Share

Part 5

last update Last Updated: 2021-08-10 13:38:11

Setelah mobil terparkir, dengan tergesa aku menggendong tubuh Karin dan berlari cepat menuju ruang UGD. Perawat langsung membantu membaringkan tubunya di brankar. Sayangnya, aku diminta menunggu di luar. Padahal, ingin sekali menemani Karin di dalam sana.

Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Perasaan gelisah dan takut bercampur aduk menjadi satu.

Bagaimana kalau ternyata Karin mengidap penyakit berbahaya? Sebulan terakhir ini, dia memang terlihat semakin kurus dan lesu. Ditambah lagi, kado terburuk yang kuberikan pasti membuatnya semakin terpuruk.

Astaghfirullah! Tidak! Aku tidak boleh berpikir negatif. Karin hanya demam. Ya! Hanya demam.

"Kenapa lama sekali, sih?" gerutuku dengan tidak sabar.

Sudah cukup lama Karin diperiksa, tapi belum ada tanda-tanda perawat atau dokter keluar dari ruangan. Karena tak sabar, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja. Namun, baru saja hendak meraih handle pintu, perawat sudah lebih dulu membukanya.

Di dalam sana, Karin ternyata sudah sadar dan terlihat tengah berbincang serius dengan dokter.

"Silakan masuk, Pak!" ucap perawat tersebut.

Keduanya serempak menoleh dan berhenti berbicara saat menyadari kehadiranku. Karin memalingkan wajah, tapi terlihat jelas dia menyeka sudut matanya dengan telunjuk.

"Silakan duduk!" Dengan ramah dokter bernama Affandi itu mempersilakanku duduk di kursi depan mejanya.

Aku yang melihat Karin hendak bangun dari brankar pun langsung berdiri dan menghampirinya.

"Berbaring saja kalau masih pusing," ucapku sembari membantunya turun.

"Aku tidak apa-apa, Mas." Karin melempar senyum manis yang menghiasi wajah pucatnya.

Dengan perlahan, aku memapahnya untuk duduk bersamaku di kursi depan meja dokter.

"Sebenarnya istri saya kenapa, Dokter? Dia baik-baik saja, 'kan? Ini pertama kalinya istri saya pingsan seperti ini," cecarku.

"Istri Anda baik-baik saja. Hanya perlu istirahat. Jangan terlalu kelelahan, apalagi dengan kondisinya yang sekarang."

"Kondisinya yang sekarang? Maksudnya ... istri saya sakit keras?" tanyaku terkejut.

Dokter Affandi menatap Karin yang membuatku mau tak mau ikut menatapnya juga. Melihatku yang kebingungan, Karin hanya tersenyum, lalu kembali menatap dokter itu dengan raut wajah tenang.

"Ada apa, sih, Dokter?" tanyaku tak sabar.

"Tidak ada apa-apa. Maksud saya, kondisi kesehatan istri Anda sedang tidak baik. Jika sedang sakit seperti ini, sebaiknya jangan terlalu lelah dengan pekerjaan rumah. Jangan terlalu stres juga karena bahaya untukβ€”"

Perkataan Dokter Affandi terhenti karena Karin tiba-tiba terbatuk-batuk.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir sembari mengusap-usap punggungnya.

Karin menoleh, menggeleng dan tersenyum.

"Lanjutkan, Dok. Maksudnya bagaimana tadi? Bahaya untuk apa?" tanyaku penasaran sekaligus khawatir. Takut dugaanku tentang Karin yang sakit keras itu benar adanya.

"Ehm ... maksud saya, bahaya untuk kesehatan Bu Karin. Berat badannya kurang beberapa kilo dari batas normal. Jadi, tolong diperhatikan nutrisi dan gizinya, ya. Harus banyak makan buah dan sayur."

"Ooh ... begitu. Dokter membuat saya takut saja. Saya kira istri saya mengidap penyakit berbahaya." Aku tersenyum lega sembari mengusap dada. "Saya akan menjaga istri saya dengan baik, Dokter. Terima kasih," ucapku sembari merangkul Karin yang duduk dengan tenang.

"Ini saya buatkan resep. Nanti silakan ditebus di apotek, ya." Dokter menyerahkan secarik kertas padaku.

"Baik, Dokter." Aku mengangguk sembari menerima kertas resep tersebut. "Tapi istri saya beneran sudah tidak apa-apa, 'kan? Wajahnya masih sedikit pucat soalnya," tanyaku memastikan.

"Tidak apa-apa, Pak. Istirahat saja yang banyak. Jangan lupa diminum obat dan vitaminnya. InsyaAllah istri Anda akan segera membaik. Tapi tolong diingat pesan saya tadi, ya. Jangan sampai kelelahan dan stress!"

"Baik, Dokter. Saya akan mengingatnya. Jadi, istri saya sudah boleh pulang?"

"Boleh, Pak. Silakan."

"Baiklah, terima kasih." Aku menyalami dokter tersebut, lalu memapah Karin keluar ruangan menuju apotek.

Tak berselang lama, obat sudah berada di tanganku. Beruntung sekali suasana rumah sakit sore ini tidak terlalu ramai. Langkah ini terhenti sejenak saat melihat Karin tengah menyandarkan kepala ke dinding dengan mata terpejam. Tanganku bergerak menyentuh dada. Ada yang berdenyut nyeri di dalam sini.

"Karin," panggilku lembut sembari menyentuh pundaknya.

Karin membuka mata. Lagi-lagi dia tetap tersenyum manis, meskipun aku sudah menyakitinya sedemikian rupa.

"Sudah, Mas?" tanyanya pelan.

"Sudah. Ayo kita pulang! Kamu bisa istirahat di rumah nanti." Aku membantunya untuk berdiri.

Belum sempat Karin melangkah, dia terkesiap kaget karena tanpa aba-aba aku langsung mengangkat tubuh kurusnya itu. Membopong Karin keluar rumah sakit sambil tersenyum.

"Turunin, Mas. Malu. Aku masih kuat jalan, kok." Karin menutup wajah dengan satu tangannya karena kini kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di rumah sakit.

"Kenapa harus malu?" Aku tertawa kecil sembari terus berjalan santai menuju parkiran.

"Mas ...."

"Hm?"

"Maafkan aku," lirihnya sembari menyandarkan kepala di dada dengan kedua tangannya melingkari leher.

"Maaf untuk apa?" Aku meliriknya sekilas, lalu kembali melihat ke depan.

"Maaf karena aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk Mas," lirihnya.

"Kenapa kamu bicara begitu? Bagiku kamu sempurna," sahutku untuk membesarkan hatinya. Aku tidak mau Karin selalu merasa kecil.

"Mas ...."

"Ya?"

"Selamat untuk pernikahan keduanya. Maaf aku baru bisa mengucapkannya sekarang. Semalam aku masih sangat syok," ucapnya lembut.

Aku berhenti melangkah. Menghela napas berat saat merasakan seperti ada batu yang menghimpit dada.

Kulirik Karin yang memejamkan mata. Terlihat tenang, tapi justru menghadirkan rasa yang ... entahlah. Seperti ada sesuatu yang salah dengan perasaanku sendiri. Aku takut mata itu tidak akan pernah terbuka lagi.

Harusnya aku senang dengan ucapan itu, bukan? Tapi kenapa hati ini malah berdenyut sakit? Ini, 'kan, yang kuharapkan? Karin bisa menerima pernikahan keduaku dengan ikhlas.

"Karin," panggilku lembut.

Karin membuka matanya. Mata bulat dengan bulu mata lentik itu mengerjap pelan. Dia tersenyum. Tak kulihat ada keterpaksaan di wajahnya.

"Maafkan aku," gumamku dengan hati yang berdesir perih.

Karin terdiam dan menatap lekat kedua mataku untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, satu tangannya bergerak menyentuh pipi ini.

"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Memaafkan semua orang yang pernah menyakitiku. InsyaAllah aku ikhlas," ujarnya dengan lembut.

Tak ada air mata yang menggenang, apalagi tumpah ruah seperti semalam. Hanya ketulusan yang tersirat jelas dari sorot matanya

"Hidup ini terlalu singkat untuk sebuah penyesalan dan dendam, Mas. Maafkan dan lupakan siapa pun yang menyakiti kita. Di sini ...." Dia menjeda perkataan. Tangannya turun dari pipi dan berhenti tepat di dada kiriku. "Di sini terasa lebih lega kalau kita ikhlas."

"Jadi, kamu ikhlas dengan pernikahan keduaku?" tanyaku memastikan.

"Apa Mas bersedia menceraikanku kalau aku memintanya?" tanyanya dengan menatap lekat mataku.

"Tidak akan pernah!" tukasku cepat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikanmu."

Lagi. Karin tersenyum, lalu menyandarkan kembali kepalanya di dada dengan mata terpejam.

"Kalau begitu, tidak ada yang perlu kita perdebatkan lagi. Aku akan belajar ikhlas dan berdamai dengan luka ini. Aku tahu kalau hati Mas tak sepenuhnya lagi milikku. Tidak apa-apa. Soal hati ... itu sepenuhnya hak kamu, Mas. Aku tidak bisa memaksa Mas untuk selamanya hanya mencintaiku."

"Karin ...," desahku dengan helaan napas berat. Kata-katanya kembali berhasil menamparku.

Kenapa aku tega menyakiti wanita sebaik dirinya?

Aku menengadahkan wajah seraya membuang napas kasar. Andai saja mesin waktu itu benar-benar ada.

"Mas," panggilnya lembut.

Aku menunduk, menatapnya dengan sejuta rasa bersalah di dada.

"Ayo pulang! Aku ... ingin istirahat."

Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan langkah.

"Kamu mau beli sesuatu?" tanyaku ketika mobil mulai melaju sedang meninggalkan parkiran rumah sakit.

Karin yang sedari tadi memandang lurus ke depan pun menoleh. Menatapku dengan raut wajah tenangnya.

"Apa mesin waktu ada yang menjualnya, Mas? Kalau ada, aku ingin membelinya."

Aku menelan ludah, kembali menatap lurus ke depan dengan perasaan tak karuan.

"Mas," panggilnya lagi yang mau tak mau membuatku kembali menoleh. "Jangan marah, ya! Aku hanya bercanda."

"Aku tidak marah." Aku melempar senyum dan  kembali fokus mengemudi.

Aku bukan marah padamu, Karin. Aku marah pada diri sendiri. Benar kata Anthony, aku memang pecundang dan pengecut! Tidak bisa tegas dengan pilihan hidup sendiri. Hingga akhirnya, Mama bisa menyetirku semaunya.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mengurai rasa sesak yang memenuhi rongga dada.

"Mas ...."

"Hm?" sahutku tanpa menoleh.

"Jangan pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada kita! Semua yang hidup pasti akan mati. Di mana ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Siap tidak siap, mau tidak mau, semuanya pasti akan berakhir."

"Maksud kamu apa?" Aku menatapnya sekilas dengan kening berkerut dalam. Sungguh. Setiap kata yang keluar dari mulutnya membuat hati ini semakin tidak nyaman. "Dari tadi, kok, kata-katamu aneh begitu."

"Ini tidak aneh, kok, Mas. Aku hanya sedang mengutarakan apa yang ada di pikiranku sekarang."

"Sudahlah. Kamu istirahat saja. Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai," tukasku sedikit kesal.

"Maaf, Mas," lirihnya, tapi aku tak menjawab ataupun menoleh.

Cukup lama kami berdua berada dalam keheningan. Karin tak lagi bersuara. Saat aku menoleh, dia tengah memandang keluar jendela dengan jemarinya yang bergerak menghitung garis-garis di jari.

Apa lagi kalau bukan tengah menyebut kebesaran-Nya?

Aku pun lebih memilih diam seribu bahasa. Semua ucapannya tadi membuat hati ini gelisah, kesal dan tidak nyaman. Aku tidak tahu alasannya apa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal.

Ah, entahlah.

Namun, detik berikutnya aku menoleh saat mendengar Karin menggumam sesuatu. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas.

"Andai boleh meminta kepada-Mu, izinkan aku sekali saja bertemu dan mengenal siapa orangtuaku."

β˜…β˜…β˜…

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ochinae Kinah
jawaban dokter Koch ambigu banget antara jgn stress jrn hamil atau sakit lainnya ? knp TDK minta cerai saja toch Ayu jg dr awal sdh memonopoli malik ?
goodnovel comment avatar
Isabella
ah alasan mama yg menyetirnya dasar km emang doyan. kalau gak mau ngapain melakukan hubungan suami istri di waktu yg meruntuhkan hati Karin sedang km bisa tegas dg ayu .
goodnovel comment avatar
Isabella
bagaimana bisa istirahat dg tenang madu , mertua tidak ada yg suka dg Karin Malik Malik ente waras
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 6

    Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah."Hati-hati," ucapku saat membantunya turun."Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"Karin tersenyum dan mengangguk.Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.Ke mana semua orang?Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun

    Last Updated : 2021-08-13
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 7

    Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak

    Last Updated : 2021-08-14
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 8

    Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad

    Last Updated : 2021-08-15
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 9

    Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."

    Last Updated : 2021-08-16
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 10

    Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.

    Last Updated : 2021-08-17
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 11

    Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.Apa Karin lupa?Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.

    Last Updated : 2021-08-18
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 12

    Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Meliuk-liuk menghindari kendaraan lain yang menghalangi jalan. Rasa sakit di buku-buku tangan tak kupedulikan. Itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit dan kecewaku terhadap Karin."Aarrgh!" Aku menggebrak stir mobil berkali-kali penuh emosi.Rasanya aku ingin menyiksa dan membunuh pria sialan itu andai tidak ada hukum. Wanita yang begitu kucintai ternyata diam-diam menyimpan bangkai. Pantas saja dia tidak keberatan saat kami tinggal. Ternyata Karin punya niat lain."Aaargh! Berengsek!" umpatku sembari terus menggebrak stir. "Mati saja kalian berdua! Mati! Berani-beraninya berbuat kotor di kamarku! Kurang ajar!"Aku menambah kecepatan saat mobil mulai memasuki jalanan yang cukup lebar dan lengang. Mengabaikan klakson kendaraan lain yang kesal karena aksi ugal-ugalan ini. Ponsel berdering berkali-kali. Melihat siapa yang m

    Last Updated : 2021-08-20
  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 13

    Biarpun Ayu merengek minta sarapan bersama di luar, tapi aku tak mempedulikannya. Rasaku padanya yang sempat menggebu, hilang begitu saja setelah mengetahui dia ada main dengan Aldi. Ayu kuantar langsung ke kantornya. Setelahnya, aku melesat menuju kantor.Di kantor, aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Bayangan pertengkaran malam itu selalu hadir memenuhi kepala. Hati ini berdenyut sakit setiap kali ingat dengan perlakuan Mama terhadap Karin. Lebih sakit lagi saat aku teringat telah menamparnya untuk pertama kali."Aaargh!" Tanpa sadar aku menggebrak meja hingga membuat karyawan lain menoleh dan menatap heran padaku. "Maaf," ucapku dengan senyum terpaksa.Saat jam istirahat, terpaksa aku makan di kantin meskipun tidak begitu bernafsu. Kehilangan wanita yang dicintai bukan berarti jalan hidupku juga harus berhenti, bukan? Apalagi kehilangannya karena dia berkhianat.&nbs

    Last Updated : 2021-08-21

Latest chapter

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 78

    Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 77

    POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 76

    POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 75

    "Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 74

    POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 73

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 72

    POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 71

    "Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w

  • MENYESAL MENDUAKANMUΒ Β Β Part 70

    Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar

DMCA.com Protection Status