dengan derasnya. Morry langsung mengeksekusi Ferry dengan membelah dan mengambil isi dalam organ tubuh sang ajudan."Ferry, maafkan saya ...."Morry sudah sangat lama bekerja dengan Mahesa. Membunuh para musuhnya. Dan memutilasi kemudian dagingnya dibuat makanan untuk santapan satu keluarga. Tapi, kali ini hatinya bermain.Morry yang telah kehilangan kedua orang tuanya dengan cara sadis pun merasa iba. Bagaimana nasib anak Ferry? Dia harus menjadi anak yatim piatu dan itu semua karena ulahnya."Ferry, maafkan saya. Saya janji, akan menyayangi anak kamu. Saya juga akan bertanggungjawab sama dia sampai dia dewasa nanti," ucap Morry terisak ketika usai eksekusi berlangsung.Tugas Morry belum selesai. Ditangannya telah ada beberapa jenis pisau untuk kembali memotong bagian tubuh korbannya itu agar bisa lebih kecil. Hingga kini bagian dagingnya telah siapa diolah. Entah ap