Semudah inikah pria terlena dengan sesuatu yang baru? Atau hanya aku sendirilah yang kurang bersyukur dan cepat tergoda dengan harum bunga lainnya?
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat lupa dengan air mata Karin ketika deru napas dan detak jantungku berpacu cepat di kamar tamu ini. Terlena dengan kepuasan dan kenikmatan sampai lupa ada yang terluka di kamar lain. Wanita yang mungkin tengah memeluk guling seorang diri dengan hatinya yang hancur berkeping-keping.
Mata ini terbuka perlahan. Kuhela napas saat menyadari siapa yang tengah berada di pelukan. Bagaimanapun juga, sebuah keputusan sudah diambil. Ayu kini istri sahku juga secara agama. Aku akan berusaha adil untuk keduanya. Meskipun, memang ini tidaklah mudah.
Kulepaskan tangan Ayu yang melingkar di pinggang dengan perlahan. Dia tertidur pulas setelah permainan panas kami yang cukup menguras tenaga. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Satu jam tertidur cukup membuat rasa lelah ini berkurang.
Kusibak selimut, lalu turun perlahan dari ranjang. Memunguti pakaian yang tergeletak di lantai dan pergi ke kamar mandi. Guyuran air hangat dari shower cukup menyegarkan pikiranku yang sempat kalut.
Di satu sisi, aku masih sangat mencintai Karin. Namun di sisi lain, rasa untuk Ayu mulai hadir setelah ijab kabul terucap dan melewati beberapa malam bersamanya. Meskipun, Ayu memang sudah tidak virgin saat kami menikah.
Aku keluar dari kamar tamu, lalu menutup pintunya dengan hati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Aku teringat dengan kue yang disiapkan Karin tadi—kue ulang tahun pernikahan kami yang keempat.
Bukannya kado spesial yang kuberikan untuknya, tapi justru sebuah kejutan luar biasa. Kejutan yang tak hanya meluluhlantakkan hati, tapi juga kepercayaannya. Demi menuruti permintaan Ibu menikahi Ayu, aku terpaksa berbohong pada Karin. Berkata akan melakukan tugas luar kota selama tiga hari, kenyataannya malah menikah diam-diam.
Mataku celingukan mencari kue tart di ruang keluarga. Jejak nodanya ada yang tertempel di meja, tapi kuenya tidak ada. Kuputuskan mencarinya ke dapur karena yakin Karin pasti menyimpannya di dalam kulkas.
Namun, ternyata dugaan itu salah. Baik di lemari dapur atau pun kulkas, kue itu tetap tidak ada. Ketika aku baru saja hendak beranjak pergi dari sana, fokus mata ini teralihkan noda kue yang menempel di kotak sampah di kolong wastafel. Benar saja. Kue perayaan hari jadi pernikahan kami sudah teronggok di dalamnya.
Aku berjongkok. Hati ini kembali berdenyut nyeri melihat kue itu sudah hancur di tempat sampah. Sama hancurnya dengan hati wanita yang sudah menyiapkan kejutan demi menyambut kepulanganku.
Aku terduduk di lantai dapur sembari menunduk lesu dan memijat pelipis. Ingin mundur pun tak bisa. Nasi sudah menjadi bubur. Seandainya saja aku bisa lebih tegas menolak permintaan Mama.
Aku bergegas pergi dengan langkah cepat menuju kamar Karin dan memutar knop pintu dengan perlahan. Senyum ini merekah saat mendapati pintu kamar ini tidak dikunci. Dengan hati-hati, kututup kembali pintu dan menguncinya.
Masih dengan senyuman, aku mengendap masuk yang lampunya temaram. Sayang, senyum ini seketika lenyap saat melihat Karin tengah meringkuk di atas sajadahnya masih dengan memakai mukena. Hati seperti diremas-remas. Sakit, tapi aku berusaha mengontrolnya.
Kudekati Karin, lalu berjongkok di hadapannya. Jejak-jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya. Tasbih kecil hitam pun masih berada dalam genggaman.
Inikah caranya dia meluapkan segala rasa sakit?
Karin tak punya siapa-siapa. Dia hanya bisa mengadu langsung kepada-Nya—Sang Maha Penguasa Hati. Mengadukanku yang pernah berjanji setia, tapi akhirnya mendua.
Aku ikut meringkuk di samping Karin dan menatapnya dengan pandangan buram karena terhalang air mata. Mata bulat indah itu dulu sering menatap penuh cinta, tapi kini sembab karena air mata. Andai saja waktu bisa diputar kembali. Mungkin aku akan nekat menolak pernikahan kedua ini apa pun resikonya.
Tanganku terulur menghapus jejak air mata di pipinya. Gerakan tanganku terhenti saat Karin tiba-tiba membuka matanya yang sembab karena terlalu banyak menangis. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam, sebelum akhirnya Karin bangkit.
"Kenapa Mas di sini?" tanyanya tanpa menatapku.
Aku ikut bangun. Duduk di sampingnya sembari menatap lekat wajah wanita berkulit putih dengan hidung mancung dan lesung pipitnya itu.
"Aku merindukan istriku," ucapku lembut sambil tersenyum.
Aku sengaja mencoba menggodanya, tapi tidak berhasil. Karin tak menatapku sama sekali. Dia berdiri, lalu membuka mukena dan melipatnya.
"Karin ...." Aku ikut berdiri seraya menahan gerakan tangannya.
Karin melepaskan tangan ini, lalu tersenyum tipis menatapku.
"Pergilah, Mas. Nanti Ayu mencarimu," ujarnya, kemudian berlalu pergi meletakkan mukena dan sajadah di sofa.
Aku masih terpaku di sini sembari mengamati setiap gerak-geriknya.
"Kenapa kuenya kamu buang?"
Mendengar pertanyaan itu, Karin menghentikan langkahnya, lalu menoleh.
"Kuenya sudah basi, Mas. Rasanya tidak enak, pahit dan hambar." Dia tersenyum, lalu kembali berjalan ke sisi lain ranjang.
Karin membaringkan tubuhnya membelakangiku dengan selimut yang menutupi sampai leher. Bukannya keluar, aku malah ikut naik ke ranjang, lalu berbaring dan memeluknya erat.
Tiga hari tidak menghidu aroma tubuhnya membuatku rindu. Sayang, Karin tak merespon, meskipun aku terus menggodanya dengan sentuhan.
"Apa bersama Ayu belum cukup memuaskanmu, Mas?" Pertanyaan Karin membuat tanganku yang sedang bergerilya menggodanya seketika terhenti.
"Kamu juga istriku. Aku berhak memintanya padamu," sahutku penuh penekanan. Menggeram kesal dalam hati karena pertanyaannya yang sedikit menyinggung.
"Tolong jangan memaksaku, Mas. Aku ... belum siap dengan semua ini," lirihnya.
Aku menarik bahunya agar berbalik menghadapku. Tatapannya begitu sendu dengan kaca-kaca yang kembali memenuhi netranya.
"Aku juga merindukanmu, Karin. Menolak permintaan suami itu dosa. Kamu tahu itu, 'kan?"
Karin terdiam. Bulir-bulir bening kini sudah lolos membasahi pipinya.
"Apa Mas tidak akan membayangkan wanita lain saat melakukannya denganku?"
"Tentu saja tidak," tukasku pelan. "Kenapa kamu bicara begitu? Aku merindukanmu, Karin. Jelas hanya wajahmu yang ada di pikiranku sekarang."
Karin terdiam sejenak. "Lakukanlah, Mas. Lakukan apa pun semaumu tanpa perlu peduli dengan perasaanku. Aku ... tidak apa-apa." Dia tersenyum dengan bibirnya yang bergetar.
Hasrat yang sempat menggebu tadi, perlahan menghilang melihatnya menangis tak berdaya seperti ini. Membuat tanganku kembali terulur mengusap air matanya. Mata Karin terpejam, terisak tanpa sepatah kata.
"Maaf, maaf, maaf," gumamku seraya kembali memeluknya erat, tapi Karin hanya diam.
Betapa egoisnya aku. Tidak mau mengerti dengan rasa sakitnya saat ini. Setelah melukainya dengan begitu dalam, aku malah memintanya menuntaskan kerinduan.
"Kamu harus tahu satu hal Karin. Sampai detik ini, aku masih tetap mencintaimu. Posisimu belum tergantikan siapa pun termasuk Ayu."
"Mas tidak mencintainya sedikit pun?"
Aku bungkam.
Memang, cinta untuk Ayu mulai hadir meski hanya sedikit. Haruskah aku menjawab jujur atau menyembunyikannya?
"Aku—"
"Tidak perlu Mas Jawab," potong Karin pelan. "Dengan diamnya Mas, aku sudah tahu jawabannya."
"Aku terpaksa menerima pernikahan itu, Karin. Kamu tahu, 'kan, bagaimana Mama? Aku takut kesehatannya kembali drop kalau bersikeras menolak," jelasku. Berharap Karin mengerti dengan keputusan ini. Berharap dia bisa segera menerima semuanya dengan ikhlas dan tersenyum kembali seperti dulu.
"Aku akan berusaha bersikap adil. Percayalah," imbuhku seraya mengurai pelukan, lalu menangkup satu pipinya.
"Kenapa? Kenapa Mas harus berbohong?" lirihnya dengan linangan air mata. "Rasanya mungkin tidak akan sesakit ini kalau saja Mas jujur."
"Apa kamu akan mengizinkan kalau aku jujur dari awal? Tidak, 'kan?" debatku tak mau kalah.
"Tolong tinggalkan aku sendiri, Mas. Aku lelah," pintanya lirih.
"Tidak. Aku akan tidur di sini denganmu," tolakku sembari kembali mendekapnya erat.
"Dengan bersikap begini, Mas hanya akan semakin menambah lukaku. Sebentar lagi, istri baru Mas pasti akan ke sini. Dia akan mencaci maki dan menyalahkanku atas sikap Mas ini. Begitu juga dengan Mama."
"Itu tidak akan terjadi," sahutku dengan mata terpejam.
"Tolong ... jangan buat aku merasa lebih rendah lagi, Mas. Aku lelah. Aku lelah selalu menjadi tersangka di rumah ini. Di mata Mama, aku akan selalu salah." Bahu Karin berguncang karena isakan. Membuatku mau tak mau kembali membuka mata dan menatapnya penuh sesal.
"Karin ...."
"Aku mohon, Mas. Pergilah."
★★★
"Karin ....""Aku mohon, Mas. Pergilah."Aku terdiam sembari mengusap air matanya yang tak mau berhenti menetes, dan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Tak ingin membuatnya semakin terluka, aku pun bangkit.Namun, belum sempat turun dari ranjang, suara gedoran di pintu mengejutkan kami berdua. Aku menoleh pada Karin. Dia tersenyum."Ayu mencarimu, Mas," lirihnya. "Pergilah. Jangan membuatnya semakin marah!" Karij kembali mengubah posisi tidurnya membelakangiku.Aku menghela napas berat, mengusap wajah dengan kasar, lalu turun dari ranjang. Gedoran di pintu diiringi teriakan suara cempreng Ayu membuatku menggeram kesal.Tidak bisakah dia pengertian sedikit? Aku perlu merayu Karin. Perlu memenangkan kembali hatinya yang sedang terluka. Bagaimanapun juga, aku tidak rela jika harus kehilangannya.Susah payah dulu aku memperjuangkannya untuk
Pekerjaan yang menumpuk membuatku sedikit lupa akan masalah di rumah. Ayu sendiri sudah diantar ke tempat kerjanya. Kami memang tidak satu kantor. Dia anak dari sahabat Mama yang pernah mau dijodohkannya denganku, tapi batal. Ayu lebih memilih pria lain yang pada akhirnya malah mencampakkan setelah merebut mahkotanya."Sibuk?"Aku mendongak. Athony menumpukan dagunya di pembatas meja kerja."Lumayan. Ada apa?" tanyaku sembari tetap fokus menatap layar komputer."Aku dengar kamu menikah lagi. Beneran?"Gerakan tanganku yang sedang mengetik seketika terhenti, lalu menghela napas berat. Menatap Anthony dengan raut tidak suka."Dari mana kamu tahu itu?"Anthony berdecak dengan senyuman miringnya. "Satu kantor juga sudah pada tahu kali. Mau kamu sembunyikan gimana juga, tetap saja gosip itu cepat menyebar."Aku mengusap wa
Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam."Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru s
Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah."Hati-hati," ucapku saat membantunya turun."Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"Karin tersenyum dan mengangguk.Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.Ke mana semua orang?Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun
Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak
Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad
Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."
Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.
Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 
POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn
"Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek
POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont
POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan
POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar