[Surat gugatannya sudah aku titip ke Bi Asih. ]
Tak ada balasan dari pria itu. Amanda memilih melemparkan gawainya ke atas ranjang. Lantas berjalan pelan menuju koper yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu. Perjalanan menyenangkan mulai menari-nari di atas kepalanya.
Hingga waktu menunjukkan menjelang tengah malam, dia masih terjaga. Tak sabaran ingin bertemu sang kekasih dan memberikan kejutan dengan kedatangannya.
***
Jangan sampai ada yang mengganggu keberangkatannya kali ini. Amanda memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. Memilih fokus pada penerbangan yang sudah lama tertunda karena banyak hal.
Sebentar lagi dia akan memanen kebahagiaan bersama dengan Andre. Ilmu berumah tangga sedikit banyak sudah dicicipi meskipun tidak sepenuhnya.
Dengan langkah cepat dia berjalan menuju su
Radit mengerutkan alisnya usai mendengarkan rencana Amanda. Lantas mengendikkan bahu kemudian.“Kau ada-ada saja,” katanya. “Kenapa tidak kau saja yang menelepon?”“Aku ‘kan mau buat surprise. Bagaimana sih?” ucap Amanda yang langsung manyun. Tak pelak istri Radit itu memperlihatkan deretan angka dari layar ponselnya.“Ck. Ini sih namanya kau memanfaatkanku, Manda,” decak Radit.“Ayolah. Bilang pada asisten Andre kalau kau adalah temannya. Dia tidak akan curiga karena Andre tidak akan pernah membagikan nomornya pada orang asing.” Benar yang dikatakan Amanda. Asisten sang kekasih langsung memberitahu di mana pria itu berada. Kini keduanya bergegas menuju salah satu bar yang ada di sana.“Itu berbahaya, Manda,”
“Ada apa?”Pria muda yang merasa bahwa melihat Radit tadi pun mengerutkan alisnya. Lantas menyipitkan mata sambil celingukan kian kemari. “Aku tadi lihat Pak Radit di sekitaran sini.”Temannya itu malah terkekeh. “Ah. Yang benar saja. Mana mungkin Pak Radit ada di sini. Kau belum apa-apa juga sudah mabuk. Kita baru saja sampai loh.”“Kalau gitu ayo kita buktikan!!” Sementara itu kini orang yang mereka cari tengah mengendap-endap di antara kerumunan yang ada. Tangannya masih bertaut dengan sang istri. Tak membiarkannya lepas walaupun sebentar.“Ayo. Mereka sudah pergi,” kata Amanda.“Kita masih belum aman,” bisik Radit padanya. Kepala pria itu bergerak ke kiri ke kanan untuk memastikan keadaan. “Hampir saja kita bisa kabur dengan cepat.”“Memangnya kau yakin mereka mahasiswamu?”Radit langsung mengangguk tanpa jeda. “Aku masih hapal mukanya. Mereka yang ikut mengulang mata kuliahku semester lalu.” Usai menjelaskan pada Amanda, Radit pun lekas menarik tangan
Amanda berdecak pelan usai melangkah ke sisi Radit. Menjadikan suaminya itu mengulum senyum kenangan ketika menatap Andre yang sekarang membelalak kaget.“Manda, jangan bercanda!” Andre menggeleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.“Radit benar. Sebaiknya aku menyelesaikan masalah kami dulu.”“Sayang, untuk apa kamu kemari kalau hanya membuatku patah hati begini?” geram Andre menahan kemarahannya. Sumpah. Dia merasa malu bukan main karena dugaannya tadi salah besar. Sang kekasih ternyata lebih memilih suami sah daripada dirinya sendiri. Jelas ia tak terima.“Sudah malam, Manda. Sebaiknya kita pulang sekarang,” bisik Radit kemudian. Namun, Amanda masih bergeming. Netranya masih menatap pilu pada Andre yang merasa diabaikan. Gadis itu lantas melangkah dan menyentuh lembut lengan kanannya.“Kita masih bisa ketemu besok ‘kan? Aku akan datang ke lokasi. Tempatnya lebih aman dibandingkan di sini. Semua demi kebaikan kita, Ndre,” bujuk
[“Halo!”]“Ha-lo!” sapa Amanda balik. “Ray?”[“Maaf, Mbak. Ray lagi teler.”]“Kalian di mana sekarang?” Usai mendengar jawaban dari orang di seberang sana, Amanda pun mempercepat langkahnya. Berjalan setengah berlari tanpa mempedulikan apapun. Sementara itu Radit juga melakukan hal yang sama.“Kita ke tempat yang tadi?” tanya Radit kemudian.Amanda mengangguk sembari mengatur deru napasnya. Sedikit merasa lelah karena jarak tempuh dari hotel menuju lokasi yang akan didatangi sekitar satu kilometer jauhnya.Pemandangan pertama yang ditemui adalah sosok Ray dalam keadaan setengah berbaring di salah satu sofa. Tampak kening asisten Andre itu memar.“Tadi ketubruk, Mbak,” jelas orang yang tadi menggantikan Ray untuk menjawab telepon Amanda.“Andre mana?” Pria bertubuh jangkung tersebut gelagapan. Menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal hingga kemudian menggeleng pelan. Baru saja Amanda hendak bertanya kembali, jari telunjuk kanan Ray sud
Radit tidak bisa membaca keseluruhan isi pesan tadi lantaran layar ponsel Amanda yang terkunci. Namun, dirinya cukup yakin kalau Andre sudah menunggu di depan kamar. Alhasil dia pun beringsut dari ranjang dengan sangat hati-hati. Tak mau mengganggu sang istri yang masih terlelap.CKLEK!!“Aku ingin bicara dengan Manda. Di mana dia??” serang Andre straight to the point. Dia bahkan bersiap hendak masuk begitu saja.“Dia sedang tidur. Jangan diganggu,” jawab Radit lugas. Tangannya sudah bersiaga di depan pintu.“Ck. Dia harus mendengarkan penjelasanku.” Andre menggeram lantaran tak sabar ingin bertemu dengan sang kekasih, tetapi lagi-lagi Radit menahan langkahnya. “Kau jangan ikut campur!!”“Pergi atau aku panggilkan petugas keamanan!!” ancam Radit tak main-main. Mau tak mau Andre memundurkan langkahnya. Menatap nyalang Radit yang masih berada di ambang pintu.“Aku akan datang lagi.” Kalimat barusan hanya direspon oleh Radit dengan diamnya. Lantas dia memilih
Umpatan tersebut membuat Amanda jelas sakit hati. Tangannya yang lemah mulai mengepal dan perlahan melayang ke udara. Bersiap untuk memukul Radit, tetapi tak kunjung sampai. “Ah!!” “Kenapa tidak jadi? Bukankah kau mau menamparku?” Radit bahkan sudah menyambar tangannya. “Ayo! Lakukan, Manda!!” bentaknya.Amanda menunduk. Air matanya kembali jatuh. “Maaf,” cicitnya kemudian. Radit pun tergelak lantas geleng-geleng kepala. “Aku pikir kau adalah wanita yang pintar. Tadinya aku merasa kau perlu waktu sendiri. Ternyata malah mengambil kesempatan yang bodoh dengan mencoba bunuh diri. Ck ck.” Ada jeda selama beberapa detik hingga ucapan tadi kembali berlajut. "Apa kau tidak mengingat papa, mama atau mungkin Ayra, heh?! Mereka pasti sedih melihatmu mati dengan cara mengenaskan." Kalimat Radit terpaksa berhenti karena layanan room service sudah datang. Makan siang mereka kini terhidang di depan mata. Namun, keduanya masih sama-sama bungkam. “Aku akan pergi.”“Makanlah dulu,” ucap Radit be
Amanda yakin sekali dengan dugaannya tadi. Rasa kecewa dan sakit hati karena perlakuan Andre menjadi sedikit terlupa saat memandang wajah sayu Tisa. Di sinilah dia sekarang. Menanti sahabatnya tersebut membuka mata. Hingga beberapa menit waktu yang dinanti tiba.“Hai!” sapa Amanda yang lekas tersenyum ramah. Tak pelak membelai lembut wajah pucat Tisa dengan sayang.“Manda??” Tisa yang terkejut buru-buru menegakkan tubuhnya. Wajah perempuan itu seketika menegang. “Ke-kenapa kamu di sini?”Amanda pun langsung cemberut. “Peluk dulu kek. Seharusnya kamu senang aku susulin, Tis.”Tisa malah geleng-geleng kepala. Dia melirik Radit yang duduk tak jauh dari Amanda. “Jangan bilang kalau kamu udah lama di Singapur ya?”“Terserah deh. Yang penting aku udah di sini. Aku akan jagain kamu. Oke?”“Udah ketemu Andre??”Amanda mengangguk singkat. “Jangan bahas yang lain dulu. Yang penting sekarang adalah kamu dan …,” ucapannya terjeda saat melihat perut Tisa yang masih rata
“Bodoh ya aku,” ucap Amanda sambil tersenyum getir. Saat ini tak ada lagi kemarahan yang tersirat di wajahnya. Hanya penyesalan yang menumpuk di dalam dada. Mengapa dia bisa begitu percaya pada persahabatan dan cinta yang sudah menaruh luka secara bersamaan.Tisa masih terus terisak meskipun dia sudah terbaring dengan infus di atas brankar. “Maafin aku, Manda.”“Udah, Tis. Cukup.” Amanda mengangguk singkat. “Aku bilang tadi apa? Aku udah maafin kalian. Toh semua telah terjadi. Anak itu buktinya. Usia kandungan delapan minggu. Artinya selama aku di Indonesia hubunganmu dan Andre sudah sejauh ya … selamat, karena kalian bakalan jadi orangtua.” Sebenarnya bisa saja Amanda berteriak atau mengungkapkan amarah sekarang. Namun, mengingat kondisi Tisa yang tidak baik menjadikan gadis itu menekan perasaannya sementara. Memilih untuk memeluk serta menenangkan sahabat yang boleh dikatakan teman makan teman tersebut.“Andre jahat. Dia enggak mau tanggungjawab,” isak Ti
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya