Alya terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, tetapi cahaya itu tidak memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Semalam, setelah pulang dari makan malam bersama keluarga Reyhan, pikirannya dipenuhi oleh wajah Felicia dan kata-kata Reyhan yang tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun.
Ia menoleh ke samping, berharap melihat suaminya di sana, tetapi yang ia temukan hanyalah ranjang yang sudah dingin. Reyhan sudah pergi. Alya menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan, tetapi meja makan sudah kosong. "Bu Alya, Pak Reyhan sudah berangkat pagi tadi," ucap salah satu asisten rumah tangga dengan sopan. Alya hanya mengangguk. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ini. Sejak awal pernikahan, Reyhan tidak pernah benar-benar ada untuknya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya, dengan kehidupannya sendiri—kehidupan yang seolah tidak memiliki ruang untuk Alya. Tapi tetap saja, ada sesuatu di dalam hatinya yang sakit setiap kali menyadari bahwa ia hanya seorang istri di atas kertas. Siang itu, Alya memutuskan untuk pergi ke kantor Reyhan. Bukan untuk bertemu dengannya, tetapi karena ia sudah memutuskan untuk benar-benar bekerja di sana. Jika Reyhan tidak memberinya ruang dalam kehidupan pribadi, maka ia akan mencari caranya sendiri untuk tetap bertahan. Saat tiba di kantor, suasana di sana begitu profesional dan sibuk. Alya berjalan ke arah meja resepsionis, tetapi sebelum ia sempat berbicara, seseorang menghampirinya. "Ny. Alya?" Alya menoleh dan menemukan seorang pria berjas hitam dengan senyum ramah. "Saya Adrian, asisten pribadi Pak Reyhan. Saya akan mengantar Anda ke ruangan Anda," ujarnya. Alya mengangguk dan mengikutinya. Adrian membawanya ke sebuah ruangan di lantai yang sama dengan kantor Reyhan, tetapi sedikit lebih jauh. Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk bekerja. "Pak Reyhan belum memberi instruksi apa pun mengenai tugas Anda," kata Adrian dengan sedikit canggung. Alya tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku akan berbicara dengannya nanti." Adrian tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Baik, kalau ada yang Anda butuhkan, silakan hubungi saya." Setelah Adrian pergi, Alya duduk di kursinya dan mulai melihat-lihat dokumen di meja. Jika ia ingin bertahan di dalam dunia Reyhan, maka ia harus menemukan tempatnya sendiri. Tapi belum lima menit ia mulai membaca dokumen, suara ketukan terdengar di pintu. Saat ia mengangkat wajah, Felicia sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum miring di wajahnya. "Oh, jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam hidup Reyhan?" katanya dengan nada mengejek. Alya menatapnya dengan tenang. "Aku hanya ingin bekerja." Felicia tertawa kecil. "Tentu saja. Tapi bekerja di perusahaan suamimu sendiri? Itu agak putus asa, bukan?" Alya menahan napasnya, mencoba tetap tenang. "Aku hanya ingin mandiri." Felicia berjalan masuk tanpa diundang, lalu duduk di sofa di depan meja Alya. "Kau tahu, Alya, Reyhan tidak akan pernah bisa memberikan apa yang kau inginkan." Alya mengepalkan jemarinya di bawah meja. "Apa maksudmu?" Felicia tersenyum, matanya penuh keyakinan. "Reyhan tidak akan pernah mencintaimu. Kau bisa mencoba mendekatinya, bekerja di kantornya, atau bahkan berusaha menjadi bagian dari hidupnya, tapi pada akhirnya, kau hanya akan terluka." Alya menatapnya tajam. "Kau bicara seolah-olah kau masih memiliki tempat di hidupnya." Felicia menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Aku mungkin bukan istrinya, tapi aku lebih mengenalnya dibanding kau. Dan percayalah, dia tidak bisa jatuh cinta." Alya ingin membalas, tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, pintu kantor tiba-tiba terbuka. Reyhan berdiri di sana, wajahnya tampak tidak senang. "Felicia," suaranya dingin, "apa yang kau lakukan di sini?" Felicia berdiri, tersenyum manis. "Hanya berbicara dengan istrimu." Mata Reyhan menajam. "Keluar." Felicia tertawa kecil, tetapi ia menurut. Sebelum pergi, ia menatap Alya sekali lagi dan berbisik, "Lihat saja nanti." Setelah Felicia pergi, keheningan memenuhi ruangan. Reyhan berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. Alya berdiri, menatapnya dengan hati-hati. "Kau seharusnya tidak perlu datang ke sini," ucap Reyhan akhirnya. Alya mengangkat dagunya. "Aku ingin bekerja. Aku tidak akan hanya menjadi istrimu yang diam di rumah tanpa tujuan." Reyhan menatapnya lama. "Lakukan sesukamu. Tapi jangan berharap lebih dari ini." Alya menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Saat Reyhan keluar dari ruangan, Alya menyadari sesuatu. Jarak di antara mereka semakin melebar. Dan mungkin, pada akhirnya, tidak akan ada jalan untuk kembali.Alya menghela napas panjang setelah Reyhan meninggalkan ruangannya. Matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup oleh pria itu. Kata-katanya tadi terngiang jelas di kepalanya."Lakukan sesukamu. Tapi jangan berharap lebih dari ini."Lagi-lagi, Reyhan menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk Alya dalam hidupnya. Seolah ia hanyalah sosok asing yang kebetulan terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.Alya menundukkan kepala, jemarinya mengepal di atas meja. Sejak awal, ia sudah tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka bahwa Reyhan akan sedingin ini.Saat itu, pintu kembali diketuk. Kali ini, Adrian masuk dengan membawa setumpuk dokumen."Ny. Alya, ini beberapa laporan yang mungkin bisa Anda pelajari untuk mulai memahami proyek di perusahaan ini," katanya sopan.Alya tersenyum tipis, menerima dokumen itu dengan anggukan. "Terima kasih, Adrian."Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Saya tahu ini bukan tempat saya untuk berbicara, tetapi jika Anda membutuhka
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya. "Aku melihatmu. Aku hanya memilih untuk tidak peduli." Dingin. Pedih. Ia menatap punggung Reyhan yang membelakanginya. Jarak di antara mereka terasa lebih luas dari lautan yang memisahkan dua benua. Pernikahan ini bukan hanya tanpa cinta—tapi juga tanpa harapan. Alya menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Tapi entah mengapa, ia mulai meragukan itu. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin sarapan bersama Reyhan, tidak ingin merasakan tatapan kosongnya lagi. Saat turun ke ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan hangat. Tapi hanya ada satu kursi yang terisi. "Pak Reyhan sudah berangkat, Nyonya," kata Bi Inah, pelayan rumah. Alya tersenyum kecil, meski hatinya semakin teriris. Bahkan pagi ini pun Reyhan memilih menghindarinya. "Baik, aku sarapan di kamar saja," katanya, mengambil secangkir kopi sebelum berbalik. Namun, sebelum ia se
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, menciptakan pola samar di permukaannya. Dari dalam ruang rias yang luas dan megah, Alya menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantin putih itu begitu indah, tetapi hatinya terasa kosong. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Namun, kenyataannya jauh dari impian. Di luar, suara riuh tamu undangan terdengar samar. Mereka semua hadir untuk menyaksikan sebuah pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain—tetapi bagi Alya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Ibunya mengetuk pintu dan masuk dengan senyum penuh haru. "Alya, sayang... sudah waktunya." Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Iya, Bu." Tangannya dingin saat ia menggenggam ujung gaunnya dan melangkah keluar. Langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak terlihat yang membelenggu kakinya. Di ujung aula utama, di depan penghulu, berdiri seorang pria berjas hitam dengan postur t
Mobil mewah itu melaju tanpa suara, membelah jalanan kota yang basah oleh sisa hujan. Di dalamnya, dua orang yang baru saja menikah duduk dalam diam.Alya mencuri pandang ke arah Reyhan, pria yang kini sah menjadi suaminya. Tapi baginya, Reyhan tetaplah sosok asing yang tidak bisa ia pahami. Wajah pria itu begitu dingin, ekspresinya kosong, dan seolah keberadaannya di mobil ini tidak lebih dari sekadar formalitas.“Berhenti menatapku.”Suara Reyhan tiba-tiba terdengar, tajam dan dingin. Alya tersentak, buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela.“Aku tidak menatapmu,” gumamnya pelan.Reyhan terkekeh kecil, tapi sama sekali tidak terdengar geli. Lebih seperti ejekan. “Jangan berbohong. Aku bisa merasakannya.”Alya menggigit bibirnya. Suasana semakin mencekam. Dadanya terasa sesak, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis.“Aku hanya ingin kita…” Alya ragu, mencari kata yang tepat. “Mencoba berba—”“Berhenti.”Kata itu keluar begitu cepat dari bibir Reyhan, memotong kalimat A
Pagi itu, Alya berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang megah di jantung kota. Aditya Group. Nama perusahaan itu terukir kokoh di atas pintu masuk utama, mencerminkan kekuasaan dan prestise yang dimiliki oleh pemiliknya—Reyhan Aditya, suaminya.Namun, meski mereka telah resmi menikah, statusnya tidak berarti apa-apa di sini.Alya menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Reyhan, sesuatu yang tidak ia inginkan, tetapi harus ia lakukan. Bukan karena ia ingin berada di dekat Reyhan, tetapi karena ia ingin memiliki kehidupannya sendiri.Ia tidak mau hanya menjadi istri tanpa peran.Ia juga tidak mau terus merasa kecil di hadapan pria itu.Sesampainya di lantai 25, tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi, Alya disambut oleh seorang wanita muda berpenampilan profesional.“Selamat pagi, Bu Alya,” sapanya dengan senyum ramah. “Saya Rina, sekretaris Pak Reyhan. Saya akan mengantar Anda ke meja kerja.”Alya mengan
Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sikap dingin Reyhan sejak pagi tadi. Ia sudah tahu bahwa pria itu tidak akan memperlakukannya seperti seorang istri, tetapi tetap saja… ia tidak menyangka bahwa Reyhan bisa sedingin ini.Baru saja Alya hendak merapikan berkas di mejanya, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Suara itu semakin mendekat, dan ketika Alya mengangkat kepala, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan sudah berdiri di depannya.Matanya tajam, bibirnya tersenyum kecil dengan cara yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Felicia.Nama itu bukan nama asing. Alya pernah mendengar bisik-bisik dari rekan kerja tentang wanita ini. Mantan kekasih Reyhan. Wanita yang dulu dikabarkan akan menjadi nyonya Aditya sebelum tiba-tiba menghilang dari kehidupan pria itu.Felicia menatapnya dengan ekspresi meremehkan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Jadi ini istri
BAB 5: TEMBOK ES DI ANTARA KITAAlya duduk diam di meja makan, menatap piring di depannya tanpa nafsu makan. Di seberangnya, Reyhan menikmati makan malamnya dalam diam, seperti biasa.Sejak kejadian di kantor kemarin, pikiran Alya terus dipenuhi oleh kata-kata Felicia."Kamu pikir dia akan jatuh cinta padamu?"Felicia mengatakannya dengan begitu percaya diri, seolah dia tahu betul bagaimana Reyhan berpikir dan bertindak. Alya ingin mengabaikannya, tapi setiap kali ia menatap suaminya yang begitu dingin dan jauh, ia merasa kata-kata itu mungkin benar.Reyhan tidak mencintainya. Itu sudah jelas sejak awal. Tapi apakah itu berarti pernikahan mereka akan selalu seperti ini? Tanpa arah, tanpa makna?Suara dentingan sendok Reyhan yang menyentuh piring membuyarkan lamunannya. Ia menatap pria itu, yang tampaknya menyadari bahwa Alya sudah lama tidak menyentuh makanannya."Ada yang ingin kau tanyakan?" suara Reyhan terdengar datar, tapi cukup tajam untuk membuat Alya tersentak.Ia mengangkat w
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik di luar jendela kamar Alya. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Matanya terasa panas, tetapi air mata tak kunjung jatuh.Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya."Aku menikahimu untuk memenuhi kewajiban. Jangan berharap lebih dari itu, Alya."Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan, tetapi mendengarnya langsung dari mulut suaminya membuat luka itu semakin dalam. Mungkin ia bodoh karena berharap sedikit perhatian dari Reyhan. Mungkin ia memang naif.Pintu kamar tiba-tiba diketuk, suara ketukan pelan tapi tegas. Alya tidak langsung menjawab. Ia hanya menutup matanya, berharap siapa pun itu akan pergi.Tapi ketukan kembali terdengar."Alya," suara Reyhan terdengar dari luar, datar seperti biasa.Alya tetap diam."Besok kita ada acara keluarga. Bersiaplah," lanjutnya sebelum langkah kakinya menjauh.Alya menghela napas panjang. Acara keluarga? Apa lagi ini? Bukank
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya. "Aku melihatmu. Aku hanya memilih untuk tidak peduli." Dingin. Pedih. Ia menatap punggung Reyhan yang membelakanginya. Jarak di antara mereka terasa lebih luas dari lautan yang memisahkan dua benua. Pernikahan ini bukan hanya tanpa cinta—tapi juga tanpa harapan. Alya menutup matanya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya fase. Tapi entah mengapa, ia mulai meragukan itu. Keesokan paginya, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak ingin sarapan bersama Reyhan, tidak ingin merasakan tatapan kosongnya lagi. Saat turun ke ruang makan, meja sudah dipenuhi dengan hidangan hangat. Tapi hanya ada satu kursi yang terisi. "Pak Reyhan sudah berangkat, Nyonya," kata Bi Inah, pelayan rumah. Alya tersenyum kecil, meski hatinya semakin teriris. Bahkan pagi ini pun Reyhan memilih menghindarinya. "Baik, aku sarapan di kamar saja," katanya, mengambil secangkir kopi sebelum berbalik. Namun, sebelum ia se
Alya menghela napas panjang setelah Reyhan meninggalkan ruangannya. Matanya masih menatap pintu yang baru saja ditutup oleh pria itu. Kata-katanya tadi terngiang jelas di kepalanya."Lakukan sesukamu. Tapi jangan berharap lebih dari ini."Lagi-lagi, Reyhan menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk Alya dalam hidupnya. Seolah ia hanyalah sosok asing yang kebetulan terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini.Alya menundukkan kepala, jemarinya mengepal di atas meja. Sejak awal, ia sudah tahu ini tidak akan mudah. Tapi ia tidak menyangka bahwa Reyhan akan sedingin ini.Saat itu, pintu kembali diketuk. Kali ini, Adrian masuk dengan membawa setumpuk dokumen."Ny. Alya, ini beberapa laporan yang mungkin bisa Anda pelajari untuk mulai memahami proyek di perusahaan ini," katanya sopan.Alya tersenyum tipis, menerima dokumen itu dengan anggukan. "Terima kasih, Adrian."Pria itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Saya tahu ini bukan tempat saya untuk berbicara, tetapi jika Anda membutuhka
Alya terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, tetapi cahaya itu tidak memberikan kehangatan yang ia butuhkan. Semalam, setelah pulang dari makan malam bersama keluarga Reyhan, pikirannya dipenuhi oleh wajah Felicia dan kata-kata Reyhan yang tidak pernah benar-benar menjelaskan apa pun.Ia menoleh ke samping, berharap melihat suaminya di sana, tetapi yang ia temukan hanyalah ranjang yang sudah dingin.Reyhan sudah pergi.Alya menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci wajahnya dengan air dingin, berharap bisa mengusir kegelisahan yang terus menghantuinya. Setelah berpakaian, ia turun ke ruang makan, tetapi meja makan sudah kosong."Bu Alya, Pak Reyhan sudah berangkat pagi tadi," ucap salah satu asisten rumah tangga dengan sopan.Alya hanya mengangguk. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan ini.Sejak awal pernikahan, Reyhan tidak pernah benar-benar ada untuknya. Ia selalu sibuk dengan
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik di luar jendela kamar Alya. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Matanya terasa panas, tetapi air mata tak kunjung jatuh.Kata-kata Reyhan terus terngiang di kepalanya."Aku menikahimu untuk memenuhi kewajiban. Jangan berharap lebih dari itu, Alya."Ia tahu sejak awal bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan, tetapi mendengarnya langsung dari mulut suaminya membuat luka itu semakin dalam. Mungkin ia bodoh karena berharap sedikit perhatian dari Reyhan. Mungkin ia memang naif.Pintu kamar tiba-tiba diketuk, suara ketukan pelan tapi tegas. Alya tidak langsung menjawab. Ia hanya menutup matanya, berharap siapa pun itu akan pergi.Tapi ketukan kembali terdengar."Alya," suara Reyhan terdengar dari luar, datar seperti biasa.Alya tetap diam."Besok kita ada acara keluarga. Bersiaplah," lanjutnya sebelum langkah kakinya menjauh.Alya menghela napas panjang. Acara keluarga? Apa lagi ini? Bukank
BAB 5: TEMBOK ES DI ANTARA KITAAlya duduk diam di meja makan, menatap piring di depannya tanpa nafsu makan. Di seberangnya, Reyhan menikmati makan malamnya dalam diam, seperti biasa.Sejak kejadian di kantor kemarin, pikiran Alya terus dipenuhi oleh kata-kata Felicia."Kamu pikir dia akan jatuh cinta padamu?"Felicia mengatakannya dengan begitu percaya diri, seolah dia tahu betul bagaimana Reyhan berpikir dan bertindak. Alya ingin mengabaikannya, tapi setiap kali ia menatap suaminya yang begitu dingin dan jauh, ia merasa kata-kata itu mungkin benar.Reyhan tidak mencintainya. Itu sudah jelas sejak awal. Tapi apakah itu berarti pernikahan mereka akan selalu seperti ini? Tanpa arah, tanpa makna?Suara dentingan sendok Reyhan yang menyentuh piring membuyarkan lamunannya. Ia menatap pria itu, yang tampaknya menyadari bahwa Alya sudah lama tidak menyentuh makanannya."Ada yang ingin kau tanyakan?" suara Reyhan terdengar datar, tapi cukup tajam untuk membuat Alya tersentak.Ia mengangkat w
Hari itu, suasana kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Alya berusaha fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sikap dingin Reyhan sejak pagi tadi. Ia sudah tahu bahwa pria itu tidak akan memperlakukannya seperti seorang istri, tetapi tetap saja… ia tidak menyangka bahwa Reyhan bisa sedingin ini.Baru saja Alya hendak merapikan berkas di mejanya, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Suara itu semakin mendekat, dan ketika Alya mengangkat kepala, seorang wanita cantik dengan penampilan elegan sudah berdiri di depannya.Matanya tajam, bibirnya tersenyum kecil dengan cara yang membuat bulu kuduk Alya meremang. Felicia.Nama itu bukan nama asing. Alya pernah mendengar bisik-bisik dari rekan kerja tentang wanita ini. Mantan kekasih Reyhan. Wanita yang dulu dikabarkan akan menjadi nyonya Aditya sebelum tiba-tiba menghilang dari kehidupan pria itu.Felicia menatapnya dengan ekspresi meremehkan, lalu menyilangkan tangan di dada. “Jadi ini istri
Pagi itu, Alya berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang megah di jantung kota. Aditya Group. Nama perusahaan itu terukir kokoh di atas pintu masuk utama, mencerminkan kekuasaan dan prestise yang dimiliki oleh pemiliknya—Reyhan Aditya, suaminya.Namun, meski mereka telah resmi menikah, statusnya tidak berarti apa-apa di sini.Alya menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan Reyhan, sesuatu yang tidak ia inginkan, tetapi harus ia lakukan. Bukan karena ia ingin berada di dekat Reyhan, tetapi karena ia ingin memiliki kehidupannya sendiri.Ia tidak mau hanya menjadi istri tanpa peran.Ia juga tidak mau terus merasa kecil di hadapan pria itu.Sesampainya di lantai 25, tempat ia akan bekerja sebagai staf administrasi, Alya disambut oleh seorang wanita muda berpenampilan profesional.“Selamat pagi, Bu Alya,” sapanya dengan senyum ramah. “Saya Rina, sekretaris Pak Reyhan. Saya akan mengantar Anda ke meja kerja.”Alya mengan
Mobil mewah itu melaju tanpa suara, membelah jalanan kota yang basah oleh sisa hujan. Di dalamnya, dua orang yang baru saja menikah duduk dalam diam.Alya mencuri pandang ke arah Reyhan, pria yang kini sah menjadi suaminya. Tapi baginya, Reyhan tetaplah sosok asing yang tidak bisa ia pahami. Wajah pria itu begitu dingin, ekspresinya kosong, dan seolah keberadaannya di mobil ini tidak lebih dari sekadar formalitas.“Berhenti menatapku.”Suara Reyhan tiba-tiba terdengar, tajam dan dingin. Alya tersentak, buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela.“Aku tidak menatapmu,” gumamnya pelan.Reyhan terkekeh kecil, tapi sama sekali tidak terdengar geli. Lebih seperti ejekan. “Jangan berbohong. Aku bisa merasakannya.”Alya menggigit bibirnya. Suasana semakin mencekam. Dadanya terasa sesak, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis.“Aku hanya ingin kita…” Alya ragu, mencari kata yang tepat. “Mencoba berba—”“Berhenti.”Kata itu keluar begitu cepat dari bibir Reyhan, memotong kalimat A
Hujan rintik-rintik membasahi kaca jendela, menciptakan pola samar di permukaannya. Dari dalam ruang rias yang luas dan megah, Alya menatap bayangannya di cermin. Gaun pengantin putih itu begitu indah, tetapi hatinya terasa kosong. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya. Namun, kenyataannya jauh dari impian. Di luar, suara riuh tamu undangan terdengar samar. Mereka semua hadir untuk menyaksikan sebuah pernikahan yang tampak sempurna di mata orang lain—tetapi bagi Alya, ini bukan pernikahan impian, melainkan sebuah transaksi. Ibunya mengetuk pintu dan masuk dengan senyum penuh haru. "Alya, sayang... sudah waktunya." Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. "Iya, Bu." Tangannya dingin saat ia menggenggam ujung gaunnya dan melangkah keluar. Langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak terlihat yang membelenggu kakinya. Di ujung aula utama, di depan penghulu, berdiri seorang pria berjas hitam dengan postur t