Amanda sungguh tak pernah menyangka akan mencicipi getirnya sebuah penghianatan. Bukan karena satu orang, melainkan dua pelaku sekaligus. Mirisnya malah berasal dari pihak-pihak yang begitu ia percaya. Malam ini dia dan Radit sudah tiba di Medan. Penerbangan yang singkat, tetapi sangat melelahkan tentu saja. Banyak kerumitan yang beruntungnya sudah diakhiri di Singapura. Sekarang lalu apalagi? Dia akan menyandang gelar status janda dalam waktu dekat.“Kita ke rumah papa ya. Ayra ada di sana,” kata Radit saat melihat kedatangan sopir yang menjemput mereka.Amanda mengangguk tanpa suara. Melangkah mengikuti Radit yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.“Oh ya, Pak. Tadi Nyonya Ibu barusan sampai di rumah. Sekarang juga ada di rumah Tuan Papa,” lapor sang sopir.“Hah?” Radit pun mengerutkan alisnya. “Maksud Bapak, ibu saya datang dari Kisaran?”“Iyalah, Pak. Memangnya Pak Radit punya ibu tiri toh?” seloroh sopir itu lagi. “Semua udah nungguin di rumah.”“Y
“Jangan bermimpi!!”Amanda malah tergelak usai mendengar ucapan lantang Radit tersebut. Senyumnya semakin melebar. Berganti menjadi tawa yang segera menampakkan deretan gigi putih gadis cantik itu.“Kenapa? Kau takut?” gumamnya kemudian.“Sejak awal hubungan kita sudah salah. Pernikahan ini hanya karena terpaksa. Demi Ayra,” kata Radit menegaskan kembali.“Aku juga tahu,” sahut Amanda cepat. “Lantas, kenapa kau tidak menolak permintaan papa? Takut dia kecewa. Begitukah? Dasar pengecut!”“Terserah kau mau bilang apa.”“Kau sama saja dengan Andre,” pungkas Amanda yang kini menatap Radit dengan tajam.Jari tengahnya bahkan sudah mengacung ke udara. Pertanda mengecam sang suami dengan tuduhan barusan.“Kita belum selesai bicara, Manda.”“Apalagi?” Amanda segera membalikkan badannya. “Kau takut jatuh cinta dengan
Sus Rini yang sudah berwajah sendu bergerak semakin gelisah di tempatnya. Membuat Radit dan sang ibu bertambah bingung.“Kenapa, Sus? Ngomong yang jelas! Kenapa sama Manda?” desak Bu Ningsih tak sabaran.Namun, pengasuh Ayra itu malah menggeleng pelan. Air matanya mengalir seketika. “Ma-maksud saya ibu. Hemmm … ibu saya di kampung.” Baik Radit maupun ibunya menghela napas lega. Tak lama kemudian mereka menatap balik Sus Rini yang tampak sangat cemas sekarang.“Terus, kenapa dengan ibumu?”“Maaf, Pak, Nyonya.” Sus Rini mulai mendongakkan kepala. “Ibu saya jatuh di kamar mandi dari kemarin. Sampai sekarang enggak bisa jalan. Sa-saya mau lihat ibu.” Penjelasan barusan lekas membuat pasangan ibu dan anak itu mengangguk paham. Mana mungkin mereka tega menahan Sus Rini di sini. Bagaimanapun keluarga adalah yang paling utama. Tak hanya pengasuh yang pamit undur diri untuk balik ke kampung halaman, tetapi Bi Asih yang merupakan kerabat d
“Manda,” bisik Radit pelan.Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan bahu kiri sang istri. Takut jika Ayra terusik karena mendengar suaranya barusan.Amanda menggeliat pelan. Lantas menyadari bahwa dia dan Ayra baru saja terlelap dalam keadaan duduk di atas sofa. Kepala pun terasa pusing karena dibangunkan mendadak seperti ini. Padahal baru saja hendak terlelap. Menyebalkan memang.“Apa?” tanyanya dengan suara serak.“Susu Ayra.” Dua kata tersebut lekas merenggut rasa kantuknya. Amanda baru sadar bahwa Ayra masih belum mengisi perut sejak beberapa jam lalu. Tenaga sang bayi pastilah habis terkuras karena mengamuk cukup lama.Amanda mengangguk dengan tangan yang masih mempertahankan posisi nyaman anak sambungnya itu. Tangannya menyambar botol susu yang diberikan Radit. Lantas meletakkan bagian empeng di celah bibir mungil Ayra.
“Kalau pilih sayur yang beneran seger, Manda,” tegur mertuanya. “Lihat wortel pilihanmu! Ada warna hijaunya di sini. Jelek itu. Yang kayak gini baru bagus.”Amanda ber-oh ria sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ini gimana, Bu?”“Itu kebesaran. Pilih yang sedang aja ukurannya,” protes sang mertua lagi. Interaksi keduanya jelas tak luput dari pengamatan para tetangga yang juga tengah berbelanja di warung itu. Beberapa dari mereka ada yang terkekeh melihat gerak-gerik Amanda.“Masak apa, Bu hari ini?”“Yang gampang saja. Sayur bening. Lauknya sambal ayam,” jawab Bu Ningsih to the point. Mertua Amanda itu masih terus memilah sayuran yang terpampang di sekitaran warung. Tak pelak menjelaskan apa saja yang perlu dike
Sumpah. Bu Ningsih tak habis pikir dengan isi kepala putranya sendiri. Ya. Awalnya Radit bersikeras memberitahu bahwa pernikahan dengan Amanda adalah jalan yang terbaik. Dia yang ragu kemudian perlahan membenarkan langkah yang diambil oleh anaknya itu. Namun, sekarang apa jadinya? Semua malah bertolak belakang. Sungguh dia sangat kecewa sebagai seorang ibu. Karena ingin menenangkan diri, jadilah dia sengaja menonaktifkan ponselnya hingga beberapa jam ke depan. Tak mau mendengarkan ocehan dan segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga sang anak. Setidaknya sampai kembali ke rumah nanti.“Wah. Ternyata Bu Arini adalah teman masa kecilnya Pak Radit ya? Satu kampung pula. Pantesan cara natapnya beda,” celetuk salah satu rekan kerja Radit yang sesama dosen.Arini pun terkekeh. “Memangnya g
[“Syukurlah kalau begitu. Makasih ya, Bulek.”] Radit pun bisa bernapas lega setelah mendengar laporan dari tetangganya di seberang telepon sana. Pria itu terduduk di atas sofa sembari memijat pelan pelipisnya.“Gimana? Ibu beneran pulang kampung?” tanya Amanda yang juga ikut cemas. Anggukan Radit membuatnya mengulum senyum. Hingga kemudian Amanda kembali sibuk mendiamkan Ayra yang mulai merengek manja. Sedikit bergerak menjauhi sang suami yang tengah berdiam diri.“Diminum dulu tehnya, Pak,” kata Bi Asih yang baru muncul di hadapan Radit.“Bibi udah balik? Sus Rini mana?”“Sus Rini ngundurin diri. Ibunya enggak ada yang jagain.” Amanda yang menjawab pertanyaan suaminya barusan. Radit menampakkan keterkejutannya lewat mata yang
Amanda bergidik ngeri saat melihat Radit yang sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Tahu bahwa saat ini sang suami pastilah sedang diomeli habis-habisan oleh ibu kandung sendiri.“Owoh!” Celotehan tadi kembali merebut atensinya. Amanda kemudian mengulum senyum dan mengajak Ayra bercanda. Sementara dia masih bisa mendengar Radit yang berulang kali menyatakan permintaan maaf seraya menghela napas.“Ibu mau lihat Ayra,” kata Radit kemudian. Gegas Amanda mengarahkan wajah bayinya lurus ke depan. Tampak wajah lelah Bu Ningsih yang tersirat di layar benda pipih sana.[“Ayra Sayang! Maaf ya nenek enggak sempat pamitan. Nenek tadi buru-buru.”]&nb