Jantung Riana terasa seperti ditabuh genderang sesaat setelah David melepas boxer-nya. Dengan tubuh tak terlindung sehelai benang pun, David merangkak naik kasur dan mendekatinya yang tengah berbaring lemas di tengah-tengah.Saat ini, jika diperbolehkan untuk berimajinasi, Riana merasa dirinya seperti Hawa yang tengah menanti kehadiran David sebagai sang Adam. Sengatan-sengatan hasrat yang bermunculan ketika tangan David mulai meraih dirinya bisa jadi adalah bisik rayu iblis yang menggoda mereka agar segera menikmati buah terlarang. Ah… memikirkan semua itu membuat jantung Riana semakin berdegup kencang seolah akan mudah meledak sewaktu-waktu layaknya bom.Mata sayu Riana menatap David yang terus bergerak merangkak mengungkungi tubuhnya dari atas. Seutas senyuman terbersit di bibirnya. Senyuman yang manis dan Riana merasa senang karena David selalu menyimpan senyuman itu hanya untuknya.CUP!Sebuah kecupan singkat singgah di dahi Riana. Hangat. Menjalarkan percikan api yang perlahan m
Sesaat sebelum David benar-benar jatuh terlelap, hapenya berdering. Riana bergerak bangun untuk mengambil, tapi tangan David mencegah."Tidur aja," ujar David sambil turun dari ranjang. Dia segera menggunakan kembali boxer-nya dan mengambil hapenya di meja dekat lemari pakaian. Di layar hapenya tertulis nama "Pak Tua". Decakan langsung meluncur keras dari bibir David. Riana yang berlindung di balik selimut menatap bingung. Wajah David berubah jadi keras lagi. Aura hitam seperti membayangi sekitar tubuhnya.Kaki David melangkah keluar menuju kolam renang. Dijawabnya panggilan video call ayahnya."Ada apa?" "Kau di mana sekarang?" dahi orang tua berkaos polo merah itu mengernyit. Seperti ingin menelusup masuk ke dalam layar hape."Ada apa?" David mengulangi pertanyaannya. Dingin. Tak peduli dengan pertanyaan basa basi yang dilontarkan oleh orang tua yang sudah beruban itu."Kau liburan?" matanya bergerak memicing. “Rok perempuan di kolam? Kau bisa main perempuan juga ternyata.""Kalau
"Ayo!" David menggandeng tangan Riana keluar kamar. Kali ini David tampil sangat kasual. Hanya dengan celana kain hitam panjang dan kemeja pendek hitam. Kakinya dilindungi oleh sandal kulit. Dia membawa jaket tapi hanya ditaruh di kursi penumpang bagian belakang.Di dalam mobil, Riana terus memandangi David. Rasanya aneh. Dandanannya biasa saja tapi tetap kelihatan wah, pikir Riana."Kenapa? Mau balik kamar lagi aja?" tanya David masih fokus dengan setirannya."Ng-nggak!" wajah Riana memerah. Segera melempar pandangan ke luar jendela mobil."Terus kenapa lihat-lihat?""Hmm, soalnya kamu kelihatan ganteng," celetuk Riana tak tahu malu. Wajahnya memanas. Mengeluarkan ucapan seperti itu. Tapi kan David itu suamiku, nggak masalah kan aku muji dia? Riana meyakinkan batinnya yang kini mulai membara karena cinta.Tak hanya jantung Riana yang berdegup kencang karena sudah memuji David secara blak-blakan. Jantung David juga mengalami hal yang sama. Rasanya ingin memutar balik mobilnya dan kemb
Saat memasuki kamar, kedua mata Riana membelalak takjub. Kamar mereka yang berantakan tadi siang akibat pergumulan mesra, kini sudah rapi kembali. Bahkan, sprei dan selimut pun sudah diganti.Di dekat kolam, sudah disediakan meja kayu berisi aneka makanan dan minuman. Pepohonan di sekitar dipasangi lampu-lampu LED mungil penuh warna. Membuat suasana jadi temaram romantis.Lengan David melingkari pinggang Riana dari samping. Menyadarkan Riana dari ketakjubannya."Mau makan lagi?" bisik David tepat di telinga kanan Riana."Ih! Kamu kira aku gentong," Riana mencubit gemas pipi David. Sepertinya sejak tinggal bersama dan tahu hobi Riana hobi makan, David selalu saja tak telat menyiapkan banyak makanan untuknya."Sekarang kan ada dua nyawa di badanmu. Harus diisi, biar nggak gampang lemes," David mengajak Riana berjalan menuju dekat kolam. Tepatnya menghampiri meja dan kursi kayu yang disediakan untuk momen candle light dinner mereka. Ya, ada beberapa lilin cantik sudah dinyalakan di sana.
Suara cicit burung terdengar bersautan. Beriringan dengan hembusan angin pagi yang perlahan masuk melewati kelambu yang melindungi keseluruhan ranjang."Hmmmh…."Masih dengan mata terpejam, Riana bergerak mendusel David. Hawa dingin pagi hari membuatnya ingin merasakan kehangatan lain.David perlahan membuka mata. Riana sangat erat memeluknya. Membuatnya terbangun."Hmm," sambil mengerjap-ngerjapkan mata, David memandangi Riana yang menelusup masuk dalam dadanya. Hanya sebagian wajahnya saja yang kelihatan. Sisanya tertutupi selimut tebal dan tentu tubuhnya yang didekap erat Riana sedari tadi."Kedinginan ya?" David bertopang tangan menyangga kepalanya. Dimainkannya rambut Riana yang jatuh menutupi wajah ayu itu.Sorot cahaya matahari yang masuk ke dalam jatuh ke kulit wajah Riana. Menjadikannya berkilau indah. Membuat wajah polos itu bagai intan berkemilauan.Masih memainkan rambut Riana, mata David tak bisa berhenti menyusuri seluruh tubuh istrinya. Tiap lekuk indah tubuh itu kini s
"Maaf ya?" David masih berusaha menggandeng Riana. Tapi perempuan itu masih diam. Beberapa kali menepis tangan David.Riana memang suka jika melakukannya dengan David tapi tidak mau berturut-turut seperti pagi ini. Tadi malam kan sudah? Aku mau jalan-jalan! batin Riana gemas karena tingkah David yang suka sesuka hatinya itu."Tapi kamu suka kan?" goda David."David!!!" Riana menatap kesal suaminya itu. Tapi, lelaki itu hanya menunjukkan wajah tak berdosa dengan hiasan cengiran polos sambil menggandeng tangan Riana."Kita belanja habis ini, ayo?" bujuk David. Walau masih kesal, kepala Riana akhirnya mengangguk. Tentu saja dia mau. Itu adalah rencana yang diinginkannya. Mencari oleh-oleh sekaligus cuci mata.David merangkul Riana keluar kamar. Istri mungilnya yang kini tengah merajuk akhirnya mau luluh juga. Layaknya pasangan suami istri muda yang sedang kasmaran, mereka berdua berjalan menuju parkiran.Sebenarnya, jika boleh memilih, David masih ingin di kamar saja. Mencumbui tubuh in
Riana masih menatap bingung David yang menyetir begitu cepat. Wajah David tampak sangat serius. Mukanya fokus menyetir dengan kencang dan membawanya tiba di hotel tempat Gia sedang melakukan pemotretan."Gia!" panggil David sambil nyelonong masuk ke dalam bar yang jadi lokasi pemotretan Gia. Dia tak peduli saat ini Gia masih dalam sesi foto-foto. Yang dia pedulikan saat ini adalah Gia harus cepat menemuinya sekarang juga."David, Gia masih kerja," bisik Riana sambil menarik lengan David. Namun, hal itu tak membuat David berhenti."GIA!!!" teriak David semakin keras. Membahana memenuhi ruangan.Gia pun berhenti berpose. Dengan langkah melenggang indah bak supermodel, Gia mendekati David."Kak Gia, maafin David," pinta Riana cepat-cepat."No problemo, Manis," Gia tersenyum cantik pada Riana, sebelum akhirnya melemparkan pandangan pada David," Gimana Aa' David?""Kamar lu dimana?" tanya David. Gia paham maksud David."Come on," Gia pun menjetikkan jarinya lalu keluar bar. Langkah jenjang
Entah kenapa Riana sekarang menyesali pilihannya untuk ikut swimming pool party yang ditawarkan oleh Dave barusan. Pasalnya, acara pesta seperti ini ternyata harus memakai dress tertentu. Dan karena pesta ini bertajuk kolam renang, tentu para peserta acara harus menggunakan baju renang alias bikini."Hmm, kamu cocok pake yang ini. Ada mini skirt-nya di bawah. Nanti bagian atas tutup kardigan aja biar nggak masuk angin," tawa Gia terdengar khas," Udah, dipake dulu ya, Manis."Gia menyerahkan pakaian renang paling aman meski bergaya agak kuno pada Riana. Dengan langkah lunglai, Riana masuk kamar mandi dan memakainya. Termasuk memakai kardigan panjang agar lekuk tubuhnya tak terlalu tampak."David nggak bakal marah kan ya?" gumam Riana di depan cermin. Cukup takut suaminya bakal mengamuk kalau sampai tahu dirinya ikutan pesta seperti ini.Saat keluar kamar mandi, tampak Gia sudah siap berpesta. Dengan riasan super tebal dan kacamata berkilauan pink pelangi. Tak lupa topi pantai penuh gay
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula