Share

Part 3

last update Last Updated: 2021-08-10 12:47:51

"Karin ...."

"Aku mohon, Mas. Pergilah."

Aku terdiam sembari mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes, dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Tak ingin membuatnya semakin terluka, aku pun bangkit.

Namun, belum sempat turun dari ranjang, suara gedoran di pintu mengejutkan kami berdua. Aku menoleh pada Karin. Dia tersenyum.

"Ayu mencarimu, Mas," lirihnya. "Pergilah. Jangan membuatnya semakin marah!" Karij kembali mengubah posisi tidurnya membelakangiku.

Aku menghela napas berat, mengusap wajah dengan kasar, lalu turun dari ranjang. Gedoran di pintu diiringi teriakan suara cempreng Ayu membuatku menggeram kesal.

Tidak bisakah dia pengertian sedikit? Aku perlu merayu Karin. Perlu memenangkan kembali hatinya yang sedang terluka. Bagaimanapun juga, aku tidak rela jika harus kehilangannya.

Susah payah dulu aku memperjuangkannya untuk menjadi pendamping hidup. Tidak mudah bisa menjadikan Karin yang yatim piatu bisa diterima oleh Mama. Status sosial selalu diutamakan. Tak jarang jika Mama sedang marah, dia sering melontarkan kata-kata yang kasar dan pedas, juga mengungkit masa lalu Karin.

Anak buangan.

Anak haram.

Hati ini selalu ikut teriris perih mendengar hinaan itu. Namun, seberapa kuat pun aku berusaha membelanya, Mama selalu berhasil membuat mulut ini bungkam. Menjadikanku seorang pecundang karena tak bisa melindungi dan menjaga hati wanita yang kucinta.

Karin memang sejak bayi tinggal di panti asuhan. Dia tak tahu siapa orangtua atau pun kerabatnya. Karin ditemukan dalam box bayi di depan panti. Aku sudah berjanji akan mengukir sejuta kebahagiaan saat dia menerima lamaranku. Namun, kenyataannya janji itu harus kunodai dengan pengkhianatan.

"Ada apa, sih, tengah malam teriak-teriak begitu? Bisa, 'kan, kamu bicara lebih pelan sedikit?" geramku saat pintu sudah terbuka.

"Mas sendiri yang sudah buat aku marah. Kenapa Mas ada di kamar ini? Pasti Karin, 'kan, yang sengaja menggodamu, Mas?" tudingnya sengit.

"Jaga bicaramu! Karin tidak melakukan itu. Aku yang sengaja datang ke kamarnya," bantahku sembari mendorong tubuhnya yang ingin memaksa masuk.

"Karin! Keluar kamu, Karin! Jangan bersembunyi di bawah selimut! Aku tahu kamu tidak rela atas pernikahan kami, 'kan? Berhenti berpura-pura jadi orang yang paling terluka!"

"Ayu, cukup!" bentakku sampai membuatnya terlonjak kaget. "Jangan pancing kemarahanku dengan ulahmu ini!" tegasku sembari menutup pintu kamar Karin.

"Mas bentak aku?" Ayu menatapku dengan kening berkerut dalam. "Mas tega berteriak padaku hanya untuk membela Karin. Aku juga sekarang istrimu, Mas. Kamu tidak boleh pilih kasih," lirihnya mulai terisak.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Merengkuh tubuh Ayu ke dalam pelukkan.

"Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Sudah. Jangan menangis lagi!" bujukku sembari mengusap-usap kepalanya.

"Apa pelayanan yang kuberikan masih kurang, Mas? Apa aku tidak sebanding dengan istri pertamamu itu?"

"Jangan berkata seperti itu, Ayu! Tidak baik. Sekarang, kalian berdua sama pentingnya untukku. Kumohon ... mengertilah sedikit. Karin juga istriku. Saat ini dia sedang terluka. Wajar jika aku ingin menghiburnya."

"Tapi, Masβ€”"

"Ssstt, sudah. Jangan mendebatku lagi!"

"Ada apa ini?"

Aku menoleh, lalu mengurai pelukan saat melihat Mama. Mama berjalan mendekat sembari mengucek matanya.

"Tidak ada apa-apa, Ma," jawabku dengan senyuman tipis.

"Bohong! Mama dengar Ayu teriak-teriak begitu, kok. Ada apa, Ayu? Apa wanita mandul itu mengganggu malam kalian?"

"Ma! Berhenti menyebut Karin seperti itu!" tegasku, pelan tapi penuh penekanan.

"Memang dia mandul, kok. Mau kamu bela seperti apa pun, kenyataannya dia memang tidak bisa memberikan cucu pada keluarga kita," sungutnya dengan mendelik tajam. "Ada apa, Ayu? Benar wanita itu mengganggumu?"

"Akuβ€”"

"Tidak ada apa-apa," potongku cepat sebelum Ayu mengatakan sesuatu yang akan lebih membuat Mama memandang rendah Karin.

"Ayo kita tidur! Ini masih larut malam!" Aku menarik paksa Ayu menuju kamar. Meninggalkan Mama yang masih berdiri di tempat dengan semua omelannya.

🌸🌸🌸

Tak mudah untuk kembali memejamkan setelah melihat keadaan Karin yang menyedihkan di kamarnya. Bayangan Karin yang tengah tersenyum sambil menangis tadi, membuat segumpal daging di dalam dada selalu berdenyut nyeri. Aku bingung dengan diri sendiri.

Bagaimana bisa tiga hari yang lalu aku sangat yakin dengan pernikahan kedua ini? Bagaimana bisa juga aku begitu yakin akan membuat keduanya saling menerima satu sama lain dengan mudah? Kenyataannya, ini benar-benar sulit.

Untuk membahagaikan satu hati, pasti akan ada hati lain yang terluka. Meski berusaha adil sekali pun, aku akan tetap terlihat salah di mata mereka. Di mata Ayu dan Karin, pasti tetaplah dipandang tidak adil karena keduanya sama-sama ingin seluruh perhatian ini untuk dirinya seorang.

Begitulah wanita. Sekarang, aku terjebak dengan masalah berat yang kuciptakan sendiri.

"Masih lama?" tanyaku pada Ayu yang masih sibuk mengaplikasikan make-up.

Ayu sangat jauh berbeda dengan Karin yang hanya terbiasa memakai make-up tipis. Dia selalu terlihat 'wah' dengan make-up tebalnya. Jujur, aku lebih nyaman jika dia tidak berdandan setebal itu.

"Sebentar lagi. Mas tunggu di luar saja."

Aku hanya menggeleng, lalu keluar. Namun, langkah ini terhenti di depan pintu kamar. Di depan sana, wanita yang pernah menjadi satu-satunya pemilik hati ini tengah sibuk berkutat di meja makan. Sendirian.

Tanpa menunda lagi, aku melangkah cepat mendekatinya dengan senyuman. Karin mendongak dan melempar senyum tipis saat menyadari kehadiranku.

"Masak apa?" tanyaku lembut. Satu tangan meraih pinggang, satu lagi meraih dagu itu, lalu mengecup pipinya yang hangat. "Kamu demam, ya?"

"Tidak apa-apa, Mas. Mungkin karena kurang tidur saja semalam," jawabnya sembari melepaskan tanganku dari pinggang. Karin sedikit bergeser menjauhiku, lalu menyibukkan diri dengan menata makanan di meja.

"Kita ke dokter, ya." Aku kembali berjalan mendekat, lalu meraba keningnya.

"Tidak usah, Mas. Aku baik-baik saja. Nanti minum obat warung juga baikkan." Dia tersenyum, lalu kembali membuang wajah.

"Kamu masih marah?" Aku mengusap kepala yang tertutup hijab itu dengan lembut.

Karin bungkam.

Pertanyaan bodoh macam apa ini? Jelas saja Karin masih sangat marah dan kecewa. Mana mungkin luka yang kutorehkan akan membaik hanya dalam semalam. Bahkan, mungkin seumur hidup pun luka itu akan selalu basah dan bernanah.

"Karin ...."

"Tidak, Mas. Aku tidak marah. Siapalah aku hingga berani marah padamu. Aku bukan siapa-siapa di rumah ini."

"Karin ...." Aku merasa tertampar dengan kata-katanya.

Kuraih kembali dagunya lembut. Menatap lekat matanya yang sembab, tapi tak ada lagi air mata. Tatapan itu kosong. Tak ada tatapan penuh cinta dan mesra yang biasa dia suguhkan untukku dulu.

"Sarapan dulu, Mas." Karin melepaskan tanganku dari dagunya. "Aku sudah buatkan nasi kuning kesukaan Mas." Karin menarik satu kursi, lalu memintaku duduk.

"Katanya mau kasih aku hadiah kejutan. Apa itu?"

Gerakan tangan Karin yang tengah menyendokkan nasi seketika terhenti, lalu menoleh dan tersenyum.

"Maaf, Mas. Aku belum siapkan hadiahnya."

"Lho, bukannya waktu di WA kamu bilang sudah siapkan dan tinggal tunggu aku pulang, hm?"

Karin kembali menatapku dalam diam tanpa ekspresi. Datar.

"Maaf, Mas. Kadonya memang belum sempat aku beli. Maaf," ucapnya lagi, lalu kembali menunduk dan mengambilkan lauk ke piringku.

Belum sempat membeli atau memang kamu tidak mau memberikannya padaku, Karin? Matamu tidak bisa bohong. Mungkinkah kamu juga sudah membuang kado itu sama seperti kue semalam?

"Mas!"

Aku menoleh saat mendengar suara cempreng Ayu berteriak.

"Lho, kok, malah duduk? Ayo berangkat!" Ayu menarik tanganku.

"Kita sarapan dulu. Karin sudah membuatkan nasi kuning kesukaanku."

"Tidak mau! Ayo bangun!" Ayu masih menarik-narik lenganku dengan paksa. "Mas sudah janji, lho, semalam. Apa Mas lupa? Kita, 'kan, mau sarapan di luar sebelum ke kantor."

Ah, sial! Aku lupa dengan janji itu.

Semalam Ayu sempat merajuk setelah mendapati aku diam-diam pergi ke kamar Karin. Jadi, terpaksa aku membujuknya dengan hal itu. Baru saja sehari memiliki dua istri, rasanya kepalaku seperti mau pecah.

Jika tidak pergi, Ayu akan tersakiti karena aku melanggar janji semalam. Namun, jika aku memilih pergi, Karin akan semakin terluka lebih parah lagi. Dia sudah menyiapkan sarapan kesukaanku. Hatinya pasti akan semakin perih dan kecewa.

Bagaimana ini? Maju kena, mundur kena.

"Mas! Kok, malah bengong, sih?" protes Ayu sembari menepuk bahuku.

Aku menoleh pada Karin. Tatapannya datar. Entahlah. Aku merasa dia tengah menunggu keputusan apa yang akan kuambil. Memilih pergi bersama Ayu atau sarapan bersamanya di sini?

"Mas lama! Aku aduin Mama, nih," gertak Ayu dengan rengekan manjanya.

"Iya, iya. Sudah diam!" tukasku kesal, lalu berdiri. "Kamu itu sudah dewasa dan sudah menjadi seorang istri. Berhenti apa-apa mengadu pada Mama. Aku tidak suka itu. Mengerti?" tegasku seraya menatapnya tajam.

Ayu mencebik sebal, membuang muka sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Kusentak napas kasar, lalu menoleh pada Karin. Merasa tak enak hati dengan keputusan yang akan kuambil sekarang. Dia pasti akan semakin marah dan terluka.

"Karin, akuβ€”"

"Pergilah, Mas. Tidak apa-apa." Karin memotong ucapanku, lalu tersenyum. "Nasi kuningmu biar aku saja yang memakannya." Karin menarik piring dari hadapanku, lalu duduk di kursinya.

"Maaf, Karin. Aku sudah terlanjur janji pada Ayu. Nanti kamu makan dengan Mama dan Papa saja, ya," ucapku merasa bersalah.

Karin hanya mengangguk tanpa menatapku.

"Ayolah, Mas! Lama!" Ayu kembali menarik-narik lenganku.

"Aku berangkat dulu, ya. Asaalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabnya sangat pelan.

Aku melangkah cepat mengimbangi langkah Ayu yang terburu-buru sambil menarik tangan ini.

Sarapan dengan Mama dan Papa? Lagi. Itu perkataan konyol yang terucap dari mulut pria pecundang sepertiku ini.

Mana mungkin Karin bisa sarapan bersama mereka. Mama sekali pun belum pernah sudi makan satu meja bersamanya. Sementara, Papa juga hanya menuruti apa pun perintah Mama.

Aku menoleh. Karin tengah duduk sendirian di meja makan. Membuatku teringat kejadian semalam saat dia menikmati kue tartnya seorang diri.

"Sebentar, Ayu." Aku melepaskan cekalan tangannya, lalu berlari kecil menghampiri Karin. "Maafkan aku" ucapku, kemudian mendaratkan kecupan di kepalanya.

Karin terdiam mematung. Mungkin, dia tak menyangka aku akan kembali ke sini. Baru beberapa hari hidup dengan istri baru saja, aku sampai lupa kebiasaanku padanya. Dulu, aku tak pernah melewatkan momen mengecup kening, juga bibirnya saat hendak pergi kerja, tapi sekarang?

"Aku janji akan langsung pulang. Nanti kita jalan-jalan, ya," bujukku sembari kembali mengecup pipinya.

Karin menoleh dan tersenyum tipis, lalu mengangguk dan mencium punggung tangan ini takzim.

"Mas! Cepetan, dong!" teriak Ayu di ambang pintu.

"Jangan lupa minum obat, ya! Langsung telepon aku kalau ada apa-apa."

"Iya," jawabnya pelan, masih dengan senyuman dan tatapan sendunya.

Aku masih terdiam memandangnya. Hingga akhirnya, dengan berat hati aku harus pergi meninggalkan Karin saat mendengar Ayu kembali berteriak. Teriakan yang membuat Mama langsung keluar dari kamar sambil mengoceh tak karuan.

Kita pasti bisa melewati semua ini, Karin. Pasti! Pada akhirnya, kita akan hidup bahagia. Aku, kamu dan Ayu.

Semoga.

β˜…β˜…β˜…

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Camel Lia
laki laki edan. bahagia congor mu.. dasar manusia ga bersyukur
goodnovel comment avatar
mayank shinee
Karin klo kamu kuat ya jalani saja tapi jgn membuatmu tidak bahagia. jujur klo aku hidup dgn mertua seperti itu apa lagi di duakan,aku menyerah.aku lebih memilih warasnya mentalku.
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
bahagia dr Hongkong ? dimana mana klu di 2kan jls sakit ...... ayo Karin cepat tinggalkan rmh itu dimana kamu TDK dihargai sama sekali semua readers mendukungmu jgn jd wanita lemah yg hanya bs .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 4

    Pekerjaan yang menumpuk membuatku sedikit lupa akan masalah di rumah. Ayu sendiri sudah diantar ke tempat kerjanya. Kami memang tidak satu kantor. Dia anak dari sahabat Mama yang pernah mau dijodohkannya denganku, tapi batal. Ayu lebih memilih pria lain yang pada akhirnya malah mencampakkan setelah merebut mahkotanya."Sibuk?"Aku mendongak. Athony menumpukan dagunya di pembatas meja kerja."Lumayan. Ada apa?" tanyaku sembari tetap fokus menatap layar komputer."Aku dengar kamu menikah lagi. Beneran?"Gerakan tanganku yang sedang mengetik seketika terhenti, lalu menghela napas berat. Menatap Anthony dengan raut tidak suka."Dari mana kamu tahu itu?"Anthony berdecak dengan senyuman miringnya. "Satu kantor juga sudah pada tahu kali. Mau kamu sembunyikan gimana juga, tetap saja gosip itu cepat menyebar."Aku mengusap wa

    Last Updated : 2021-08-10
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 5

    Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam."Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru s

    Last Updated : 2021-08-10
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 6

    Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah."Hati-hati," ucapku saat membantunya turun."Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"Karin tersenyum dan mengangguk.Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.Ke mana semua orang?Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun

    Last Updated : 2021-08-13
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 7

    Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak

    Last Updated : 2021-08-14
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 8

    Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad

    Last Updated : 2021-08-15
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 9

    Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."

    Last Updated : 2021-08-16
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 10

    Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.

    Last Updated : 2021-08-17
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 11

    Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.Apa Karin lupa?Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.

    Last Updated : 2021-08-18

Latest chapter

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 78

    Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 77

    POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 76

    POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 75

    "Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 74

    POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 73

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 72

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 71

    "Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 70

    Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status