Pagi itu, Alya berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang megah di jantung kota. Aditya Group. Nama perusahaan itu terukir kokoh di atas pintu masuk utama, mencerminkan kekuasaan dan prestise yang dimiliki oleh pemiliknya—Reyhan Aditya, suaminya.
Namun, meski mereka telah resmi menikah, statusnya tidak berarti apa-apa di sini. Alya menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Reyhan, sesuatu yang tidak ia inginkan, tetapi harus ia lakukan. Bukan karena ia ingin berada di dekat Reyhan, tetapi karena ia ingin memiliki kehidupannya sendiri. Ia tidak mau hanya menjadi istri tanpa peran. Ia juga tidak mau terus merasa kecil di hadapan pria itu. Sesampainya di lantai 25, tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi, Alya disambut oleh seorang wanita muda berpenampilan profesional. “Selamat pagi, Bu Alya,” sapanya dengan senyum ramah. “Saya Rina, sekretaris Pak Reyhan. Saya akan mengantar Anda ke meja kerja.” Alya mengangguk dan mengikuti langkah wanita itu. Meski mendapat perlakuan spesial sebagai istri bos, Alya tidak ingin semua orang tahu tentang pernikahannya. Ia tidak ingin diperlakukan berbeda. "Ini meja kerja Anda," kata Rina, menunjuk ke sebuah meja yang cukup luas di sudut ruangan. "Kalau butuh sesuatu, jangan ragu bertanya kepada saya." "Terima kasih, Mbak Rina," jawab Alya sopan. Baru saja ia ingin mulai bekerja, pintu ruang CEO terbuka, dan sosok yang sangat familiar muncul. Reyhan. Pria itu mengenakan setelan hitam yang rapi, langkahnya tegap, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Seisi kantor seketika menjadi lebih hening, seolah semua orang menahan napas saat sang CEO lewat. Tanpa sedikit pun melirik ke arah Alya, Reyhan berjalan menuju ruang rapat. Alya menggigit bibirnya. Sama sekali tidak ada pengakuan darinya. Seolah di kantor ini, mereka bukan apa-apa selain atasan dan bawahan. Seharusnya ia tidak terkejut. Tapi tetap saja, ada perasaan aneh yang menggelitik dadanya. Beberapa jam kemudian, Alya mendapat tugas untuk mengantar dokumen ke ruang CEO. Ia mengetuk pintu dengan ragu. "Masuk," suara berat itu terdengar dari dalam. Alya melangkah masuk dan menutup pintu dengan hati-hati. Reyhan sedang duduk di balik meja kerjanya, matanya fokus pada layar laptop, tidak sedikit pun menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanyanya datar. Alya menaruh dokumen di mejanya. "Ini laporan keuangan yang harus Anda periksa." Reyhan mengambil dokumen itu tanpa mengangkat kepala. "Letakkan saja. Kau bisa keluar." Alya mengerjap. Hanya itu? "Apa aku mengganggu?" tanyanya, mencoba membaca situasi. Akhirnya, Reyhan menatapnya. Mata tajamnya yang gelap menembus langsung ke dalam dirinya. "Kau di sini untuk bekerja, bukan untuk mencari perhatian dariku." Darah Alya berdesir. "Aku tidak mencari perhatian. Aku hanya ingin bekerja dengan baik." "Bagus," jawab Reyhan singkat. "Kalau begitu, lakukan saja tugasmu. Dan satu hal lagi…" Alya menahan napas, menunggu kelanjutannya. "Di kantor, aku bukan suamimu. Aku adalah bosmu. Jadi, jangan berharap ada perlakuan khusus dariku." Pernyataan itu membuat perut Alya terasa seperti diremas. "Baik," jawabnya cepat sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu. Begitu pintu tertutup, Alya menghela napas panjang. Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti dia? Di rumah, Reyhan sudah cukup dingin. Tapi di kantor? Pria itu bahkan lebih dingin dari es di kutub. Ia kembali ke meja kerjanya dengan langkah berat. Baru beberapa jam bekerja di sini, tapi ia sudah bisa merasakan bagaimana Reyhan memisahkan dirinya dari semua orang—termasuk dirinya sendiri. Tapi satu hal yang ia sadari hari itu… Reyhan tidak hanya dingin padanya. Ia memang tidak membiarkan siapa pun masuk ke dalam hidupnya.Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sikap dingin Reyhan sejak pagi tadi. Ia sudah tahu bahwa pria itu tidak akan memperlakukannya seperti seorang istri, tetapi tetap saja… ia tidak menyangka bahwa Reyhan bisa sedingin ini.Baru saja Alya hendak merapikan berkas di mejanya, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Suara itu semakin mendekat, dan ketika Alya mengangkat kepala, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan sudah berdiri di depannya.Matanya tajam, bibirnya tersenyum kecil dengan cara yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Felicia.Nama itu bukan nama asing. Alya pernah mendengar bisik-bisik dari rekan kerja tentang wanita ini. Mantan kekasih Reyhan. Wanita yang dulu dikabarkan akan menjadi nyonya Aditya sebelum tiba-tiba menghilang dari kehidupan pria itu.Felicia menatapnya dengan ekspresi meremehkan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Jadi ini istri
BAB 5: TEMBOK ES DI ANTARA KITAAlya duduk diam di meja makan, menatap piring di depannya tanpa nafsu makan. Di seberangnya, Reyhan menikmati makan malamnya dalam diam, seperti biasa.Sejak kejadian di kantor kemarin, pikiran Alya terus dipenuhi oleh kata-kata Felicia."Kamu pikir dia akan jatuh cinta padamu?"Felicia mengatakannya dengan begitu percaya diri, seolah dia tahu betul bagaimana Reyhan berpikir dan bertindak. Alya ingin mengabaikannya, tapi setiap kali ia menatap suaminya yang begitu dingin dan jauh, ia merasa kata-kata itu mungkin benar.Reyhan tidak mencintainya. Itu sudah jelas sejak awal. Tapi apakah itu berarti pernikahan mereka akan selalu seperti ini? Tanpa arah, tanpa makna?Suara dentingan sendok Reyhan yang menyentuh piring membuyarkan lamunannya. Ia menatap pria itu, yang tampaknya menyadari bahwa Alya sudah lama tidak menyentuh makanannya."Ada yang ingin kau tanyakan?" suara Reyhan terdengar datar, tapi cukup tajam untuk membuat Alya tersentak.Ia mengangkat w
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik di luar jendela kamar Alya. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Matanya terasa panas, tetapi air mata tak kunjung jatuh.Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya."Aku menikahimu untuk memenuhi kewajiban. Jangan berharap lebih dari itu, Alya."Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan, tetapi mendengarnya langsung dari mulut suaminya membuat luka itu semakin dalam. Mungkin ia bodoh karena berharap sedikit perhatian dari Reyhan. Mungkin ia memang naif.Pintu kamar tiba-tiba diketuk, suara ketukan pelan tapi tegas. Alya tidak langsung menjawab. Ia hanya menutup matanya, berharap siapa pun itu akan pergi.Tapi ketukan kembali terdengar."Alya," suara Reyhan terdengar dari luar, datar seperti biasa.Alya tetap diam."Besok kita ada acara keluarga. Bersiaplah," lanjutnya sebelum langkah kakinya menjauh.Alya menghela napas panjang. Acara keluarga? Apa lagi ini? Bukank
Alya terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, tetapi cahaya itu tidak memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Semalam, setelah pulang dari makan malam bersama keluarga Reyhan, pikirannya dipenuhi oleh wajah Felicia dan kata-kata Reyhan yang tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun.Ia menoleh ke samping, berharap melihat suaminya di sana, tetapi yang ia temukan hanyalah ranjang yang sudah dingin.Reyhan sudah pergi.Alya menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan, tetapi meja makan sudah kosong."Bu Alya, Pak Reyhan sudah berangkat pagi tadi," ucap salah satu asisten rumah tangga dengan sopan.Alya hanya mengangguk. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ini.Sejak awal pernikahan, Reyhan tidak pernah benar-benar ada untuknya. Ia selalu sibuk dengan
Alya menghela napas panjang setelah Reyhan meninggalkan ruangannya. Matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup oleh pria itu. Kata-katanya tadi terngiang jelas di kepalanya."Lakukan sesukamu. Tapi jangan berharap lebih dari ini."Lagi-lagi, Reyhan menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk Alya dalam hidupnya. Seolah ia hanyalah sosok asing yang kebetulan terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.Alya menundukkan kepala, jemarinya mengepal di atas meja. Sejak awal, ia sudah tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka bahwa Reyhan akan sedingin ini.Saat itu, pintu kembali diketuk. Kali ini, Adrian masuk dengan membawa setumpuk dokumen."Ny. Alya, ini beberapa laporan yang mungkin bisa Anda pelajari untuk mulai memahami proyek di perusahaan ini," katanya sopan.Alya tersenyum tipis, menerima dokumen itu dengan anggukan. "Terima kasih, Adrian."Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Saya tahu ini bukan tempat saya untuk berbicara, tetapi jika Anda membutuhka
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya. "Aku melihatmu. Aku hanya memilih untuk tidak peduli." Dingin. Pedih. Ia menatap punggung Reyhan yang membelakanginya. Jarak di antara mereka terasa lebih luas dari lautan yang memisahkan dua benua. Pernikahan ini bukan hanya tanpa cinta—tapi juga tanpa harapan. Alya menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Tapi entah mengapa, ia mulai meragukan itu. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin sarapan bersama Reyhan, tidak ingin merasakan tatapan kosongnya lagi. Saat turun ke ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan hangat. Tapi hanya ada satu kursi yang terisi. "Pak Reyhan sudah berangkat, Nyonya," kata Bi Inah, pelayan rumah. Alya tersenyum kecil, meski hatinya semakin teriris. Bahkan pagi ini pun Reyhan memilih menghindarinya. "Baik, aku sarapan di kamar saja," katanya, mengambil secangkir kopi sebelum berbalik. Namun, sebelum ia se
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, menciptakan pola samar di permukaannya. Dari dalam ruang rias yang luas dan megah, Alya menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantin putih itu begitu indah, tetapi hatinya terasa kosong. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Namun, kenyataannya jauh dari impian. Di luar, suara riuh tamu undangan terdengar samar. Mereka semua hadir untuk menyaksikan sebuah pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain—tetapi bagi Alya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Ibunya mengetuk pintu dan masuk dengan senyum penuh haru. "Alya, sayang... sudah waktunya." Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Iya, Bu." Tangannya dingin saat ia menggenggam ujung gaunnya dan melangkah keluar. Langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak terlihat yang membelenggu kakinya. Di ujung aula utama, di depan penghulu, berdiri seorang pria berjas hitam dengan postur t
Mobil mewah itu melaju tanpa suara, membelah jalanan kota yang basah oleh sisa hujan. Di dalamnya, dua orang yang baru saja menikah duduk dalam diam.Alya mencuri pandang ke arah Reyhan, pria yang kini sah menjadi suaminya. Tapi baginya, Reyhan tetaplah sosok asing yang tidak bisa ia pahami. Wajah pria itu begitu dingin, ekspresinya kosong, dan seolah keberadaannya di mobil ini tidak lebih dari sekadar formalitas.“Berhenti menatapku.”Suara Reyhan tiba-tiba terdengar, tajam dan dingin. Alya tersentak, buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela.“Aku tidak menatapmu,” gumamnya pelan.Reyhan terkekeh kecil, tapi sama sekali tidak terdengar geli. Lebih seperti ejekan. “Jangan berbohong. Aku bisa merasakannya.”Alya menggigit bibirnya. Suasana semakin mencekam. Dadanya terasa sesak, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis.“Aku hanya ingin kita…” Alya ragu, mencari kata yang tepat. “Mencoba berba—”“Berhenti.”Kata itu keluar begitu cepat dari bibir Reyhan, memotong kalimat A
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya. "Aku melihatmu. Aku hanya memilih untuk tidak peduli." Dingin. Pedih. Ia menatap punggung Reyhan yang membelakanginya. Jarak di antara mereka terasa lebih luas dari lautan yang memisahkan dua benua. Pernikahan ini bukan hanya tanpa cinta—tapi juga tanpa harapan. Alya menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Tapi entah mengapa, ia mulai meragukan itu. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin sarapan bersama Reyhan, tidak ingin merasakan tatapan kosongnya lagi. Saat turun ke ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan hangat. Tapi hanya ada satu kursi yang terisi. "Pak Reyhan sudah berangkat, Nyonya," kata Bi Inah, pelayan rumah. Alya tersenyum kecil, meski hatinya semakin teriris. Bahkan pagi ini pun Reyhan memilih menghindarinya. "Baik, aku sarapan di kamar saja," katanya, mengambil secangkir kopi sebelum berbalik. Namun, sebelum ia se
Alya menghela napas panjang setelah Reyhan meninggalkan ruangannya. Matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup oleh pria itu. Kata-katanya tadi terngiang jelas di kepalanya."Lakukan sesukamu. Tapi jangan berharap lebih dari ini."Lagi-lagi, Reyhan menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk Alya dalam hidupnya. Seolah ia hanyalah sosok asing yang kebetulan terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.Alya menundukkan kepala, jemarinya mengepal di atas meja. Sejak awal, ia sudah tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka bahwa Reyhan akan sedingin ini.Saat itu, pintu kembali diketuk. Kali ini, Adrian masuk dengan membawa setumpuk dokumen."Ny. Alya, ini beberapa laporan yang mungkin bisa Anda pelajari untuk mulai memahami proyek di perusahaan ini," katanya sopan.Alya tersenyum tipis, menerima dokumen itu dengan anggukan. "Terima kasih, Adrian."Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Saya tahu ini bukan tempat saya untuk berbicara, tetapi jika Anda membutuhka
Alya terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, tetapi cahaya itu tidak memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Semalam, setelah pulang dari makan malam bersama keluarga Reyhan, pikirannya dipenuhi oleh wajah Felicia dan kata-kata Reyhan yang tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun.Ia menoleh ke samping, berharap melihat suaminya di sana, tetapi yang ia temukan hanyalah ranjang yang sudah dingin.Reyhan sudah pergi.Alya menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan, tetapi meja makan sudah kosong."Bu Alya, Pak Reyhan sudah berangkat pagi tadi," ucap salah satu asisten rumah tangga dengan sopan.Alya hanya mengangguk. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ini.Sejak awal pernikahan, Reyhan tidak pernah benar-benar ada untuknya. Ia selalu sibuk dengan
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik di luar jendela kamar Alya. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Matanya terasa panas, tetapi air mata tak kunjung jatuh.Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya."Aku menikahimu untuk memenuhi kewajiban. Jangan berharap lebih dari itu, Alya."Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan, tetapi mendengarnya langsung dari mulut suaminya membuat luka itu semakin dalam. Mungkin ia bodoh karena berharap sedikit perhatian dari Reyhan. Mungkin ia memang naif.Pintu kamar tiba-tiba diketuk, suara ketukan pelan tapi tegas. Alya tidak langsung menjawab. Ia hanya menutup matanya, berharap siapa pun itu akan pergi.Tapi ketukan kembali terdengar."Alya," suara Reyhan terdengar dari luar, datar seperti biasa.Alya tetap diam."Besok kita ada acara keluarga. Bersiaplah," lanjutnya sebelum langkah kakinya menjauh.Alya menghela napas panjang. Acara keluarga? Apa lagi ini? Bukank
BAB 5: TEMBOK ES DI ANTARA KITAAlya duduk diam di meja makan, menatap piring di depannya tanpa nafsu makan. Di seberangnya, Reyhan menikmati makan malamnya dalam diam, seperti biasa.Sejak kejadian di kantor kemarin, pikiran Alya terus dipenuhi oleh kata-kata Felicia."Kamu pikir dia akan jatuh cinta padamu?"Felicia mengatakannya dengan begitu percaya diri, seolah dia tahu betul bagaimana Reyhan berpikir dan bertindak. Alya ingin mengabaikannya, tapi setiap kali ia menatap suaminya yang begitu dingin dan jauh, ia merasa kata-kata itu mungkin benar.Reyhan tidak mencintainya. Itu sudah jelas sejak awal. Tapi apakah itu berarti pernikahan mereka akan selalu seperti ini? Tanpa arah, tanpa makna?Suara dentingan sendok Reyhan yang menyentuh piring membuyarkan lamunannya. Ia menatap pria itu, yang tampaknya menyadari bahwa Alya sudah lama tidak menyentuh makanannya."Ada yang ingin kau tanyakan?" suara Reyhan terdengar datar, tapi cukup tajam untuk membuat Alya tersentak.Ia mengangkat w
Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sikap dingin Reyhan sejak pagi tadi. Ia sudah tahu bahwa pria itu tidak akan memperlakukannya seperti seorang istri, tetapi tetap saja… ia tidak menyangka bahwa Reyhan bisa sedingin ini.Baru saja Alya hendak merapikan berkas di mejanya, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Suara itu semakin mendekat, dan ketika Alya mengangkat kepala, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan sudah berdiri di depannya.Matanya tajam, bibirnya tersenyum kecil dengan cara yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Felicia.Nama itu bukan nama asing. Alya pernah mendengar bisik-bisik dari rekan kerja tentang wanita ini. Mantan kekasih Reyhan. Wanita yang dulu dikabarkan akan menjadi nyonya Aditya sebelum tiba-tiba menghilang dari kehidupan pria itu.Felicia menatapnya dengan ekspresi meremehkan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Jadi ini istri
Pagi itu, Alya berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang megah di jantung kota. Aditya Group. Nama perusahaan itu terukir kokoh di atas pintu masuk utama, mencerminkan kekuasaan dan prestise yang dimiliki oleh pemiliknya—Reyhan Aditya, suaminya.Namun, meski mereka telah resmi menikah, statusnya tidak berarti apa-apa di sini.Alya menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Reyhan, sesuatu yang tidak ia inginkan, tetapi harus ia lakukan. Bukan karena ia ingin berada di dekat Reyhan, tetapi karena ia ingin memiliki kehidupannya sendiri.Ia tidak mau hanya menjadi istri tanpa peran.Ia juga tidak mau terus merasa kecil di hadapan pria itu.Sesampainya di lantai 25, tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi, Alya disambut oleh seorang wanita muda berpenampilan profesional.“Selamat pagi, Bu Alya,” sapanya dengan senyum ramah. “Saya Rina, sekretaris Pak Reyhan. Saya akan mengantar Anda ke meja kerja.”Alya mengan
Mobil mewah itu melaju tanpa suara, membelah jalanan kota yang basah oleh sisa hujan. Di dalamnya, dua orang yang baru saja menikah duduk dalam diam.Alya mencuri pandang ke arah Reyhan, pria yang kini sah menjadi suaminya. Tapi baginya, Reyhan tetaplah sosok asing yang tidak bisa ia pahami. Wajah pria itu begitu dingin, ekspresinya kosong, dan seolah keberadaannya di mobil ini tidak lebih dari sekadar formalitas.“Berhenti menatapku.”Suara Reyhan tiba-tiba terdengar, tajam dan dingin. Alya tersentak, buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela.“Aku tidak menatapmu,” gumamnya pelan.Reyhan terkekeh kecil, tapi sama sekali tidak terdengar geli. Lebih seperti ejekan. “Jangan berbohong. Aku bisa merasakannya.”Alya menggigit bibirnya. Suasana semakin mencekam. Dadanya terasa sesak, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis.“Aku hanya ingin kita…” Alya ragu, mencari kata yang tepat. “Mencoba berba—”“Berhenti.”Kata itu keluar begitu cepat dari bibir Reyhan, memotong kalimat A
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, menciptakan pola samar di permukaannya. Dari dalam ruang rias yang luas dan megah, Alya menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantin putih itu begitu indah, tetapi hatinya terasa kosong. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Namun, kenyataannya jauh dari impian. Di luar, suara riuh tamu undangan terdengar samar. Mereka semua hadir untuk menyaksikan sebuah pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain—tetapi bagi Alya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Ibunya mengetuk pintu dan masuk dengan senyum penuh haru. "Alya, sayang... sudah waktunya." Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Iya, Bu." Tangannya dingin saat ia menggenggam ujung gaunnya dan melangkah keluar. Langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak terlihat yang membelenggu kakinya. Di ujung aula utama, di depan penghulu, berdiri seorang pria berjas hitam dengan postur t