Umpatan tersebut membuat Amanda jelas sakit hati. Tangannya yang lemah mulai mengepal dan perlahan melayang ke udara. Bersiap untuk memukul Radit, tetapi tak kunjung sampai. “Ah!!” “Kenapa tidak jadi? Bukankah kau mau menamparku?” Radit bahkan sudah menyambar tangannya. “Ayo! Lakukan, Manda!!” bentaknya.Amanda menunduk. Air matanya kembali jatuh. “Maaf,” cicitnya kemudian. Radit pun tergelak lantas geleng-geleng kepala. “Aku pikir kau adalah wanita yang pintar. Tadinya aku merasa kau perlu waktu sendiri. Ternyata malah mengambil kesempatan yang bodoh dengan mencoba bunuh diri. Ck ck.” Ada jeda selama beberapa detik hingga ucapan tadi kembali berlajut. "Apa kau tidak mengingat papa, mama atau mungkin Ayra, heh?! Mereka pasti sedih melihatmu mati dengan cara mengenaskan." Kalimat Radit terpaksa berhenti karena layanan room service sudah datang. Makan siang mereka kini terhidang di depan mata. Namun, keduanya masih sama-sama bungkam. “Aku akan pergi.”“Makanlah dulu,” ucap Radit be
Amanda yakin sekali dengan dugaannya tadi. Rasa kecewa dan sakit hati karena perlakuan Andre menjadi sedikit terlupa saat memandang wajah sayu Tisa. Di sinilah dia sekarang. Menanti sahabatnya tersebut membuka mata. Hingga beberapa menit waktu yang dinanti tiba.“Hai!” sapa Amanda yang lekas tersenyum ramah. Tak pelak membelai lembut wajah pucat Tisa dengan sayang.“Manda??” Tisa yang terkejut buru-buru menegakkan tubuhnya. Wajah perempuan itu seketika menegang. “Ke-kenapa kamu di sini?”Amanda pun langsung cemberut. “Peluk dulu kek. Seharusnya kamu senang aku susulin, Tis.”Tisa malah geleng-geleng kepala. Dia melirik Radit yang duduk tak jauh dari Amanda. “Jangan bilang kalau kamu udah lama di Singapur ya?”“Terserah deh. Yang penting aku udah di sini. Aku akan jagain kamu. Oke?”“Udah ketemu Andre??”Amanda mengangguk singkat. “Jangan bahas yang lain dulu. Yang penting sekarang adalah kamu dan …,” ucapannya terjeda saat melihat perut Tisa yang masih rata
“Bodoh ya aku,” ucap Amanda sambil tersenyum getir. Saat ini tak ada lagi kemarahan yang tersirat di wajahnya. Hanya penyesalan yang menumpuk di dalam dada. Mengapa dia bisa begitu percaya pada persahabatan dan cinta yang sudah menaruh luka secara bersamaan.Tisa masih terus terisak meskipun dia sudah terbaring dengan infus di atas brankar. “Maafin aku, Manda.”“Udah, Tis. Cukup.” Amanda mengangguk singkat. “Aku bilang tadi apa? Aku udah maafin kalian. Toh semua telah terjadi. Anak itu buktinya. Usia kandungan delapan minggu. Artinya selama aku di Indonesia hubunganmu dan Andre sudah sejauh ya … selamat, karena kalian bakalan jadi orangtua.” Sebenarnya bisa saja Amanda berteriak atau mengungkapkan amarah sekarang. Namun, mengingat kondisi Tisa yang tidak baik menjadikan gadis itu menekan perasaannya sementara. Memilih untuk memeluk serta menenangkan sahabat yang boleh dikatakan teman makan teman tersebut.“Andre jahat. Dia enggak mau tanggungjawab,” isak Ti
Amanda sungguh tak pernah menyangka akan mencicipi getirnya sebuah penghianatan. Bukan karena satu orang, melainkan dua pelaku sekaligus. Mirisnya malah berasal dari pihak-pihak yang begitu ia percaya. Malam ini dia dan Radit sudah tiba di Medan. Penerbangan yang singkat, tetapi sangat melelahkan tentu saja. Banyak kerumitan yang beruntungnya sudah diakhiri di Singapura. Sekarang lalu apalagi? Dia akan menyandang gelar status janda dalam waktu dekat.“Kita ke rumah papa ya. Ayra ada di sana,” kata Radit saat melihat kedatangan sopir yang menjemput mereka.Amanda mengangguk tanpa suara. Melangkah mengikuti Radit yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.“Oh ya, Pak. Tadi Nyonya Ibu barusan sampai di rumah. Sekarang juga ada di rumah Tuan Papa,” lapor sang sopir.“Hah?” Radit pun mengerutkan alisnya. “Maksud Bapak, ibu saya datang dari Kisaran?”“Iyalah, Pak. Memangnya Pak Radit punya ibu tiri toh?” seloroh sopir itu lagi. “Semua udah nungguin di rumah.”“Y
“Jangan bermimpi!!”Amanda malah tergelak usai mendengar ucapan lantang Radit tersebut. Senyumnya semakin melebar. Berganti menjadi tawa yang segera menampakkan deretan gigi putih gadis cantik itu.“Kenapa? Kau takut?” gumamnya kemudian.“Sejak awal hubungan kita sudah salah. Pernikahan ini hanya karena terpaksa. Demi Ayra,” kata Radit menegaskan kembali.“Aku juga tahu,” sahut Amanda cepat. “Lantas, kenapa kau tidak menolak permintaan papa? Takut dia kecewa. Begitukah? Dasar pengecut!”“Terserah kau mau bilang apa.”“Kau sama saja dengan Andre,” pungkas Amanda yang kini menatap Radit dengan tajam.Jari tengahnya bahkan sudah mengacung ke udara. Pertanda mengecam sang suami dengan tuduhan barusan.“Kita belum selesai bicara, Manda.”“Apalagi?” Amanda segera membalikkan badannya. “Kau takut jatuh cinta dengan
Sus Rini yang sudah berwajah sendu bergerak semakin gelisah di tempatnya. Membuat Radit dan sang ibu bertambah bingung.“Kenapa, Sus? Ngomong yang jelas! Kenapa sama Manda?” desak Bu Ningsih tak sabaran.Namun, pengasuh Ayra itu malah menggeleng pelan. Air matanya mengalir seketika. “Ma-maksud saya ibu. Hemmm … ibu saya di kampung.” Baik Radit maupun ibunya menghela napas lega. Tak lama kemudian mereka menatap balik Sus Rini yang tampak sangat cemas sekarang.“Terus, kenapa dengan ibumu?”“Maaf, Pak, Nyonya.” Sus Rini mulai mendongakkan kepala. “Ibu saya jatuh di kamar mandi dari kemarin. Sampai sekarang enggak bisa jalan. Sa-saya mau lihat ibu.” Penjelasan barusan lekas membuat pasangan ibu dan anak itu mengangguk paham. Mana mungkin mereka tega menahan Sus Rini di sini. Bagaimanapun keluarga adalah yang paling utama. Tak hanya pengasuh yang pamit undur diri untuk balik ke kampung halaman, tetapi Bi Asih yang merupakan kerabat d
“Manda,” bisik Radit pelan.Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan bahu kiri sang istri. Takut jika Ayra terusik karena mendengar suaranya barusan.Amanda menggeliat pelan. Lantas menyadari bahwa dia dan Ayra baru saja terlelap dalam keadaan duduk di atas sofa. Kepala pun terasa pusing karena dibangunkan mendadak seperti ini. Padahal baru saja hendak terlelap. Menyebalkan memang.“Apa?” tanyanya dengan suara serak.“Susu Ayra.” Dua kata tersebut lekas merenggut rasa kantuknya. Amanda baru sadar bahwa Ayra masih belum mengisi perut sejak beberapa jam lalu. Tenaga sang bayi pastilah habis terkuras karena mengamuk cukup lama.Amanda mengangguk dengan tangan yang masih mempertahankan posisi nyaman anak sambungnya itu. Tangannya menyambar botol susu yang diberikan Radit. Lantas meletakkan bagian empeng di celah bibir mungil Ayra.
“Kalau pilih sayur yang beneran seger, Manda,” tegur mertuanya. “Lihat wortel pilihanmu! Ada warna hijaunya di sini. Jelek itu. Yang kayak gini baru bagus.”Amanda ber-oh ria sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ini gimana, Bu?”“Itu kebesaran. Pilih yang sedang aja ukurannya,” protes sang mertua lagi. Interaksi keduanya jelas tak luput dari pengamatan para tetangga yang juga tengah berbelanja di warung itu. Beberapa dari mereka ada yang terkekeh melihat gerak-gerik Amanda.“Masak apa, Bu hari ini?”“Yang gampang saja. Sayur bening. Lauknya sambal ayam,” jawab Bu Ningsih to the point. Mertua Amanda itu masih terus memilah sayuran yang terpampang di sekitaran warung. Tak pelak menjelaskan apa saja yang perlu dike