“Kalau pilih sayur yang beneran seger, Manda,” tegur mertuanya. “Lihat wortel pilihanmu! Ada warna hijaunya di sini. Jelek itu. Yang kayak gini baru bagus.”
Amanda ber-oh ria sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ini gimana, Bu?”
“Itu kebesaran. Pilih yang sedang aja ukurannya,” protes sang mertua lagi.
Interaksi keduanya jelas tak luput dari pengamatan para tetangga yang juga tengah berbelanja di warung itu. Beberapa dari mereka ada yang terkekeh melihat gerak-gerik Amanda.
“Masak apa, Bu hari ini?”
“Yang gampang saja. Sayur bening. Lauknya sambal ayam,” jawab Bu Ningsih to the point.
Mertua Amanda itu masih terus memilah sayuran yang terpampang di sekitaran warung. Tak pelak menjelaskan apa saja yang perlu dike
Sumpah. Bu Ningsih tak habis pikir dengan isi kepala putranya sendiri. Ya. Awalnya Radit bersikeras memberitahu bahwa pernikahan dengan Amanda adalah jalan yang terbaik. Dia yang ragu kemudian perlahan membenarkan langkah yang diambil oleh anaknya itu. Namun, sekarang apa jadinya? Semua malah bertolak belakang. Sungguh dia sangat kecewa sebagai seorang ibu. Karena ingin menenangkan diri, jadilah dia sengaja menonaktifkan ponselnya hingga beberapa jam ke depan. Tak mau mendengarkan ocehan dan segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga sang anak. Setidaknya sampai kembali ke rumah nanti.“Wah. Ternyata Bu Arini adalah teman masa kecilnya Pak Radit ya? Satu kampung pula. Pantesan cara natapnya beda,” celetuk salah satu rekan kerja Radit yang sesama dosen.Arini pun terkekeh. “Memangnya g
[“Syukurlah kalau begitu. Makasih ya, Bulek.”] Radit pun bisa bernapas lega setelah mendengar laporan dari tetangganya di seberang telepon sana. Pria itu terduduk di atas sofa sembari memijat pelan pelipisnya.“Gimana? Ibu beneran pulang kampung?” tanya Amanda yang juga ikut cemas. Anggukan Radit membuatnya mengulum senyum. Hingga kemudian Amanda kembali sibuk mendiamkan Ayra yang mulai merengek manja. Sedikit bergerak menjauhi sang suami yang tengah berdiam diri.“Diminum dulu tehnya, Pak,” kata Bi Asih yang baru muncul di hadapan Radit.“Bibi udah balik? Sus Rini mana?”“Sus Rini ngundurin diri. Ibunya enggak ada yang jagain.” Amanda yang menjawab pertanyaan suaminya barusan. Radit menampakkan keterkejutannya lewat mata yang
Amanda bergidik ngeri saat melihat Radit yang sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Tahu bahwa saat ini sang suami pastilah sedang diomeli habis-habisan oleh ibu kandung sendiri.“Owoh!” Celotehan tadi kembali merebut atensinya. Amanda kemudian mengulum senyum dan mengajak Ayra bercanda. Sementara dia masih bisa mendengar Radit yang berulang kali menyatakan permintaan maaf seraya menghela napas.“Ibu mau lihat Ayra,” kata Radit kemudian. Gegas Amanda mengarahkan wajah bayinya lurus ke depan. Tampak wajah lelah Bu Ningsih yang tersirat di layar benda pipih sana.[“Ayra Sayang! Maaf ya nenek enggak sempat pamitan. Nenek tadi buru-buru.”]&nb
Usia Ayra sekarang sudah empat bulan lebih seminggu. Bertepatan pula dengan pernikahan Amanda dan Radit yang saat ini telah berlangsung genap tiga bulan lamanya. Namun, pasangan suami istri tersebut tetap tak menunjukkan perkembangan hubungan yang berarti. Keduanya akan bekerja sama mengurusi sang anak dan kembali asing seperti sebelumnya.“Kalau enggak sempat luangin waktu buat nanti sore ya udah sih,” kata Amanda saat mereka sarapan bersama. “Aku bisa keluar sama Ayra aja berdua. Naik taksi online aja.”“Aku usahain,” gumam Radit kemudian.“Keburu Ayra udah kayak artis India nih, Pa. Pake baju masa hampir kelihatan pusarnya. Iya ‘kan, Sayang?” Dia menoleh pada Ayra yang disibukkan oleh mainan gantung di atas bouncer-nya. “Kemarin aja waktu Mama Tiara dan papa ke sini kau tidak memperbolehkan kami pergi belanja.”
Sontak kalimat barusan membuat senyuman di wajah manis Arini langsung menghilang. Dirinya dan Amanda kompak menoleh ke arah sumber suara. Tampak Bi Asih sudah memasang wajah antagonisnya. “Bibi,” tegur Amanda kemudian. “Kenapa bicaranya begitu?” “Sebagai orangtua di sini, bibi hanya memberikan nasihat saja.” Bi Asih mulai kumat lagi ternyata. “Di mana-mana ya kalau perempuan yang bener dan tahu diri itu enggak akan mau nemplok sama laki orang.” Arini yang sadar ke mana arah pembicaraan tersebut lekas menundukkan kepala. Sementara Amanda sudah memberikan kode lewat delikan matanya. Sayang, sang asisten rumah tangga itu malah semakin mengeluarkan kata-kata mutiara yang dipunya. “Mmah,” celoteh Ayra yang terusik karena mungkin merasa diabaikan oleh para orang dewasa di sana. “Iya ‘kan, Non?” Malah Bi Asih mencari dukungan pula. “Non Ayra pasti enggak mau punya mama pengganti lagi. Wong Mama Manda-nya saja sudah baik enggak ketulungan. Punya hubungan darah juga.” “Ada apa ini??” R
“Sayang, udah dulu ya belanjanya. Tadi bos nelepon. Katanya disuruh ke kantor cepat.” Ibu hamil itu kemudian menoleh ke arah sumber suara. Segera pamit undur diri karena lengannya sudah digamit sang suami. Lantas meninggalkan mereka yang ada di sana.“Mana? Aku mau lihat,” kata Amanda yang lekas mengalihkan atensi Radit dan Arini. Kepalanya mendongak untuk melihat apa yang dibawa oleh keduanya.“Baju ini lucu untuk Ayra,” ucap Arini seraya memperlihatkan apa yang sedari tadi didekapnya. “Aku pilihin yang senada warna untuk bandana serta kaus kakinya juga. Gimana menurut Kakak?” Semua barang bawaannya kini diseleksi oleh Amanda. Pun begitu juga dengan Radit. Hingga lima menit kemudian tangis Ayra memecah konsentrasi sang mama.“Yang ini enggak usah aja,” kata Amanda yang protes dengan sepatu pilihan Radit. “Bahannya enggak cocok buat Ayra. Terlalu keras. Lagian kebesaran juga.” Setelah mengatakan itu Amanda gegas bangkit dari posisi duduknya. M
Radit sendiri tidak tahu kenapa dia bisa jadi semarah tadi. Hanya perkara dompet yang tidak tampak dia lantas mengeluarkan kata-kata kasar. Wajar jika putrinya marah bahkan merajuk sekarang.“Maaf, Pak.” Bi Asih lantas menyerahkan benda yang menjadi alasan sikap anehnya barusan. “Tadi bibi periksa di kantong celana Bapak. Ada di sana ternyata.”“Makasih ya, Bi.”“Sama-sama, Pak,” sahut Bi Asih yang segera menghilang dari pandangannya. Pagi ini suasana di rumah sudah memburuk. Semua karena ulahnya sendiri. Radit mengembuskan napas kasar ketika melihat Amanda yang tengah menenangkan Ayra.“Cup cup. Iya, Sayang.” Istrinya itu sibuk berjalan pelan ke kanan dan ke kiri untuk membujuk sang buah hati. “Papa enggak sengaja tadi. Maafin
Nama mendiang istrinya terlihat jelas di batu nisan. Radit mengusap pelan pusara itu dengan wajah yang sudah mendung. Merasa bersalah karena akhir-akhir ini menyadari ada yang berbeda pada dirinya sendiri.“Aku mencintaimu, Dinda,” ucapnya lirih. Radit kembali terkenang dengan pertemuan pertama mereka. Dari pertemanan sejak kecil hingga berakhir di jenjang pernikahan. Hampir tak penah ada pertengkaran mengingat Dinda yang memiliki sifat istimewa. Lembut, manja dan sangat penyayang. Sungguh berbeda dengan Amanda yang keras kepala dan lebih tegas serta mandiri. Bukankah setiap orang terlahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing? Radit hampir melupakan pernyataan tersebut lantaran saat ini hatinya masih menol