Dengan satu tarikan napas panjang, Gerald melepaskan cincin itu dari jarinya, membiarkannya jatuh dengan lembut ke lantai. Semua mata mengikuti gerakan cincin itu, yang kini tergeletak di antara mereka seperti simbol dari keputusan besar yang telah diambil. Tanpa melihat ke belakang, Gerald melangkah pergi, meninggalkan altar yang megah itu, meninggalkan semua rencana yang telah disusun, dan meninggalkan Diana yang kini terdiam dengan tatapan hampa. Suara bisikan dan desahan kekecewaan memenuhi ruangan, namun Gerald tak lagi peduli. Langkahnya mantap, semakin cepat seolah ingin segera melarikan diri dari beban yang selama ini ia pikul. Sementara itu, di tengah aula yang hening, Diana berdiri kaku, menatap pintu tempat Gerald menghilang, hatinya diliputi kemarahan dan kehampaan. Tanpa berkata apa-apa, air matanya mulai mengalir, merasakan perihnya ditinggalkan di saat ia merasa sudah berada di ambang kebahagiaan. Dan di luar ruangan itu, Gerald merasa untuk pertama kalinya d
Di dalam rumah, Diana berdiri di balik dinding, mendengar setiap kata yang diucapkan Gerald dan Arga.. Hatinya bergemuruh, penuh emosi yang sulit ia kendalikan. Ia ingin keluar, ingin bertanya pada Gerald mengapa ia harus membuat segalanya menjadi lebih rumit. Tapi langkah kakinya tertahan. Ada rasa takut yang begitu besar—takut bahwa ia akan terluka lagi, takut bahwa semua ini hanya permainan lain yang akan membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Arga mendekatinya, menatapnya dengan lembut. “Diana, kau harus memutuskan. Jika kau masih memiliki perasaan padanya, kau harus memberinya kesempatan bicara sebagai sahabat. Tapi jika tidak, katakan saja padanya untuk pergi.” Diana menatap Arga, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu, Kak. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.” Arga menghela napas. “Kadang, kau tidak perlu tahu segalanya. Kau hanya perlu mendengarkan hatimu.” --- Malam itu, Gerald kembali ke apartemennya dengan perasaan hampa. Ia membuka pintu, membiar
Sampai di apartemen Gerald duduk di meja makan dengan wajah tegang, entah apa yang tengah dipikirkannya. Tanpa diduga, ia tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan mulai menelepon seorang hacker handal yang dikenalnya. 'Hallo, Josh? Aku butuh bantuanmu. Seseorang telah mengancamku dan aku ingin kau mengidentifikasi siapa pelakunya,' ucap Gerald dengan nada serius. Josh, sang hacker, menerima tantangan itu dengan senang hati. 'Siap, Bos. Aku akan segera menyelidiki secara detail,' jawabnya singkat. Dalam waktu singkat, Josh berhasil menemukan jejak digital sang pelaku. Ternyata ancaman itu berasal dari IP address milik Kris, sahabat Gerald sejak kecil. Gerald terkejut mendengar hasil penyelidikan tersebut. Ia bahkan merasa sulit untuk percaya bahwa Kris yang telah bersamanya selama bertahun-tahun bisa melakukan hal seperti itu. 'Sialan, Kris! Mengapa kau melakukan ini padaku?' gerutu Gerald dalam hati. Gerald kemudian memutuskan untuk menghadap langsung pada Kris. Ia sudah sia
Gerald tahu, sekadar kata-kata tak akan cukup. Diana adalah seseorang yang terluka, seseorang yang telah lama mengubur harapan untuk bersamanya. Gerald sadar, sikapnya yang dingin selama ini telah melukai gadis itu, membuatnya merasa tak diinginkan. Sekarang, semua perasaan itu meledak dalam dirinya, dan ia tak mampu mengabaikannya. Gerald menyandarkan kepalanya di kaca jendela, menatap bayangannya sendiri. “Aku mencintaimu, Diana,” gumamnya lirih, seakan menyatakan janji pada dirinya sendiri. Pagi mulai menyingsing, dan Gerald telah memutuskan. Hari ini, ia akan berbicara dengan Arga. Mungkin ini bukan keputusan yang mudah, tapi ia harus melangkah. Sebagai seseorang yang menganggap Arga seperti kakak sendiri, ia harus menjelaskan semuanya, termasuk keputusannya yang kini membawa risiko. Di kantor, Arga sudah menunggunya dengan ekspresi yang tegas. “Gerald, aku tak menduga kau akan datang pagi ini,” sambut Arga dengan suara dingin, matanya mengamati Arga dengan tajam. Gerald
“Arga,” sapa Abizar dengan pelan, mencoba mencari kata yang tepat. “Aku datang untuk berbicara dengan Diana, atau setidaknya… menyerahkan ini padanya. Ponselnya sulit dihubungi." Arga melihat surat itu dengan tatapan ragu, namun akhirnya menerimanya. “Aku akan memberikannya padanya. Tapi aku tidak bisa menjanjikan Diana akan membaca atau menghubungimu.” “Aku mengerti. Terima kasih, Arga.” Setelah menyerahkan surat itu, Gerald melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu Diana berhak menentukan pilihan, namun dalam hatinya, ia masih memegang janji itu. Sebuah janji untuk tidak menyerah. --- Di saat yang sama, ancaman dari luar yang ia tinggalkan mulai terasa lebih nyata. Keluarga Diana dan rekan-rekan mereka yang berpengaruh menganggap keputusan Gerald sebagai penghinaan. Kabar tentang pemutusan pernikahan itu menyebar cepat di kalangan bisnis dan keluarga besar, Gerald tahu bahwa setiap langkahnya kini berada dalam pengawasan ketat. Suatu malam, ketika Ger
Gerald dengan latar belakangnya sebagai bagian dari keluarga bangsawan yang terlatih ilmu beladiri, tidak kesulitan menghadapi mereka. Gerakannya cepat, pukulannya keras dan terarah. Dalam hitungan menit, pria-pria itu terkapar, meringis kesakitan. Saat semua telah selesai, Diana berdiri terpaku, matanya penuh ketakutan. "Gerald… apa yang baru saja terjadi? Siapa mereka?" Gerald menatapnya dengan tatapan lembut yang bertolak belakang dengan kekerasan yang baru saja ia tunjukkan. "Mereka mencoba menyakitimu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi." "Siapa mereka? Kenapa mereka mengincarku?" Diana mulai panik. "Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang, kau harus ikut denganku. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian." Di apartemen Gerald, Diana duduk di sofa dengan gelisah. Gerald menuangkan teh hangat untuknya sebelum duduk di seberang meja. Ia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara jujur, tapi ia juga tahu bahwa hal ini akan membuat Diana semakin sulit percaya
Gerald mendekat dengan tenang, tatapannya dingin. "Kalian pikir kalian bisa mengancamku? Kalian bahkan tidak tahu siapa yang kalian hadapi." Pria dengan samurai itu melangkah maju, senyum sinis di wajahnya. "Kalau begitu, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan." Tanpa peringatan, pria itu menyerang, mengayunkan samurainya ke arah Gerald. Tapi Gerald sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia menghindar dan meraih pipa besi yang tergeletak di lantai. Suara denting logam memenuhi ruangan saat samurai dan pipa saling beradu. Abizar dan anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka melawan pria-pria lainnya, perkelahian yang penuh kekerasan. Suara tembakan bergema di udara, membuat suasana semakin mencekam. Gerald terus bertarung dengan pria bersamurai itu. Gerakannya lincah dan penuh strategi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi bahaya. Dengan satu gerakan cepat, ia berhasil menjatuhkan samurai dari tangan pria itu dan menodongkan pistol ke kepalanya. "Kau ingin hidup?" tanya
Sementara itu, Gerald berjalan perlahan ke meja di sudut apartemennya. Ia membuka laci, mengambil sebuah foto kecil yang tersembunyi di antara tumpukan kertas. Foto itu menunjukkan Diana sedang tersenyum lebar, memegang setangkai bunga mawar putih. Ia tidak tahu kapan Diana menyelipkan foto itu di jaketnya, tapi foto itu sudah ada di sana selama berbulan-bulan. Tatapannya melembut. Hatinya menghangat, tapi juga terluka. “Kenapa aku begitu bodoh?” gumamnya. Ia menyentuh wajah Diana di foto itu dengan ujung jarinya, seolah ingin merasakan kehangatannya. “Kenapa aku tidak menyadari semuanya lebih cepat?” Gerald tahu dirinya telah membuat kesalahan besar. Ia telah menyia-nyiakan momen berharga bersama Diana, dan kini gadis itu mulai menjauh darinya. Tapi yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia mungkin kehilangan Diana untuk selamanya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke sudut ruangan. Sebuah amplop kecil tergeletak di sana, berisi surat terakhir Diana sebelum ia menin
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen