Pandu berlari kencang mendekati Wojo. Yang akan melayangkan tangannya dengan keras di pipi Sabrina. Sementara wanita itu sudah duduk di bawah sambil bersujud. Bagaimanapun juga Sabrina adalah seorang wanita. Apalagi dia sedang hamil. Tidak mungkin Pandu membiarkan hal itu terjadi. Arum dan Saras pun ikut bersujud dan meminta maaf. Berusaha untuk mencegah Wojo meluapkan amarahnya. Sementara Ardi sudah babak belur. Kini dia dicengkram oleh para pesuruh Wojo dan tidak bisa melakukan apa pun."Apakah kau akan seperti ini? Menjadi seseorang yang lebih kejam? Aku tahu kau kehilangan Selena dan itu adalah salahku. Bunuhlah aku jika kau memang ingin membalas dendam. Tapi jangan dengan wanita yang hamil seperti itu."Pandu berusaha menarik tangan Wojo yang sudah tinggi. Siap melumpuhkan siapa saja yang ada di hadapannya."Lepaskan aku, Pandu Kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku. Kini aku tidak memiliki hati Yah! Hatiku sudah hilang. Kalian semua pengkhianat!" teriak Wojo sambil menatap
Arum terus menguatkan cengkramannya. Tangannya terus menggenggam erat kedua kaki Wojo yang sama sekali tidak bisa bergerak. Lelaki penguasa itu tidak mengerti kenapa Arum sampai melakukan itu, demi wanita yang sudah membuat hubungannya dengan Pandu berantakan. Apalagi Sabrina sangat mengharapkan untuk menjadi istri Pandu. Yang menyebabkan restu keduanya tidak akan pernah diterima oleh keluarga."Kenapa kau melakukan itu? Tolonglah, jangan pernah seperti ini! Lepaskan, atau aku akan menendangmu dan membuatmu tersungkur! Lepaskan sekarang juga! Aku tidak akan pernah meminta untuk kedua kalinya, Arum!" teriak Wojo sangat kencang. Dia benar-benar tidak mau melepaskan Sabrina begitu saja. Sementara Arum semakin menangis melihat Pandu dan Joko melawan semua pesuruh Wojo yang memenangkan pertandingan itu. Tentu saja jumlah mereka sangat banyak. Kini Joko tergeletak dengan lemas. Begitu juga dengan Pandu yang sudah tidak berdaya."Ungkapkan keinginanmu. Apa pun. Asal kau mau melepaskan merek
Beberapa suster yang berada di klinik sangat panik ketika melihat tiga pemuda dalam keadaan tidak berdaya dan babak belur seperti itu. Mereka segera membawanya ke dalam ruangan untuk diperiksa dan diobati.Sabrina duduk termenung sambil menundukkan kepala. Dia terus berpikir, bagaimana dengan kelanjutan hidupnya. Kemudian dia memicingkan kedua matanya ke arah Arum, dan tiba-tiba beranjak dari duduknya. Melangkah cepat mendekati istri Pandu itu. Sabrina menariknya dengan cukup keras. Lalu, menatapnya tajam. Arum sangat terkejut. Dia tahu. Pasti Sabrina memiliki maksud dengan ekspresi itu."Apa yang kau pikirkan? Lihatlah, gara-gara ulahmu semua kejadian ini terjadi. Kami membelamu dengan nyawa kami. Kau sekarang menatapku seperti itu. Apa yang ingin kau rencanakan, Sabrina?" ucap Arum dengan tegas. Sabrina masih saja menatapnya dengan tajam."Pandu bisa selamat jika kau menuruti apa keinginan lelaki itu. Semua akan damai dan tentram seperti sedia kala. Pikirkan itu, Arum. Jika kau teta
Arum masih saja diam. Dia hanya memandang Pandu yang terbaring di ranjang. Pandu paling parah di antara mereka. Ardi yang sudah membaik, mendekati Arum sembari menarik napas panjang."Aku sangat prihatin. Aku ... tidak mengerti Wojo semakin kejam seperti ini. Bagaimana bisa dia meminta seperti itu. Aku benar-benar ... menyesal."Arum masih saja diam menatap Pandu. Dia tidak segera menjawab perkataan Ardi. Sahabat Pandu itu kini sedikit melirik Arum. Dia cemas melihat ekspresi yang diperlihatkannya."Apa ... kau ...," ucap Ardi yang tersendat. Dia menghentikan ucapannya. Dia tidak ingin melanjutkan. Arum mengernyit. Kini dia menatap Ardi."Kenapa berhenti? Apa yang ingin kau katakan?" tanya Arum."Hah ... aku memikirkan kau akan melakukan permintaan Wojo. Apakah aku salah?" Ardi menatap tajam. Dia menunggu Arum menjawabnya. "Kau ... akan melakukannya. Bukankah begitu?" tanya Ardi sekali lagi. Sesuai prediksinya. Arum hanya diam, dan itu menunjukkan jika dia akan melakukannya."Ingatla
Romo terdiam kaku. Perkataan Nyai membuatnya tegang. Mereka saling memandang tajam. Nyai melangkah cepat, mendekati Romo."Aku menyesal. Dulu aku menyetujui apa yang selalu diajarkan oleh keluargaku. Tapi sekarang aku tahu. Itu adalah salah. Ternyata sangat menyakitkan. Ketika melihat anakku menderita, apalagi karena masalah sepele seperti ini," jawab Nyai dengan pelan."Masalah sepele? Kenapa bisa seperti itu? Apa kau anggap Ini masalah sepele? Tidak mungkin masalah sepele. Nyai, ini adalah masalah yang sangat besar, dan aku tidak akan pernah membiarkan siapapun merusak. Apa yang menjadi aturan keluargaku. Tapi aku tidak menginginkan perceraian. Itu sangat dilarang dalam keluargaku, dan aku tidak akan pernah membiarkannya."Nyai terdiam. Dia menarik napas, sambil menekan dadanya. Sebelum akhirnya meninggalkan Romo begitu saja. Nyai berjalan cepat masuk ke dalam kamarnya. Ditemani dengan dua pelayan yang selalu setia kepada Nyai. Dia tidak bisa menahan batinnya yang bergejolak. Meneri
Pandu masih menatap tegang. Dia menunggu Arum menjawab semuanya. Mulut Arum tercekat. Tidak bisa berbicara. Dia tidak ingin mengatakan apa pun. Dia menyesal. Telah mengatakan hal itu. Padahal, dia ingin memikirkan hal itu dan tentu saja akan melakukannya."Arum! Kenapa kau diam? Kenapa kau tidak mengatakan yang sesungguhnya? Apa yang sudah kalian rencanakan? Jangan katakan kau akan menemui Wojo dan melakukan perjanjian kepada Sabrina." Pandu masih saja menatap Arum yang terdiam. Tidak bisa berkata apa pun. Kini dia menolehkan pandangannya ke arah Joko yang masih menundukkan kepalanya."Joko, katakan. Apakah kau ada hubungannya dengan ini? Katakan sekali lagi. Jangan pernah membuatku marah. Kalian benar-benar tidak tahu diri!" teriak Pandu dengan cukup kencang."Astaga Pandu. Kenapa kau membentak seperti itu?" cegah Ardi. "Hei, mereka berdua sedang hamil dan sebaiknya kau hargai wanita. Apalagi ada Ibu di sini. Kau bisa meredakan emosimu. Jika tidak, lebih baik masuk ke dalam kamarmu
Arum tersenyum. Berusaha tidak menghiraukan Ardi. Sahabat Pandu itu sangat cerdas. Dia sangat mengetahui situasi kondisi apa pun. Apalagi Arum tiba-tiba ingin berbelanja. Tidak mungkin Ardi tidak mencurigai sesuatu. "Jika kau bersama dengan Joko, bagaimana jika orang lain mengetahuinya? Hmm, bisa-bisa kau akan digosipkan berselingkuh." "Kau juga lelaki. Aku akan digosipkan dengan hal yang sama jika kau mengantarku, Ardi. Kau ... juga lelaki. Apa bedanya?" Perkataan Arum membuat Ardi terdiam. Dia tersenyum. Arum adalah wanita yang snagat cerdas. Dia tidak akan pernah bisa membantahnya. "Baiklah ...," balas Ardi dengan nada cukup panjang. Arum resah jika Ardi ternyata mengetahui rencananya. "Aku harus bergegas. Sebentar lagi makan malam. Supaya tidak kemalaman. Apalagi pasti pasar akan segera tutup." Arum memeluk Pandu dengan erat. Dia sejenak memejamkan kedua matanya, sambil menarik napas panjang. Arum berusaha tersenyum. Tidak ingin memperlihatkan ekspresi apa pun. Saras hanya
Kehadiran Wojo masih saja mengejutkan mereka. Apalagi dia menngatakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Wojo perlahan mendekati Arum. Memberi tatapan menusuk. Perasaan Arum semakin tidak menentu. Dia tidak mau Wojo meneruskan keinginannya. Dia paham, namun tidak mau mendengar lagi. Karena terlalu berat baginya."Aku akan melakukannya. Sudah cukup. Kau jangan mengungkapkan keinginanmu lagi. Entah kau ingin membalas dendam atau benar-benar menginginkan aku ... aku akan menurutinya. Tapi, jangan hancurkan keluarga Mas Pandu."Wojo duduk tepat di sebelah Nyai Niye. Dia menyilangkan salah satu kakinya, lalu menatap Arum kembali."Pernikahan kita tidak ada hubungannya dengan keluarga Pandu. Itu adalah salah satu syarat, agar aku tidak menghabisi Sabrina. Wanita sialan itu. Jadi, aku tidak bisa membiarkan keluarga Pandu terbebas. Jika aku harus melakukan itu ... ada syarat lain yang harus kau penuhi."Hati Arum meledak. Tidak percaya mendengar perkataan Wojo. Dia kali ini sangat licik, kejam,
Nyai Ani dan Saras saling berpandangan. Mereka tidak percaya dengan kejadian yang sama terulang kembali. Mereka saling berpandangan, kemudian menatap tegang sang pelayan yang masih mendudukkan kepala. Hingga Ibu Arumi pun berlari datang bersujud di hadapan Nyai Ani dan Saras."Maafkan saya, Nyai. Anak saya bersalah. Tolong jangan marah dengan anak saya. Nyai ... saya yang bertanggung jawab. Saya sudah mengatakan kepada Arumi agar tidak mendekati Raden Putra. maafkan saya. Tolong jangan pecat saya karena saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Sekali lagi maafkan saya."Nyai Ani tersenyum. Saras pun juga ikut tersenyum. Mereka segera mendekati pelayan itu dan menariknya hingga berdiri."Tunjukkan aku di mana mereka. Tidak aku sangka, ternyata Putra menyukai wanita yang memiliki nama persis dengan nama anakku, Arum. Aku sangat terharu mendengarnya," balas Saras masih saja tersenyum haru."Ini sudah takdir kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Cinta kembali hadir di dalam rumah i
"Paman?" Putra terkejut melihat Ardi berada di belakangnya. Dia segera tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Wajahnya masih bersemu ketika melihat gadis itu. Ardi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mengingat sosok Pandu saat pertama kali bertemu dengan Arum. Ardi sudah bercerita semua kisah Pandu dan Arum kepada Putra. Kejadian barusan, sama persis dengan sosok Putra."Kau menyukainya?" tanya Ardi sekali lagi sambil mengangkat salah satu alisnya."Entahlah, Paman. Ketika aku melihatnya. Jantungku tiba-tiba bergetar. Dia seperti bidadari. Wajahnya secerah awan. Senyumannya membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Bahkan, sampai sekarang pun aku memikirkannya. Bayangan wajahnya itu selalu ada di dalam pikiranku. Padahal aku baru menemuinya hanya beberapa menit saja. Hmm, siapa dia, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya.""Hahaha. Itu adalah namanya cinta. Yah ... kau mencintainya. Cinta pandangan pertama. Ibunya baru bisa aja bekerja menj
"Romo datang?" Sunarsih seketika terpaku. Apalagi Romo dan Nyai Ani membawa beberapa kain dan perhiasan. "Maafkan kami datang dengan mendadak. Kami mendengar dari pelayan jika kalian akan menikah. Aku ada beberapa kain kebaya. Sebenarnya aku ingin memberikannya kepada Arum. Ini adalah kain dari ibuku. Aku berniat untuk memberikannya kepada Arum saat dia sudah melahirkan. Tapi ternyata takdir berkata lain dan aku berpikir ingin memberikannya kepada kalian, karena kalian adalah dua wanita yang sangat hebat."Mawar dan Sunarsih saling berpandangan. Mereka tidak menyangka, seseorang yang sangat mereka takuti sekaligus benci datang dengan pandangan lain. Senyuman terpampang di wajah angkernya selama ini.Nyai Ani menyodorkan kain itu dengan tersenyum. Mawar dan Sunarsih akhirnya tersenyum dan menerima. Mereka tidak percaya dengan semua ini."Aku tidak bisa berkata apa pun. Yang jelas, aku sangat bahagia," ucap Sunarsih. Dengan mendadak, dia mendekati Romo dan memeluknya. Semua orang terk
"Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa seseorang yang sangat gagah seperti dirinya bisa menjadi seperti ini? Aku benar-benar tidak percaya, Hendra. Apakah kakakmu bisa sembuh? Aku harus bagaimana menghadapi kakakmu yang seperti ini?" ucap Saras kemudian meneteskan air matanya."Ibu hanya perlu mendekatinya saja. Katakan apa pun yang bisa membuat kakakku mengerti jika dia harus menjalin kehidupan ini. Kematian Pandu sudah dilupakan oleh pihak hukum, karena kondisi Kakak yang seperti ini. Mereka berharap Kakak bisa menjadi sosok seperti semula kembali. Tapi ... sepertinya itu susah, Ibu. Bahkan sekarang ibuku, Mustika, dan semua adiknya pun sangat bersedih. Tidak ada kebahagiaan lagi yang berada di rumah." Hendra menatap sang kakak dengan sangat sendu. Tubuhnya yang semakin kurus, membuatnya tidak memiliki tenaga yang cukup. Dia resah bagaimana jika dia nanti pergi dari dunia ini. Siapa yang akan menjaga keluarganya?"Baiklah, aku akan mencoba mendekatinya." Sarah mendekati Wojo yang masih
Mereka semua terkejut saat Joko tiba-tiba masuk dan mengatakan hal seperti itu. Sunarsih seketika menganga, menatap Joko dengan sangat tampan menggunakan kemeja putih, berjalan menghampirinya. Dia menatap Sunarsih dan menutup mulutnya. Sunarsih terpaku seketika."Apa ..."Joko saat itu selalu memandang Sunarsih. Sifatnya yang sangat lucu dan tomboy, mengingatkan dia kepada Sabrina. Namun, Joko harus menutup hatinya untuk Sabrina yang sudah pergi. Joko perlahan-lahan sering menemui Sunarsih dan berusaha membuka hatinya. Hingga dia paham hatinya sedikit bergetar. Ketika mendekati Sunarsih yang selalu paham dengan dirinya.Joko selalu bercerita apa pun kepada Sunarsih. Dia sangat kesepian, tidak sengaja bertemu Sunarsih di taman. Sejak saat itu mereka selalu mengobrol dan akrab. Joko terus berpikir sepanjang hari, hingga dia akhirnya memutuskan untuk melamar Sunarsih."Walah, masa aku mendapatkan lamaran dengan cara seperti ini? Hah, tiba-tiba saja datang lalu ngomong, mungkin aku. Hah,
Bagai tersambar petir. Perasaan Saras seketika hancur. Dia tidak menyangka perasaannya selama ini akhirnya terjawab. Beberapa hari sebelumnya dia selalu memandang Arum, dan sudah merasakan akan kehilangan anaknya untuk selamanya. Ternyata sekarang dia akan menghadapi hal itu. Sebuah pertanda yang selalu dia lihat, dari perkataan Arum dan Pandu. Seolah-olah mengetahui mereka tidak akan hidup lama lagi. Tanpa sadar mereka ungkapkan selama ini. Saras selalu menepis semua yang ada di pikirannya. Namun, ternyata benar. Dan terlebih lagi, dia teringat sumpahnya dan sumpah Nyai Ani, yang kini terjawab sudah."Tidak! Tolonglah dokter. Lakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Aku mohon kepadamu dokter. Biarkan anakku hidup, karena aku belum bisa membahagiakannya. Aku mohon dokter," ucap Saras dengan lemas. Nyai Ani yang terus menangis memeluknya. Begitu juga dengan Wati dan Sunarsih yang tidak kuasa mendengar. Tidak bisa menumpu tubuhnya yang mendadak lemas, Sunarsih hampir tumbang. Joko yang b
Suara letusan peluru tiba-tiba terdengar cukup keras. Arum menatap Pandu yang tersenyum ke arahnya, membelai pipinya dengan perlahan, lalu memeluknya."Kau sangat cantik, Arum," ucap Pandu pelan.Arum mengernyitkan kedua alisnya semakin dalam. Menatap Pandu yang tiba-tiba pucat. Hingga dia merasakan basah di kedua tangannya. Perlahan, Arum bergetar saat melihat jemarinya tiba-tiba dipenuhi dengan cairan darah segar yang keluar dari punggung Pandu. "A-pa ...," ucap Arum pelan. Dia tidak bisa berkata. Mulutnya tercekat, bahkan napasnya terhenti seketika, seakan dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku. "Mas ..." Arum kembali menatap kedua mata Pandu yang masih memperlihatkan senyuman dan cinta tulusnya kepada Arum."Tidak ada hal di dunia ini yang lebih indah selain dirimu. Wanita yang tidak akan pernah tergantikan sampai kapanpun. Wanita yang selalu ada di hatiku. Wanita yang selalu aku cintai. Aku sangat ... mencintaimu. Kau tidak tergantikan," bisik Pandu masih dengan tersenyum. Arum
Wojo terdiam, menunggu Arum untuk mengatakan jawaban yang sudah ditunggunya. Arum tersenyum menganggukkan kepala dan berkata, "Aku akan menjadi istrimu dan mendampingimu sampai kapanpun. Tapi aku mohon kita pergi dari sini dan melupakan semuanya," balas Arum masih dengan tersenyum, namun meneteskan air matanya. Menahan hatinya yang terasa sesak. Padahal dia sama sekali tidak ingin berkata seperti itu. Namun, apa boleh buat. Tindakannya itu benar-benar meluluhkan lelaki yang semula memendam amarah."Ini tidak benar! Hah, benar benar sangat menyakitkan. Aku tidak akan pernah melepaskan istriku untuk lelaki lain. Bisakah aku hidup bahagia jika aku berpisah dengannya? Lebih baik aku kehilangan nyawa, dari pada aku melihat dia bersama dengan lelaki lain. Aku tidak akan pernah membiarkannya," batin Pandu. Dia berjalan mendekati Arum. Menariknya, kemudian menggelengkan kepalanya dengan perlahan."Tidak adakah cara lain yang bisa aku lakukan selain memohon untuk berada di sisimu. Tidak adakah
Pandu terkejut. Dia segera menghampiri Hendra yang masih terengah-engah mengatur napasnya. Apa yang dikatakan Hendra barusan membuatnya ketakutan. Pasti keluarganya dan keluarga Wojo sudah melakukan perdebatan sengit, dan tentu saja keluarga Wojo pasti akan memenangkan perdebatan itu."Hendra. Tenangkan dulu dirimu. Berbicaralah dengan baik. Kenapa kau ini? Ada apa sebenarnya?" balas Pandu dengan sangat panik. Hendra masih menekan dadanya yang terasa sesak. Tenaganya benar-benar terkuras. Saat itu, Hendra segera mengendarai mobilnya dan mencari Pandu ke rumah Ardi saat mengetahui sesuatu terjadi dengan sangat mengerikan. Ardi segera mengatakan di mana keberadaan Pandu. Sementara Ardi segera menuju ke kediaman Kasoemo untuk menangani masalah itu."Kakakku marah besar, Pandu. Dia berada di kantor wartawan itu, memporak-porandakan kantor itu. Lalu, mengancam semua wartawan yang berada di sana termasuk pemilik kantor itu. Dia sangat marah. Hah, setelah berhasil membuat semua orang takut,