"Kenapa?"
"Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned."
Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya.
Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji."Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi.
"Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor itu aku jadi tidak dikejar cewek-cewek matre lagi." Lelaki berhidung mancung itu menggenggam erat tanganku dan kubiarkan saja, tidak seperti saat jalan bersama Arka, tiap kali ia mau memegang tangan ini, sudah pasti aku berusaha menghindarinya meski ia berjanji akan menikahiku.
Lelaki yang sering dipanggil si buruk rupa oleh Kak Sitha itu memang sering datang ke warungku, tetapi sekalipun belum pernah mengendarai mobil. Ia selalu naik motor yang suaranya sungguh membuat telinga mau pecah. Ya, aku sudah tahu ia datang meski belum melihat orangnya karena suara motornya memang khas.
"Terserah kamu lah, Ji. Sebenarnya Papa nggak suka kamu mengendarai si pitung itu, bikin pusing," kata Pak Aditya.
Oh, jadi motor berwarna hitam yang sudah di-modifikasi dengan membobol knalpot sehingga suaranya menggelegar itu namanya si pitung? Menurutku memang jelek, sudah pasti tidak ada seorang cewek pun yang mau dibonceng sama dia.
Aku maklum, yang namanya benda berkesan memang tidak harus bagus dan mahal.
Sepanjang perjalanan hanya Pak Aditya dan Wiji yang terus berbicara sedangkan aku dan mama mertua hanya diam dan menyimak, aku tidak tahu mau bicara apa, apalagi kepalaku juga semakin terasa pusing.
"Stop, sekarang kasih kesempatan pada Mama untuk berkenalan dengan menantu Mama yang cantik ini." Bu Marissa yang duduk di depan menoleh ke arahku.
Aku yang sedang terkantuk-kantuk kaget dengan ucapan mama.
"Iya, Bu. " Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menggaruk tengkuk.
"Kok Bu? Wiji memanggil Mama sehingga kamu harus memanggil Mama juga." Wanita itu tersenyum.
"Iya, Ma." Agak kaku juga saat harus memanggilnya dengan sebutan Ma. Di desaku memang jarang ada seorang anak yang memanggil Mama pada wanita yang sudah melahirkannya, kalau pun ada biasanya seorang anak yang baru pulang merantau dari kota.
"Terima kasih, Nak. Kamu adalah wanita yang sudah membuat Wiji punya semangat hidup. Setelah tragedi kecelakaan yang membuat wajahnya rusak sehingga membuat takut semua orang. Ia bahkan pernah berniat untuk bun*h diri." Tangan wanita itu terulur dan mendarat di pundakku.
"Iya, kah?"
Wanita itu tampak menghela napas perlahan dan mengembuskannya sebelum melanjutkan ceritanya.
"Sebenarnya tanpa ada insiden memalukan itu pun, kami berniat untuk melamarmu, tetapi nanti setelah ia lulus kuliah yang sempat terhenti akibat kecelakaan itu. Namun, sepertinya Tuhan menghendaki kalian untuk bersatu lebih cepat dari waktu yang direncanakan."
Aku tersentak mendengar ucapan Mama Marissa. Jadi, selama ini Mas Wiji memang menyukaiku? Kenapa aku tidak pernah menyadarinya. Ia memang sering datang, tetapi selalu kuanggap sebagai pelanggan biasa yang kebetulan berwisata untuk menghilangkan penat setelah bekerja sepekan. Jangan-jangan tadi Ia memang sengaja ingin memelukku tadi? Ah, sepertinya tidak, karena ini memang salahku yang nyaris ambruk karena memaksa tetap bekerja meski sakit.
"Iya, Ndah. Maafkan aku yang sudah menyukai gadis cantik sepertimu. Aku memang sudah lama naksir kamu, bahkan mungkin sejak pertama aku bertemu dan mencicipi masakanmu, tetapi aku sadar diri karena kamu tidak mungkin menerima cinta dari seorang lelaki buruk rupa sepertiku." Wiji meremas tanganku.
"Aku tahu kalau sebenarnya kamu sudah punya kekasih bernama Arka, tetapi aku tetap datang ke warung karena melihat senyumanmu saja sudah membuatku tenang dan bahagia. Maafkan aku yang sudah membuat impianmu untuk menikah dengan anak Pak Lurah harus kandas di tengah jalan. Aku memang bukan lelaki sempurna, tetapi aku janji akan membuatmu bahagia."
Aku hanya diam mendengar ucapan Wiji karena kepalaku semakin berat.
"Kamu kenapa, Ndah? Masih sakit?" Tangan Wiji yang tadi berada di tanganku beralih menempel di kening. Aku hanya menggeleng lemah meski sebenarnya rasanya tidak karuan. Sejak tadi aku sudah merasa tidak enak badan apalagi sekarang harus naik mobil melewati jalan dengan banyak belokan membuatku semakin pusing.
"Kening kamu panas. Apakah kamu masih sakit? Kalau begitu kamu tidur aja, ya? Maaf, Ma, sepertinya tanya-tanyanya nanti saja dilanjutkan di rumah, ya. Biarkan Endah istirahat dulu." Tanpa menunggu persetujuan, Wiji meraih kepalaku dan membenamkan di dada bidangnya. Jujur, baru kali ini aku bisa begitu dekat dengan lelaki selain bapak, bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku tidak mampu memberontak karena rasa pusing semakin menjadi. Toh, kami sudah sudah halal meski hanya nikah siri dan akan menikah secara resmi nanti.
Bu Marissa tersenyum dan mengangkat tangannya sembari menautkan jempol dan jari telunjuk membentuk huruf 'o'.
Kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan malam dan dingin yang semakin menggigit. Entah berapa lama aku berada dalam pelukan lelaki bertubuh wangi ini hingga akhirnya aku terlelap.
"Di mana aku?" Aku mengerjapkan mata saat menyadari tubuhku masih berada dalam dekapan lelaki yang baru tadi menjadi suami ini dan ternyata ia juga terlelap dengan tangan merangkulku. Di dalam mobil hanya ada aku dan dia sedangkan kedua orang tuanya sudah turun.
"Kamu sudah bangun, Ndah? Kenapa papa atau mama tidak membangunkan kita? Kita turun, yuk?" Wiji menggengam erat tanganku dan membuka pintu mobil.
"Mau kugendong?" Ia merentangkan tangan sambil tersenyum dan aku hanya menggeleng.
"Tunggu! Katanya kamu mau mengajakku pulang ke rumah, kenapa malah diajak ke sini?" Dahiku mengernyit saat kami sampai di depan sebuah rumah dan hendak memasukinya. Ini bukan rumah, tetapi istana seperti yang pernah kulihat di televisi.
Apa mungkin ini rumahnya? Kalau benar, itu artinya ia memang kaya dan mobil itu juga milik keluarganya, bukan mobil rental seperti perkiraan Kak Sitha.
Kalau dia orang kaya dan punya banyak uang, kenapa tidak melakukan operasi untuk memulihkan wajahnya yang rusak itu?
Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan. "Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana. "Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya. Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan. "Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepal
"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara. "Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. "Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu. "Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku." "Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Mas Wiji ters
Aku terdiam dan meremas jari tanganku sendiri. Tidak mungkin aku memaksa lelaki yang ternyata anak orang kaya bukan kaleng-kaleng ini menikahiku secara resmi. Aku sadar siapa diri ini saat sudah berada di sini. Ternyata aku dan Mas Wiji bak langit dan bumi. Benar kata papa mertua, nikah siri memang diperbolehkan, tetapi biasanya merugikan pihak istri karena tidak ada bukti tertulis sehingga tidak punya kekuatan hukum. Si istri tidak bisa menuntut apa pun jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Ah, aku jadi teringat dengan bapak dan ibu di desa yang selalu bilang kalau seorang gadis tamatan SMA sepertiku jodohnya adalah orang miskin. Beda dengan Kak Sitha yang sarjana sehingga jodohnya pasti orang kaya yang bisa membanggakan keluarga. Rasa perih kembali menjalar di ulu hati jika ingat diri ini yang selalu dibandingkan dengan kakak sendiri. "Jadi, sudah jelas, ya, kalau kita tidak akan menikah secara resmi dulu. Kita masuk kamar, yuk. Kamu pasti capek." Mas Wiji menggenggam tanganku
"Endah, ini ada beberapa baju untuk kamu, dipakai, ya, semoga kamu suka?" Mas Wiji mengulurkan beberapa paperbag. Ia baru saja pulang dengan mengendarai si 'pitung'. Sebuah motor yang membuat ia dibenci semua orang karena suaranya yang membuat sakit telinga. Aku mengambil satu paperbag berwarna ungu dan membukanya, sebuah gaun berwarna cokelat muda dengan hiasan pita samping. Aku ternganga, belum pernah punya baju sebagus ini. "Apakah ini benar untukku?" tanyaku masih tidak percaya. Tanganku mengusap gaun yang bahannya lembut dan nyaman di kulit. Ini adalah baju terbaik yang pernah kumiliki, saat masih di desa, aku jarang beli baju baru karena lebih sering pakai baju bekasnya Kak Sitha. "Kenapa? Nggak suka?" Mas Wiji mengedipkan mata. "Apakah pantas gaun sebagus ini menempel di tubuhku? Kasihan gaunnya, kan?" Dahiku berkerut. "Ada-ada saja kamu ini, Ndah. Ayo buka bajumu sekarang dan ganti dengan yang ini!" Mas Wiji membalik tubuhku dan menarik kaus oblong yang kukenakan. "Aku
Ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk dan setelah kulihat dari Mas Wiji. Aku terlonjak kegirangan karena ini untuk pertama kalinya ia meneleponku. "Halo, Ndah. Kamu baik-baik saja dan masih setia menunggu kepulanganku, kan?" Kata-kata itu sama dengan yang ia kirimkan melalui pesan selama ini dan jawabanku juga selalu sama bahwa aku baik-baik saja dan akan selalu menunggu kepulangan suamiku yang sedang pergi ke mana dan entah untuk urusan apa. "Maaf, ya, Ndah, aku tidak bisa menemani kamu untuk menghadiri pesta pernikahan Sitha karena sudah kupastikan aku belum sampai di rumah nanti," "Memangnya masih berapa lama kamu berada di sana untuk menyelesaikan urusan itu, Mas?" tanyaku was-was. "Semoga secepatnya aku bisa pulang. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke acara pernikahan kakakmu dan mantan pacarmu itu." "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga tidak berniat untuk ke sana karena sudah pasti hanya akan membuat keributan.""Jaga dirimu baik-baik, ya
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
"Hm hm, ada yang sudah kangen rupanya, ada Mama, tetapi tetep aja nyosor." Mama tersenyum sambil menaik turunkan alis. Aku nyengir dan mengangkat dua jari membentuk huruf 'V'" Maaf, Ma, ini ciuman pertamaku pada Endah.""Apa kamu bilang? Ciuman pertama? Lalu selama kalian tidur di kamar yang sama itu ngapain?" tanya mama dengan dahi berkerut. "Mas Wiji tidak pernah mau menciumku, Ma. Kami tidur saling membelakangi, bahkan terkadang ia tidur di bawah, tidak satu ranjang denganku." Endah menunduk. "Kenapa begitu? Bagaimana Mama bisa punya cucu kalau kalian tidur sendiri-sendiri seperti ini? Ya udah, sekarang kalian ke kamar aja!" "Ke kamar? Ngapain?" "Ya, gitu lah. Kamu pikir aja sendiri. Dah ya, selamat bersenang-senang." Mama tersenyum menggoda. "Ndah." Aku mengedipkan mata sehingga membuat istriku yang sudah menjelma menjadi bak bidadari itu salah tingkah. "Eit, tunggu! Kita makan dulu karena tadi Mbok Sum dan Endah sudah masak masakan kesukaan kamu." Mama menggandeng tangan
Endah menggelayut manja di lenganku seolah ingin membuat kedua orang itu cemburu, "Kak, ini Mas Wiji--Suamiku." Sitha melotot kemudian tertawa lebar, ia memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Endah, Endah, kamu pikir kakakmu yang cantik ini lupa ingatan apa? Sudah jelas kalau suamimu itu jelek dan mengerikan sehingga semua orang takut padanya sedangkan ini ganteng. Kenapa kamu akui juga sebagai suamimu?" Sitha tersenyum mengejek. "Kamu bilang lelaki ini ganteng? Ya ampun istri macam apa kamu? Bilang orang lain ganteng di depan suaminya sendiri," timpal Arka tidak terima sang istri bilang aku ganteng. "Jangan marah, ya, Mas. Dia ini memang ganteng, tetapi tetap ganteng kamu, kok. Apalagi kamu juga anak Pak Lurah sehingga kamu punya nilai plus. Oh, ya, Ndah, aku dan Arka sudah menikah, tetapi aku memang sengaja tidak memberi tahu kamu apalagi mengundang. Aku bahagia menjadi istrinya Arka dan lihat, kami sangat serasi, kan? Arka ganteng dan aku cantik. Untung, ya, Mas, kamu
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila