Amanda yakin sekali dengan dugaannya tadi. Rasa kecewa dan sakit hati karena perlakuan Andre menjadi sedikit terlupa saat memandang wajah sayu Tisa. Di sinilah dia sekarang. Menanti sahabatnya tersebut membuka mata. Hingga beberapa menit waktu yang dinanti tiba.“Hai!” sapa Amanda yang lekas tersenyum ramah. Tak pelak membelai lembut wajah pucat Tisa dengan sayang.“Manda??” Tisa yang terkejut buru-buru menegakkan tubuhnya. Wajah perempuan itu seketika menegang. “Ke-kenapa kamu di sini?”Amanda pun langsung cemberut. “Peluk dulu kek. Seharusnya kamu senang aku susulin, Tis.”Tisa malah geleng-geleng kepala. Dia melirik Radit yang duduk tak jauh dari Amanda. “Jangan bilang kalau kamu udah lama di Singapur ya?”“Terserah deh. Yang penting aku udah di sini. Aku akan jagain kamu. Oke?”“Udah ketemu Andre??”Amanda mengangguk singkat. “Jangan bahas yang lain dulu. Yang penting sekarang adalah kamu dan …,” ucapannya terjeda saat melihat perut Tisa yang masih rata
“Bodoh ya aku,” ucap Amanda sambil tersenyum getir. Saat ini tak ada lagi kemarahan yang tersirat di wajahnya. Hanya penyesalan yang menumpuk di dalam dada. Mengapa dia bisa begitu percaya pada persahabatan dan cinta yang sudah menaruh luka secara bersamaan.Tisa masih terus terisak meskipun dia sudah terbaring dengan infus di atas brankar. “Maafin aku, Manda.”“Udah, Tis. Cukup.” Amanda mengangguk singkat. “Aku bilang tadi apa? Aku udah maafin kalian. Toh semua telah terjadi. Anak itu buktinya. Usia kandungan delapan minggu. Artinya selama aku di Indonesia hubunganmu dan Andre sudah sejauh ya … selamat, karena kalian bakalan jadi orangtua.” Sebenarnya bisa saja Amanda berteriak atau mengungkapkan amarah sekarang. Namun, mengingat kondisi Tisa yang tidak baik menjadikan gadis itu menekan perasaannya sementara. Memilih untuk memeluk serta menenangkan sahabat yang boleh dikatakan teman makan teman tersebut.“Andre jahat. Dia enggak mau tanggungjawab,” isak Ti
Amanda sungguh tak pernah menyangka akan mencicipi getirnya sebuah penghianatan. Bukan karena satu orang, melainkan dua pelaku sekaligus. Mirisnya malah berasal dari pihak-pihak yang begitu ia percaya. Malam ini dia dan Radit sudah tiba di Medan. Penerbangan yang singkat, tetapi sangat melelahkan tentu saja. Banyak kerumitan yang beruntungnya sudah diakhiri di Singapura. Sekarang lalu apalagi? Dia akan menyandang gelar status janda dalam waktu dekat.“Kita ke rumah papa ya. Ayra ada di sana,” kata Radit saat melihat kedatangan sopir yang menjemput mereka.Amanda mengangguk tanpa suara. Melangkah mengikuti Radit yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.“Oh ya, Pak. Tadi Nyonya Ibu barusan sampai di rumah. Sekarang juga ada di rumah Tuan Papa,” lapor sang sopir.“Hah?” Radit pun mengerutkan alisnya. “Maksud Bapak, ibu saya datang dari Kisaran?”“Iyalah, Pak. Memangnya Pak Radit punya ibu tiri toh?” seloroh sopir itu lagi. “Semua udah nungguin di rumah.”“Y
“Jangan bermimpi!!”Amanda malah tergelak usai mendengar ucapan lantang Radit tersebut. Senyumnya semakin melebar. Berganti menjadi tawa yang segera menampakkan deretan gigi putih gadis cantik itu.“Kenapa? Kau takut?” gumamnya kemudian.“Sejak awal hubungan kita sudah salah. Pernikahan ini hanya karena terpaksa. Demi Ayra,” kata Radit menegaskan kembali.“Aku juga tahu,” sahut Amanda cepat. “Lantas, kenapa kau tidak menolak permintaan papa? Takut dia kecewa. Begitukah? Dasar pengecut!”“Terserah kau mau bilang apa.”“Kau sama saja dengan Andre,” pungkas Amanda yang kini menatap Radit dengan tajam.Jari tengahnya bahkan sudah mengacung ke udara. Pertanda mengecam sang suami dengan tuduhan barusan.“Kita belum selesai bicara, Manda.”“Apalagi?” Amanda segera membalikkan badannya. “Kau takut jatuh cinta dengan
Sus Rini yang sudah berwajah sendu bergerak semakin gelisah di tempatnya. Membuat Radit dan sang ibu bertambah bingung.“Kenapa, Sus? Ngomong yang jelas! Kenapa sama Manda?” desak Bu Ningsih tak sabaran.Namun, pengasuh Ayra itu malah menggeleng pelan. Air matanya mengalir seketika. “Ma-maksud saya ibu. Hemmm … ibu saya di kampung.” Baik Radit maupun ibunya menghela napas lega. Tak lama kemudian mereka menatap balik Sus Rini yang tampak sangat cemas sekarang.“Terus, kenapa dengan ibumu?”“Maaf, Pak, Nyonya.” Sus Rini mulai mendongakkan kepala. “Ibu saya jatuh di kamar mandi dari kemarin. Sampai sekarang enggak bisa jalan. Sa-saya mau lihat ibu.” Penjelasan barusan lekas membuat pasangan ibu dan anak itu mengangguk paham. Mana mungkin mereka tega menahan Sus Rini di sini. Bagaimanapun keluarga adalah yang paling utama. Tak hanya pengasuh yang pamit undur diri untuk balik ke kampung halaman, tetapi Bi Asih yang merupakan kerabat d
“Manda,” bisik Radit pelan.Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan bahu kiri sang istri. Takut jika Ayra terusik karena mendengar suaranya barusan.Amanda menggeliat pelan. Lantas menyadari bahwa dia dan Ayra baru saja terlelap dalam keadaan duduk di atas sofa. Kepala pun terasa pusing karena dibangunkan mendadak seperti ini. Padahal baru saja hendak terlelap. Menyebalkan memang.“Apa?” tanyanya dengan suara serak.“Susu Ayra.” Dua kata tersebut lekas merenggut rasa kantuknya. Amanda baru sadar bahwa Ayra masih belum mengisi perut sejak beberapa jam lalu. Tenaga sang bayi pastilah habis terkuras karena mengamuk cukup lama.Amanda mengangguk dengan tangan yang masih mempertahankan posisi nyaman anak sambungnya itu. Tangannya menyambar botol susu yang diberikan Radit. Lantas meletakkan bagian empeng di celah bibir mungil Ayra.
“Kalau pilih sayur yang beneran seger, Manda,” tegur mertuanya. “Lihat wortel pilihanmu! Ada warna hijaunya di sini. Jelek itu. Yang kayak gini baru bagus.”Amanda ber-oh ria sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ini gimana, Bu?”“Itu kebesaran. Pilih yang sedang aja ukurannya,” protes sang mertua lagi. Interaksi keduanya jelas tak luput dari pengamatan para tetangga yang juga tengah berbelanja di warung itu. Beberapa dari mereka ada yang terkekeh melihat gerak-gerik Amanda.“Masak apa, Bu hari ini?”“Yang gampang saja. Sayur bening. Lauknya sambal ayam,” jawab Bu Ningsih to the point. Mertua Amanda itu masih terus memilah sayuran yang terpampang di sekitaran warung. Tak pelak menjelaskan apa saja yang perlu dike
Sumpah. Bu Ningsih tak habis pikir dengan isi kepala putranya sendiri. Ya. Awalnya Radit bersikeras memberitahu bahwa pernikahan dengan Amanda adalah jalan yang terbaik. Dia yang ragu kemudian perlahan membenarkan langkah yang diambil oleh anaknya itu. Namun, sekarang apa jadinya? Semua malah bertolak belakang. Sungguh dia sangat kecewa sebagai seorang ibu. Karena ingin menenangkan diri, jadilah dia sengaja menonaktifkan ponselnya hingga beberapa jam ke depan. Tak mau mendengarkan ocehan dan segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga sang anak. Setidaknya sampai kembali ke rumah nanti.“Wah. Ternyata Bu Arini adalah teman masa kecilnya Pak Radit ya? Satu kampung pula. Pantesan cara natapnya beda,” celetuk salah satu rekan kerja Radit yang sesama dosen.Arini pun terkekeh. “Memangnya g
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya