Dengan dibantu Eric, Aya turun dari rakit. Setelah setengah jalan menyusuri sungai, mereka berhenti di warung kecil yang berada di pinggir sungai untuk istirahat sambil menikmati makanan ringan. Beberapa karyawan terlihat berbisik-bisik saat Eric bersama dengan Aya duduk saling berdekatan.“Makasih, Pak. Ini baju saya sudah mulai kering. Nanti saya ganti rakit aja, Pak. Ikut sama yang lain, gak enak saya,” ucap Aya berusaha berdiri tapi gak jadi karena kakinya masih nyeri. Saat ia jatuh tadi kakinya terkena ujung bambu dan sempat terbentur baru besar.“Duduk aja kenapa sih?” Eric menatap Aya.Tak berapa lama Wisnu dan yang lain datang menghampiri.“Gimana, Ay? Masih sakit?” tanya Wisnu.“Lumayan, Nu.” Aya tersenyum kecut.Via yang tahu Aya jatuh dan terluka cepat menghampiri. Belum sempat bertanya, Eric malah menyuruhnya untuk mengambilkan teh hangat dan beberapa kue untuk dirinya dan Aya.Kembali dengan pesanan yang Eric minta, Via lantas duduk di samping Aya.“Tapi gak apa-apa kan,
Akibat permainan tadi, Aya harus terima kalau ia makan di samping Eric.“Sini hati ayamnya, aku tahu kamu gak suka itu,” ucap Eric sembari mengambil hati ayam yang sedari tadi tidak disentuh oleh Aya.Aya melongo melihat tindakan Eric. Setelah tanggal lahir, ternyata bosnya itu juga tahu makanan yang tidak ia suka.“Pak Eric tahu dari mana?” tanya Aya sambil mengunyah makanannya.Pria itu hanya tersenyum, membuat Wisnu yang tak pernah jauh dari kameranya kembali mengabadikan momen manis antara Aya dan Eric.“Sini biar saya aja, Pak,” kata Aya mengambil piring milik Eric yang sudah kosong. Dibalas dengan senyuman manis Eric, Aya sempat salah tingkah dan nyaris menabrak Via yang datang membawakan buah untuk Eric.“Ay, kamu gak lihat aku sebesar ini?” protes Via.“Sori, Vi,” kata Aya bergegas pergi.“Pak Eric masih perlu sesuatu?” tanya Via yang direspon Eric dengan gelengan kepala.Dengan langkah bahagia, Via melenggang pergi. Ia benar-benar menikmati acara outbound kali ini yang tidak
Aya terbangun karena bahunya terasa berat tapi tangannya terasa hangat. Ia kaget saat menoleh, ternyata Eric bersandar di bahunya dengan tangan yang menggenggam tangannya. Aya lantas melirik ke kursi yang berseberangan dengannya."Untung pada tidur," gumam Aya dalam hati. Ia lalu melepaskan tangannya dan mendorong pelan pria itu agar sedikit menjauh."Maaf, Pak," kata Aya nyengir. Gerakan yang ia lakukan ternyata membuat Eric terbangun.Pria itu tersenyum kecil sembari membenarkan posisi duduknya. Aya lantas memalingkan wajahnya ke arah jendela sambil meremas kedua tangannya. Tanpa sadar ia malah membaui tangan kirinya yang sempat digenggam oleh Eric tadi.Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, mereka akhirnya sampai juga di kantor sekitar pukul satu siang. Sebagian dari mereka langsung mengambil barang masing-masing dan pamit pulang. Masih cukup waktu untuk beristirahat agar besok fresh kembali bekerja."Langsung pulang ya, Nu," kata Aya pamit pada Wisnu."Hati-hati ya," sah
Aya begitu nyenyak tertidur hingga terbangun di pukul setengah tujuh pagi. Reflek ia meloncat dari atas tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Secepatnya kilat ia mandi dan bersiap pergi ke kantor. Jalan yang seharusnya tidak pernah macet, pagi ini malah macet dan membuatnya nyaris terlambat. Dengan muka tembok, Aya masuk berjalan di antara karyawan kantor yang sudah berkumpul untuk pengarahan pagi.“Tumben kamu telat, Ay?” tanya Wisnu saat Aya datang dan berdiri di dekatnya.“Iya, Nu. Aku bangun kesiangan,” sahut Aya pelan.Sekitar lima belas menit kemudian pengarahan pagi selesai. Masing-masing dari mereka kembali ke mejanya, tidak terkecuali Aya.“Nu,” panggil Aya melirik ke gorengan yang ada di atas meja Wisnu.“Makan aja,” sahut Wisnu yang serius menatap layar komputernya.Beberapa detik kemudian Wisnu mendekat sambil memegang kertas yang baru saja ia cetak.“Apa itu, Nu?” tanya Aya penasaran sambil terus mengunyah tempe goreng.“Ini undangan buat Pak Eric. Lusa dia ada me
“Kamarnya kurang satu, Pak,” lapor resepsionis hotel pada Reza, manajer harian yang tengah sibuk melayani tamu yang datang. Hotel tempat Reza bekerja untuk beberapa hari ke depan akan menjadi tempat diselenggarakan acara yang akan dihadiri oleh Eric dan Aya.“Kok bisa? Bukannya sejak awal kamar yang kita sediakan sesuai dengan tamu undangan?”Resepsionis itu kemudian menjelaskan bahwa anak pemilik hotel tiba-tiba datang dan menginap. Tidak mungkin ia mengatakan kalau kamar terisi penuh.“Siapa yang belum check-in?” tanya Reza lagi.Resepsionis itu lantas menunjukkan dua foto tamu yang akan menginap di hotel itu.“Oh Eric.” Reza lumayan kaget melihat foto yang resepsionis tunjukkan, “ini istrinya. Sudah seharusnya mereka satu kamar,” lanjut Reza lagi.Begitu mobil yang Eric dan Aya tumpangi datang, Reza sendiri yang menyambut mereka. Eric tampak terkejut saat melihat Reza berdiri di depan lobby hotel.“Kawan, lama gak ketemu ya,” sapa Reza langsung memeluk Eric.“Za. Apa kabar?”Merek
Berada di hotel yang sama tetapi beda ruangan acara, Aya lebih dahulu kembali ke kamar karena acaranya telah selesai. Ia berniat untuk santai berendam di bath up kamarnya. Menurut informasi yang ia terima, acara Eric masih berlangsung hingga pukul delapan malam nanti. Itu artinya masih banyak waktu yang bisa Aya habiskan sendiri di kamar.Menyalakan lilin aromaterapi, Aya membenamkan dirinya di dalam bath up. Begitu rileks dan nyaman, membuat dirinya hampir saja tertidur. Merasa sudah cukup, Aya lantas beranjak dari bath up dan segera membersihkan dirinya.“Hah? Apa itu Pak Eric? Tapi kan kartu aksesnya aku yang bawa,” ucap Aya sembari mematikan shower. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.Aya kemudian mempercepat aktivitas mandinya.“Astaga! Ini aku gak bawa handuk?” Aya memasang ke sekelilingnya berharap menemukan kain yang bisa menutupi tubuhnya.“Aya kamu di dalam?” Eric mengetuk pintu membuat Aya terkejut dan jatuh terpeleset.“Kamu gak apa-apa? Kamu k
Aya menatap Eric penuh tanda tanya. Gadis itu tidak mengerti maksud dan tujuan Eric mengatakan hal itu. Keningnya berkerut memperhatikan wajah Eric yang ekspresinya susah dijelaskan.“Menikah. Kita menikah,” ulang Eric menunjuk ke arah Aya dan dirinya bergantian.“Pak Eric, tolong jangan yang aneh-aneh. Bukan karena kita satu kamar dan satu tempat tidur, lalu Bapak seenaknya bicara kaya gitu. Saya gak mungkin nikah sama Pak Eric,” ucap Aya berapi-api.“Jangan terlalu cepat mengambil keputusan Aya. Aku siap menunggu sampai kamu bilang iya untuk ajakan aku tadi,” sahut Eric tersenyum.Aya menggelengkan kepala cepat. “Saya gak bakal bilang iya, Pak. Sudah pernah saya bilang kalau saya bukan istri Bapak. Jadi, stop memperlakukan saya seperti mendiang istri Bapak.”Eric terdiam sejenak menghela nafasnya. Ia lalu meraih tangan Aya dan mengelus lembut punggung tangan gadis itu. Tak ingin terbuai, Aya menarik paksa tangannya.“Aku tahu kalian orang yang berbeda,” kata Eric pelan. Hanya sekali
Mengirimkan surat ketidakhadirannya, hari ini Aya izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Sebenarnya ia malas bertemu Eric ditambah lagi badannya masih pegal. Pukul setengah delapan ia masih uring-uringan di kamar, padahal perutnya sudah mulai keroncongan. Teringat banyaknya pakaian kotor yang belum dicuci, Aya terpaksa bangun dari tidurnya. Sebelumnya ia sudah memesan nasi uduk untuk sarapan paginya kali ini.Gadis itu berjalan ke ruang depan dan membuka jendela. Ia lalu beranjak ke belakang dan menyalakan mesin cuci.“Banyak banget ini uangnya,” kata Aya kaget saat merogoh kantong celana Eric dan menemukan tujuh lembar uang berwarna merah yang terlipat. Merogoh kantong celana yang lain, Aya menemukan kertas. Perlahan ia membuka kertas putih yang terlipat itu dan menemukan namanya tertulis di sana.“Eric, Fayra, Farah,” ucap Aya membaca tiga nama yang tertulis di kertas itu, “pake gambar ini lagi,” lanjut Aya melihat gambar betul hati di ujung kertas. Menyimpan uang dan ke