“Kamarnya kurang satu, Pak,” lapor resepsionis hotel pada Reza, manajer harian yang tengah sibuk melayani tamu yang datang. Hotel tempat Reza bekerja untuk beberapa hari ke depan akan menjadi tempat diselenggarakan acara yang akan dihadiri oleh Eric dan Aya.“Kok bisa? Bukannya sejak awal kamar yang kita sediakan sesuai dengan tamu undangan?”Resepsionis itu kemudian menjelaskan bahwa anak pemilik hotel tiba-tiba datang dan menginap. Tidak mungkin ia mengatakan kalau kamar terisi penuh.“Siapa yang belum check-in?” tanya Reza lagi.Resepsionis itu lantas menunjukkan dua foto tamu yang akan menginap di hotel itu.“Oh Eric.” Reza lumayan kaget melihat foto yang resepsionis tunjukkan, “ini istrinya. Sudah seharusnya mereka satu kamar,” lanjut Reza lagi.Begitu mobil yang Eric dan Aya tumpangi datang, Reza sendiri yang menyambut mereka. Eric tampak terkejut saat melihat Reza berdiri di depan lobby hotel.“Kawan, lama gak ketemu ya,” sapa Reza langsung memeluk Eric.“Za. Apa kabar?”Merek
Berada di hotel yang sama tetapi beda ruangan acara, Aya lebih dahulu kembali ke kamar karena acaranya telah selesai. Ia berniat untuk santai berendam di bath up kamarnya. Menurut informasi yang ia terima, acara Eric masih berlangsung hingga pukul delapan malam nanti. Itu artinya masih banyak waktu yang bisa Aya habiskan sendiri di kamar.Menyalakan lilin aromaterapi, Aya membenamkan dirinya di dalam bath up. Begitu rileks dan nyaman, membuat dirinya hampir saja tertidur. Merasa sudah cukup, Aya lantas beranjak dari bath up dan segera membersihkan dirinya.“Hah? Apa itu Pak Eric? Tapi kan kartu aksesnya aku yang bawa,” ucap Aya sembari mematikan shower. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.Aya kemudian mempercepat aktivitas mandinya.“Astaga! Ini aku gak bawa handuk?” Aya memasang ke sekelilingnya berharap menemukan kain yang bisa menutupi tubuhnya.“Aya kamu di dalam?” Eric mengetuk pintu membuat Aya terkejut dan jatuh terpeleset.“Kamu gak apa-apa? Kamu k
Aya menatap Eric penuh tanda tanya. Gadis itu tidak mengerti maksud dan tujuan Eric mengatakan hal itu. Keningnya berkerut memperhatikan wajah Eric yang ekspresinya susah dijelaskan.“Menikah. Kita menikah,” ulang Eric menunjuk ke arah Aya dan dirinya bergantian.“Pak Eric, tolong jangan yang aneh-aneh. Bukan karena kita satu kamar dan satu tempat tidur, lalu Bapak seenaknya bicara kaya gitu. Saya gak mungkin nikah sama Pak Eric,” ucap Aya berapi-api.“Jangan terlalu cepat mengambil keputusan Aya. Aku siap menunggu sampai kamu bilang iya untuk ajakan aku tadi,” sahut Eric tersenyum.Aya menggelengkan kepala cepat. “Saya gak bakal bilang iya, Pak. Sudah pernah saya bilang kalau saya bukan istri Bapak. Jadi, stop memperlakukan saya seperti mendiang istri Bapak.”Eric terdiam sejenak menghela nafasnya. Ia lalu meraih tangan Aya dan mengelus lembut punggung tangan gadis itu. Tak ingin terbuai, Aya menarik paksa tangannya.“Aku tahu kalian orang yang berbeda,” kata Eric pelan. Hanya sekali
Mengirimkan surat ketidakhadirannya, hari ini Aya izin untuk tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Sebenarnya ia malas bertemu Eric ditambah lagi badannya masih pegal. Pukul setengah delapan ia masih uring-uringan di kamar, padahal perutnya sudah mulai keroncongan. Teringat banyaknya pakaian kotor yang belum dicuci, Aya terpaksa bangun dari tidurnya. Sebelumnya ia sudah memesan nasi uduk untuk sarapan paginya kali ini.Gadis itu berjalan ke ruang depan dan membuka jendela. Ia lalu beranjak ke belakang dan menyalakan mesin cuci.“Banyak banget ini uangnya,” kata Aya kaget saat merogoh kantong celana Eric dan menemukan tujuh lembar uang berwarna merah yang terlipat. Merogoh kantong celana yang lain, Aya menemukan kertas. Perlahan ia membuka kertas putih yang terlipat itu dan menemukan namanya tertulis di sana.“Eric, Fayra, Farah,” ucap Aya membaca tiga nama yang tertulis di kertas itu, “pake gambar ini lagi,” lanjut Aya melihat gambar betul hati di ujung kertas. Menyimpan uang dan ke
“Mama pulang besok ya, Ric,” kata Ajeng sambil membelai rambut Farah yang mulai mengantuk dipangkuannya. Tadinya gadis kecil itu mengantuk, tapi tiba-tiba ia bangun dan duduk di samping Ajeng, membuat kaget mereka yang ada di ruang tengah.“Kok bangun lagi? Tadi bukanya ngantuk,” kata Ajeng heran.“Pa, satu minggu ini Farah libur. Farah ikut sama Oma ya,” ucap Farah seketika membuat Eric mengerutkan kening.“Boleh aja, sih,” sahut Eric ragu.“Memangnya Farah nanti gak kangen sama Tante Aya?” tanya Ajeng sengaja. Ia ingin melihat reaksi Eric saat mendengar jawaban Farah.“Kangen, tapi nanti kan bisa video call Tante Aya lewat Papa. Nanti Farah juga bawa oleh-oleh biar Tante Aya senang,” kata Farah menatap Eric dan Farah bergantian.Hitung-hitung Farah bisa liburan sebentar bersama Ajeng dan Tari. Eric lantas mengiyakan permintaan gadis kecilnya itu dan langsung memesan tiket untuk pener besok siang.Sekolah Farah selama seminggu ke depan memang diliburkan karena semua guru di sekolahn
Eric langsung menarik tangan Aya kala wanita itu mulai berjalan menjauhinya. Jalan keluar yang seharusnya tinggal lurus saja, tapi langkah kaki Aya malah menuju menuju ke sebelah kiri tempat orang biasa memesan taksi bandara."Kamu mau kemana?" tanya Eric."Saya pulang naik taksi aja ya, Pak." Aya menatap Eric dengan tangan yang masih disandera oleh pria itu.Eric mengerutkan keningnya. Ia lantas melepaskan tangan Aya kala ponsel milik gadis itu berdering. Berjalan beberapa langkah menjauhi Eric, ia mengangkat telepon yang ternyata dari Via."Kenapa kamu nyari Pak Eric ke aku?" protes Aya saat Via bertanya dimana Eric berada."Yang terakhir ketemu Pak Eric kan kamu, tadi kan kamu ke ruangan Pak Eric. Aku telepon dari tadi gak diangkat, di chat juga gak dibaca," ucap Via."Gak tahu, emang kenapa?" tanya Aya.Via kemudian menjelaskan perihal ia mencari Eric karena ingin menanyakan pertemuan dengan klien hari ini jadi atau dibatalkan saja."Ya kamu batalin aja lah, wong Pak Eric juga gak
Santai sehabis makan malam, Aya duduk di sofa ruang tamu sambil melihat foto-foto kegiatan outbond kemarin. Tidak berselang lama sebuah pesan dari Wisnu masuk. Keningnya berkerut melihat folder foto yang Wisnu kirimkan.“Astaga, Wisnu!” pekik Aya tidak percaya. Matanya melotot melihat satu per satu foto yang tersaji di layar ponselnya. Apalagi kalau bukan foto ia bersama dengan Eric yang diambil tanpa sepengetahuan dirinya. Begitu serius ia melihat foto-foto itu, hingga ia berjalan membuka pintu sambil terus menatap layar ponselnya, saat ada yang mengetuk pintu dari luar.“Siapa?” tanya Aya tak melihat ke arah depan tapi malah fokus ke layar ponselnya.“Eh. Lo kok, Pak Eric? Aduh, itu balikin ponselnya saya, Pak.” Aya syok lantas menguber Eric yang membawa ponselnya masuk dan duduk di ruang tamu.Pria itu memasang senyum sambil mengusap layar ponsel Aya, selang beberapa menit kemudian Eric mengembalikan ponsel milik Aya.“Jadi kamu suka?”“Suka apanya, Pak? Ini juga mau dihapus,” ucap
“Masuk aja, Ay. Aku lagi ribet nih, banyak banget jadwal Pak Eric minggu ini. Pusing aku ngaturnya. Biasanya juga kamu langsung-langsung aja kalau mau ketemu bos," celoteh Via yang serius menatap layar komputernya saat Aya minta tolong untuk mengantarkan beberapa berkas yang harus ditanda tangani oleh Eric."Kamu, ih," sahut Aya merengut. Ia sempat terdiam di depan pintu ruangan Eric sebelum akhirnya masuk. Dengan wajah tertunduk, Aya menyerahkan berkas itu lantas berdiri menunggu Eric selesai menandatanganinya. Ia tidak berani mengangkat wajahnya menatap Eric, gadis itu masih teringat kejadian semalam di mobil."Makasih, Pak," sahut Aya langsung menarik tangannya saat tak sengaja bersentuhan.Tangannya sampai gemetaran menutup pintu ruangan Eric. Begitu tiba di ruangannya, Aya langsung menelungkupkan wajahnya di meja. Rasanya begitu malu mengingat kejadian semalam. Aya sibuk menebak isi pikiran Eric, karena semalam ia tidak melakukan perlawanan saat Eric menciumnya."Ada apa, Ay? Sak