BAB 4: WANITA DARI MASA LALU

Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sikap dingin Reyhan sejak pagi tadi. Ia sudah tahu bahwa pria itu tidak akan memperlakukannya seperti seorang istri, tetapi tetap saja… ia tidak menyangka bahwa Reyhan bisa sedingin ini.

Baru saja Alya hendak merapikan berkas di mejanya, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Suara itu semakin mendekat, dan ketika Alya mengangkat kepala, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan sudah berdiri di depannya.

Matanya tajam, bibirnya tersenyum kecil dengan cara yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Felicia.

Nama itu bukan nama asing. Alya pernah mendengar bisik-bisik dari rekan kerja tentang wanita ini. Mantan kekasih Reyhan. Wanita yang dulu dikabarkan akan menjadi nyonya Aditya sebelum tiba-tiba menghilang dari kehidupan pria itu.

Felicia menatapnya dengan ekspresi meremehkan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Jadi ini istri Reyhan,” katanya, nadanya mengandung ejekan halus.

Alya menatapnya dengan tenang. Ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti ini sejak menikah dengan Reyhan.

Felicia berjalan mendekat, langkahnya anggun dan penuh percaya diri. “Aku penasaran…” katanya, suaranya rendah tetapi cukup tajam untuk menusuk. “Apa kau benar-benar berpikir bahwa dia akan jatuh cinta padamu?”

Alya merasakan jantungnya mencelos, tetapi ia menahan ekspresinya agar tetap datar.

Felicia terkekeh kecil. “Kasihan sekali. Kau pasti berpikir bahwa dengan menjadi istrinya, kau bisa mendapatkan hatinya, bukan?”

Alya tidak menjawab. Ia tahu wanita ini sengaja memancing reaksinya.

Felicia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan berbisik, “Reyhan tidak pernah mencintai siapa pun. Dia hanya peduli pada pekerjaannya.”

Alya mengepalkan jemarinya erat di pangkuannya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai muncul dalam hatinya.

Felicia tersenyum puas melihat reaksi kecil yang Alya tunjukkan. “Aku sudah mengenalnya lebih lama darimu,” katanya lagi. “Aku tahu bagaimana cara pikirnya. Dia tidak akan pernah menganggapmu lebih dari sekadar formalitas.”

Alya menarik napas dalam, berusaha menenangkan emosinya. Tidak ada gunanya terpancing oleh kata-kata wanita ini.

“Apa kau sudah selesai?” tanyanya, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia duga.

Felicia menaikkan alis, tampak sedikit terkejut dengan respons Alya yang tidak meledak-ledak seperti yang ia harapkan.

“Aku tidak tahu apa tujuanmu datang ke sini dan mengatakan semua ini,” lanjut Alya, “tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak butuh persetujuanmu untuk menjadi istri Reyhan.”

Felicia terkekeh, lalu melipat tangannya. “Kau mungkin bisa bertahan di sisinya sekarang, tapi pertanyaannya… sampai kapan?”

Wanita itu kemudian melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan aroma parfumnya yang menyengat.

Alya tetap duduk di tempatnya, matanya menatap kosong ke meja kerjanya. Kata-kata Felicia berputar di kepalanya seperti suara gema yang tidak mau menghilang.

Benarkah aku hanya akan berakhir kecewa?

Di satu sisi, ia tidak ingin mempercayai Felicia. Wanita itu jelas ingin menjatuhkannya, ingin membuatnya merasa kecil. Tapi di sisi lain… bukankah ada kebenaran dalam kata-katanya?

Reyhan tidak pernah menunjukkan ketertarikan padanya. Bahkan sebagai suami-istri pun, pria itu tidak pernah benar-benar melihatnya.

Alya menghela napas panjang. Ia mencoba membuang jauh-jauh kata-kata Felicia, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya.

Mungkinkah Felicia masih memiliki tempat di hati Reyhan?

Pertanyaan itu menghantui pikirannya sepanjang hari.

Ketika malam tiba dan Alya pulang ke rumah, ia menemukan Reyhan sedang duduk di ruang kerja, sibuk dengan laptopnya seperti biasa.

Ia ragu sejenak, tetapi kemudian mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya, “Hari ini Felicia datang ke kantor.”

Reyhan berhenti mengetik, tetapi tidak langsung menatapnya.

Alya menunggu, tetapi pria itu tetap diam.

“Dia bilang… kau tidak akan pernah mencintaiku.”

Reyhan akhirnya menoleh, ekspresinya tetap datar. “Dan kau percaya?”

Alya menggigit bibirnya. Ia ingin menjawab ‘tidak’, tetapi suara Felicia masih menggema di kepalanya.

“Kau tidak perlu memikirkan ucapannya,” kata Reyhan akhirnya. “Dia bukan siapa-siapa.”

Bukan siapa-siapa? Lalu kenapa tatapan pria itu terlihat lebih tajam dari biasanya?

Alya tidak tahu kenapa, tetapi jawaban Reyhan tidak cukup untuk menenangkan hatinya.