Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak.
"Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua.
"Kenapa?" tanya Kak Sitha.
"Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka.
"Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak.
Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya.
Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok.
"Akhirnya aku bisa makan enak malam ini," kata bapak sambil tertawa lebar.
Masih terekam jelas dalam pikiranku, waktu itu aku masih sekolah dan uang ibu hanya cukup untuk membeli beras dan lauk. Iya, waktu itu kebutuhan memang sangat banyak, aku dan Kak Sitha masih sama-sama sekolah meski aku jarang diberi uang saku dan hanya diberi bekal berupa gorengan yang aku titipkan di kantin sekolah.
Sungguh tega bapak meminta uang pada ibu untuk membeli rokok sehingga untuk makan hari itu harus utang di warung. Semenjak hari itu, aku bertekad untuk bisa mencari uang sendiri meskipun masih duduk di bangku sekolah.
"Bu, izinkan aku untuk bekerja," ucapku waktu itu.
"Kerja? Kerja apa? Kamu ini masih kecil? Siapa yang butuh tenaga kerja sepertimu?" tanya ibu. Tangannya sibuk memotong tempe yang akan digoreng.
Itulah awal mula aku jualan gorengan dan saat wisata alam yang ada di desaku dibuka, aku berinisiatif untuk berjualan dan alhamdulillah hasilnya lumayan. Bapak dan ibu sangat mendukung usahaku ini, bahkan beliau berdua yang mengurusnya saat aku sekolah, tetapi setelah aku lulus, bapak tidak mau membantu lagi, bahkan ia juga tidak mau kembali ke pekerjaan yang dulu sebagai buruh serabutan karena merasa sudah cukup hanya mengandalkan hasil warung saja.
Kak Sitha yang terobsesi menjadi seorang sarjana akhirnya bisa mewujudkan impiannya berkat usaha warung makan ini. Namun, sekalipun ia tidak pernah ikut membantu. Ia hanya mau uangnya tanpa pernah tahu bagaimana mendapatkannya.
"Jangan, Pak. Kembalikan uang itu pada Arka karena aku tidak mau punya utang." Aku berusaha meraih tangan bapak untuk mengambil apa yang sebenarnya menjadi hakku itu.
"Jangan menjadi anak durhaka kamu, Ndah. Ini uang bapak." Lelaki yang seharusnya menjadi panutanku itu menyelipkan uang ke dalam saku celananya.
"Sudahlah, Nak. Biarkan saja uang itu diambil bapak kamu. Nanti ibu yang akan menggantinya dan gelang ini tetap akan kutinggal sebagai jaminan." Ibu mertua meletakkan gelang di depan Kak Sitha.
"Enggak, Bu. Gelang ini harganya pasti sangat mahal sedangkan utang Mas Wiji hanya satu juta. Begini saja, ambil ponsel ini sebagai jaminan, Mbak." Aku meletakkan benda pipih yang menjadi paling berharga dalam hidupku ini.
Syukurlah, Kak Sitha dengan senang hati menerima ponsel itu.
"Sekarang kita pulang, ya." Ibu mertua merangkul pundakku.
"Sekarang, Bu? Ini sudah malam, apa tidak sebaiknya kita menginap di rumah saya dulu dan baru akan pulang esok hari." Sanggahku karena biasanya pasangan lain yang baru menikah akan melewati malam pertama di rumah mempelai perempuan dulu.
Aku melirik ibu. "Benar apa kata Endah, Bu, sebaiknya kalian menginap di sini dulu dan pulang besok." Aku berharap kata-kata itu keluar dari mulut ibu, tetapi ternyata ibu hanya diam dan tidak ada niat sama sekali untuk menahan kepergianku dengan lelaki yang belum lama kukenal ini.
"Kita langsung pulang ke rumahku saja, ya." Tanpa ragu Mas Wiji merangkul pundakku dan entah kenapa aku merasa nyaman.
Aku mengangguk. Iya, Mas Wiji sudah menjadi suamiku, itu artinya aku harus mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Tidak ada acara haru atau pun tangisan dengan kepergianku yang harus ikut suami ini. Mereka hanya menatap sinis saat melihat aku bersiap-siap memasukkan pakaian yang hendak kubawa.
"Ah, akhirnya aku tidak punya saingan untuk mendapatkan Arka. Selamat jalan adikku, Sayang. Semoga kamu bahagia dengan lelaki buruk rupa itu," ucap Kak Sitha sinis.
"Terima kasih, Kak."
"Nggak perlu membawa banyak pakaian, Ndah, setelah sampai di rumah nanti, kita beli baju baru," ucap Mas Wiji sembari mengusap pundakku yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas ransel. Aku memang tidak punya banyak pakaian karena jarang beli.
"Bawa aja semuanya, Ndah. Kalau kamu tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau memakainya? Bikin sesak rumah aja. Aku juga ogah pakai baju kamu. Memangnya kamu percaya kalau suamimu yang jelek ini beli membelikanmu baju baru?" Kak Sitha yang berdiri di ambang pintu masih saja mencerocos.
Plakk
Tanpa ragu tangan ini sudah mendarat di pipi mulus Kak Sitha hingga meninggalkan bekas kemerahan dan membuat kakak perempuanku satu-satunya itu meringis. Rasa kesal yang sedari tadi kutahan, akhirnya runtuh juga.
"Cukup, Kak. Aku bisa sabar kalau terus kau hina karena aku sudah terbiasa sehingga menjadi kebal, tetapi tidak akan kubiarkan Kakak terus menghina suamiku dan keluarganya," ucapku dengan sorot mata tajam.
"Bagus, ya, Ndah. Demi lelaki buruk rupa dan keluarganya yang sok kaya ini kamu berani menampar kakakmu sendiri." Kak Sitha mengusap pipinya bekas tamparanku tadi.
Aku tidak menggubris ucapan Kak Sitha dan memilih menggandeng tangan Mas Wiji agar bisa pergi secepatnya dari rumah ini.
Aku memasuki mobil yang dibilang sebagai mobil rental oleh Kak Sitha itu dan duduk di samping Mas Wiji, sementara ibu mertua duduk di samping ayah mertua yang mengemudi.
"Tunggu, Pa!" seru Mas Wiji sehingga membuat ayah mertua mematikan kembali mesin mobil yang tadi sempat menyala.
"Kenapa?" "Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned." Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya. Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji. "Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi. "Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor
Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan. "Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana. "Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya. Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan. "Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepal
"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara. "Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. "Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu. "Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku." "Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Mas Wiji ters
Aku terdiam dan meremas jari tanganku sendiri. Tidak mungkin aku memaksa lelaki yang ternyata anak orang kaya bukan kaleng-kaleng ini menikahiku secara resmi. Aku sadar siapa diri ini saat sudah berada di sini. Ternyata aku dan Mas Wiji bak langit dan bumi. Benar kata papa mertua, nikah siri memang diperbolehkan, tetapi biasanya merugikan pihak istri karena tidak ada bukti tertulis sehingga tidak punya kekuatan hukum. Si istri tidak bisa menuntut apa pun jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Ah, aku jadi teringat dengan bapak dan ibu di desa yang selalu bilang kalau seorang gadis tamatan SMA sepertiku jodohnya adalah orang miskin. Beda dengan Kak Sitha yang sarjana sehingga jodohnya pasti orang kaya yang bisa membanggakan keluarga. Rasa perih kembali menjalar di ulu hati jika ingat diri ini yang selalu dibandingkan dengan kakak sendiri. "Jadi, sudah jelas, ya, kalau kita tidak akan menikah secara resmi dulu. Kita masuk kamar, yuk. Kamu pasti capek." Mas Wiji menggenggam tanganku
"Endah, ini ada beberapa baju untuk kamu, dipakai, ya, semoga kamu suka?" Mas Wiji mengulurkan beberapa paperbag. Ia baru saja pulang dengan mengendarai si 'pitung'. Sebuah motor yang membuat ia dibenci semua orang karena suaranya yang membuat sakit telinga. Aku mengambil satu paperbag berwarna ungu dan membukanya, sebuah gaun berwarna cokelat muda dengan hiasan pita samping. Aku ternganga, belum pernah punya baju sebagus ini. "Apakah ini benar untukku?" tanyaku masih tidak percaya. Tanganku mengusap gaun yang bahannya lembut dan nyaman di kulit. Ini adalah baju terbaik yang pernah kumiliki, saat masih di desa, aku jarang beli baju baru karena lebih sering pakai baju bekasnya Kak Sitha. "Kenapa? Nggak suka?" Mas Wiji mengedipkan mata. "Apakah pantas gaun sebagus ini menempel di tubuhku? Kasihan gaunnya, kan?" Dahiku berkerut. "Ada-ada saja kamu ini, Ndah. Ayo buka bajumu sekarang dan ganti dengan yang ini!" Mas Wiji membalik tubuhku dan menarik kaus oblong yang kukenakan. "Aku
Ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk dan setelah kulihat dari Mas Wiji. Aku terlonjak kegirangan karena ini untuk pertama kalinya ia meneleponku. "Halo, Ndah. Kamu baik-baik saja dan masih setia menunggu kepulanganku, kan?" Kata-kata itu sama dengan yang ia kirimkan melalui pesan selama ini dan jawabanku juga selalu sama bahwa aku baik-baik saja dan akan selalu menunggu kepulangan suamiku yang sedang pergi ke mana dan entah untuk urusan apa. "Maaf, ya, Ndah, aku tidak bisa menemani kamu untuk menghadiri pesta pernikahan Sitha karena sudah kupastikan aku belum sampai di rumah nanti," "Memangnya masih berapa lama kamu berada di sana untuk menyelesaikan urusan itu, Mas?" tanyaku was-was. "Semoga secepatnya aku bisa pulang. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke acara pernikahan kakakmu dan mantan pacarmu itu." "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga tidak berniat untuk ke sana karena sudah pasti hanya akan membuat keributan.""Jaga dirimu baik-baik, ya
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
"Hm hm, ada yang sudah kangen rupanya, ada Mama, tetapi tetep aja nyosor." Mama tersenyum sambil menaik turunkan alis. Aku nyengir dan mengangkat dua jari membentuk huruf 'V'" Maaf, Ma, ini ciuman pertamaku pada Endah.""Apa kamu bilang? Ciuman pertama? Lalu selama kalian tidur di kamar yang sama itu ngapain?" tanya mama dengan dahi berkerut. "Mas Wiji tidak pernah mau menciumku, Ma. Kami tidur saling membelakangi, bahkan terkadang ia tidur di bawah, tidak satu ranjang denganku." Endah menunduk. "Kenapa begitu? Bagaimana Mama bisa punya cucu kalau kalian tidur sendiri-sendiri seperti ini? Ya udah, sekarang kalian ke kamar aja!" "Ke kamar? Ngapain?" "Ya, gitu lah. Kamu pikir aja sendiri. Dah ya, selamat bersenang-senang." Mama tersenyum menggoda. "Ndah." Aku mengedipkan mata sehingga membuat istriku yang sudah menjelma menjadi bak bidadari itu salah tingkah. "Eit, tunggu! Kita makan dulu karena tadi Mbok Sum dan Endah sudah masak masakan kesukaan kamu." Mama menggandeng tangan
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma
Mas Wiji masih tertawa, bahkan air matanya sampai berderai. Aku dan sang dokter hanya saling berpandangan. "Dokter, tolong lakukan sesuatu pada Mas Wiji." Aku memegang tangan dokter cantik itu lalu beralih mengusap pipi suamiku, "Maafkan aku, Mas, kalau sudah membuatku kecewa. Aku memang bukan wanita sempurna,"Aku menunduk dan mataku memanas hingga bulir bening meleleh membasahi pipi ini tanpa bisa kutahan lagi. Mas Wiji berhenti tertawa dan mengusap pundakku dengan lembut. Aku menghela napas perlahan dan mengembuskannya, lega, akhirnya suamiku berhenti tertawa. "Kamu ini bicara apa, to, Ndah? Kenapa bilang kalau kamu tidak sempurna?" tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di antara kami. ia mengusap air mata yang terus membasahi pipi ini. "Aku nggak hamil, Ma. Itu artinya aku wanita yang nggak sempurna, kan?" tanyaku terisak. "Sstt, nggak boleh bilang seperti itu. Bagi kami, kamu adalah wanita sempurna yang dikirimkan Allah untuk keluarga kami." Mama menempelkan jari tangannya
Aku memejamkan mata saat melihat bapak dan ibu akhirnya pergi dari rumah ini meski harus dipaksa. Maafkan aku, Pak, Bu. Aku hanya hanya ingin hidup tenang bersama suamiku. Azan subuh berkumandang bersahutan sebagai panggilan dari Sang Maha Pencipta untuk para umatnya manusia agar bangun dari mimpi indah dan gegas melaksanakan kewajiban untuk menyembah-Nya. Aku sudah membuka mata, tetapi suamiku masih tertidur pulas. Sepertinya ia tidak mendengar azan subuh. Tidak heran jika ia harus membunyikan jam weker di sampingnya yang bertugas membangunkannya di waktu sesuai yang ia harapkan. Jam weker berbunyi nyaring dan Mas Wiji belum bangun juga, bahkan ia seperti tidak terganggu dengan bunyi yang menurutku berisik itu. Tanganku terulur melewati atas tubuh Mas Wiji karena jam weker terletak di sampingnya. Saat aku hendak mematikan jam itu, tangan Mas Wiji meraih tanganku dan mendekapnya erat. "Aku mohon jangan pergi, Ndah. Aku sangat mencintaimu," ucap Mas Wiji lirih dan aku baru sadar k
Dahiku mengernyit melihat bapak dan ibu masih memakai baju yang sama dengan yang kemarin, pun dengan Kak Sitha padahal resepsi pernikahan sudah terjadi dua hari yang lalu. "Kamu dan suamimu ke mana aja, Ndah? Dan itu kenapa kepala dibalut perban segala? Jangan bilang kalau setelah pulang dari acara resepsi itu kalian langsung ke hotel dan melakukan malam pertama di sana. Apakah itu bekas ciuman? Ya Tuhan, betapa garangnya suamimu itu, mencium istrinya aja sampai harus diperban seperti itu. Tetapi kenapa tangannya juga digendong? Jangan dijawab dulu, biar ku tebak, kamu berontak saat suamimu ingin meminta haknya sehingga dia terjatuh hingga tanganya terluka? Begitu, Ndah? Oh my God, itu adalah malam pertama yang horor bagiku." Kak Sitha tepuk jidat sambil menggelengkan kepala. "Aku dan Mas Wiji kemarin kecelakan dan harus dirawat di rumah sakit selama dua hari," ucapku dengan dada yang bergemuruh hebat mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Apa yang ada di pikirannya sehingga bisa bila