Share

Part 6

last update Last Updated: 2021-08-13 15:00:00

Karin benar-benar tak lagi mengajakku berbicara sedikit pun sejak aku sedikit memarahinya di mobil tadi. Ada perasaan bersalah, tapi memang aku tidak suka dengan semua ucapannya tadi. Dia hanya menjawab seperlunya saat kutanya. Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami tiba di rumah.

 

"Hati-hati," ucapku saat membantunya turun.

 

"Mas masih marah padaku?" Dia menatapku sendu.

 

Aku menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya kesal sedikit saja. Jangan bicara seperti tadi lagi, ya!"

 

Karin tersenyum dan mengangguk.

 

Aku hendak menggendongnya kembali, tapi Karin dengan cepat menolaknya. Akhirnya, mau tak mau aku hanya membantu memapahnya saja. Saat masuk, kami tak melihat siapa pun di sini. Sepi.

 

Ke mana semua orang?

 

Aku langsung membawa Karin ke kamar. Ia terus memaksaku pergi ke mesjid meskipun aku bersikeras ingin salat di rumah saja. Takut tiba-tiba Karin pingsan. Namun, karena terus dipaksa, akhirnya dengan sedikit terpaksa aku pun menurut.

 

Tak berselang lama, aku sudah kembali pulang. Melangkah cepat memasuki halaman sembari menyugar rambut. Namun, baru saja membuka pintu dan mengucap salam, aku terkesiap saat mendengar suara lantang Mama di kamar atas.

 

Apa lagi kalau bukan sedang memarahi Karin?

 

Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari menaiki tangga. Melesat masuk ke dalam kamar Karin yang pintunya terbuka lebar. Aku terkejut saat melihat Mama hampir melayangkan tamparan padanya. Beruntung, ayunan tangan Mama terhenti di udara saat mendengar aku berteriak.

 

"Apa yang Mama lakukan? Kenapa Mama mau memukul Karin?" Aku berjalan cepat dengan kening berkerut dalam dan sorot mata tajam.

 

"Kenapa kamu melotot begitu pada Mama? Kamu mau jadi anak durhaka, huh? Mau mama sumpahin kamu?" Mama balik membentak dengan mata melotot tajam.

 

Aku mengusap wajah kasar sembari menggumamkan kata istighfar dalam hati berkali-kali.

 

"Bukan begitu, Ma. Aku tadi bertanya baik-baik. Kenapa Mama mau memukul Karin? Apa salahnya?"

 

"Karena dia sudah kurang ajar pada Mama!"

 

"Kurang ajar bagaimana, sih? Selama ini Karin selalu sopan dan diam saja biarpun Mama memakinya," belaku.

 

"Halah! Terus saja kamu belain dia. Apa, sih, bagusnya anak buangan ini?"

 

"Ma ... please," ucapku dengan penuh penekanan. "Karin lagi sakit. Dokter bilang dia tidak boleh lelah dan stres. Tolong, jangan menambah beban pikirannya lagi!" bujukku dengan wajah memelas.

 

"Maksud kamu ... mama itu jadi beban untuk kalian, begitu? Kamu lupa siapa yang membuatmu sampai sesukses ini, huh?! Mama, Malik! Mama! Bukan anak miskin ini!" hardiknya sembari menunjuk tepat di wajah Karin.

 

"Kamu pikir mama percaya dia sakit? Tidak! Mama tahu di hanya pura-pura! Dia iri melihatmu mesra dengan Ayu!" tudingnya dengan menatap sengit Karin yang terlihat tenang. "Iya, 'kan? Mengaku saja kamu, Karin!"

 

"Cukup, Ma! Please ... jangan sampai membuatku jadi anak durhaka karena berani membentak Mama. Tolong ... jangan buat keributan lagi! Karin harus istirahat," mohonku dengan sungguh-sungguh.

 

"Makanya, nasihati itu istri kamu sampai masuk di otaknya! Beritahu dia supaya jangan kurang ajar pada Mama!"

 

"Kurang ajar bagaimana, sih, Ma?" desahku sedikit frustasi.

 

"Mama hanya menasihati, tapi dia malah balik menyindir Mama! Dasar tidak sopan!"

 

Aku menoleh pada Karin. Dia menunduk, menghindari tatapanku.

 

"Menyindir bagaimana?"

 

"Kamu tanya saja pada anak yatim piatu tidak tahu diuntung itu!" Mama mendorong kasar kepala Karin tanpa sempat kucegah. Setelahnya, Mama berlalu pergi masih dengan omelannya.

 

Aku menghela napas berat, menoleh pada Karin, lalu mengambil posisi duduk di sampingnya.

 

"Apa yang dikatakan Mama tadi itu benar, Karin? Benar kamu sudah kurang ajar pada Mama?"

 

Karin mengangkat wajahnya. Menatapku datar. "Siapa yang akan lebih Mas percaya? Aku atau Mama?"

 

"Sudahlah. Jangan menambah pusing kepalaku, Karin! Jawab saja, benar atau tidak?" kataku sedikit terpancing emosi.

 

Karin menggeleng.

 

"Lalu, kenapa Mama sampai marah seperti itu? Tidak mungkin Mama sampai mau memukulmu kalau tidak ada masalah besar."

 

Karin menghela napas, memandang datar dinding bercat putih di hadapannya.

 

"Mama memintaku pergi ke depan beli martabak, Mas. Aku terpaksa menolak karena pusing. Aku sudah memintanya untuk menunggu Mas saja, tapi Mama marah. Mengatakan kalau aku ini hanya berpura-pura sakit demi mendapat perhatian. Mama juga terus mengataiku wanita mandul, Mas," jelasnya dengan suara sedikit bergetar.

 

Aku melirik ke pangkuannya, kedua tangannya terlihat saling meremas jemari.

 

"Terus?" desakku.

 

"Aku membantah tudingan Mama, tapi Mama malah bilang kalau aku istri durhaka karena tidak ikhlas dimadu." Karin menunduk dalam.

 

"Lalu, kenapa Mama sampai mau memukulmu? Pasti bukan karena masalah itu, 'kan?" tanyaku lagi karena masih belum puas dengan penjelasannya.

 

"Aku hanya berkata ... 'apa Mama juga akan ikhlas kalau ada di posisiku'?" lirihnya.

 

Aku menarik napas dalam-dalam. Mengacak-acak rambut dengan gemas, lalu kembali menatapnya dengan sedikit kecewa.

 

"Lihat aku, Karin!" pintaku tegas yang langsung diturutinya.

 

Dia menatapku tenang. Seperti tidak ada beban. Meskipun, sudah dicaci maki Mama dan hampir ditamparnya.

 

"Jangan pernah melawan Mama! Kamu tahu sendiri, 'kan, sikap Mama seperti apa? Mama tidak pernah mau dibantah," tegurku sembari memegang kedua bahunya erat. Menegaskan aku tengah serius dengan perkataanku.

 

"Kamu sendiri, 'kan, yang bilang padaku kalau api tidak boleh dibalas api lagi? Kamu juga yang bilang kalau kemarahan dan kebencian Mama harus dibalas dengan kelembutan dan kesabaran. Apa kamu lupa semua itu, hm?" tegasku dengan bola mata yang bergerak-gerak memindai wajahnya yang masih sedikit pucat.

 

"Orangtuaku orangtuamu juga, Karin. Itu artinya, kamu harus tetap menghormati Mama bagaimanapun sikapnya. Paham?" tegasku dengan sorot mata tajam.

 

"Maaf, Mas," lirihnya, lalu menunduk, tapi dengan cepat aku meraih dagunya lagi.

 

"Jangan pernah diulangi lagi! Biarkan saja Mama berceloteh sesukanya. Jangan pernah dimasukkan ke dalam hati! Kamu mengerti, 'kan?"

 

Karin mengangguk pelan.

 

Aku menghela napas lega seraya melepaskan tanganku dari bahu dan dagunya.

 

"Aku mau beli makanan dulu. Sekalian beli martabak yang Mama minta sama kamu tadi. Kamu tidak boleh minum obat dan vitaminnya dulu sebelum makan, ya."

 

Karin mengangguk.

 

"Mau makan apa?" tanyaku sembari mengusap kepalanya.

 

"Terserah Mas saja," jawabnya pelan, lalu naik ke kasur, membaringkan tubuhnya membelakangiku.

 

Aku masih duduk terdiam di tepi ranjang. Memandangi Karin yang diam dengan mata terpejam.

 

Apa dia tersinggung dengan teguranku tadi?

 

Ah, sudahlah. Aku tahu, Karin pasti paham maksud baik dari teguran tadi. Aku hanya tidak mau terus-menerus ada keributan di rumah ini. Salah satu dari mereka harus ada yang mengalah dan itu sudah jelas Karin. Mana mungkin Mama mau melakukannya.

 

Aku segera pergi keluar kamar setelah menyelimutinya sebatas pinggang dan mengecup kepalanya. Mama dan Papa tengah asyik makan malam berdua yang katanya dipesan secara online. Papa memintaku duduk dan makan bersama, tapi saat aku hendak mengambilkan makan untuk Karin terlebih dulu, Mama marah dan melarangnya.

 

Daripada harus ribut lagi, aku memilih kembali berdiri. Memutuskan untuk membeli makanan baru untukku dan Karin saja. Namun, ada yang kurang di rumah ini. Ayu.

 

Sejak pulang dari rumah sakit, aku tak melihatnya ada di rumah ini. Saat bertanya pada Mama, beliau hanya mengedikkan bahu. Berkata jika mungkin saja Ayu pergi karena kesal diabaikan olehku tadi.

 

Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak diangkat. Beberapa pesan WA juga sudah dikirimkan. Namun, dia tidak membacanya sama sekali.

 

Ke mana dia? Apa mungkin Ayu marah dan pulang ke rumah orangtuanya?

 

"Sudah sana! Kamu cari dulu Ayu. Kasihan dia," ujar Mama, lalu menyuapkan kembali makanan ke mulutnya.

 

"Iya. Nanti aku cari dia setelah membeli makanan untuk Karin dulu," sahutku kemudian berlalu pergi.

 

"Karin, Karin saja terus! Ayu itu lebih penting daripada wanita mandul itu, Malik! Cari Ayu dulu, baru kamu beli makanan untuk wanita pembawa sial itu!" teriaknya marah, tapi aku tak acuh. Menulikan telinga dan terus berjalan cepat menuju pintu.

 

"Malik! Kamu dengar Mama tidak?!" Itu teriakan terakhir Mama sebelum akhirnya, aku berhasil keluar rumah dan menutup pintunya dengan sedikit kasar.

 

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

 

Saat aku pulang, Ayu masih juga belum kembali ke rumah. Semua telepon dan pesan pun diabaikan olehnya. Dengan langkah lebar, aku berjalan cepat ke kamar untuk memberikan makanan ini pada Karin.

 

Karin yang tengah berbaring pun langsung bangun saat melihat kedatanganku. Duduk bersandar kepala ranjang dengan seulas senyum tipis. Aku balas tersenyum, lalu duduk di hadapannya. Membuka sekotak nasi ayam kremes kesukaannya.

 

"Makan, ya. Habiskan! Aku harus pergi dulu."

 

"Mas mau ke mana?" tanyanya saat melihatku kembali beranjak bangun.

 

"Aku harus mencari Ayu dulu. Dia pergi entah ke mana. Sepertinya, dia marah karena sore tadi sempat kuabaikan," jelasku sembari mengambil kunci motor dari atas nakas. Akan lebih mudah bagiku mencari Ayu menggunakan motor daripada mobil. Tidak akan terjebak macet.

 

"Kamu tidak apa-apa, 'kan, aku tinggal dulu? Aku takut ada apa-apa dengan Ayu."

 

Karin diam.

 

Tanpa menunggu tanggapannya, aku langsung bergegas pergi. Namun, belum jauh melangkah, Karin memanggilku lirih. Membuatku mau tak mau kembali memutar balik badan, menatapnya dengan helaan napas panjang.

 

"Ada apa? Kamu keberatan aku pergi mencari Ayu?" tanyaku dengan satu alis terangkat naik.

 

Karin diam dengan tatapannya yang tenang.

 

"Ya sudah kalau tidak ada yang penting. Aku pergi sekarang. Habiskan makanannya, lalu minum obat dan tidur," ujarku, kemudian kembali berbalik dan siap pergi.

 

"Mas," panggilnya lagi yang menahan langkahku kembali.

 

"Apa lagi, sih, Karin?" tanyaku sedikit kesal. Aku terpaksa membalik badan, menatapnya dengan kening berkerut dalam.

 

Karin tersenyum tipis. "Mari kita bercerai, Mas."

