Pandu memegang kepalanya. Wojo bersikeras tetap mempertahankan pendapatnya. Kasoemo dan Walongsono. Sekarang musuh yang akan dia basmi. Musuh yang akan dia habisi. Pandu akan segera bertindak. Dia tidak bisa tinggal diam!"Aku akan kembali. Sangat bahaya jika Wojo ke rumah Arum dan mengambil Sabrina, lalu membunuhnya. Ini tidak bisa terjadi."Pandu berlari. Kembali masuk ke dalam mobilnya. Dia akanmencegah itu semua. Mesin dia nyalakan. Pedal gas dia tekan cukup dalam. Pandangannya lurus ke depan. Berharap dia tepat waktu untuk sampai di rumah. Tanpa sadar, Pandu menuju pantai yang cukup jauh dari rumahnya."Ternyata cukup jauh. Apa yang aku pikirkan? Hah, kenapa aku sampai keluar dari rumah dan meninggalkannya sendirian? Aku ... aku tidak akan membiarkan Wojo ke sana dan mengambil Sabrina."Keadaan lalu lintas semakin padat. Berkali-kali Pandu menekan klakson. Dia terjebak kemacetan akibat trus yang terguling di sebelah kanan."Sialan!" umpatnya. Padahal, selama ini dia jarang sekali
Ardi tidak percaya melihat Pandu. Dia menarik Pandu, dan menepuk-nepuk punggungnya. Napas Pandu sangat sesak. Dia berlari sangat jauh untuk sampai ke rumah."Ar-di ...," ucapnya terpatah-patah. "Kenapa kau datang?" lanjutnya masih sembari mengatur napasnya."Aku, harus menyampaikan sesuatu. Kalian, izinkan aku masuk ke dalam."Arum menarik Ardi. Pandu mengikutinya dari belakang. Pandu masih melirik Arum yang tidak memandangnya. Hati Pandu resah melihatnya. Dia tidak ingin ada masalah salah paham dengan Arum. Namun, Arum juga masih saja sedikit percaya dengan Sabrina. Pandu masih diam. Dia lebih baik tidak mengungkit itu, apalagi ada Ardi."Kenapa kalian? Aku lihat kalian seperti mu ....," ucapnya terhenti saat Sabrina keluar dari kamar. Ardi tidak percaya melihat sosok Sabrina berada di sana. Apalagi menginap. Dia berdiri dari duduknya, kemudian menatap Sabrina dengan serius. Lalu dia merasakan jika mereka berdua mengalami masalah pasti karena kehadiran Sabrina di rumah ini."Bisakah
Pandu mendekati Arum. Dia tidak mengerti. Kenapa Arum sampai memiliki kunci gudang Selena? Pandu beranjak dari duduknya, mendekati Arum. Menatapnya penuh tanda tanya."Arum. Kenapa kau memiliki kunci itu? Apakah kau pernah ke sana? Untuk apa kau menyimpannya?"Setumpuk tanya untuk Arum, membuatnya kebingungan menjawab. Karena itu rahasia dirinya dengan Selena."Tidak penting tentang itu. Yang penting, kita bisa menyembunyikan Sabrina. Tidak mungkin Wojo bisa menemukan dia. Karena itu tempat Selena."Pandu menatap Ardi. "Apa yang dikatakan Arum benar. Kita akan ke sana. Kita jangan membuang waktu."Ardi mendekati Sabrina. Dia menarik dengan kasar. Sabrina mendongakkan kepala. Menatap Ardi yang masih memasang wajah seram kepadanya."Lihatlah, kita semua peduli denganmu. Kita tidak akan membiarkanmu celaka. Jadi, kau jangan pernah melakukan hal buruk." Ardi melepaskan tangan dengan kasar. Pandu berdiri dan menariknya. "Dia hamil. Jangan perlakukan seperti itu. Bagaimanapun dia wanita."
Pandu masih mengamati semua arah. Dia tetap akan mencari keberadaan Arum. Dia tidak akan tinggal diam. Memang dia tidak mendapat restu dari Romo. Restu yang sama sekali tidak bisa dia dapatkan dari Romo.Pemuda yang mengendarai motor itu masih saja melaju kencang. Dia hanya berjalan lurus ke depan tanpa menanyakan Pandu harus pergi ke mana. Sementara, suami Arum itu masih saja tidak tahu arah tujuan."Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Mobil itu cukup kencang melesat. Aku tidak tahu harus bagaimana, jika terlambat menuju ke sana. Apa yang akan terjadi dengan Arum? Dia sedang hamil. Begitu juga dengan Sabrina? Bagaimana aku pergi ke sana?"Pemuda itu akhirnya merasa aneh. Dia menepikan sepeda motornya, melepaskan helm. Sambil menarik napas, dia menolehkan pandangannya ke belakang. Pandu segera turun dari sepeda motor itu. Dia berdiri, masih berkaca pinggang sambil mengamati semua arah."Dia ini kenapa ya?" gumam pemuda itu. Dia turun dari sepeda motor, mendekati Pandu dan ikut meng
Pandu berlari kencang mendekati Wojo. Yang akan melayangkan tangannya dengan keras di pipi Sabrina. Sementara wanita itu sudah duduk di bawah sambil bersujud. Bagaimanapun juga Sabrina adalah seorang wanita. Apalagi dia sedang hamil. Tidak mungkin Pandu membiarkan hal itu terjadi. Arum dan Saras pun ikut bersujud dan meminta maaf. Berusaha untuk mencegah Wojo meluapkan amarahnya. Sementara Ardi sudah babak belur. Kini dia dicengkram oleh para pesuruh Wojo dan tidak bisa melakukan apa pun."Apakah kau akan seperti ini? Menjadi seseorang yang lebih kejam? Aku tahu kau kehilangan Selena dan itu adalah salahku. Bunuhlah aku jika kau memang ingin membalas dendam. Tapi jangan dengan wanita yang hamil seperti itu."Pandu berusaha menarik tangan Wojo yang sudah tinggi. Siap melumpuhkan siapa saja yang ada di hadapannya."Lepaskan aku, Pandu Kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku. Kini aku tidak memiliki hati Yah! Hatiku sudah hilang. Kalian semua pengkhianat!" teriak Wojo sambil menatap
Arum terus menguatkan cengkramannya. Tangannya terus menggenggam erat kedua kaki Wojo yang sama sekali tidak bisa bergerak. Lelaki penguasa itu tidak mengerti kenapa Arum sampai melakukan itu, demi wanita yang sudah membuat hubungannya dengan Pandu berantakan. Apalagi Sabrina sangat mengharapkan untuk menjadi istri Pandu. Yang menyebabkan restu keduanya tidak akan pernah diterima oleh keluarga."Kenapa kau melakukan itu? Tolonglah, jangan pernah seperti ini! Lepaskan, atau aku akan menendangmu dan membuatmu tersungkur! Lepaskan sekarang juga! Aku tidak akan pernah meminta untuk kedua kalinya, Arum!" teriak Wojo sangat kencang. Dia benar-benar tidak mau melepaskan Sabrina begitu saja. Sementara Arum semakin menangis melihat Pandu dan Joko melawan semua pesuruh Wojo yang memenangkan pertandingan itu. Tentu saja jumlah mereka sangat banyak. Kini Joko tergeletak dengan lemas. Begitu juga dengan Pandu yang sudah tidak berdaya."Ungkapkan keinginanmu. Apa pun. Asal kau mau melepaskan merek
Beberapa suster yang berada di klinik sangat panik ketika melihat tiga pemuda dalam keadaan tidak berdaya dan babak belur seperti itu. Mereka segera membawanya ke dalam ruangan untuk diperiksa dan diobati.Sabrina duduk termenung sambil menundukkan kepala. Dia terus berpikir, bagaimana dengan kelanjutan hidupnya. Kemudian dia memicingkan kedua matanya ke arah Arum, dan tiba-tiba beranjak dari duduknya. Melangkah cepat mendekati istri Pandu itu. Sabrina menariknya dengan cukup keras. Lalu, menatapnya tajam. Arum sangat terkejut. Dia tahu. Pasti Sabrina memiliki maksud dengan ekspresi itu."Apa yang kau pikirkan? Lihatlah, gara-gara ulahmu semua kejadian ini terjadi. Kami membelamu dengan nyawa kami. Kau sekarang menatapku seperti itu. Apa yang ingin kau rencanakan, Sabrina?" ucap Arum dengan tegas. Sabrina masih saja menatapnya dengan tajam."Pandu bisa selamat jika kau menuruti apa keinginan lelaki itu. Semua akan damai dan tentram seperti sedia kala. Pikirkan itu, Arum. Jika kau teta
Arum masih saja diam. Dia hanya memandang Pandu yang terbaring di ranjang. Pandu paling parah di antara mereka. Ardi yang sudah membaik, mendekati Arum sembari menarik napas panjang."Aku sangat prihatin. Aku ... tidak mengerti Wojo semakin kejam seperti ini. Bagaimana bisa dia meminta seperti itu. Aku benar-benar ... menyesal."Arum masih saja diam menatap Pandu. Dia tidak segera menjawab perkataan Ardi. Sahabat Pandu itu kini sedikit melirik Arum. Dia cemas melihat ekspresi yang diperlihatkannya."Apa ... kau ...," ucap Ardi yang tersendat. Dia menghentikan ucapannya. Dia tidak ingin melanjutkan. Arum mengernyit. Kini dia menatap Ardi."Kenapa berhenti? Apa yang ingin kau katakan?" tanya Arum."Hah ... aku memikirkan kau akan melakukan permintaan Wojo. Apakah aku salah?" Ardi menatap tajam. Dia menunggu Arum menjawabnya. "Kau ... akan melakukannya. Bukankah begitu?" tanya Ardi sekali lagi. Sesuai prediksinya. Arum hanya diam, dan itu menunjukkan jika dia akan melakukannya."Ingatla