"Hm hm, ada yang sudah kangen rupanya, ada Mama, tetapi tetep aja nyosor." Mama tersenyum sambil menaik turunkan alis. Aku nyengir dan mengangkat dua jari membentuk huruf 'V'" Maaf, Ma, ini ciuman pertamaku pada Endah.""Apa kamu bilang? Ciuman pertama? Lalu selama kalian tidur di kamar yang sama itu ngapain?" tanya mama dengan dahi berkerut. "Mas Wiji tidak pernah mau menciumku, Ma. Kami tidur saling membelakangi, bahkan terkadang ia tidur di bawah, tidak satu ranjang denganku." Endah menunduk. "Kenapa begitu? Bagaimana Mama bisa punya cucu kalau kalian tidur sendiri-sendiri seperti ini? Ya udah, sekarang kalian ke kamar aja!" "Ke kamar? Ngapain?" "Ya, gitu lah. Kamu pikir aja sendiri. Dah ya, selamat bersenang-senang." Mama tersenyum menggoda. "Ndah." Aku mengedipkan mata sehingga membuat istriku yang sudah menjelma menjadi bak bidadari itu salah tingkah. "Eit, tunggu! Kita makan dulu karena tadi Mbok Sum dan Endah sudah masak masakan kesukaan kamu." Mama menggandeng tangan
Endah menggelayut manja di lenganku seolah ingin membuat kedua orang itu cemburu, "Kak, ini Mas Wiji--Suamiku." Sitha melotot kemudian tertawa lebar, ia memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Endah, Endah, kamu pikir kakakmu yang cantik ini lupa ingatan apa? Sudah jelas kalau suamimu itu jelek dan mengerikan sehingga semua orang takut padanya sedangkan ini ganteng. Kenapa kamu akui juga sebagai suamimu?" Sitha tersenyum mengejek. "Kamu bilang lelaki ini ganteng? Ya ampun istri macam apa kamu? Bilang orang lain ganteng di depan suaminya sendiri," timpal Arka tidak terima sang istri bilang aku ganteng. "Jangan marah, ya, Mas. Dia ini memang ganteng, tetapi tetap ganteng kamu, kok. Apalagi kamu juga anak Pak Lurah sehingga kamu punya nilai plus. Oh, ya, Ndah, aku dan Arka sudah menikah, tetapi aku memang sengaja tidak memberi tahu kamu apalagi mengundang. Aku bahagia menjadi istrinya Arka dan lihat, kami sangat serasi, kan? Arka ganteng dan aku cantik. Untung, ya, Mas, kamu
POV Rositha DewiAkhirnya aku bisa mendapatkan lelaki yang selama ini ku impikan. Ya, wanita mana yang tidak mau dengan anak Pak lurah bernama Arka Hanggana itu. Selain anak orang paling kaya di daerah ini, ia juga memiliki wajah yang rupawan. Berulang kali aku mencoba untuk mendapatkan hatinya, tetapi sial, lelaki pemilik dagu belah itu malah suka dengan Endah--adikku yang sangat kubenci. Entah setan apa yang merasuki pikiran Arka hingga ia lebih memilih Endah--gadis yang hanya tamatan SMA. Semenjak aku tahu Endah berhasil memikat hati Arka, aku semakin membencinya, apalagi jika melihat Endah jalan bareng saat berangkat ke kantin sekolah untuk mengantar barang dagangan berupa gorengan. Dadaku seakan terbakar saat Endah bilang akan dilamar Arka dalam waktu dekat. Berbagai macam cara kulakukan agar Endah mundur dari Arka dengan cara menakut-nakutinya. "Ndah, kamu gitu nggak level sama Arka, kalau kamu sampai nikah sama dia, yang ada batinmu akan tersiksa. Kamu pikir enak jadi menan
Aku meminta Arka untuk menambah laju motornya. Tangan ini enggan untuk memeluknya karena rasa kesal masih menyusup dalam dada saat bayangan Endah bersanding dengan lelaki tampan kembali menghampiri. Kucoba memejamkan mata, tetapi bayangan Endah yang seolah tertawa bahagia semakin nyata. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang di sisi depan dan belakang tidak kuhiraukan lagi. Aku kaget saat tiba-tiba Arka menghentikan motor dan membawanya ke tepian. "Kenapa, Ar?" "Jadi ke salon nggak? Dari tadi ditanya malah diam aja," tanya Arka dengan wajah ditekuk. Tunggu, kenapa wajahnya sekarang biasa saja? Kemana wajah gantengnya yang selama ini membuatku tergila-gila? Ah, aku baru sadar ternyata Arka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan suaminya Endah. "Sitha? Kamu dengar aku, kan?" Lelaki bertubuh kekar itu menggerakkan tangannya di depan wajahku ke kiri dan ke kanan membuyarkan lamunanku tentang cowok ganteng. "Enggak jadi. Aku sudah bad mood. Kita pulang aja," jawabku ketus
