Share

Part 4

last update Last Updated: 2021-08-10 13:15:57

Pekerjaan yang menumpuk membuatku sedikit lupa akan masalah di rumah. Ayu sendiri sudah diantar ke tempat kerjanya. Kami memang tidak satu kantor. Dia anak dari sahabat Mama yang pernah mau dijodohkannya denganku, tapi batal. Ayu lebih memilih pria lain yang pada akhirnya malah mencampakkan setelah merebut mahkotanya.

"Sibuk?"

Aku mendongak. Athony menumpukan dagunya di pembatas meja kerja.

"Lumayan. Ada apa?" tanyaku sembari tetap fokus menatap layar komputer.

"Aku dengar kamu menikah lagi. Beneran?"

Gerakan tanganku yang sedang mengetik seketika terhenti, lalu menghela napas berat. Menatap Anthony dengan raut tidak suka.

"Dari mana kamu tahu itu?"

Anthony berdecak dengan senyuman miringnya. "Satu kantor juga sudah pada tahu kali. Mau kamu sembunyikan gimana juga, tetap saja gosip itu cepat menyebar."

Aku mengusap wajah dengan kasar, lalu duduk bersandar dengan kepala menengadah.

"Semuanya di luar kemauanku, Ton," desahku.

"Cih, itu, sih, hanya alasan klasik kamu saja," cibirnya dengan kekehan kecil. "Selama kamu bisa tegas, kamu pasti bisa menghindari pernikahan kedua ini, Mal. Tapi kenyataanya apa? Dengan teganya kamu malah mengkhianati Karin."

"Kamu tidak memahami posisiku. Aku terpojok, Ton. Kamu tahu sendiri, 'kan, mamaku itu orang yang seperti apa?" kataku sembari menegakkan kembali posisi duduk. "Dulu aku pernah menentangnya demi mendapat restu untuk menikahi Karin. Tapi sekarang, saat Mama dan Papa menuntut kehadiran cucu, aku nggak bisa berkutik lagi, Ton. Aku—"

"Pecundang," potongnya yang langsung membuatku menatap tajam.

"Maksud kamu apa?" tukasku kesal. "Aku cuma berusaha berbakti pada orangtua, tapi kamu bilang aku pecundang?"

"Malik, Malik." Anthony tertawa sembari menggeleng. "Kamu itu sudah bukan anak kecil lagi. Niat kamu berbakti sama orangtua memang patut diacungi jempol. Tapi bukan berarti semua yang terjadi dalam hidup kita itu ada dalam kendali mereka. Paham?" Anthony menatapku dengan satu alisnya terangkat naik.

"Hidupmu, ya, hidupmu. Kamu yang lebih berhak untuk menentukan pilihan. Orangtua itu cuma sebatas menasehati atau memberi masukan. Harusnya kamu itu bisa tegas! Tidak semuanya kata-kata orangtua itu harus dituruti, Malik! Ada saatnya kamu harus bisa mengambil sikap!"

"Sudahlah diam! Jangan sok bijak! Aku tahu apa yang kulakukan. Semua pasti akan baik-baik saja. Kamu tahu sendiri, 'kan, Karin wanita seperti apa? Dia pasti bisa menerima kehadiran Ayu dengan ikhlas," debatku dengan dada mulai bergemuruh karena terpancing emosi atas kata-kata Anthony barusan.

Jauh di dalam sudut hati, aku setuju dengan apa yang dikatakannya barusan. Memang seharusnya aku bisa tegas. Ada saatnya harus bisa mengambil sikap tanpa menuruti kemauan Mama. Namun, mau bagaimana lagi? Semua sudah terlanjur.

Lagipula, jika Ayu benar-benar berhasil mengandung darah dagingku, Karin juga akan ikut senang, 'kan? Tanpa dia harus bersusah payah hamil, kami sudah bisa memiliki seorang anak. Anak Ayu akan menjadi anak Karin juga. Sudah pasti dia tidak akan keberatan. Hanya saja, untuk saat ini Karin memang masih syok. Aku bisa mengerti itu.

"Justru karena Karin sebaik itu aku tidak tega! Kamu keterlaluan, Malik. Benar-benar jahat!" Anthony memandangku dengan tatapan tajamnya. "Kamu tega menyakiti wanita sebaik Karin. Kurang apa, sih, dia? Masalah anak? Itu bukan kemauan dia! Tuhan menciptakan otak itu untuk berpikir, Malik! Harusnya kamu bisa berpikir jernih sebelum mengambil sebuah keputusan!"

"Kenapa kamu jadi sewot begitu? Ini urusan rumah tanggaku. Cukup beri nasihat, tapi bukan berarti kamu bisa berbicara seenaknya!" hardikku dengan kening berkerut dalam.

"Karena aku tidak rela Karin kamu sakiti seperti itu!" Anthony menggebrak pembatas meja hingga karyawan lain ikut menoleh. Wajahnya memerah dengan rahang mengatup keras. "Kamu tahu perasaanku padanya, 'kan? Dulu, aku mengalah dan memilih mundur karena dia juga mencintaimu. Aku percayakan Karin padamu karena kamu juga begitu mencintainya, Malik. Kamu berjanji akan selalu membahagiakannya. Tapi sekarang apa? Kamu malah menduakannya dengan wanita yang tidak ada seujung kukunya pun pantas dibandingkan dengan Karin!" cecarnya dengan mata yang mulai terlihat berembun.

Aku menelan ludah. Apa yang dikatakan Anthony memang benar. Dulu, kami berdua pernah bersaing untuk mendapatkan hati Karin. Namun, pada akhirnya akulah yang menang.

Aku tahu seperti apa perasaan Anthony padanya. Dia lebih dulu bertemu Karin dan jatuh cinta. Sayangnya, nasib baik tidak berpihak padanya. Bahkan, bukan di masa lalu saja. Aku tahu kalau sampai sekarang Anthony masih menyimpan perasaan itu untuk istriku.

"Kamu pikir, aku tidak tahu bagaimana perlakuan mamamu pada Karin, hm? Kamu dan keluargamu itu sama-sama gila! Tega menyakiti anak yatim piatu seperti Karin sampai sedemikian rupa."

"Cukup!" Aku menggebrak meja, lalu berdiri. Menatap Anthony dengan dada bergemuruh hebat dan wajah yang terasa panas. "Jangan sebut aku atau keluargaku gila! Kamu yang gila, Anthony! Karin sudah menjadi istriku, tapi kamu masih menyimpan perasaan untuknya! Kamu pikir aku tidak tahu itu, huh?" hardikku dengan napas memburu dan jantung yang berdetak kencang. Kedua tangan mengepal kuat di atas meja dengan rahang yang mengatup keras.

"Setidaknya, aku lebih tahu cara menempatkan diri! Mencintai dalam diam bukanlah sesuatu yang salah! Aku masih lebih baik daripada kamu, suami berengsek yang tega menyakitinya."

Hampir saja aku keluar meja untuk menghajarnya, jika tidak mendengar teriakan seseorang.

"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut di kantor?" Pak Rudi—Manager HRD—datang menghampiri kami. "Masalah pribadi itu jangan dibawa ke kantor! Mengganggu karyawan lain saja. Kalian berdua mau saya pecat?"

Aku dan Anthony masih saling melempar tatapan tajam dalam diam.

"Cepat kembali bekerja sebelum saya mengambil tindakan!" perintah Pak Rudi dengan lantang.

"Kamu akan menyesal, Malik. Kamu akan menyesal sampai ke ubun-ubun suatu hari nanti. Camkan kata-kataku ini! Berdosa kalian mendzalimi anak yatim piatu seperti itu. Kalian akan mendapatkan balasannya kontan!" desis Anthony sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan mejaku.

Pak Rudi hanya menggeleng, lalu kembali ke ruangannya.

Aku membuang napas kasar, lalu terduduk lemas. Menunduk sembari menopang kepala dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja. Kata-kata Anthony tadi cukup membuatku takut.

Bagaimana jika yang dikatakannya benar? Bagaimana jika Karin memilih menyerah dan pergi dari hidupku?

Tidak, tidak! Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi! Selamanya Karin akan tetap menjadi milikku apa pun yang terjadi!

🌸🌸🌸

Sedari tadi aku sudah mencoba menghubungi nomor Karin, tapi tidak ada jawaban. Pesan yang dikirimkan pun tak kunjung dibacanya. Teringat kondisinya yang sedang demam membuatku semakin khawatir. Aku sudah mencoba meminta izin pulang cepat, tapi tidak diizinkan.

Apa Karin baik-baik saja? Kenapa dia tidak membalas satu pun pesan dariku?

Setelah menjemput Ayu di tempat kerjanya, kupacu mobil dengan cepat menuju rumah. Aku turun tergesa-gesa tanpa mempedulikan Ayu yang mengoceh sambil berteriak memanggilku karena tak dibukakan pintu mobil.

"Karin mana, Ma?" tanyaku ketika sudah berdiri di depan Mama dan Papa yang sedang menonton televisi.

"Ada, tuh, di kamarnya. Lagi semedi mungkin. Selesai dengan pekerjaan rumah, dia tidak pernah keluar-keluar lagi. Cek saja sendiri. Siapa tahu sudah tidak ada nyawanya," jawab Mama cuek.

"Ma!" tegurku seraya menatap tak percaya atas apa yang diucapkannya.

Mama hanya mengerling malas, lalu kembali fokus menatap televisi.

"Sudah. Jangan diambil hati ucapan mamamu! Seperti tidak tahu sifatnya saja," timpal Papa.

"Tapi Mama keterlaluan! Mama tidak pantas mendoakan Karin seperti itu, Pah!" debatku dengan dada bergemuruh.

"Mama, 'kan, hanya menduga, bukan mendoakan! Bagaimana, sih, kamu ini?" Mama mendelik tajam.

"Mas! Kok, aku ditinggal di mobil, sih? Kenapa tidak dibukakan pintunya coba?" teriak Ayu yang menyusul masuk.

"Kamu punya tangan dan kaki, 'kan? Pakai sesekali, jangan hanya dianggurin!" sentakku tatapan tajam, kemudian pergi meninggalkannya yang melongo terkejut karena mendengar jawaban itu. Emosiku atas ucapan Mama tadi berimbas pada Ayu juga.

Benar-benar keterlaluan! Bagaimana bisa Mama tega mendoakan Karin seperti itu?

Aku melangkah cepat menaiki tangga bahkan sesekali berlari kecil agar cepat sampai. Dengan sedikit kasar, pintu kamar Karin berhasil dibuka lebar-lebar.

"Karin!" panggilku, tapi tidak ada sahutan.

Ranjang terlihat kosong, begitu juga kamar mandi. Ponsel Karin pun tergeletak begitu saja di atas meja rias.

Ke mana dia? Apa jangan-jangan Karin pergi?

Dengan perasaan takut, segera kubuka lemari pakaian kami. Aku menghela napas lega saat melihat semua pakaiannya masih tertata rapi.

Apa Karin pergi keluar tanpa memberitahu Mama?

Pandangan mataku tertuju pada pintu balkon yang terbuka sedikit. Mungkinkah Karin duduk di sana? Tapi kenapa dia tidak menyahut?

Bergegas aku ke sana. Namun, belum sempat meraih handle pintu kaca balkon, mata ini seketika membelalak lebar mendapati Karin tergolek di lantai di samping ranjang.

"Karin!"

Aku berlari cepat mendekatinya. Berjongkok lalu meraih kepalanya ke pangkuan. Panas!

"Karin! Hey, buka matamu, Sayang! Kamu kenapa?" kataku panik sembari menepuk-nepuk pipinya pelan.

Jangankan menjawab, matanya pun enggan terbuka. Karin tergolek lemas tak berdaya di pangkuan.

Tanpa pikir panjang lagi, aku segera membopong tubuhnya, lalu berlari keluar kamar. Mengabaikan serbuan pertanyaan dari Mama dan Ayu yang melihatku melewati mereka sambil membopong Karin.

Aku mendudukkan Karin dengan hati-hati di jok depan dan memasangkan seat beltnya. Setelah itu, aku berlari cepat mengitari depan mobil, lalu duduk di balik kemudi. Menancap gas tanpa mempedulikan Ayu yang berteriak-teriak sambil mengejar mobil ini.

"Bertahanlah, Sayang. Kita akan segera sampai di rumah sakit," ucapku dengan perasaan tak karuan. Satu tanganku yang bebas kemudi, bergerak meraih tangannya yang terkulai lemas. Menggenggam sambil sesekali meremas lembut jemari lentiknya.

Aku sudah pulang, Karin. Kumohon ... bukalah matamu sedikit saja. Jangan membuatku takut!

Karin ....

★★★

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
jgn sampai saat ini Karin hamil ... suami / klrg macam Malik TDK pantas utk diberi keturunan ...
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
semoga aja karingk kenapa Napa ya
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga othoer mematikan ibunya Malik atas doanya yg mendoakan Karin smg berimbas dia yg mati kalau boleh kecelakaan biar gak jd ribet
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 5

    Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam."Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru s

    Last Updated : 2021-08-10
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 6

    Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah."Hati-hati," ucapku saat membantunya turun."Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"Karin tersenyum dan mengangguk.Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.Ke mana semua orang?Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun

    Last Updated : 2021-08-13
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 7

    Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak

    Last Updated : 2021-08-14
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 8

    Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad

    Last Updated : 2021-08-15
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 9

    Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."

    Last Updated : 2021-08-16
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 10

    Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.

    Last Updated : 2021-08-17
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 11

    Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.Apa Karin lupa?Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.

    Last Updated : 2021-08-18
  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 12

    Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Meliuk-liuk menghindari kendaraan lain yang menghalangi jalan. Rasa sakit di buku-buku tangan tak kupedulikan. Itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit dan kecewaku terhadap Karin."Aarrgh!" Aku menggebrak stir mobil berkali-kali penuh emosi.Rasanya aku ingin menyiksa dan membunuh pria sialan itu andai tidak ada hukum. Wanita yang begitu kucintai ternyata diam-diam menyimpan bangkai. Pantas saja dia tidak keberatan saat kami tinggal. Ternyata Karin punya niat lain."Aaargh! Berengsek!" umpatku sembari terus menggebrak stir. "Mati saja kalian berdua! Mati! Berani-beraninya berbuat kotor di kamarku! Kurang ajar!"Aku menambah kecepatan saat mobil mulai memasuki jalanan yang cukup lebar dan lengang. Mengabaikan klakson kendaraan lain yang kesal karena aksi ugal-ugalan ini. Ponsel berdering berkali-kali. Melihat siapa yang m

    Last Updated : 2021-08-20

Latest chapter

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 78

    Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 77

    POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 76

    POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 75

    "Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 74

    POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 73

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 72

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 71

    "Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w

  • MENYESAL MENDUAKANMU   Part 70

    Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status