 

 

โ˜…โ˜…โ˜…

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gitu dong Karin jgn mau mengalah dan di hina terus cerai aja oke
goodnovel comment avatar
lina ardiana
kali aku punya mertua kayak gitu udah kubakar tuh rumah
goodnovel comment avatar
Fauzi Abdullah
mcm khinzir jln cerita ni....baik biar berpada
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 7

    Mari kita bercerai, Mas.Aku tertegun mendengar perkataannya yang menghadirkan denyutan di dalam sini. Sejenak kami saling beradu tatap dalam diam.Hingga pada akhirnya, aku kembali tersadar dengan detak jantung yang lebih cepat. Mencoba mengontrol amarah yang terpantik saat mendengar dengan mudahnya dia berkata cerai."Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta cerai?" tanyaku sembari berjalan maju mendekatinya."Demi kebaikan kita bertiga, Mas. Lepaskanlah aku. Aku ikhlas menjadi yang tersisih," ucapnya dengan tenang, tapi tidak denganku.Perkataannya berhasil menghadirkan gejolak amarah di dada. Membuat harga diriku merasa terinjak karena dia menganggapku tidak mampu berbuat adil."Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyak

    Last Updated : 2021-08-14
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 8

    Mama dan Papa bingung melihatku pulang dengan luka lebam di pipi. Hidung dan sudut bibir masih menyisakan darah kering yang menempel. Tak kupedulikan semua pertanyaan yang mereka lontarkan.Dadaku masih bergemuruh karena tindakan Ayu di luar sana. Meskipun, dia sudah berupaya menjelaskan Aldi dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi firasat ini mengatakan lain. Aku masih belum yakin dia jujur."Mas!" Ayu mengejar. Mencekal pergelangan tangan tepat di anak tangga tengah. "Biar kuobati dulu lukanya.""Tidak perlu!" Aku menepis tangannya kasar, lalu kembali melangkah."Mas!" Ayu kembali mengejar dan menghalangi langkahku. "Aldi dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa, Mas. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Untuk apa aku kembali pada pria bejat sepertinya? Coba saja Mas pikir baik-baik.""Kamu pikir aku bodoh? Mana mungkin kalian tidak ad

    Last Updated : 2021-08-15
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 9

    Entah berapa lama kami menghabiskan waktu untuk mengobrol. Sesekali tertawa kecil saat mengingat kekonyolan kami berdua di awal pernikahan.Rindu ini begitu menggebu-gebu meminta dituntaskan. Andai saja kondisi Karin sedang tidak sakit, pasti kami sudah saling melebur rindu. Bersatu dalam lautan cinta demi mencapai titik puncak kebahagiaan."Apa kamu benci Ayu?" tanyaku sembari mengusap kepalanya dengan lembut.Karin menggeleng pelan dengan mata terpejam."Kenapa? Apa kamu tidak menyalahkannya karena sudah menjadi duri dalam rumah tangga kita? Menjadi orang ketiga yang membuat hati dan cintaku terbagi?"Lagi. Karin menggeleng."Tidak sepenuhnya Ayu bersalah, Mas. Hati ini mungkin sakit dan kecewa, tapi aku tidak mau menyimpan dendam. Ayu tidak akan pernah masuk dan menjadi orang ketiga jika si pemilik hati tidak mengizinkannya. Tidak memberikan akses untuk dia masuk ke dalam rumah tangga kita."

    Last Updated : 2021-08-16
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 10

    Aku terperanjat bangun dan secepatnya menyibak selimut. Memunguti pakaian yang tercecer dan berlari masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, aku sudah selesai membersihkan diri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Ayu, bangun, Ay!" Aku mengguncang bahunya pelan. Ayu menggeliat malas dengan matanya yang masih terlihat berat. "Ada apa, sih, Mas?" "Bangun, sudah siang. Kamu tidak mau berangkat kerja?" Ayu langsung memposisikan dirinya duduk sembari mengucek mata. "Jam berapa memangnya?" "Setengah tujuh. Sudah cepat mandi! Aku tunggu kamu di meja makan," titahku, kemudian langsung pergi keluar kamar. Aku melangkah dengan jantung berdetak cepat dan kedua tangan yang saling meremas gelisah.

    Last Updated : 2021-08-17
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 11

    Sepanjang perjalanan, pikiranku masih terbayang-bayang Karin yang berada sendirian di rumah. Sampai-sampai, Papa menegur dan memintaku tetap fokus mengemudi. Namun, baru setengah jalan kami pergi, Mama tiba-tiba memerintahkanku untuk memutar balik karena hadiah untuk Bude tertinggal.Lagi-lagi, aku terpaksa harus menuruti kemauannya. Ketika sudah sampai di depan rumah, Mama menolak turun dan memintaku yang mengambil hadiah itu. Namun, dahiku berkerut saat mendapati ternyata pintu rumah tidak dikunci.Apa Karin lupa?Aku masuk, lalu menyalakan saklar lampu ruang tamu. Sepi. Mungkin saja Karin sudah tidur.Lekas kuambil kado yang dimaksud Mama dari kamarnya, lalu segera keluar. Tadinya mau langsung pergi tanpa menemui Karin karena takut membuatnya semakin sedih. Akan tetapi, aku penasaran dan ingin memastikan dulu kalau dia baik-baik saja di sini.

    Last Updated : 2021-08-18
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 12

    Aku melajukan mobil dengan sangat kencang. Meliuk-liuk menghindari kendaraan lain yang menghalangi jalan. Rasa sakit di buku-buku tangan tak kupedulikan. Itu semua tidak sebanding dengan rasa sakit dan kecewaku terhadap Karin."Aarrgh!" Aku menggebrak stir mobil berkali-kali penuh emosi.Rasanya aku ingin menyiksa dan membunuh pria sialan itu andai tidak ada hukum. Wanita yang begitu kucintai ternyata diam-diam menyimpan bangkai. Pantas saja dia tidak keberatan saat kami tinggal. Ternyata Karin punya niat lain."Aaargh! Berengsek!" umpatku sembari terus menggebrak stir. "Mati saja kalian berdua! Mati! Berani-beraninya berbuat kotor di kamarku! Kurang ajar!"Aku menambah kecepatan saat mobil mulai memasuki jalanan yang cukup lebar dan lengang. Mengabaikan klakson kendaraan lain yang kesal karena aksi ugal-ugalan ini. Ponsel berdering berkali-kali. Melihat siapa yang m

    Last Updated : 2021-08-20
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 13

    Biarpun Ayu merengek minta sarapan bersama di luar, tapi aku tak mempedulikannya. Rasaku padanya yang sempat menggebu, hilang begitu saja setelah mengetahui dia ada main dengan Aldi. Ayu kuantar langsung ke kantornya. Setelahnya, aku melesat menuju kantor.Di kantor, aku benar-benar tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Bayangan pertengkaran malam itu selalu hadir memenuhi kepala. Hati ini berdenyut sakit setiap kali ingat dengan perlakuan Mama terhadap Karin. Lebih sakit lagi saat aku teringat telah menamparnya untuk pertama kali."Aaargh!" Tanpa sadar aku menggebrak meja hingga membuat karyawan lain menoleh dan menatap heran padaku. "Maaf," ucapku dengan senyum terpaksa.Saat jam istirahat, terpaksa aku makan di kantin meskipun tidak begitu bernafsu. Kehilangan wanita yang dicintai bukan berarti jalan hidupku juga harus berhenti, bukan? Apalagi kehilangannya karena dia berkhianat.&nbs

    Last Updated : 2021-08-21
  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 14

    Aku terperanjat bangun ke posisi duduk dengan napas terengah. Bahkan, rasa sakit itu masih terasa begitu nyata di dalam sini. Air mata pun masih ada jejaknya di pipi."Kenapa mimpinya begitu terasa nyata?" gumamku sembari mengusap air mata. "Apa maksudnya mimpi tadi? Apa Karin baik-baik saja?"Aku menggeleng cepat, berupaya mengenyahkan segala pikiran buruk yang melintas.Aku harus bisa melupakan Karin, tapi kenapa di sini sangat terasa sakit? Seolah Karin tidak akan pernah kembali. Lalu, siapa anak yang dituntunnya tadi? Apa itu anak dari selingkuhannya itu?""Aaargh!"Aku Mengacak-acak rambut frustasi, lalu beranjak turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah dan tertegun menatap diri di cermin besar.Tiba-tiba saja seolah aku melihat bayanganku yang pernah menggoda Karin di kamar mandi ini. Tanpa sadar, kedua sudut bibir ini terangkat naik mendengar tawa r

    Last Updated : 2021-09-07

Latest chapter

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 78

    Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 77

    POV KAMAL๐Ÿ๐Ÿ๐ŸSemakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 76

    POV KAMAL ๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 75

    "Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 74

    POV MALIK๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 73

    POV KAMAL๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 72

    POV KAMAL๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 71

    "Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w

  • MENYESAL MENDUAKANMUย ย ย Part 70

    Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status