Kubiarkan saja ponselku terus berbunyi. Pesan beruntun terus masuk, tetapi kubiarkan saja. Ibu mertua pasti sudah memantau di sana. Huh, dia pikir aku ini apa sehingga harus dalam pemantauan seperti ini?"Ta, tadi kamu bilang habis memecahkan piring? Sudah dibereskan belum?" Aku tidak menjawab pertanyaan Arka hingga membuat suamiku itu berteriak." Sitha! Piring yang pecah itu sudah kamu bereskan belum? Nanti ibu marah, lho." Benar juga, jangan sampai ibu mertuaku yang selalu memakai banyak perhiasan untuk menunjukkan kekayaannya itu marah dan punya pikiran untuk mengembalikanku pada orang tuaku. Aku tidak mau tinggal di rumah jelek itu lagi setelah bisa merasakan tidur di rumah semewah ini. Kupunguti pecahan piring dengan hati-hati, tetapi siapa sangka beling itu ternyata sangat tajam sehingga melukai tangan mulusku ini." Auw." Aku meringis saat merasakan perih di tanganku dan melihat darah segar mengalir dari jari telunjuk. "Arka! Ar! Aduh, sakit!" Sengaja kuteriak sekencang-kenc
"Endah kamu cantik sekali? Endah, kamu harus tahu kalau aku menyesal telah menikahi kakakmu yang ternyata tidak bisa apa-apa, masak nggak bisa, nyapu aja masih sering diomelin ibu karena nggak bersih. Dia itu beda banget denganmu yang bisa segalanya, Ndah." Arka menggenggam erat tangan Endah yang sudah duduk di pelaminan bersanding dengan lelaki tampan. Bayangan itu terus menghantuiku jika aku dan Arka nekat datang ke pesta pernikahan Endah yang menurut surat undangan akan diselenggarakan di hotel berbintang. Aku tidak mau itu terjadi. Arka membanding-bandingkan diriku dengan Endah di depan semua orang. "Eh, tunggu, pesta pernikahan ini kapan, Ta? Tadi aku belum sempat membaca tanggalnya karena fokus dengan Endah yang cantiknya kebangetan. Dulu, nggak bisa dandan aja sudah membuatku jatuh cinta," tanya Arka. "Sudah kubilang kalau aku yang paling cantik di dunia ini, titik." Dadaku panas mendengar ucapan Arka. Arka tidak menyahut. Ia kembali memunguti surat undangan yang telah menj
Wajah bapak dan ibu kembali terbayang. Tak terasa mataku menghangat dan tidak lama kemudian bulir bening membasahi pipi. Sedang apa mereka? Apakah keduanya ingat denganku saat ini? Entah kenapa aku merasakan begitu merindukan orang yang sangat berjasa dalam hidupku ini. Rasa rindu yang membuncah dalam dada membuatku ingin ke sana sekarang juga. Namun, ucapan bapak yang melarangku agar tidak datang jika tidak membawa uang kembali terngiang di telinga. Bagaimana kalau kedatanganku nanti malah membuat bapak marah? Sudah pasti aku tidak akan membawa apa-apa dari sini kalau tidak mau cari mati. Aku tahu bapak tidak pernah main-main dengan ucapannya. Aku baru sadar kalau punya suami tampan dan kaya saja tidak cukup. Buat apa punya suami kaya kalau tidak pengertian. Aku merasa dinikahi hanya diminta untuk bekerja dan dikasih makan, masih mendingan babu sekalian yang dapat gaji setiap bulan. Aku tidak pernah pegang uang sepeserpun. Untuk keperluan makan sehari-hari ibu mertua yang mengurus
PoV EndahSetelah melalui banyak pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk mengundang bapak dan ibu serta Kak Sitha dari kampung. Awalnya aku tidak mau mengundang mereka karena khawatir jika mereka datang hanya akan mengacaukan acaranya nanti, tetapi Mas Wiji berusaha meyakinkanku kalau semua akan baik-baik saja. "Mereka itu orang tuamu, Ndah. Biarkan mereka ikut merasakan kebahagiaanmu juga," ucap papa mertua saat kami tengah berkumpul di ruang keluarga. "Benar, Papa tidak keberatan jika orang tua saya hadir di pesta pernikahan kami nanti?" Aku menggenggam erat tangan Mas Wiji yang duduk di sampingku. "Endah, buat apa kami keberatan? Mereka itu orang tuamu dan itu artinya mereka adalah besan kami," sahut mama mertua. Wanita yang selalu tampil cantik itu tersenyum manis yang menyejukkan hati. "Iya, tetapi orang tuaku miskin. Apakah tidak malu di hadapan para tamu nanti? Apalagi katanya nanti papa akan membuat acara semeriah mungkin dan mengundang rekan bisnis papa yang sudah
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila